Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Pipin... pin... istirahat dulu belajarnya, sekarang makan dulu. Sudah jam dua belas siang loh...” ujar ibu pada Pipin yang masih asyik berkutat dengan soal-soal latihan.
“Iya buk, tanggung... sebentar lagi ya.”
“Sebentar lagi – sebentar lagi.” Ibu langsung bergegas mengambil nasi dan beberapa lauk pauk, lalu langsung menyuapkan ke mulut Pipin.
“Buka mulutnya! A...” Pipin membuka mulut dan ibu menyuapkan nasi sesuap demi sesuap.
“Ibu tahu, kalau kamu benar-benar ingin masuk SMA Pemuda. Tapi enggak usah terlalu serius begini, kalah-kalahkan ujian kelulusan saja belajarnya. Hem! Belum mandi juga, setelah makan kamu mandi ya! Terus salat zuhur, percuma belajar giat kalau lupa sama Allah.”
“Iya buk...” Jawab Pipin dengan mulut yang penuh sambil mengunyah.
SMA Pemuda adalah salah satu sekolah terbaik di kota tempat Pipin berada. Tes masuk yang super sulit dan ketat membuat Pipin sangat giat dalam belajar. Karena kelak, Pipin ingin melanjutkan ke universitas impiannya dengan jalur beasiswa.
**
Ujian tes masuk sekolah berlangsung hari ini. Sejak subuh, Pipin sudah bersiap-siap. Ia hanya membawa kertas-kertas yang sudah dirangkum. Ibu pun juga sudah menyiapkan semuanya, mulai dari seragam, sarapan dan sepatu sekolah Pipin yang hitam mengilat.
“Saya berangkat dulu ya buk, doakan ya!” Pipin menyalami tangan Ibu.
“Iya nak, ibu selalu doakan kamu. Mudah-mudahan kamu bisa mengerjakan tesnya dan lulus.” Ucap ibu sambil tersenyum.
“Assalamualaikum buk.”
“Wa’alaikum salam...”
Sebuah ojek online sudah menunggu dan Pipin datang menghampiri. Motor mulai berjalan, Pipin melambaikan tangan dan Ibu membalas lambaian Pipin.
**
Soal demi soal Pipin kerjakan dengan serius dan seksama. Ia benar-benar meneliti kembali ketika sudah selesai mengisi semua jawaban, untuk memastikan bahwa jawabannya benar. Pipin akui, ia bisa mengerjakannya tanpa kesulitan. Semua berjalan lancar. Bel tanda selesai pun berbunyi dan Pipin keluar dari kelas berkumpul dengan teman-temannya.
“Halo Pin, bisa kerjakan soal-soalnya?” Tanya Bella salah satu teman Pipin.
“Alhamdulillah lancar Bel, kamu bisa?” Tanya Pipin balik.
“Ada beberapa soal yang aku enggak yakin dengan jawabannya, tapi yang lain aku bisa.” Jawab Bella dengan raut sedikit muram.
“Kalau hanya sedikit soal saja yang kamu ragu, pasti bisa lulus Bel. Optimis saja!” Pipin menenangkan.
Tak lama datang Bernard bersama empat orang kawan-kawannya. Mereka sekumpulan orang-orang tajir, di mana orang tua Bernard memiliki jabatan prestisius di pemerintahan. Sedangkan orang tua keempat yang lainnya adalah pengusaha yang bukan kaleng-kaleng.
“Sumpah! Gampang banget soal-soalnya... Cuma merem saja, aku bisa jawab semua! Hahaha...” Tukas Bernard.
“Gampang apanya Ber? Susahnya amit-amit begitu...” Jawab Vino.
“Ah... apa pun hasilnya, aku pasrahkan kepada yang maha kuasa. Enggak di terima di sini juga enggak apa-apa kok. Masih ada SMA Pemudi.” Sahut Ciko.
“Masuk SMA Pemudi juga di tes! Kalau enggak lulus juga, kemana coba?” Rika menyahuti.
“Ya... ke SMA Pemuda-Pemudi lah!” Jawab Ciko lagi.
“Kalau enggak lolos juga, berakhirlah kau di SMA Pembela! Hahaha...” Jawab Rika lagi.
“Duh... amit-amit aku di SMA Pembela. Sekolah sudah kayak AKMIL begitu, aku enggak mau jadi tentara!” Ciko menjadi sewot.
Cika, kembaran Ciko ikut bicara “Tenang Ko, ke mana pun kamu sekolah aku bakal selalu ikut kamu...”
Bernard datang menghampiri Pipin. “Eh Pin, yakin mau sekolah di sini? Kenapa enggak di SMA Pembela saja? Lulus sekolah sudah bisa masuk tentara. Terus bapak kamu enggak jadi tukang jahit lagi hahaha...”
“Bernard! Ada masalah apa sih kamu sama Pipin? Iri ya karena Pipin selalu juara satu dikelas, sedangkan kamu enggak pernah ada juara sama sekali...” Bella membela Pipin dan menjulurkan lidahnya ke Bernard.
“Eh Anak tukang sopir bis! Seharusnya kamu masuk ke SMA Pembela juga, kan hampir sama namanya. Bella dan Pembellaaaaa...” Hahaha...” Bernard sangat puas membalas ucapan Bella.
Dengan nafas memburu, Bella maju akan mendatangi Bernard namun langkahnya ditahan oleh Pipin. “Sudah Bel, enggak sudah diharukan. Sabar, yuk kita pergi dari sini!”
Usai Pipin dan Bella tidak lagi bersama mereka, Rika menegur Bernard “Bernard, enggak seharusnya kamu ngomong begitu ke Pipin dan Bella. Apalagi berhubungan dengan profesi orang tua. Enggak selamanya juga kan ayah kamu di posisi jabatan sekarang?”
“Apa sih Rik! Kamu kok ikut-ikutan bela mereka. Eh, aku bakal kasih tahu bapakku, supaya enggak kasih proyek lagi ke bapakmu... Bernard berteriak ke arah Rika.”
Dengan suara yang lantang, Rika membalas perkataan Bernard. “Bilang saja kalau berani! Usaha bapakku bukan cuma proyek jalan, masih banyak yang lain. Asalkan kamu tahu ya, bapakmu enggak bakal jadi pejabat kalau duitnya bukan dari bapakku!” Rika pun juga ikut pergi menjauh dari Bernard.
Bernard melihat kepergian Rika dengan nafas memburu dan amarah yang meletup-letup.
**
Jalanan menuju SMA Pemuda sangat macet. Pipin menjadi gelisah, apalagi hari ini pengumuman hasil tes. Ia sudah meminta sopir ojek online lebih cepat, tapi percuma. Ada perbaikan jalan, sehingga hanya sebagian jalan saja yang bisa dilalui. Andai saja jarak sekolahnya sudah dekat, Pipin pasti akan turun dan berlari menuju sekolah tersebut.
Lambat tapi pasti, akhirnya Pipin tiba di SMA Pemuda. Ia langsung berlari ke lokasi hasil pengumuman. Sudah ada teman-temannya di sana. Ia melihat Bernard dan kawan-kawannya tertawa-tawa karena berhasil diterima. Begitu juga dengan Bella dengan wajahnya yang cerah.
Bella melihat Pipin dan menghampiri. “Pipin, aku lulus... kamu bagaimana?”
“Aku belum tahu Bel, ini baru datang. Di jalanan macet.”
“Ya sudah, ayo aku temani! Aku bantu cari nama kamu ya Pin.”
Pipin mengangguk dengan senyuman.
“Hem... Bel, di sebelah situ ada nama aku enggak?” Tanya Pipin.
“Di sini enggak ada Pin, kita bergantian tempat ya. Aku cari di sana.”
Pipin kembali mengangguk.
Bella berkata dalam hati “Enggak mungkin! Pipin selalu juara kelas, pasti aku yang salah baca. Aku cari dari ujung lagi.”
Hati Pipin sudah tak menentu, rasanya ia mau menangis tapi di tahan. Sudah lebih dari lima kali Pipin bolak-balik dari ujung ke ujung, dari atas ke bawah untuk mencari namanya. Tapi tidak ia temukan.
Pipin datang menghampiri Bella dengan raut wajah yang gelisah dan keringat membasahi dahinya. “Sudah Bel, nama aku enggak ada.
“Enggak mungkin Pin! Ini pasti ada yang salah. Aku coba datang ke kantor guru ya, aku tanyakan langsung.”
“Sudah Bel, tidak apa-apa... berarti, bukan rezeki aku sekolah di sini.” Ucap Pipin dengan mata yang berkaca-kaca.
Bella memegang pundak kanan Pipin dan berkata dengan tatapan tajam “Pin, aku yakin pasti ada oknum dibalik semua ini. Aku enggak terima Pin, aku bakal ke kantor guru sekarang!”
“Bel sudah! Aku enggak apa-apa... aku paham siapa diri aku, keluarga aku. Mungkin aku memang enggak pantas sekolah di sini.”
“Pin, ini bukan sekolah orang kaya! Sekolah ini untuk semua kalangan, apa pun latar belakang keluarganya bisa sekolah di sini. Tesnya saja susah Pin, kemarin aku belajar mati-matian.”
“Aku yang enggak lulus, malah kamu yang marah-marah. Hehehe... aku enggak mau berlarut-larut, setelah ini aku mau ke SMA Pemudi.”
Tiba-tiba Bella teringat sesuatu dan kembali bicara. “Tunggu-tunggu, kamu enggak lulus. Tapi kok Bernard, Vano dan Ciko bisa lulus? Jangan-jangan mereka...”
“Sudah-sudah! Aku ke SMA Pemudi dulu ya. See you Bel...” Ucap Pipin dan pergi meninggalkan Bella yang bengong.
“Ya ampun... Pipin tegar banget. Aku kalau jadi dia sudah tangis-tangisan, pergi ke ruang guru, gebrak-gebrak meja. Aku salut sama kamu Pin, aku bakal cari tahu ada apa dengan sekolah ini. Tapi aku sedih, enggak satu sekolah lagi sama kamu.” Bella menatap kepergian Pipin sambil mengusap air mata di pipinya.
**
Masih berada dilingkungan SMA Pemuda, tiba-tiba Pipin teringat dengan senyuman ibu. Air matanya hendak jatuh, namun ia tepis dengan tarik nafas dalam-dalam untuk menguatkan hatinya. Cepat-cepat ia pergi dari sana dan pergi menuju SMA Pemudi.
Kini Pipin sedang mengerjakan tes masuk sekolah di SMA Pemudi. Ia tidak merasakan kesulitan sedikit pun, bahkan selesai sebelum waktunya dan setelah itu langsung pulang ke rumah.
**
“Assalamualaikum Pak...”
Bapak Pipin yang sedang sibuk mengukur kain, berhenti sejenak melihat kedatangan putranya. “Wa’alaikumsalam Pin. Bagaimana sekolahnya? Lulus?”
“Biar anaknya lepas sepatu dulu pak, terus ganti baju. Setelah itu baru ditanya-tanya.” Ujar ibu menimpali. Bapak hanya diam.
Sambil melepas sepatu Pipin berkata. “Saya lapar, mau makan.”
“Ya sudah, lekas ganti baju. Ibu sudah masak cumi-cumi telur asin kesukaanmu.”
“Wah... oke buk, terima kasih.” Senyum mengambang di wajah Pipin.
**
Ibu menemani Pipin makan siang, sedangkan bapak masih sibuk dengan pekerjaan jahitnya. Tidak ada raut sedih di wajah Pipin, ia sangat lahap menyantap masakan lezat buatan ibu. Dari raut wajah ibu, Pipin tahu bahwa ia menanti kabar tentang sekolah barunya. Di sela-sela mengunyah, Pipin mulai bicara. “Buk, saya enggak lulus di SMA Pemuda.”
“Oh...” Jawab ibu sambil menutup kedua mulutnya dengan kedua tangan. Ia terkejut.
“Maaf ya buk...” Lanjut Pipin.
“Minta maaf apa Pin? Jangan minta maaf, kamu enggak ada salah. Kan yang mau masuk ke SMA Pemuda kamu sendiri. Ibu enggak pernah tuntut kamu untuk sekolah di sini, di situ.”
Tangis Pipin pun pecah. Ia menangis sambil berucap “maaf buk... maaf... Pipin enggak bisa kasih yang terbaik buat Ibu dan Bapak.”
Ibu memeluk dan mengelus-elus kepala Pipin. “Enggak apa-apa sayang... tidak apa-apa... sekolah bisa di mana saja. Pipin sudah berusaha yang terbaik. Tahu enggak? Allah sudah menentukan jalan yang terbaik buat kamu. Kelak, kita jadi tahu alasan Allah tidak meluluskanmu di sekolah itu. Sudah ya, habiskan makannya, cumi-cuminya habiskan semua. Bapak sudah makan kok.” Ibu tersenyum.
Pipin mengangguk, mengusap air matanya dan kembali makan dengan lahap.
**
Pagi-pagi, ibunya Pipin sedang memilih-milih sayur di pedagang sayur keliling langganan. Tak lama ia mendengar sekumpulan ibu-ibu yang sedang menggosip.
“Eh Jeng... Jeng... ternyata anak-anak yang di terima masuk SMA Pemuda, kebanyakan lewat pintu belakang loh... banyak juga anak titipan dari pejabat-pejabat.”
“Masa sih jeng? Tahu dari mana?”
“Kamu tahu si Pale kan? Anaknya Bu Nuni... dia kan enggak pernah rangking di SMP, SMP 5005 kan tahu sendirilah jeng murid-muridnya kebanyakan bandit begitu. Itu... Lulus dia! Masuk ke SMA Pemuda...”
“Serius jeng? Wah, pantas anak saya enggak lulus. Saya kan enggak tahu kalau bisa lewat pintu belakang. Jadinya bayar berapa itu jeng Bu Nuni buat Pale?”
Sambil bisik-bisik ibu-ibu tersebut menyebut angka yang masih bisa didengar ke telinga Ibu Pipin “dua puluh juta jeng.”
“Astaghfirullohaladzim...” Ibu Pipin terkejut mendengarnya dan tak mau ikut menimbrung dengan ibu-ibu tersebut. Ia lekas-lekas membayar belanjaan dan pulang.
Di perjalanan pulang, Ibu Pipin sempat meneteskan air mata. Karena ia ingat begitu kerasnya Pipin belajar supaya bisa masuk ke SMA Pemuda. Jika memang benar seperti yang dibicarakan ibu-ibu komplek, betapa teganya mereka terhadap kaum kecil seperti keluarga Pipin. “Ibu yakin, kelak Pipin akan jadi orang sukses yang baik. Yang peduli dengan nasib orang-orang kecil.”
**
Pipin sudah diterima sebagai murid di SMA Pemudi. Namanya terpampang jelas di papan pengumuman dengan nilai tertinggi.
**
Hari-hari pun Pipin lewati, tanpa terasa ia juga menikmati sekolah itu. Pipin bukan hanya berprestasi dalam pelajaran, tapi juga jago bermain basket dan merupakan kapten di dalam timnya.
Kali ini, Pipin bersama timnya akan bertanding basket antar SMA sederajat. Pertandingannya diadakan di SMA Pemuda.
“Pipin... Pipin...”
Pipin mendengar ada seseorang yang memanggil namanya. Ia sangat kenal dengan suara itu dan benar saja, dia adalah Bella. Ketika Pipin melihat ke arah Bella, ia tersenyum sambil melambaikan tangan. Bella lari mendekat.
“Pipin, sekarang kamu tinggi banget. Ikutan basket juga?”
“Ya, seperti yang kamu lihat sekarang Bel. Hehehe...”
“Oh iya Pin, sebenarnya sudah lama aku mau bicara sama kamu. Mau ke rumah kamu, tapi enggak sempat. Penting!”
Pipin melihat arloji di pergelangan tangannya.
Bella pun langsung paham dan ia bilang “paling lama lima belas menit. Kita bicaranya lima belas menit, bisa?”
“Oke.” Jawab Pipin.
“Kamu tahu penyebab enggak diterima sekolah ini?” Tanya Bella.
“Tahu. Tapi aku sudah ikhlas kok dan enggak mau memperpanjang itu juga.”
“Sebentar dulu Pin. Tahu apa? Ini supaya kamu tahu yang sebenarnya.”
“Ya tahu kalau orang-orang berduit yang bisa sekolah di sini. Iya kan?” Pipin mengangkat sebelah alisnya.
“Berarti kamu tahu siapa oknumnya? Orangnya kamu tahu?”
“Tahu atau pun enggak, aku enggak punya kepentingan sama mereka.”
Mulut Bella menganga, tak percaya dengan ucapan yang keluar dari teman lamanya ini. “Ya ampun Pin, kamu berubah ya. Bukan cuma badan, sikap kamu juga beda banget.”
Pipin langsung to the point “Bernard kan?”
“Hahaha... itu kan, benar. Sekarang kamu beda! Hem, dulu waktu habis lihat papan pengumuman sama kamu pikiran aku juga jatuh ke dia. Tapi bukan Bernard.”
Pipin terkejut dan lebih dekat ke samping Bella. “Bukan? Terus siapa?”
“Rika.”
“Rika? Kenapa dia? Aku enggak pernah punya masalah sama dia...” Pipin mulai emosi.
Bella mengarahkan Pipin untuk duduk. “Tenang bro, jadi begini. Bapaknya Rika ternyata punya pengaruh besar di kota ini. Bahkan pemimpin kota pun tunduk sama bapaknya Rika, dia pengusaha kelas kakap. Jumlah hartanya disembunyikan dari publik, itu karena jumlahnya sangat fantastis. Kemarin itu, Rika enggak lulus. Si Bernard sebenarnya juga tidak lulus sekolah ini, Vano, Ciko juga, tapi karena ayah-ayah mereka dekat sama Pak kepala sekolah dan berteman baik dengan bapaknya Rika terkabullah semua kemauan mereka dan orang-orang pandai seperti kamu terlempar.”
Rahang Pipin mengeras mengetahui faktanya. “Oh, jadi begitu. Sudahlah Bel, aku menjadi siswa SMA Pemudi dan sangat bersyukur tidak satu sekolah dengan mereka. Terima kasih sudah memberi tahu, karena sebelumnya saya berprasangka buruk ke Bernard dan orang tuanya.”
“Syukurlah kalau begitu, apakah kamu memaafkan mereka?”
“Tanpa meminta maaf pun, saya sudah memaafkan kok. Saya sudah move on, saya sudah punya banyak teman-teman baik juga.” Pipin tersenyum ke Bella.
Bella terperangah “Wow... You are so cool! Oke kalau begitu, selamat bertanding ya. Tapi kayaknya aku bakal dukung kamu daripada sekolah aku sendiri, hahaha...”
“Oh harus! Karena aku wajib mengalahkan sekolahmu.”