Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Selayaknya Ampas Kopi
2
Suka
33
Dibaca

Warung kopi di pojokan jalan itu gak pernah berubah. Meja kayunya udah lecet, gelasnya retak di pinggir, tapi rasanya tetap sama pahit, tapi jujur. Aku duduk di situ hampir tiap sore, menatap ampas yang berputar di dasar gelas kayak nasib yang gak mau tenggelam-tenggelam.

Lucu ya, manusia itu mirip kopi. Dihaluskan, diseduh, dinikmati, lalu dibuang. Katanya, yang tersisa di bawah cuma ampas padahal tanpa ampas, kopi gak bakal punya cerita. Tapi siapa peduli? Dunia cuma suka yang bening, yang manis, yang bisa dipajang di Instagram. Sisanya? Disapu pelayan pakai serbet basah.

Aku sering mikir, mungkin hidup itu semacam lelucon Tuhan yang agak kelewatan. Kita semua sibuk nyari arti, padahal yang dibutuhin cuma keberanian buat diterima sebagai “ampas yang berguna.” Gak semua harus bersinar, kadang cukup bisa ninggalin aroma buat yang lewat.

Setiap orang di warung itu punya kisahnya sendiri. Ada Pak Darto, pensiunan yang tiap pagi nongkrong sambil ngerokok, ngomel tentang harga sembako yang naik tapi nasibnya turun. Ada Joko, anak muda yang kerja serabutan tapi bangga bilang “freelancer.” Katanya biar keren, padahal yang dia free cuma waktu buat nganggur. Dan ada aku orang biasa yang kerja dari jam tujuh pagi sampai sore, buat gaji yang lebih cepet hilang dari uang parkir.

Kadang aku mikir, hidup ini kayak mesin kopi rusak. Air panasnya ngalir terus, tapi bubuknya udah abis. Kita disuruh produktif, tapi lupa diisi ulang. Dunia nyuruh kita jadi biji terbaik, padahal gak semua orang bisa tumbuh di ladang yang subur.

“Bang, kopinya tambah satu lagi,” kataku ke pelayan.

“Masih yang pahit, ya?”

“Iya, yang tanpa gula. Udah manis hidup ini mah, biar seimbang.”

Pelayan ketawa kecil, mungkin antara ngerti atau males nanggepin. Aku gak nyalahin. Zaman sekarang, humor udah kayak kearifan lokal yang hampir punah. Semua orang gampang tersinggung, padahal hidup ini emang bahan tertawaan paling besar.

Aku minum seteguk. Pahitnya nyelekit, tapi jujur. Gak kayak kata-kata motivasi yang dijual di toko buku. Katanya, “percaya diri, kerja keras, pasti sukses.” Nyatanya, yang sukses justru yang punya koneksi, bukan yang punya niat.

Kita disuruh bersyukur, disuruh positif thinking, tapi gak pernah diajarin gimana caranya tetap waras waktu semua rencana gagal. Gak semua orang punya kemewahan buat istirahat. Ada yang cuma bisa tidur karena lelah, bukan karena damai.

Ampas di gelas mulai mengendap, kayak ingatan yang pelan-pelan turun ke dasar kepala. Aku inget masa sekolah, waktu guru bilang, “Belajarlah rajin, biar jadi orang berhasil.” Lucunya, setelah puluhan tahun, aku baru sadar: gak ada kurikulum buat jadi bahagia. Kita cuma diajarin cara ngitung uang, bukan cara nerima kehilangan.

Dunia ini aneh, bro. Orang yang kerja diam-diam disebut pemalas, yang pamer dikira sukses, yang jujur malah disingkirin karena “kurang fleksibel.”

Kadang aku iri sama ampas kopi. Dia gak pura-pura. Pahit ya pahit. Gak sok manis demi diterima lidah orang.

Kalau manusia bisa belajar satu hal dari ampas kopi, mungkin itu: tahu kapan harus berhenti berguna, dan ikhlas waktu dibuang.

Karena pada akhirnya, semua akan jadi ampas. Bedanya, ada yang tetap ninggalin aroma, ada yang cuma bikin selokan mampet.

“Mas, kok sendirian terus?” tanya pelayan lagi.

“Gak sendirian, kok. Ada pikiran yang gak mau diem.”

Dia ngakak kecil, terus ngelap meja. Aku ikut ketawa, tapi lebih ke arah yang getir.

Aku liat ke luar warung. Motor lalu-lalang, klakson bersahutan, orang-orang bergegas kayak dikejar waktu. Semua sibuk cari arti, tapi lupa jalan pulang. Mungkin benar kata orang tua dulu, yang paling menakutkan bukan kematian, tapi gak tahu kenapa kita hidup.

Aku pernah coba jadi orang sibuk. Bangun pagi, kerja, pulang malam. Tapi makin dikejar, makin ngerasa kosong. Seolah semua yang aku lakuin cuma buat jadi “ampas yang terhormat.” Gajinya cukup buat makan, tapi gak cukup buat merasa hidup.

Sekarang, aku lebih sering duduk di sini. Bukan karena nyerah, tapi karena akhirnya paham: gak semua yang diam itu kalah. Kadang diam itu cara paling keras buat bertahan.

Kayak ampas kopi diam di dasar gelas, tapi masih bikin airnya berwarna.

Aku pernah baca entah di mana, katanya: “Manusia terbaik itu yang tetap memberi, bahkan setelah dilupakan.”

Mungkin itu tugasnya ampas kopi. Udah gak dianggap, tapi masih ninggalin bekas rasa yang gak bisa dijelasin.

Di ujung meja, Pak Darto masih ngoceh soal politik. Katanya, “Dulu saya berjuang buat negara, sekarang negara lupa saya.”

Aku cuma senyum. Gak perlu jadi pahlawan buat ngerti rasanya dilupakan. Semua orang punya versi kecil dari itu.

Entah itu ide yang dicuri, kerja keras yang gak dihargai, atau sekadar kebaikan yang gak diingat.

Tapi mungkin itu justru keindahannya hidup.

Kalau semua hal dihitung, gak akan ada yang tulus.

Kalau semua pahit dihindari, gak akan ada rasa.

Aku tenggak sisa kopi di gelas. Ampasnya ikut nyangkut di lidah, getir tapi nyata. Aku pikir, pahit ini bukan hukuman, tapi pengingat.

Bahwa yang tersisa pun masih punya makna, asal mau dilihat dari sisi yang benar.

Kadang aku pengin ngomong ke dunia:

Hei, jangan takut jadi ampas.

Toh dari situlah rasa kopi dilahirkan.

Waktu udah sore. Langit berubah jadi jingga, lampu-lampu mulai menyala. Pelayan beresin meja satu-satu, tapi gelasku masih di situ. Aku perhatiin ampasnya sekali lagi warnanya hitam pekat, tapi entah kenapa, indah.

Mungkin hidup juga gitu. Kelihatannya gelap, padahal di dalamnya banyak rasa yang cuma bisa dirasain kalau berani nyelam ke dasar.

Aku berdiri, bayar kopi, terus jalan pelan keluar warung. Di tikungan, ada tukang sapu yang lagi ngelap tumpahan kopi dari meja pelanggan lain. Aku senyum kecil karena sadar, bahkan ampas pun punya tempat buat pulang.

Pada akhirnya, hidup ya begini-begini saja. Ada yang jadi kopinya, ada yang cuma jadi ampasnya. Dan kalau pun aku harus jadi bagian yang paling sering dilupakan itu, ya sudah yang penting aku pernah ikut nimbrung dalam cerita, pernah ngasih sedikit rasa sebelum semuanya habis diteguk waktu. Toh nggak semua hal harus megah untuk dianggap pernah ada; kadang yang sederhana pun cukup jadi alasan buat bilang, “yah, setidaknya aku nggak cuma numpang lewat.”

Dan entah kenapa, justru di titik itu aku merasa paling tenang. Nggak perlu jadi pusat perhatian, nggak perlu jadi sesuatu yang wah. Cukup tahu kalau kehadiranku pernah ngisi sedikit ruang, walaupun kecil. Karena kalau hidup memang sesederhana secangkir kopi, mungkin peranku bukan untuk disorot, tapi untuk jadi pengingat kecil bahwa setiap hal bahkan yang tersisa di dasar gelas punya waktunya sendiri untuk berarti. Jadi kalau cerita ini akhirnya selesai, biarlah aku tinggal sebagai sisa rasa yang pelan-pelan hilang… tapi tetap pernah ada.

-Tamat-

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Selayaknya Ampas Kopi
KusumaBagus Suseno
Cerpen
Bronze
Di Ujung Langit Yang Sama
Anoi Syahputra
Cerpen
Hanya Sebuah Lilin di Hidup Orang Lain
mu'aini Yulianti
Cerpen
Rangkaian Persahabatan
Lavanya Anasera
Cerpen
He's not just a green flag but teal green
Firlia Prames Widari
Cerpen
Buku yang Hilang II
zain zuha
Cerpen
Kristal Filsuf
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Si Pendidikan Negeri Sipil Bag-1
spacekantor
Cerpen
SHIRO
Dian Y.
Cerpen
Astrophile
Fianaaa
Cerpen
Bronze
NURAGA
SIONE
Cerpen
Entitas
Oscar Zkye
Cerpen
Bronze
Keresahan Robin Setiap Pagi
Reynal Prasetya
Cerpen
Bronze
Dua Puluh Dua Desember
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Raga yang Membeku
Utia Nur Hafidza Rizkya Ramadhani
Rekomendasi
Cerpen
Selayaknya Ampas Kopi
KusumaBagus Suseno
Cerpen
The Jhony : Antara Nasi Kucing dan NASA
KusumaBagus Suseno
Cerpen
Naskah Orang Mabuk
KusumaBagus Suseno
Cerpen
Mangkuk Sakti Penjual Bakso Keliling
KusumaBagus Suseno
Cerpen
Manifesto Seorang Pemancing Sungai Kecil
KusumaBagus Suseno
Cerpen
Ada Nastar Di Kulkas
KusumaBagus Suseno
Cerpen
Tugas Akhir Mahasiswa Sastra Mancing
KusumaBagus Suseno