Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Matahari baru saja tergelincir ke barat ketika Deri meletakkan gitar listriknya di lantai studio musik kecil yang mereka sewa setiap Jumat sore. Keringat mengalir di pelipis, deras, namun diselimuti senyum lebar penuh kepuasan. Di sudut ruangan, Rio hanya duduk diam. Napasnya tersengal setelah menabuh drum selama dua jam tanpa jeda.
“Gila, Yo. Akhirnya beres juga kita taking instrumen. Gue udah gak sabar mau rilis nih album,” ujar Deri sambil meraih botol air mineral.
Rio mengangguk tanpa suara. Ia menyeka keringatnya dengan handuk kecil dan memandangi sekeliling studio—dinding-dinding yang penuh dengan coretan grafiti, daftar latihan, dan beberapa poster band tahun 90-an yang desainnya sangat vintage.
“Lo yakin album kita bakal pecah, Der?” tanya Rio pelan.
Deri menoleh. “Yakin lah. Kenapa lo pesimis, Yo?”
“Ya kagak sih. Cuma, kalau album udah beres, langkah selanjutnya apa?”
Deri beralih menatap Rio dengan tajam. “Kita bakal perform dari panggung ke panggung lah. Jadi musisi yang punya banyak fans. Ada nama kita di billboard. Ketemu musisi idola, duet bareng. Ah, bakal jadi mimpi yang indah lah pokoknya, mah.”
Rio tertawa ringan. “Mimpi lo keren juga, ya. Tapi lo yakin bakal bertahan di industri ini?”
“Emang lo gak mau band kita maju, Yo?” tanya Deri mengernyitkan dahi.
“Gue kayaknya beres SMA bakal lanjut kuliah ke luar kota sih, Der. Bokap nyokap mau gue masuk ke BUMN.”
Deri tertawa keras. “Yah, sama aja lo. Dasar kapitalis!”
“Maksud lo apa sih, Der?” balas Rio dengan nada penuh emosi.
Raka dan Yudi yang sedari tadi sibuk mengobrol bersama produser sontak langsung mengalihkan pandangannya ke mereka.
“Udah sih, gak usah berantem. Lo pada kagak tau momen, lah. Kita lagi take buat album, jangan ribet!” teriak Yudi mendekat.
Hening beberapa detik. Hanya terdengar suara mesin pendingin ruangan yang berdengung lembut.
Deri kembali menatap sahabatnya. “Lo mau out?”
Rio berdiri, mengambil jaketnya. “Gue masih pengen main, Der. Cuma gue juga punya masa depan, sama kayak lo. Gue bakal kejar mimpi gue, tapi gue gak mau lepas dari lo pada.”
Deri dan Rio merupakan sahabat sejak SMP. Dua anak cowok yang selalu bermain bersama bersepakat untuk membuat band setelah nonton konser band favoritnya. Deri selaku gitaris dan vokalis mengajak Rio untuk bergabung bersamanya, mengingat Rio juga memiliki keahlian bermain drum yang cukup bagus.
“Gue izin dulu ya sama bokap nyokap. Semoga diizinin,” balas Rio.
Deri mengangguk sambil tersenyum, menepuk pundak sahabatnya. “Kabarin gue, ya. Gue tunggu dengan senang hati.”
Seminggu kemudian, mereka kembali bertemu di studio musik—latihan pertama sekaligus memperkenalkan band mereka.
Deri juga mengajak Raka dan Yudi sebagai basis dan gitaris. Keduanya merupakan teman nongkrongnya yang sering bertemu sepulang sekolah. Berbeda dari ketiganya, Rio merupakan sosok anak yang rajin belajar, pendiam, bahkan sangat rapi dibandingkan ketiga temannya.
Suatu sore, di saat mereka sedang menyiapkan lagu untuk ditampilkan di acara festival sekolah, Rio izin untuk pulang duluan, mengingat ada jadwal les yang harus ia ikuti.
Deri yang sudah mengetahui itu kembali merespons, “Lo bisa gak sih bolos sehari aja? Lagian gak ikut les juga lo bakal tetap lulus sekolah, kan? Lo pinter, semua guru suka sama lo. Rajin lagi. Ngincer apaan lagi dah lo? Heran gue.”
Rio hanya tersenyum sambil tertawa kecil. “Besok gue ke sini lagi kok. Kan emang hari ini jadwal gue buat les, Der. Kalem aja.”
Selepas itu mereka semakin tahu bahwa Rio sangat berbeda. Meskipun Deri sudah mengetahuinya sejak awal, justru hal itulah yang membuat Deri yakin untuk mengajak Rio menjadi personel band.
“Lo pada kalau susah izin, gak punya duit, gak dapet info manggung—mampus lo,” ucap Deri suatu ketika. “Rio tuh pinter, coy. Anak baik juga. Duitnya banyak.”
Mereka hanya tertawa kecil, pun dengan Rio yang berkomentar santai, “Lo mah dilebih-lebihin, anjir. Biasa aja napa.”
Sampai band mereka mulai terkenal di seantero sekolah. Tiga panggung sudah mereka lalui dengan penuh kebahagiaan. Bagi seorang anak sekolah, bisa tampil di panggung dengan titel anak band adalah sebuah pencapaian yang sangat membanggakan.
Bahkan band mereka mulai punya penggemar. Meskipun lebih banyak yang kagum terhadap persona Deri yang sangat nakal dan penuh energi, hal itu mendorong nama band mereka ikut naik.
Suatu ketika, selepas latihan, Rio mendatangi Deri yang sedang merokok di luar area dekat studio.
“Gue daftar seleksi kampus negeri,” ujar Rio tanpa basa-basi.
Deri mengunyah keripik dengan lambat. “Oke. Terus?”
“Kayaknya gue bakal ngurangin waktu ngeband dulu deh. Gue mau fokus buat belajar sama les. Ya, mungkin intensitas ngeband-nya juga bakal ngurang sih.”
Deri menatapnya dengan tatapan tajam. “Tapi lo gak ninggalin band ini, kan, Yo?”
“Kagak lah, Der. Gue juga masih pengen ngeband. Cuma ada prioritas lain yang pengen gue kejar.”
Deri bersandar, menatap langit yang mulai berwarna oranye. “Gue tahu, gue jauh beda banget sama lo. Tapi lo bisa gak sih nekat gitu? Mumpung masih muda juga, gunain waktu kita buat gila-gilaan dulu. Hajar dulu. Ambil risiko. Penuh berani. Jangan cuma mau diem di zona nyaman kayak orang kantoran yang mau disuruh-suruh itu.”
Rio menggeleng. “Salah, Der. Gue tahu lo juga sebenarnya anak yang penuh ambisi. Tapi karena kita masih muda juga, justru harus bisa ngontrol diri. Menej waktu yang kita punya. Kerja keras mah pasti, tapi lo juga harus kerja cerdas. Kalau cuma mau gila-gilaan doang, nanti pas tua baru nyesel lo.”
“Maksud gue gila-gilaan ya jelas juga lah. Meskipun gue nakal, ya, Yo, gue juga punya mimpi, dan gue pasti bakal memperjuangin mimpi di industri ini, gimana pun caranya.”
Rio terdiam. Suaranya melembut. “Lo tahu gak kenapa gue mau pas lo ngajak buat gabung band?”
Deri hanya menatap Rio dengan gelengan kepala.
“Jujur, gue tuh gak dibolehin bokap nyokap buat ngeband. Kata mereka ‘apaan sih, gak jelas’. Tapi pas tahu yang ngajak itu elo, bokap nyokap langsung ngizinin.”
Mereka tertawa. “Yang bener lo?” tanya Deri.
“Meskipun lo nakal, tapi lo tuh punya jiwa pemberani dan percaya diri yang gue sendiri aja gak punya. Ditambah otak lo yang keras kepala juga ngebuat ambisi lo bukan sekadar bacotan. Meskipun gue suka kesel sama omongan lo yang ceplas-ceplos, tapi hati lo mahal, Der. Mahal.”
Deri kembali tertawa. “Ya begini lah karakter gue. Meskipun gue juga suka debat sama lo, yang jelas kalau lo punya mimpi juga, kejar, Yo. Kejar. Band mah gampang. Selagi ada gue, semua beres dah. Meskipun engap-engapan juga.”
Mereka kembali tertawa di langit yang mulai beranjak gelap, dengan semilir angin yang kencang. Mereka bertukar cerita satu sama lain. Deri mengeluhkan masalah hidupnya, Rio pun membeberkan mimpi dan cita-citanya. Keduanya, meskipun karakter dan sifatnya sangat berbeda, justru di sanalah keindahannya.
***
Hari-hari berikutnya, mereka sudah mulai jarang bertemu. Grup chat band mereka sepi. Jadwal latihan tidak lagi berjalan. Rio sibuk dengan les dan try out. Deri tetap nongkrong di studio—kadang sendiri, kadang dengan teman-teman barunya dari komunitas musik lokal.
Sampai suatu malam, Rio datang ke studio tanpa pemberitahuan. Ia melihat Deri tengah bermain gitar sambil merekam dirinya sendiri.
“Oi, berandal!” teriak Rio, setengah kagum, setengah heran.
Deri hanya mengangguk sambil menghentikan petikan senar. “Eh, si anak Papi Mami!”
Rio memeluk dan menepuk Deri, menanyakan kabarnya.
“Konsisten juga ya lo?” tanya Rio di sela-sela rekaman.
Deri tertawa sambil bercanda. “Ya iya dong. Masa calon musisi papan atas males-malesan, sih?”
Rio mendekat, duduk di sofa lusuh di sudut ruangan. “Gue iri sama lo, Der.”
Deri hanya tertawa kencang. “Lah, aneh lo. Justru gue yang iri sama lo, Yo!”
“Lo berani banget, gila. Salut gue. Bener-bener gak takut gagal. Sementara gue, takut banget malah buat gagal. Makanya gue lebih suka main aman terus.”
Deri menatapnya dalam-dalam. “Biasa aja ah. Justru gue yang iri sama lo, Yo. Lo pinter banget, sering ikut lomba, dapet apresiasi dari para guru, punya arah, tahu mau ke mana. Sedangkan gue, cuma modal berani aja sama yakin sih. Gak jelas lah hidup gue, makanya berantakan.”
Rio tersenyum kecil. “Aneh ya, gue malah bosen monoton terus, eh lo juga bosen jadi rebel?”
“Ya, namanya juga anak muda, Yo.”
Malam itu mereka bicara lama. Tidak ada perdebatan, tapi saling mendengarkan. Mereka sadar, tidak ada yang sepenuhnya benar atau salah. Bahwa masa muda memang harus diisi dengan perjuangan, tapi juga tidak boleh kehilangan makna. Bahwa mengambil risiko penting, tapi punya rencana cadangan juga perlu.
***
Beberapa bulan kemudian, mereka sepakat untuk membuat album untuk band mereka. Ide ini digagas untuk mengumpulkan personel band yang sudah jarang bertemu. Meskipun Deri sudah menyiapkan banyak materi, tapi tujuan awalnya supaya mereka bisa kembali berkumpul.
“Halo, fren. Gue ada ide. Minggu depan ketemu di studio, ya. Plis, luangin waktu kalian sebentar. Yo, lu bisanya kapan? Yud, lu gue jemput, ya? Rak, bawa cewe lo aja kalau susah diizinin, mah.”
Deri mengirim pesan di grup WhatsApp. Cukup lama pesan itu hanya dibaca. Sampai akhirnya, Rio, Raka, dan Yudi pun ikut membalas.
“Siap, komandan.”
“Meluncur.”
“Oke, brader.”
Akhirnya, di tengah kesibukan masing-masing, Deri berhasil membujuk personel band untuk kembali berkumpul. Rio, dengan jadwalnya yang padat, tetap menyempatkan latihan dua kali seminggu. Deri, dengan semangatnya yang tetap menyala, mulai belajar lebih banyak tentang manajemen waktu dan strategi. Yudi yang sibuk membantu usaha keluarganya turut menyempatkan waktu di sela-sela kesibukannya. Raka yang sangat bucin sering membawa pacarnya supaya diizinkan latihan bersama—meskipun setelahnya ia langsung pergi berpacaran lagi.
Mereka membagi tugas. Rio mengurus keuangan, jadwal, dan promosi digital. Yudi fokus pada produksi. Raka mengembangkan instrumen, sedangkan Deri fokus pada networking serta memimpin agar semuanya berjalan lancar.
Meskipun mereka berbeda, akhirnya mereka saling melengkapi.
***
Pasca album rilis, beberapa lagu mulai mempertontonkan magisnya. Satu-dua lagu naik di beberapa platform. Para konten kreator membumbuinya dengan gaya ciamik dan penuh rasa.
Beberapa tawaran turut hadir. Ada brand juga yang mulai mengajak kerja sama. Tanpa disangka-sangka, band mereka mulai naik daun.
Namun justru di sanalah tantangannya muncul.
Di penghujung masa SMA, Rio diterima di jurusan Teknik Industri di kampus impiannya. Raka pun mendapat tawaran untuk bekerja di PH milik temannya. Demikian pula Yudi yang harus menjaga toko milik keluarganya. Sedangkan Deri masih terus sibuk dengan alunan musiknya.
Cukup lama mereka bertengkar. Deri tetap bersikeras mempertahankan ide dan mimpinya.
“Lo pada sadar gak sih, band kita lagi naik daun, coy! Lo malah pada mau out semua. Anjing, lah!” gerutu Deri kesal.
“Ya, tapi gimana lagi, Der. Kita semua juga punya kesibukan. Lo gak bisa egois sama kita. Ini band, bareng-bareng. Bukan lo doang yang paling jago,” ucap Raka.
“Iya, emang bukan gue doang. Tapi lo semua ke mana pas band ini redup, hah?”
Rio mendekat, mencoba menenangkan. Namun Deri justru menatapnya tajam.
“Gak usah sok bijak lo, Yo. Muak gue denger ucapan lo!” teriak Deri.
Perdebatan itu berlangsung lama, sampai satpam studio harus turun tangan mengamankan mereka karena Deri sempat memulai perkelahian dengan Raka.
“Udah, udah, pulang! Kalo mau ribut jangan di sini. Bubar, bubar!” teriak satpam sambil memisahkan mereka.
Akhirnya mereka pun benar-benar bubar.
Raka dan Yudi keluar dari grup. Beberapa tawaran kembali ditolak.
Hanya Rio dan Deri yang masih bertahan.
***
“Der, di mana?” ucap Rio suatu ketika.
“Biasa,” balas Deri singkat.
Rio pun menghampiri Deri yang sedang berdiam diri di halaman studio.
“Apa kabar lo?” tanya Rio sambil menggenggam tangan sahabatnya.
Deri tertawa kecil. “Ya, seperti yang lo lihat, brader.”
Rio menggeleng sambil tersenyum.
“Lo libur?” tanya Deri.
“Ya, seperti yang lo lihat, brader,” jawab Rio, menirukan nada Deri.
Mereka kembali tertawa. Cukup lama mereka bertukar cerita tentang kesibukan masing-masing, saling bertanya satu sama lain. Meskipun sudah lama tidak bertemu, persahabatan mereka berdua tetap berjalan.
“Selanjutnya, lo mau ngapain lagi, Der?”
“Gue rencana akhir tahun mau buat proyek album solo, sih. Ya, berhasil gaknya, gimana nanti dah.”
Rio mengernyitkan dahi. “Buset, satu tahun satu album? Gila lo.”
“Ya gimana ya, hidup gue dari musik semua. Kalo gak gini, ya mati gue,” balasnya sambil tertawa.
Percakapan mereka berlangsung cair, penuh tawa dan nostalgia.
Beberapa waktu kemudian, album Deri sudah terbit di berbagai platform musik. Rio menyambutnya dengan penuh kebahagiaan.
“Keren lo. Semoga booming, ya, Der.”
“Thank you, brader. Gue tunggu lo di studio,” balas Deri.
Singkat cerita, tak butuh waktu lama bagi seorang Deri untuk meledak lewat karya-karyanya. Hanya butuh waktu tiga bulan sampai lagunya viral.
Beberapa brand menawarkan kerja sama. Deri juga mulai sering tampil di panggung-panggung festival. Kini namanya sudah sejajar dengan para musisi terkenal.
Dalam salah satu wawancara podcast, Deri ditanya,
“Apa yang membuat kamu tetap bertahan di industri ini, meskipun sudah banyak kegagalan yang kamu terima?”
Deri menjawab sambil tersenyum,
“Karena saya sadar, masa muda adalah waktu yang tepat untuk mengambil jatah kegagalan. Meskipun saya menghadapi banyak tantangan, cinta saya terhadap industri ini lah yang membawa saya sampai detik ini.”
Ia menambahkan,
“Dan selagi masih muda, kenapa kita gak ngelakuin semua yang kita bisa? Gagal? Ya udah. Bangkit lagi. Yang penting, jangan sampai mimpi kita dikubur sama perasaan takut.”
***
Beberapa minggu kemudian, Deri berdiri di atas panggung besar dengan sorotan lampu yang menyilaukan. Di antara lautan penonton yang bernyanyi bersamanya, matanya menangkap sosok familiar berdiri di barisan depan.
Rio—dengan kaus hitam band mereka, tersenyum bangga sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Deri tersenyum dari atas panggung.
Ia tidak mengatakan apa pun.
Namun dalam hatinya ia tahu, tanpa Rio, mungkin ia takkan pernah sampai sejauh ini.
Lampu sorot menyoroti wajahnya.
Gitar mulai berbunyi.
Dan di tengah ribuan sorak penonton malam itu,
Deri menutup matanya dan berbisik pelan,
“Gue gak lupa, Yo. Semua ini berawal dari kita.”