Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Selepas Ayah Berpulang
2
Suka
56
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hari itu adalah hari yang seharusnya menjadi momen paling membahagiakan dalam hidup Bagas yang baru menginjak usia sepuluh tahun. Dalam riuh ribuan pasang mata di balariung UI, baru saja namanya dipanggil sebagai pemenang pertama dalam olimpiade tingkat nasional. Tentu hasil ini menorehkan kenangan membahagiakan di hatinya. Dengan senyum penuh kebanggan yang tak pernah henti terukir di wajah polosnya, dipikirannya hanya ada satu hal: bahwa piala ini akan ia persembahkan untuk kedua orang tuanya.

“Yah, liat yah! Bagas juara. HOREEEE!” katanya dalam hati sambil berlari menuju tribun penonton.

Namun langkahnya terhenti saat melihat kerumunan orang yang tak biasa. Teriakan yang dipenuhi tangisan menggelegarkan auditorium besar ini. Semua sudut pasang mata terpusat pada satu titik keramaian. Beberapa orang terlihat panik, bergegas lari. Beberapa yang lain membuka jalan untuk petugas medis. Bagas dengan piala ditangannya berusaha menerobos kerumunan saat mengetahui bahwa ayahnya tergeletak tak berdaya.

"Yah...?" suaranya tercekat. Tangannya gemetar. Air mata menerabas jatuh, piala yang tadi ia genggam erat pun ikut terjatuh dan pecah.

Dokter bilang, ayahnya terkena serangan jantung. Dalam sekian detik, Bagas dan Ibunya langsung terkulai lemas begitu tau kabar ayahnya telah wafat. Adiknya yang masih bayi pun ikut merengek penuh air mata.

Di saat suasana kebahagiaan menyambut Bagas dan keluarga, kabar kepergian ayahnya lah yang mampu merubah suasana sekejap mata. Bahkan, selepas ayahnya tiada, akan banyak kejutan dan tantangan yang harus ia hadapi.  

***

Hari-hari setelah itu dipenuhi rasa sunyi. Bagas tak lagi semangat untuk bersekolah. Tak semangat untuk belajar. Tak ada gairah lebih untuk melakukan sesuatu. Bahkan, ia sering melamun, termenung di jendela, melihat piala yang penuh tambalan, dan berharap semua yang terjadi hanya mimpi belaka.

Tapi hidup harus terus berjalan. Tak ada waktu untuk menyesali masa lalu. Meski terasa tak adil dan dipenuhi dengan kepedihan. Bagas dan keluarga harus menjalani semua takdir yang telah di tuliskan oleh Tuhan.

Kini ibunya, mulai berjualan nasi kuning di depan rumah. Dengan meja kecil dan wajan warisan nenek, ia menyambung hidup demi kedua anaknya, Bagas dan Fahmi.

"Nak, kita harus kuat ya. Ayahmu pasti ingin kita terus maju," begitu kata ibunya saat menyemangati kami, sambil menahan isak tangis.

Bagas mulai memahami bahwa dunia tidak akan memberi belas kasih kepada siapapun. Maka pilihannya, ia harus belajar menjadi dewasa lebih cepat.

Waktu berlalu. Bagas kini menginjak fase remaja. Di sekolah, ia duduk di bangku SMP. Di usianya yang masih belia, ia sudah tahu rasanya menahan lapar untuk membeli sesuatu yang ia inginkan. Selain itu, ia juga mulai berjualan es teh manis di sore hari, mendorong gerobak kecil, berkeliling kampung dan menawarkan dagangannya.

"Es teh manis... dingin... manis..."

Suara yang awalnya malu-malu itu, kini menjadi lantang. Bahkan seringkali ia harus menghadapi ejekan dari teman-temannya saat di sekolah.

“Eh ada penjual es teh keliling”

“Eh Gas, tadi berangkat pake gerobak?”

“Gerobaknya kok ga dibawa sih”

Ya, Bagas sering sekali mendapat cibiran tersebut dari teman-temannya. Meskipun di awal ia sering kesal dan beberapa kali membalas dengan ejekan. Tapi ibunya selalu mengingatkan untuk tidak membalas perbuatan kekejian dengan hal yang serupa.

“Kalo kamu balas mereka, artinya kamu sama aja kayak mereka” respon ibu saat mendengar keluh kesah Bagas saat dicibir.

Di sela-sela kesibukannya dalam sekolah dan berjualan, setiap malam Bagas tidak langsung tidur. Ia kembali membuka buku dan catatannya. Beberapa buku yang ia pinjam dari perpustakaan ia baca dan pahami, ditemani dengan cahaya lampu kamar yang redup dan meja belajar seadanya.

Meskipun ia tau hari-harinya dijalani dengan sangat berat, akan tetapi ia memiliki  cita-cita yang besar. Ia sangat ingin sekali untuk menjadi dokter. Karena pikirnya, dengan menjadi dokter ia bisa membantu nyawa banyak orang. Selain itu, setiap ia sedang mendorong gerobak es teh nya, seringkali Bagas berhenti tepat di depan restoran cepat saji. Ia hanya memandang orang-orang yang sedang makan didalam dengan penuh tawa.

Dalam hati kecilnya, mengatakan "Kapan ya, aku bisa ajak Ibu dan Fahmi makan di sana?"

Darisanalah kemudian ia mulai membuat daftar impian di bukunya. Ia menyimpan foto-foto restoran, pakaian keren, tempat wisata dari media sosial, dan apapun keinginan serta harapan yang ingin ia wujudkan. Hal itu dilakukan bukan untuk memenuhi gaya hidupnya, melainkan agar ia lebih semangat dan tak pernah berhenti untuk berusaha.

"Aku harus bisa. Harus."

***

Memasuki SMA, Bagas makin serius mengejar impiannya. Ia mulai belajar dengan lebih giat lagi. Bahkan, guru-gurunya mengakui kejeniusan, ketekunan dan kedisiplinannya. Di kelas, ia selalu duduk di depan, mencatat semua pelajaran dan bertanya banyak hal.

Suatu hari, disaat ia sudah lulus dari bangku sekolah. Ada pengumuman datang. Dalam beberapa hari kedepan, sebuah lembaga sedang membuka beasiswa penuh ke Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran. Meskipun ia sudah membaca persyaratannya, tak ada sedikit pun perasaan gentar di hatinya. Dengan bantuan guru dan kepala sekolah, ia pun akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar.

"Kalau kamu yakin, Ibu dukung. Tapi jangan lupakan kesehatan, Nak." Celoteh ibunya saat Bagas jatuh sakit akibat kelelahan dalam belajar.

Sampai akhirnya, hari pengumuman tiba. Dengan perasaan cemas, Bagas pun membuka gmail dengan tangan yang gemetar. Lalu ia membaca:

"Selamat! Anda diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melalui jalur beasiswa penuh."

Ia terdiam. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia berlari memeluk ibunya.

"Bu... Bagas keterima, Bu. Bagas jadi mahasiswa UI, Bu..."

Mereka menangis dalam pelukan panjang. Tapi kebahagiaan itu bercampur dilema. Disatu sisi, mimpinya berhasil terwujud. Di sisi lain, berarti Ia harus meninggalkan ibunya dan Fahmi. Padahal warung nasi kuning mereka sedang ramai-ramainya.

Namun ibunya berkata, "Kejar cita-citamu, Nak. Ibu dan Fahmi akan baik-baik saja."

Fahmi, meski masih SMA sudah mulai mengerti dengan keadaan keluarganya. Ia pun sering membantu Ibu dan kakaknya dalam soal usaha keluarga. Disaat keputusan diambil, langkah yang tepat adalah merekrut dua tetangga mereka untuk membantu mengurusi warung.

***

Selama hidup di Depok, Bagas hidup dengan sederhana. Ia tinggal di kos berukuran sepetak. Ia tidak lagi berjualan es teh. Melainkan dengan menjadi asisten dosen serta mengajar private bagi anak sekolah. Sehingga, ia pun memiliki sedikit uang tambahan yang di tabung untuk masa depannya. Bahkan saking hematnya, ia jarang sekali ikut nongkrong bersama teman-temannya. Waktunya banyak dihabiskan untuk kembali belajar, belajar dan belajar. Selain itu, ia bersama ketiga temannya membuat sebuah platform edukasi. Sebagai CEO, hal tersebut membantunya untuk mengasah skill leadership, komunikasi, dan problem solving. Bahkan dalam beberapa waktu tertentu, di usia nya yang masih muda, ia suka berkoneksi dengan pebisnis dan pejabat publik.

Atas kepintaran, kecerdasan dan ketekunannya membuahkan banyak hasil. Platform “BELAJAR BERSAMA” kini sudah banyak digunakan oleh user se-Indonesia. Selain itu, ia juga dikenal sebagai mahasiswa berprestasi karena sering menjuarai beberapa perlombaan baik tingkat nasional maupun internasional.

Akan tetapi, bukan hidup namanya jika tidak ada ujian. Memasuki semester lima, Bagas mengalami kelelahan akut. Ia jatuh pingsan saat praktikum. Kepalanya terbentur lantai dan harus dijahit karena mengalami pendarahan. Beruntung, setelah melakukan perawatan, dokter bilang tidak ada cidera yang serius, ia menyarankan agar Bagas banyak istirahat.

"Sekarang kamu istirahat dulu. Kalau kamu terus-terusan memaksa diri, nantinya bisa fatal," kata dokter.

Satu bulan dirawat. Beruntung, tak lama setelahnya, ia kembali menjalani hari dengan normal. Akan tetapi, ujian kembali datang. Kini, rekan bisnisnya malah melakukan korupsi. Platformnya yang sudah besar kemudian menjadi sorotan media. Beberapa mencibir, banyak yang mengumpat kekesalannya, bahkan membuat reputasi bisnisnya buruk. Beruntung, setelah di audit, tak ada aliran dana yang masuk ke pencatatan keuangan bisnisnya.

Meskipun demikian, ia tetap membuat klarifikasi supaya reputasi bisnis nya kembali normal. Satu cara dilakukan, gagal. Dua, tiga, empat cara masih gagal. Hingga akhirnya ia berpikir bahwa integritas dan kapabilitas dirinya dan rekan timnya lah yang nanti akan menjawab semua omongan buruk yang dilontarkan kepada dirinya.

Akhirnya, Bagas lulus sebagai dokter muda dengan predikat cumlaude. Ia langsung mendapatkan tawaran kerja di rumah sakit ternama. Tapi hatinya masih dilema atas pilihan antara mengejar mimpinya atau pulang ke kampung halaman.

Sebab, beberapa waktu sebelum ia lulus. Adiknya mengabarkan bahwa ibunya sering bolak balik ke rumah sakit. Akan tetapi ketika ditanya, ibunya selalu menjawab,”Ibu cuma kecapean aja kok, Nak. Paling butuh istirahat satu dua hari aja.”

Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, karena sudah sangat rindu dan mencemaskan keluarganya. Ia akhirnya pulang ke Makassar. Bersama adiknya yang kini sedang berkuliah di kampus dekat rumahnya, mereka membuka klinik kesehatan kecil dan membesarkan usaha rumah makan ibunya yang kini bernama "Dapur Masakan Ibu".

Rumah makan itu tak lagi kecil. Mereka punya cabang di tiga kota, dan ratusan pegawai. Mereka memberdayakan warga sekitar untuk menjadi pegawai tetap di rumah makan tersebut. Selain itu, beberapa anak muda yang putus sekolah dibantu untuk bisa bekerja dan melanjutkan pendidikan.

Kini, Bagas bukan hanya seorang dokter saja. Ia menjadi sosok inspiratif bagi masyarakat di kampungnya. Namanya sering diundang ke seminar, bahkan ke acara TV. Meskipun demikian, ia tetap menaruh sifat rendah hati kepada siapapun. Bahkan saat di rumah, ia juga masih turun untuk membantu melayani pelanggan di rumah makan miliknya.

***

Suatu malam, saat makan bersama ibunya di restoran mewah yang dulu hanya bisa ia pandangi dari luar, ibunya berkata:

"Dulu, Ibu tak berani mimpi sebesar ini. Tapi kamu membuat semuanya mungkin."

Bagas menggenggam tangan ibunya. "Ini semua karena Ibu. Karena doa Ibu. Aku cuma melanjutkan perjuangan Ayah dan Ibu."

Namun tak lama kemudian, cobaan datang lagi. Rasa sakit yang dialami oleh Ibu semakin menjadi. Dokter bilang, ibunya mengalami penyakit kista. Kondisi tersebut membuat Bagas terpukul. Kini pilihannya hanya satu, yaitu untuk menjaga ibunya. Terlebih karena ia seorang dokter, ia mengerahkan semua kemampuannya untuk merawat sang ibu.

Hari-hari ia habiskan di sisi ibunya. Kadang, ia bergantian bersama dengan adiknya untuk menjaga sang ibu. Meskipun ibunya tidak mau di repotkan terus, akan tetapi sebagai anak yang berbakti, Bagas dan Fahmi tetap merawat sang Ibu dengan baik.

"Nak... Ayahmu pasti bangga," kata ibunya suatu malam.

"Ibu juga harus bangga. Karena aku bisa sampai di titik ini karena kasih sayang dan perjuangan ibu."

Setelah perjuangan panjang, ibunya dinyatakan sembuh. Kini, hidup mereka kembali tenang. Fahmi juga sudah lulus dan melanjutkan gelar master di bidang manajemen bisnis di kampus luar negeri, sambil ia membuka cabang baru di luar negeri juga.

Bagas pun demikian, setelah melewati berbagai proses, Bagas pun dinyatakan resmi sebagai dokter. Di usianya yang sedang matang, ia menulis buku tentang perjuangan hidupnya dari awal. Hasil dari buku tersebut, sebagian ia sisihkan untuk lembaga kemanusiaan yang ia dirikan bersama teman-temannya.

20 tahun selepas ayahnya tiada, Bagas kembali berdiri di panggung balariung UI. Kali ini bukan sebagai peserta lomba, melainkan sebagai tokoh publik yang sedang memberikan motivasi kepada ribuan mahasiswa baru dikampusnya dulu.

"Hari ini, aku kembali ke tempat semuanya dimulai. Tempat dimana Ayahku berpulang. Dari sinilah aku mengalami kedukaan dan sempat putus harapan. Tapi berkat kerja keras dan doa seorang Ibu. Tempat inilah yang menjadi saksi, bahwa anak itu harus menembus batas dan menerjang semua rintangan demi bertahan hidup dan mencapai semua impiannya. Ya, anak yang dulu hanya bisa gemetar dipanggung ini. Kini telah berubah menjadi anak yang membanggakan bagi keluarga, teman dan hidupnya”

Dalam sepersekian detik setelah omongan itu di lontarkan. Gemuruh tepuk tangan menggema diikuti dengan sorakan kebahagiaan. Di barisan terdepan, senyuman dan rasa haru penuh bangga menyelimuti perasaan seorang Ibu di hadapannya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Selepas Ayah Berpulang
Rizki Mubarok
Novel
Lakon
Putriyani Hamballah
Flash
Bronze
PULANG
Onet Adithia Rizlan
Flash
Pangestri, Sebuah Anak Panah Dari Raga Yang Menari
Foggy FF
Novel
Bronze
Anak kolong
Eko Hartono
Novel
Bronze
Tuah Kasih
Mfathiar
Novel
Bronze
Sejarah Jatuhnya Dua Hati
Awwall Elsyahidand
Novel
Kara Angka & Albert Einstein
ursausang
Komik
Arigatao
Desta Arsheila Trieviana
Skrip Film
Sayap-Sayap Surga
Its J
Cerpen
Kulukis Sayap Patahku
Faiqul Minan
Komik
ChocoBerry
Alice
Skrip Film
A Love Story
Nellamuni
Flash
Cat Madness
Siddfen
Cerpen
Bronze
Makan Malam Bersama Bapak
junian rafiandi
Rekomendasi
Cerpen
Selepas Ayah Berpulang
Rizki Mubarok
Cerpen
Jatuh dalam Pelukan
Rizki Mubarok
Cerpen
When Nation Falls
Rizki Mubarok
Cerpen
Katanya sih Cinta
Rizki Mubarok
Cerpen
Biru Akan Selamanya Tetap Biru
Rizki Mubarok
Cerpen
Surga Para Raja
Rizki Mubarok
Cerpen
Catatan si Anak Emas
Rizki Mubarok
Cerpen
Sketsa Mulia Di Langit Jakarta
Rizki Mubarok
Cerpen
Tak Ada Lampu Merah di Bandung
Rizki Mubarok
Cerpen
CIBIRU
Rizki Mubarok
Cerpen
Get Rich Overnight
Rizki Mubarok
Novel
TINTA HITAM
Rizki Mubarok
Cerpen
Segelas Matcha di Siang Hari
Rizki Mubarok