Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namanya Samudera. Aku bertemu dengannya di Pulau Weh.
Dua kalimat awal di halaman buku itu membuat ulu hatiku teremas. Niat iseng membuka catatan perjalanan sukses membuat dadaku tak karuan. Membunuh waktu dengan membuka kenangan memang bukan ide bagus. Padahal beberapa menit lagi kereta akan datang. Dari Pariaman aku akan bertolak ke Padang. Sikap bodoh itu sukses membuatku melamunkan sosok Samudera yang entah sekarang berada di mana. Selama satu setengah jam di kereta aku tak mampu melupakan perjalanan ke pulau eksentrik itu. Tempat aku bertemu dengannya.
***
Hanya dengan dua puluh lima ribu rupiah aku bisa menyeberang. Tepat saat jamku menunjukkan pukul 08.00. Cepat-cepat kujangkau kursi terdekat yang tengah kosong, takut terserobot orang lain. Dari Pelabuhan Ulee–Lheue selama dua jam ke depan aku akan menuju Pulau Weh. Kunyamankan diri dalam mengambangnya kapal feri di atas perairan biru.
Ketika para kawan berlibur bersama keluarga kecil masing-masing, aku menyendiri. Aku ada di sudut Nusantara yang tak pernah mereka duga. Aku tak ambil pusing dengan mulut jahil mereka di pulau Jawa sana. Sebentar lagi. Aku mau bebas sebentar lagi. Menjelajah di beberapa titik fantastis yang ada di negeri ini. Setelahnya, terserah perjalanan apa lagi yang akan membawaku melalui liku laku hidup, termasuk ketika sudah tiba masanya berkeluarga sama seperti mereka.
Mau sampai kapan kamu sendirian?
Terngiang pertanyaan para kawan, bibi, sampai nenekku itu saat retinaku terhisap dalam lamunan pada kaki langit cerah. Kalau saja cerahnya itu mirip babak hidupku sekarang. Sebetulnya bukan masalah mau sampai kapan. Aku tak perlu siapapun untuk berkelana. Aku percaya lelaki baik suatu saat pasti akan dikirim Tuhan padaku. Aku punya Tuhan, aku yakin Ia akan datangkan seseorang yang kubutuhkan di waktu yang tepat. Mungkin saja lelaki itu adalah satu sosok yang kukenal selama ini, atau bahkan sama sekali tak pernah kutemui.
Siapa yang tahu? Benakku ketika gumpalan awan putih di cakrawala menyuguhkan bentuk kepala singa. Aku ingat ayah. Lalu tersenyum getir. Aku hampir lupa, ada rencana lain yang harus kutepati setelah ini.
Semoga yang datang padaku tidak segalak auman singa.
Aku pun teringat ketika ayahku dilanda amarah. Hardaiknya sudah setara auman singa. Setiap kali sisi galaknya mencuat, tak ada satu pun yang berani membantah. Meski begitu, aku ingin lelaki yang hadir untuk hidupku tak jauh berbeda dari sosok ayah. Sosok lelaki tangkas, ahli otak-atik dalam banyak hal. Kukirim pesan padanya.
Aku mau sampai di Pelabuhan Balohan.
Tak lama kemudian bayangan hitam pulau itu nampak di pelupuk mataku. Pulau Weh. Baterai ponselku habis, kuyakin jika masih tersisa pun sinyal jaringan juga akan hilang timbul. Aku tidak begitu terpaku lagi menunggu respon ayah. Aku pun lupa rumah. Lupa para mulut jahil. Urung terpusat pada sebuah janji.
***
Satu penyangga terakhir. Lalu selesai. Tenda merah marun berdiri sempurna bersamaan dengan nafas terengahku yang paling keras. Lega. Aku pun menjatuhkan diri di atas rerumputan acak di hadapan tenda itu.
Selepas menyiapkan tempat istirahat di atas bukit, kuedarkan kembali pandangan ke sekeliling. Sepanjang menjelajah, semua adalah kombinasi lanskap perbukitan, hamparan laut lepas, dan awan random ringan terbawa angin. Awan-awan bergeser sedikit demi sedikit lalu membentuk pola-pola abstrak yang selalu kusuka. Kutengok horison dan lautan. Sudut-sudut bibirku terangkat ke atas sejalan udara segar yang kuhirup dalam-dalam. Aku masih saja sendiri, menikmati, tapi bahagia lebih dari pada biasanya.
Nyatanya, aku tak benar-benar sendirian berkemah di sini. Ada beberapa tenda berdiri di sekitarku, meskipun jaraknya cukup membuatku merasa terisolir. Mataku terhenti pada sebuah tenda kuning cerah, tepat ketika seseorang juga tengah mengedarkan pandangannya. Lalu mataku dan matanya terhenti di sana. Di titik pertemuan yang tak pernah terpikirkan. Ia menjadi satu-satunya orang asing yang kini menyunggingkan senyum samarnya padaku. Aku membalasnya sekilas, lalu bangkit mulai membuat api.
Beberapa tumpuk kayu kususun. Ada sedikit kesulitan ketika percikan api padam kembali. Angin berhembus semakin kencang. Mencoba menggodaku. Sangat menyebalkan.
“Halo!”
Suara itu membuatku terkejut. Datang dari belakang tanpa aba-aba terlebih dahulu. Kutengok ke arahnya. Nafasku terhenti. Tak kuhitung berapa detik.
“Hai!” Ia melambaikan tangan.
Kalau tidak karena gerakan itu, aku sudah lupa kalau aku harus mengambil nafas. Maka, kuhirup udara cepat-cepat lalu mencoba ramah, siapa tahu dapat bantuan.
“Hai! Boleh minta tolong…” kataku tanpa tedeng aling-aling. Tak tahu kenapa kelancangan spontan ini bisa menguar begitu saja dari mulutku.
Tapi, ia mengangguk kilat. Menjadi orang paling paham sedunia tentang apa kesulitan terbesarku saat ini.
“Tenang saja!” katanya singkat.
Tak berselang lama, api mulai menyala. Senja pun berakhir dengan dua gelas kopi untuk kami sembari menyaksikan pertunjukan cakrawala yang bergulir.
***
Lelaki itu masih di sisiku. Pembawaannya menyenangkan dan menenangkan. Rambut gondrong setengkuknya tengah dikuncir rapi. Setelan celana hitam dan kaus biru pada tubuhnya melekat sempurna. Pas. Dikenakannya topi hitam, lalu bersiap memakai carrier berwarna senada dengan kaus oblongnya. Ia melangkah padaku yang tengah menggulung matras. “Belum selesai?” tanyanya.
“Sebentar lagi,” kataku singkat sembari mengaitkan gulungan matras di bagian atas carrier-ku yang senada dengan warna tendaku yang terkemas.
“Kamu suka sekali ya dengan merah marun?”
Aku sadari ia menyimpulkan dari mana. Aku mengangguk.
Samudera namanya. Ia tinggal di dekat kawasan Gambir, Jakarta. Ia juga sedang berkelana. Tidak sendirian. Bersama tiga kawan lainnya. Tapi, ia memilih menemaniku setelah ini. Bukan tanpa alasan. Ini ketiga kalinya ia berkunjung ke Pulau Weh. Sudah ada beberapa titik Sabang yang ia hafal. Ia tahu rute di luar kepala. Dan ia mau menemaniku berkeliling setelah turun bukit. Jadi, aku tak butuh menyewa pemandu atau memantau maps sering-sering lagi. Aku pun kembali ke pemukiman penduduk bersama rombongan Samudera.
“Besok kamu mau kemana?” tanyanya sembari berjalan menjagaku di belakang. Sesekali ia sampirkan dahan-dahan rumit yang menghalangi jalanku.
“Pantai?”
Ia tersenyum saat aku menengadah pada wajahnya. “Kita makan siang bersama, setelah itu kuantar kamu ke pantai.”
Aku girang bukan kepalang.
***
Pukul 12.00 Jalan Perdagangan. Kedai Kopi Pulau Baru. Kutunggu.
Pesan singkat itu mampir ke ponselku pagi hari. Sudah lama sekali, tak ada seorang lelaki yang melayangkan pesan berupa janji bertemu. Debaran di dadaku pun kembali menyeruak. Tak tahu harus bagaimana untuk meredamnya. Semenjak tatapan hangat pertama, saat kutemukan tenda kuning cerah itu, kupu-kupu berterbangan menggelitik. Meskipun aku selalu mencoba bersikap tenang, tetap saja senyum menawannya buat lubukku bergejolak. Anganku sekejap terlena ke sebuah ruang lain.
Aku mengira-ngira, apakah mungkin getaran rasa bisa hadir secepat itu meskipun pada sosok yang baru beberapa jam kukenal. Samudera bukanlah sosok kabur. Ia begitu jelas. Seluruh kawannya berkisah tentang ketulusannya saat kami berkumpul di sekitar api unggun sembari memandangi langit berhias kabut bima sakti. Aku mengenalnya dalam semalam. Dimana ia tinggal, bekerja, dan bagaimana sosoknya di mata para sahabatnya. Bercengkerama bersama dengan alam, bahkan dalam satu malam, mampu membangkitkan kejujuran dan menguak kisah lama.
Mengingat malam penyatuan itu pun juga tak terlepas pada satu hal yang membuat ngilu di dadaku. Tentang satu perempuan. Perempuan yang begitu memesona setiap laki-laki yang kala itu duduk satu peraduan denganku di bawah langit petang Pulau Weh. Kisah tentang sesosok perempuan yang pesonanya mampu menaklukkan empat sahabat. Hanya pada satu oranglah perempuan itu menjatuhkan pilihan. Samudera. Dan pada perempuan itu hati Samudera telah memilih. Namun ketika pilihan telah jatuh, sang penjarah hati memilih meninggalkan Samudera ke belahan dunia lain demi ambisinya.
Pepatah itu ada benarnya, kalau cinta juga tidak harus memiliki.
Pernyataan itu menamparku. Pernyataan yang menguar begitu saja setelah diam yang cukup lama dari mulut Samudera. Hal tersirat tentang cinta lama yang masih dipendamnya. Membuat malam akrab yang terbentuk di antara keempat sahabat karib dan diriku itu menguap seketika. Tergantikan kecanggungan yang benar-benar mengalirkan ketidaknyamanan. Sinyal ketegangan dan kesunyian mendadak merambati kami. Samudera bangkit dan undur diri sejenak untuk berjalan ke tepian. Ia memandang hamparan pekat Laut Andalas. Aku hanya menatap punggung tegapnya, mengira-ngira, mungkin ia sedang mengenang, atau mencoba melepaskan luka dan rindu ke gulungan ombak.
Selepas kecanggungan itu, roda kembali berputar. Aku giliran menjadi sasaran empuk. Kuhela nafas dalam, lalu menghembuskannya keras. Berharap mimpi yang tak kuinginkan ikut terbuang. Melayang ke atmosfer. Namun, semua mata masih memandangku, tak terkecuali Samudera. Menungguku berucap.
Selepas kupijakkan kaki di tanah Weh… kemungkinan besar aku tak akan merasakan kebebasan ini lagi.
Samudera, Banyu, Gio, dan Miko menungguku malam itu. Memandangku dengan sorot tanya dan begitu penasaran. Ingin tahu kelanjutan kisahku.
Aku punya perjanjian. Selepas agenda backpacker terakhir dari sini, aku harus pulang. Ayahku berniat menjodohkanku dengan anak kawannya. Mungkin, aku bisa saja menolak jika aku punya seseorang yang pantas untuk datang menemuinya, tapi nyatanya… tak ada. Selama ini, sangat sukar buatku menentukan pilihan yang tepat. Hatiku tidak mau berbohong kalau selama ini aku terlalu menikmati perjalanan sendiri.
Setelah itu semua menambah lagi isi gelas masing-masing. Menambah kopi hitam Aceh dari teko yang dipanaskan oleh Miko. Kisah-kisah beraroma apek itu tertinggal dan kembali tertutup canda-canda yang bergulir.
***
Berjalan kaki beberapa menit dengan berbekal maps mengantarku sampai di Jalan Perdagangan, di tengah Kota Sabang. Seandainya Samudera tak menentukan tempat, sudah dipastikan aku akan menghabiskan banyak menit menentukan tujuan. Banyak pilihan malah bisa membingungkan mau menyumpal perut berdendang dimana. Tak lain karna di sepanjang jalan tersedia berbagai tempat makan mulai dari khas Minang sampai chinessfood.
Kutengok kanan kiri sampai menemukan satu tempat yang bernama Kedai Kopi Pulau Baru. Kupikir murni kedai kopi, nyatanya tempat tersebut menyediakan mie jalak di sisi kirinya. Samudera terduduk di bangku pelanggan. Ia segera melambaikan tangan ringan dengan raut ramah kepadaku. Ia nampak sudah familiar makan di sini. Tak kuindahkan lagi aroma menggiurkan dari kepulan asap mie rebus itu. Selera makanku yang sedari tadi menggebu menjadi berkurang setengah dengan adannya sambutan hangat dari Samudera.
“Ini ketiga kalinya aku datang kemari. Selalu sendirian. Dan ini pertama kalinya aku mengajak seseorang makan di sini,” katanya di sela-sela ia meminum es teh.
“Kenapa sendirian? Dimana Banyu, Miko, Gio?” tanyaku heran.
“Aku memang senang menjelajah tempat baru sendirian. Aku menikmatinya. Kami biasa berpencar kalau masalah perut. Dan ternyata, makan mie jalak hangat seperti ini terasa sangat menyenangkan jika dinikmati dengan seseorang,” ia tersenyum padaku.
Apa ini rayuan? Atau sebuah ketulusan? Pikirku mencoba menerka-nerka. Aku tak sanggup mengelak dari rasa melambung berlebihan yang melandaku tetiba. Kulanjutkan lagi fokusku pada mangkuk mie nikmat itu. Mencoba menyembunyikan muka tomatku. Dalam hati aku pun memohon, Tuhan jangan buat aku terperdaya. Jagalah hatiku. Namun, hatiku semakin berdesir saat ia mengajakku segera menuju tempat yang paling ingin kukunjungi. Pantai.
***
Sekitar dua puluh menit berlalu dari Subang, Samudera pun memperkenalkanku pada Pantai Sumur Tiga. Wajahnya penuh binar, aku turut berseri-seri. Tidak pernah sebesar ini aku teraliri energi elektrik meletup-letup. Beratus langkah dengannya adalah percikan-percikan kembang api tiap awal pergantian tahun. Meski hanya berdua, tetap meriah, terlebih lagi membuatku lepas.
“Rin, mendekatlah, kita ambil foto untuk kenang-kenangan!” pekiknya.
Latar belakang laut lepas aduhai itu menambah selubung roman di antara kami. Aku dan Samudera berlarian menerabas riak-riak di bibir pantai. Ia menggenggamku. Tawa kami lepas. Sesekali berjalan di atas pantai berpasir putih yang bersih sembari membicarakan hal-hal acak. Sungguh, canda-canda yang meletup terlalu berharga untuk dilewatkan. Lelah dengan keriuhan yang terciptakan, kami pun menghempaskan diri di atas pasir putih. Menutup bayangan dedauanan pohon kelapa yang sibuk melambai-lambai tertiup syahdu angin. Kami menikmati teatrikal gulungan ombak dan hamparan air jernih biru kehijauan.
“Aku ingin selalu bisa seperti ini... Lepas...” Kupandangi langit biru cerah berbaur dengan sekat tipis garis laut yang berwarna hampir serupa. Senyumku mengembang.
“Aku selalu rindu kembali ke sini,” katanya. “Ini pulau ujung terindah dan terasyik yang pernah kukunjungi selama hidupku.”
Ia menatapku. Mengunciku sesaat. Kubiarkan aku terperangkap sejenak. Sebentar saja, sampai waktu akan tamat dan aku tak kan lagi bertemu dengannya. Kembali ke dalam realita yang menyesakkan. Ia tersenyum. Bola matanya menarikku ke dalam. Ingin kusibak apa yang ada dalam pikirannya melalui sepasang mata itu. Ingin kuraih celah dan mengisinya, meski untuk sekejap. Ia tersenyum. Kehangatan pancarannya membuatku nyaman. “Dan sekarang sangat-sangat bertambah indah.” Ia tersenyum lagi penuh arti.
Aku tahu. Ia tahu. Kami tahu maksud semua itu. Tapi, pemahaman yang kami miliki terasa sangat khayal. Tak dapat mengubah apa yang akan terencana, sebab setelah ini semua akan kembali seperti semula, ke titik semula dan mungkin tak lagi saling mengenal. Ada luka yang harus disembuhkan, dan ada perjanjian yang harus ditepati. Kubuka buku catatanku. Menuliskan sesuatu di sana. Kenangan penting di tempat menakjubkan ini.
Namanya Samudera. Aku bertemu dengannya di Pulau Weh. Sama-sama sedang backpacker. Ia menemaniku selama di sini. Kami dekat. Tapi, tak mampu untuk saling melangkah lebih. Kurasa aku akan terus merindukannya selepas ini. Samudera laki-laki baik dan tulus. Namun ia pernah mengatakan sesuatu saat di atas bukit di bawah langit malam itu, kalau cinta juga tak harus memiliki. Maka, kusimpan tentangnya sampai sini.
***
Transit terakhirku di Jakarta. Mengunjungi seorang sahabat kemudian kembali pulang ke kampung halaman. Aku tengah menunggunya di pelataran tempat kursi tunggu bandara. Belum tengah hari, tapi suasana sudah terik, lembab, dan membuatku ingin menggelontor keringnya tenggorokan dengan segelas es teh. Minuman kesukaan banyak orang, tidak terkecuali seseorang yang mungkin masih ada di tanah Sumatera. Yang hingga seminggu berlalu masih terbayang-bayang dalam kepalaku. Aku hanya bisa mendesah.
Sudah berakhir. Samudera sudah mengalir. Jauh ke lautan lepas, atau mungkin singgah di sebuah daratan. Tidak lagi ada masa untukku bersamanya.
Kubuka buku catatan kecil merah marun itu dari saku jaket. Benda yang setiap minggu kuisi tentang kisah perjalananku di musim liburan. Lagi-lagi kusibak halaman terakhir yang kutulis. Membaca ulang tentang Samudera. Aku teringat sebuah foto yang dua hari lalu kucetak di Padang. Kuambil foto itu di saku depan tas. Kupandangi sebentar. Rinduku semakin tercetak jelas. Aku rindu ketulusannya. Rindu sosoknya. Dan sebelum aku terlena oleh gundah, kuputuskan menyisipkan foto itu di sana. Menutupnya. Dan kembali menyurukkan benda itu di saku depanku.
Sahabatku, Sheila, menjemputku. Ia menuruti kemauanku berhenti sejenak untuk membeli es teh di kedai pinggir jalan. Ditemani sang sopir ia keliling Jakarta bersamaku. Ia meriah dan cerewet. Tak jera ia melontarkan kritik pedas pada kulitku yang semakin menghitam dan kering, atau helai-helai rambutku yang mulai kusam, sampai masalah yang paling kuhindari, masalah laki-laki. Maka, kuceritakan padanya perihal rencana ayahku, tak lupa pertemuan magis dengan Samudera. Mendadak ia sangat meluap-luap, memborbardirku tanpa jeda. Aku pun hampir lupa pada tiket kereta api yang terlanjut kupesan sehari yang lalu. Sebelum aku berpamitan, ia memberi pesan padaku.
“Rin, jangan menyerah. Aku tahu, tidak mudah bagimu untuk bisa nyaman dan mencintai seorang laki-laki,” ia menggenggam tanganku erat. Sorot matanya meyakinkanku.
Aku memaksa senyumanku. Getir. Tahu bahwa semua terasa percuma. Hidup harus terus bergulir, menghadapi realita, semenyakitkan apapun itu. Toh, Samudera terlalu sukar untuk digenggam, apalagi dengan pertemuan singkat.
Jakarta macet seperti biasanya kala menghantarkan kepulanganku. Kondisi lebih buruk datang. Di tengah jalan hujan angin yang deras menyerbu tanpa ampun. Apa alam sedang ikut-ikutan dongkol sepertiku?
Aku turun dari ojek. Lalu bergegas melarikan diri dari kepadatan kota besar itu. Melewati etalase tempat banyak orang berteduh. Aku tak butuh berteduh. Jaket parasutku sudah basah. Aku tak peduli. Yang kupikirkan hanya masuk ke gerbong kereta tepat pukul 16.54. Sampai-sampai aku tak sadar kehilangan sesuatu. Satu-satunya kenanganku yang paling berharga di Pulau Weh. Buku merah marun yang menyimpan sisa-sisa Samudera. Aku pun menghela nafas ketika kereta sudah melaju. Sudahlah... mungkin memang ini pertanda aku harus melupakannya. Secepat itu aku bertemu, secepat itu pula aku harus melupakannya.
***
Hari ini adalah hari penting. Penting untuk orang tuaku, namun terasa tak penting untukku. Seorang yang ingin dikenalkan ayah padaku akan tiba. Selepas surup kiranya ia akan datang. Seharian aku memasang raut masam. Hatiku memang teremas-remas. Tapi, janji tetaplah janji. Perkataan ayah selalu menjadi hal nomor satu yang tak pernah mampu kubantah. Aku hanya bisa mendengus kesal di kamarku. Lamunan senduku terhenti sejenak ketika ibu menyebut namaku di depan pintu kamar. Aku menahan tangis. Pasti ini waktunya.
Tapi, kudapati ibu tersenyum sangat manis padaku. “Ada yang cari kamu. Cah bagus itu sangat sopan, nduk! Siapa itu? Apa kamu sengaja suruh dia kemari hari ini supaya bisa membuat ayah berpikir ulang?”
Aku hanya melongo. Bertanya-tanya siapa yang datang mencariku. Dahiku berkerut. Kulangkahkan kaki ke arah ruang tamu. Aku terkesiap. Kulihat ia di sana. Laki-laki itu bangkit dari duduknya Ia tersenyum lebar. Rautnya sangat berbinar. Ia menyodorkan buku merah marunku dan membukanya pada halaman terakhir yang terdapat sebuah tulisan identitas.
Rinjani. Jalan Wetan no. 12, Semarang.
Aku tercekat. Jadi, lelaki inilah yang memungut bukuku. Sungguh tak bisa dipercaya. Betapa Tuhan mengaduk-aduk jalan hidupku. Sungguh kejutan dari Tuhan sangat luar biasa.
“Terima kasih banyak!”
Ia tersenyum lebar lagi.
“Rinjani… boleh aku bertemu ayahmu?” Ia tersenyum penuh arti.
Aku pun mengangguk. Hatiku membuncah.
Tuhan telah mengirimkan lelaki tepat untukku. Di waktu yang tepat. Namanya Samudera.