Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Selamat Datang Traumaku
2
Suka
130
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Suara klakson dari Jalan Merdeka tak pernah lagi terdengar sama bagi Aruna. Dulu, ia selalu mengasosiasikannya dengan hiruk pikuk kehidupan kota, dengan janji-janji pagi yang sibuk dan sore yang tenang. Kini, setiap deru klakson melarikan otaknya kembali ke hari itu, hari di mana dunianya runtuh. Tiga tahun, dua bulan, dan tujuh hari telah berlalu, namun bayangan mobil hitam yang menghantam tubuh kecil adiknya, Tara, masih begitu nyata. Aruna masih bisa merasakan dinginnya aspal di bawah lututnya, debu yang menempel di pipi, dan jeritannya yang tercekat di tenggorokan. Bau ban terbakar dan teriakan panik orang-orang di sekitar lokasi kejadian seolah masih terngiang di telinganya, sebuah simfoni horor yang tak pernah usai.

Ia berusaha melarikan diri dari kenangan itu dengan segala cara. Pindah kota dari Surabaya ke Jakarta, berganti pekerjaan dari desainer grafis menjadi penulis lepas, bahkan mengubah warna rambutnya dari hitam legam menjadi pirang gelap. Ia bahkan berhenti mengonsumsi kopi dan beralih ke teh herbal, berharap setiap perubahan kecil bisa menghapus jejak masa lalu. Seolah dengan membuang identitas lamanya, ia bisa membuang rasa bersalah yang menggerogoti jiwanya. Ia bahkan memutuskan hubungan dengan beberapa teman lama yang selalu bertanya tentang keadaannya, karena setiap pertanyaan terasa seperti tusukan pisau yang membuka kembali luka. Namun, trauma itu tak pernah benar-benar pergi. Ia seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun Aruna melangkah, sebuah parasit tak kasat mata yang menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali, merenggut napasnya.

Pagi itu, Aruna terbangun dengan napas memburu. Mimpi buruk yang sama kembali menghantuinya, kali ini lebih jelas dan mengerikan. Tara, dengan senyum polosnya dan seragam sekolah dasarnya, melambaikan tangan sebelum menyeberang jalan untuk membeli es krim di seberang. Kemudian, suara decitan ban yang memekakkan telinga, jeritan orang-orang, dan pandangan terakhir mata Tara yang penuh ketakutan. Aruna mendapati dirinya terduduk di tempat tidur, jantungnya berdegup kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya, dan keringat dingin membasahi dahinya hingga menetes ke seprai. Ia menyentuh foto kecil Tara yang selalu ia letakkan di nakas. Mata Tara yang bulat dan ceria menatapnya, seolah menghakiminya, seolah menuntut jawaban atas apa yang terjadi.

"Aku minta maaf, Tara," bisiknya lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, membentuk aliran hangat di pipinya. "Aku seharusnya lebih hati-hati."

Ia beranjak dari tempat tidur, menyeret langkahnya yang terasa berat menuju dapur. Aroma kopi hitam yang baru saja diseduh tak mampu menenangkannya, justru mengingatkannya pada kebiasaan paginya bersama Tara, berbagi secangkir susu dan roti panggang. Ia meraih mug favoritnya yang bergambar kartun kelinci, mug yang pernah diberikan Tara sebagai hadiah ulang tahun, dan menuangkan kopi, berharap kafein bisa sedikit mengusir kabut tebal di kepalanya. Sambil menyesap kopi pahit yang terasa hambar di lidahnya, pandangannya jatuh pada kalender di dinding. Hari ini, 23 Juli. Hari ulang tahun Tara. Sebuah tanggal yang terpaku di benaknya, sebuah pengingat yang menyakitkan.

Rasa bersalah itu menghantamnya lagi, lebih kuat dari sebelumnya, seperti gelombang pasang yang menerjang karang. Ia adalah kakaknya, pelindungnya. Seharusnya ia memegang tangan Tara lebih erat, memastikan adiknya aman. Seharusnya ia lebih waspada terhadap kecepatan mobil yang melaju di jalan itu. Seharusnya… ada begitu banyak "seharusnya" yang tak pernah bisa ia tepati, yang kini menjadi belenggu di pergelangan kakinya.

Aruna memutuskan untuk mengambil cuti hari itu. Ia tak sanggup menghadapi hiruk pikuk kantor dengan perasaan sesak ini. Setiap tawa rekan kerja, setiap dering telepon, terasa seperti gangguan yang menyakitkan. Ia menghabiskan pagi dengan duduk termenung di sofa, menatap keluar jendela apartemennya yang menghadap ke jalan ramai. Setiap suara klakson, setiap deru mesin, terasa seperti pukulan di dadanya, seperti ingatan yang dipaksa masuk kembali.

Sore harinya, ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan membersihkan apartemen. Ia menyapu lantai hingga bersih, membersihkan debu yang menempel di setiap sudut, dan menata ulang buku-bukunya di rak. Namun, di setiap sudut, ia seolah melihat bayangan Tara. Buku cerita favorit Tara yang masih tersimpan rapi di rak dengan sampul yang sedikit lusuh, boneka beruang lusuh yang sering dipeluk Tara saat tidur hingga bulunya menipis, bahkan coretan pensil warna berbentuk matahari dan pelangi di dinding kamarnya yang dulu. Semua adalah relik yang menyakitkan.

Aruna menghela napas panjang. Ia tahu, ia tak bisa terus-menerus lari dari kenyataan. Trauma ini adalah bagian dari dirinya sekarang, sebuah identitas baru yang tak bisa ia lepaskan. Ia harus belajar hidup bersamanya, berdamai dengannya, atau ia akan selamanya terperangkap dalam lingkaran kesedihan dan rasa bersalah ini, tercekik oleh bayangan masa lalu.

Ia membuka laci meja samping tempat tidurnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu jati. Di dalamnya, tersimpan beberapa barang peninggalan Tara yang paling berharga yaitu jepit rambut bergambar kupu-kupu berwarna biru langit, gelang persahabatan yang mereka buat bersama dari manik-manik berwarna-warni, dan sebuah surat lusuh dengan tulisan tangan Tara yang belum rapi, sedikit belepotan tinta di beberapa bagian.

Aruna membuka surat itu dengan hati-hati, jemarinya gemetar. Tara menulisnya beberapa hari sebelum kecelakaan, berisi janji-janji kecil khas anak-anak yang polos. "Kak Aruna, nanti kalau aku besar, aku mau jadi dokter biar bisa sembuhin semua orang. Kak Aruna janji ya, nemenin aku terus?"

Air mata Aruna kembali tumpah, lebih deras dari sebelumnya. Janji itu, janji yang tak pernah bisa ia tepati. Janji yang kini menjadi duri dalam dagingnya.

Malam itu, Aruna tak bisa tidur sama sekali. Pikirannya berputar tak karuan, dihantui kilasan-kilasan masa lalu. Ia memutuskan untuk pergi ke taman kota, tempat favorit Tara, tempat mereka sering menghabiskan sore hari bermain dan tertawa. Udara malam yang dingin terasa menyegarkan kulitnya, sedikit meredakan panas di hatinya. Taman itu sepi, hanya ada beberapa pasang kekasih yang duduk di bangku taman, tenggelam dalam percakapan mereka, dan sesekali deru mobil yang lewat jauh di jalan raya.

Ia berjalan menuju area bermain anak-anak, tempat Tara sering bermain ayunan hingga kakinya pegal. Aruna duduk di salah satu ayunan, mendorongnya pelan dengan ujung kakinya. Ayunan itu berderit, menciptakan melodi yang menyayat hati, sebuah lagu kesedihan yang tak bersuara. Ia membayangkan Tara tertawa riang, rambutnya tergerai, kakinya menendang udara, mencoba menggapai awan yang melintas.

"Selamat datang, traumaku," bisiknya keheningan malam. Kata-kata itu terasa berat di lidahnya, namun juga melegakan, seolah ia baru saja mengakui keberadaan sesuatu yang selama ini ia sangkal. Ia lelah melawan. Ia lelah berpura-pura baik-baik saja, berpura-pura bahwa semuanya telah berlalu.

Aruna tahu, menerima trauma bukan berarti menyerah pada keputusasaan. Ini adalah langkah pertama untuk menyembuhkan diri, untuk memulai perjalanan panjang menuju pemulihan. Ia harus berani menghadapinya, merasakan setiap perihnya, setiap denyut rasa sakitnya, dan kemudian, perlahan-lahan, melepaskannya, membiarkan beban itu terurai.

Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi catatan. Jemarinya bergerak ragu-ragu di atas layar, kemudian mulai menulis. Ia menuliskan semua perasaannya, semua ketakutannya yang selama ini ia pendam, semua rasa bersalah yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Ia menuliskan tentang Tara, tentang kecelakaan itu dengan detail yang menyakitkan, dan tentang bagaimana hidupnya berubah drastis setelahnya, bagaimana ia menjadi sosok yang berbeda.

Ia menulis hingga fajar menyingsing, hingga langit berubah dari hitam pekat menjadi jingga keemasan yang indah. Ketika ia selesai, ia merasa sedikit lebih ringan, seolah ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Beban di dadanya belum sepenuhnya hilang, namun setidaknya, ia sudah mulai membukanya, membiarkan cahayanya masuk.

Keesokan harinya, Aruna menghubungi seorang terapis yang direkomendasikan temannya. Sesuatu yang sudah lama ia tunda, karena ketakutan untuk menghadapi kenyataan. Ia tahu prosesnya tidak akan mudah, akan ada banyak air mata dan rasa sakit, namun ia siap menghadapinya. Ia ingin sembuh, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Tara. Ia percaya, Tara tidak akan ingin melihatnya menderita seperti ini, terperangkap dalam kesedihan.

Selama beberapa bulan berikutnya, Aruna menjalani terapi secara rutin. Ia berbicara tentang ketakutannya, tentang mimpi buruknya yang tak henti, tentang rasa bersalahnya yang menggerogoti. Ada hari-hari di mana ia merasa putus asa, ingin menyerah, kembali ke dalam cangkang kesedihannya. Namun, ia selalu teringat pada janji kecil Tara, janji untuk selalu ada, yang memberinya kekuatan untuk terus maju.

Perlahan, Aruna mulai melihat perubahan. Suara klakson masih membuatnya terkejut sesekali, namun intensitas ketakutannya berkurang drastis. Ia masih merindukan Tara dengan segenap hatinya, namun kini ia bisa melihat foto adiknya tanpa langsung tenggelam dalam lautan kesedihan. Ia mulai bisa mengingat tawa Tara, lelucon lucu Tara yang sering membuatnya kesal, dan pelukan hangat Tara tanpa rasa sakit yang mencekam, justru dengan senyum tipis di bibirnya.

Suatu sore, Aruna memutuskan untuk mengunjungi makam Tara. Ini adalah kali pertama ia datang sejak pemakaman, karena sebelumnya ia terlalu takut. Ia membawa seikat bunga lili putih, bunga favorit Tara, yang mekar sempurna. Ia membersihkan nisan Tara dengan lembut, mengelus nama Tara yang terukir di sana, seolah Tara bisa merasakannya.

"Hai, adikku," bisiknya, suaranya bergetar namun lebih stabil dari sebelumnya. "Maaf, aku baru datang sekarang. Aku... aku takut. Tapi sekarang, aku berani."

Aruna duduk di samping makam Tara, memandangi langit biru yang luas. Ia bercerita tentang kehidupannya sekarang, tentang terapi yang ia jalani, tentang bagaimana ia belajar untuk menerima traumanya. Ia berbicara seolah Tara ada di sana, mendengarkannya dengan seksama, mengangguk setuju pada setiap perkataannya. Ia bahkan bercerita tentang pekerjaan barunya, tentang teman-teman barunya, dan tentang mimpi-mimpi kecil yang mulai tumbuh kembali di hatinya.

"Aku tahu, Tara. Aku tahu kamu tidak akan ingin aku terus-menerus bersedih. Aku akan kuat, untukmu. Aku akan hidup bahagia, untukmu. Dan aku akan selalu mengingatmu, bukan dengan air mata, tapi dengan senyuman dan kebahagiaan yang kamu berikan padaku."

Ketika Aruna bangkit dari makam Tara, ia merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya, sebuah beban yang telah ia pikul sendirian selama bertahun-tahun. Ia masih memiliki luka, namun kini luka itu tidak lagi terasa begitu menganga, justru seperti bekas luka lama yang mulai memudar. Ia tahu perjalanan penyembuhan ini masih panjang, namun ia tidak lagi sendirian. Ia memiliki dukungan dari terapisnya, dari teman-temannya yang selalu ada, dan dari kenangan indah Tara yang kini tidak lagi terasa pahit, melainkan manis dan penuh cinta.

Ia melangkah keluar dari pemakaman, menatap Jalan Merdeka yang membentang di hadapannya. Suara klakson masih terdengar, namun kali ini, Aruna tidak lagi merasakan ketakutan yang mencekam. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara segar memenuhi paru-parunya, membawa serta harapan baru.

"Selamat datang, traumaku," gumamnya sekali lagi, namun kali ini, ada nada penerimaan, ketenangan, dan bahkan sedikit kekuatan dalam suaranya. "Kau adalah bagian dari ceritaku, dan aku akan belajar hidup bersamamu, dengan damai. Kau tidak lagi mendefinisikanku, tapi membentukku menjadi pribadi yang lebih kuat."

Aruna tahu, ia tidak akan pernah melupakan Tara. Kenangan adiknya akan selalu ada di hatinya, seperti bintang yang bersinar terang. Namun, ia juga tahu, ia harus terus melangkah maju. Dengan setiap langkah yang ia ambil, dengan setiap napas yang ia hirup, ia akan merayakan kehidupan yang telah diberikan kepadanya, dan pada akhirnya, ia akan menemukan kedamaian sejati yang selama ini ia cari. Trauma itu masih ada, namun kini ia sudah menjadi bagian dari dirinya, bukan lagi sesuatu yang menguasainya. Ia telah belajar untuk menerimanya, untuk menjadikannya kekuatan pendorong, dan untuk terus melangkah maju menuju masa depan yang lebih cerah. Ia akhirnya bisa berkata, "Selamat datang traumaku," dengan keyakinan bahwa ia bisa melaluinya dan menemukan makna baru dalam hidupnya.

~Selesai~

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Selamat Datang Traumaku
sukria zakia
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti
Novel
Rungkad: Jalan Terjal Menuju Sukses Sebagai CEO
Arka Zayden
Cerpen
Bantu Aku Mengeja "Tuhan"
dari Lalu
Novel
Antara mesin produksi dan hati yang remuk
Bang Jay
Flash
Hidupku
winda aprillia
Cerpen
Hadiah Dari Nirwana
Sucayono
Novel
Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)
Mega Kembar
Flash
Mengeja Angka
Chie Kudo
Novel
Rahasia Lintang
Pejandtan
Cerpen
Trash Bag
Pan 🐼
Flash
After Taste
Adam Nazar Yasin
Flash
Bronze
Nostalgia
SIONE
Cerpen
Dari Lelah Menuju Lega
Penulis N
Cerpen
Bronze
Ibu Segalanya Tentangnya
Ricko Pradana
Rekomendasi
Cerpen
Selamat Datang Traumaku
sukria zakia
Cerpen
Bisikan Fajar
sukria zakia
Cerpen
Nyanyian Sunyi di Antara Pilar-Pilar Langit
sukria zakia