Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Selepas Petang
0
Suka
1,654
Dibaca

Kemarin, Ibu marah lagi. Sebabnya tidak jauh-jauh dari nilai matematika Tian yang enam puluh lagi. Ibu Guru bilang, itu sudah kemajuan. Namun sepertinya, Ibu tidak sependapat. Ibu ingin nilai matematika Tian seratus. Ibu ingin anak itu bisa terpilih mengikuti olimpiade matematika—lomba bergengsi yang dulu tidak pernah bisa Ibu ikuti. Ibu tidak ingin Tian seperti dirinya; prestasi biasa, pekerjaan biasa, kehidupan biasa. Tian harus mahir matematika. Teman-teman Ibu yang dulu pandai matematika, sekarang kerja di bank atau perusahaan multinasional. Mereka bisa jalan-jalan ke luar negeri dan mengunggah foto-foto estetik di sosial media. Pokoknya, Tian harus dapat seratus di ulangan berikutnya. Sembilan puluh paling tidak. Anak itu harus belajar ekstra. Itu demi kebaikan Tian sendiri. Ya, itu demi masa depan Tian.

Sore itu, Tian termangu di teras rumah. Ibu belum pulang, sementara Mbah Putri sibuk di dapur. Beberapa saat kemudian, terdengar suara Mbah Putri memanggil dari ruang makan. Namun, Tian tidak mendengarnya. Ia tengah asyik melamun. Anak itu membayangkan dirinya kelak akan seperti Christiano Ronaldo. Tak satu pun pertandingan terlewat tanpa gol dari tendangannya. Mata Tian berbinar. Guru olahraga di sekolah bilang, jika terus berlatih, kelak ia bisa menjadi pesepak bola profesional. Anak itu terlonjak. Semangatnya yang semula redup, kini berkobar kembali. Ia menatap lurus pada sebuah benda di sudut teras.

“Tiaann!”

Mbah Putri jadi semakin tidak sabar. Ia segera menuju teras. Namun, Tian sudah tidak di sana. Sebuah buku tergeletak di atas meja—buku matematika. Ada sepuluh nomor yang seharusnya sudah selesai Tian kerjakan, tetapi buku itu seperti masih baru—bersih.

“Duh, sudah maghrib …. Ke mana anak itu ….”

Mbah Putri menutup pintu. Kaki kecilnya lalu bergegas menuju lapangan bola yang tak jauh dari balai desa. Ia berharap cucu kesayangannya masih berada di sana.

***

Tian sibuk hilir mudik di tengah lapangan. Ia menggiring bola ke sana kemari. Sendirian. Ia mencoba teknik-teknik yang guru olahraganya jelaskan. Ternyata tidak mudah, tapi Tian terus mencobanya. Ia bertekad akan berlatih lebih keras dari teman-temannya. Bulan Agustus nanti ada pertandingan. Tian dan teman-temannya akan melawan tim dari desa tetangga. Anak itu bertekad untuk memenangkan pertandingan tersebut. Lihat saja, Tian akan membuat Ibu serta Mbah Putri bangga. Semangat itu terus bergelora dalam batin Tian. Ia tidak menyadari petang yang perlahan datang dan langit yang berangsur gelap.

Tian masih asyik berlatih. Sekarang ia berhenti menggiring bola. Tatapannya lurus menuju ke arah gawang yang membentang tak jauh dari tempatnya berdiri. Jaring-jaring gawang itu diam menanti langkah Tian selanjutnya. Beberapa bulan sebelumnya, ada Ayah di depan gawang itu. Ayah Tian yang lelah sepulang kerja, namun matanya tetap bersinar dipenuhi semangat. Menantikan tendangan pamungkas dari putra kesayangannya. Tian masih ingat suara tawa Ayah yang membuat hatinya hangat. Berbekal kenangan itu, Tian pun bersiap.

Ayo, Tian!

Suara Ayah bergema dalam kepalanya. Mata anak itu mengincar sudut gawang.

Ayo, Tian!

Lengannya terdorong ke belakang, sementara kakinya kanannya mengayun dengan pasti. Bola bercorak segilima hitam putih yang sudah lusuh itu, kini sedang panas dingin. Tian mengerahkan tenaganya yang tersisa. Dan, gol! Bola melesat tepat ke arah Tian membidik. Tangannya terkepal, lalu terangkat ke udara dengan ribut. Tian bermaksud merayakan kemenanganya dengan berlari keliling lapangan ketika ia sadar, ternyata dirinya tidak sendirian.

***

Dua jam berlalu sejak azan maghrib berkumandang. Mbah Putri sudah ke lapangan bola dan taman bermain. Ia juga sudah mengunjungi beberapa teman Tian. Namun cucunya tidak berada di sana. Kini para tetangga ramai memenuhi lapangan. Kepala desa membagi para warga ke dalam beberapa kelompok. Situasi seperti ini bukan yang pertama kali terjadi. Mereka berharap, belum terlambat untuk menemukan Tian.

Mbah Putri terduduk lemas di balai bambu dekat taman. Beberapa perempuan menemaninya. Raut wajah mereka juga dipenuhi kekhawatiran. Tak lama kemudian, tampak seorang perempuan lain datang menghampiri dengan tergesa-gesa.

“Mbah Tin, Mbah Tin! Anu, Mbah …. Bolanya Tian. Bolanya ketemu.”

Kelompok kecil itu bergegas menuju tempat ditemukannya bola Tian. Sebuah rumah terbengkalai terletak tidak seberapa jauh dari lapangan. Di belakang rumah itu, terdapat sebuah kebun yang tak terawat. Pagar menuju kebun itu terbuka. Di belakang kebun, tampak jalan setapak sempit menuju hutan. Bola Tian ditemukan di sana. Tempat yang sama di mana para warga menemukan boneka kesayangan Laras tahun lalu.

Tangan Mbah Putri bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Ia kemudian jatuh pingsan. Sebagian warga mengantar Mbah Putri kembali ke rumah. Sementara yang lain melanjutkan pencarian. Berbekal senter dan kentongan, mereka masuk ke dalam hutan.

“Ibunya Tian bagaimana, Mbak?”

“Enggak bisa dihubungi ….”

“Menurut Mbak, Tian bakal ketemu?”

“Semoga saja, ya ….”

***

Tian takjub pada apa yang dilihatnya. Anak itu tahu bahwa ia tidak boleh mudah percaya pada orang asing. Namun, perempuan setengah baya ini sangat ramah. Ia juga tidak menawarkan permen atau minuman seperti yang sering diceritakan Ibu Guru. Tian hanya diajak untuk melihat sebuah lapangan sepakbola yang jauh lebih besar dari lapangan milik sekolah.

Tian menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Rasanya segar dan menenangkan. Ia duduk menghadap sebuah lapangan sepakbola sebesar stadion. Menatap hamparan rerumputan hijau membuat hatinya gembira. Tian ingin terus berada di lapangan itu, selamanya.

Selain Tian, ada banyak anak-anak juga di tempat itu. Mereka sibuk bermain—berlarian ke sana kemari. Rasanya begitu bebas dan bahagia.

Dari pemandangan nan megah itu, pandangan Tian beralih ke sisi lapangan. Ada taman bermain yang juga riuh oleh tawa anak-anak. Tian memerhatikan seorang anak perempuan yang tampak tidak asing. Si anak bermuka muram! Kata teman-teman di sekolah, anak itu sering dipukul oleh orang tuanya. Samar-samar Tian ingat pernah berpapasan dengan anak itu di kantin. Ada plester di pipinya, dan beberapa memar yang tercetak jelas di tangannya. Namun, anak itu kelihatan senang sekarang. Pipinya sudah tidak diplester lagi. Ia tertawa riang bersama beberapa anak perempuan yang lain. Tian berusaha mengingat nama anak itu, tapi tidak berhasil.

“Tian suka di sini?”

“Suka sekali, Bude!”

“Kalau begitu bermainlah lagi.”

“Tapi PR matematikanya belum selesai.”

“Kamu bisa mengerjakannya nanti setelah bermain.”

“Kalau Ibu marah?”

“Nanti Bude yang bilang sama Ibu.”

“Makasih, Bude!”

“Sana, pergilah main lagi.”

“Bude?”

“Ya?”

“Mbah Putri benar bilang tidak apa-apa, kan?”

“Tidak apa-apa.”

“Apa Mbah Putri boleh ikut ke sini juga besok?”

“Kenapa begitu?”

“Kasihan Mbah Putri, Bude. Sendirian di rumah. Ibu pulangnya malam, terus sering marah-marah. Mbah Putri sedih lihat Ibu seperti itu .... Makanya, kalau ikut ke sini, pasti Mbah Putri suka, deh.”

"Kenapa Ibu marah-marah?”

“Katanya capek …. Ibu kerjaannya banyak …. Soalnya Ayah sudah enggak ada lagi. Terus ….”

“Terus?”

“Terus nilai matematikaku jelek lagi, Bude. Hehehe .…”

“Mau Bude ajarkan matematika?”

“Mau! Tapi Mbah Putri diajak ke sini, ya, Bude?”

"Boleh saja. Besok Bude jemput Mbah Putri, ya.”

Tian mengangguk dan tersenyum penuh kelegaan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Selepas Petang
Venny P.
Novel
Bronze
LALANG
Nurbaya Pulhehe
Cerpen
Bronze
(Pintu) Surga Ada di Bawah Pohon Bambu
hyu
Novel
Menara Pemakaman
Jie Jian
Novel
Bronze
Sabtu Malam Lisa
Listian Nova
Novel
Kosmis dalam Kelut
adek Dwi oktaviantina
Flash
Coffee
Wuri
Novel
Apavarga
H.N.Minah
Novel
Tamu
Vivianhervian
Novel
Bronze
MISTERI SERUNI
DEEANA DEE
Novel
SANG PELAHAP JIWA
Emma Susanti
Cerpen
Lelaki Bibliokas
Mufida Namsa
Novel
Rodan Rodin
HAA
Cerpen
Bronze
Imajinasi yang Datang Mengetuk Jendela
Lukita Lova
Flash
Sleep Paralysis
Jafri Hidayat
Rekomendasi
Cerpen
Selepas Petang
Venny P.
Cerpen
Organisasi Rahasia
Venny P.
Flash
Bronze
Gerbang Nasib
Venny P.
Flash
Saksi Bisu
Venny P.
Cerpen
Bronze
Dua Perempuan
Venny P.
Cerpen
Pulang
Venny P.