Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah ruang kecil, di bawah temaram lampu kuning dengan daya lima watt, seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun tergolek lemah dengan napas tersengal-sengal.
Wajahnya pucat, matanya terus membelalak ke atas. Padahal tiga hari lalu, wanita yang berprofesi sebagai dukun tersebut masih tampak lebih muda sepuluh tahun dari usia sebenarnya, tapi kini ia nyaris tak bisa dikenali lantaran perubahan fisiknya yang sangat drastis. Rambut hitamnya memutih hanya dalam waktu semalam, begitu pula dengan kulit halus dan kencangnya, pun seketika keriput seperti nenek berusia satu abad lebih.
“Ibu ... katakan Laa ilaaha illallaah, Bu ...,” rengek gadis berkulit kuning langsat, tak lain adalah Sekar, putri pertama dari wanita yang tengah sekarat itu. Gadis berusia 23 tahun tersebut menangis pilu sambil memeluk ibundanya.
“Jangan-Jangan itu azab dari profesinya,” bisik salah seorang wanita paruh baya yang merupakan tetangga dari Rasminah, wanita yang saat ini tengah menghadapi sakaratul maut.
“Bukankah seharusnya dia mewariskan ilmu, dan sesuatu yang dia pegang pada keturunannya?” balas yang lainnya, yang merujuk pada jimat atau pusaka gaib yang mungkin dimiliki oleh Rasminah.
Tak lama berselang datang seorang pria tua, dengan mengenakan pakaian serba hitam. Kehadirannya mencuri perhatian semua orang yang ada di sana. Pria tua berkumis tebal, dan kepalanya diikat dengan kain batik kusam tersebut berjalan mendekat ke arah Sekar. Lalu menepuk bahu rapuh Sekar seraya berkata, “Nduk! Apa kau bersedia membantu ibumu untuk mengurangi rasa sakitnya?”
Seketika Sekar menoleh, kemudian ia mengusap air mata yang membuat penglihatannya kurang jelas.
“Anda siapa?” tanya Sekar sedikit mengerutkan keningnya.
“Kau bisa memanggilku dengan panggilan Mbah Jiwo, dan kalau tidak salah ... kau adalah Sekar, bukan?”
Sekar mengangguk ragu. Jawaban pria yang tubuhnya sudah bungkuk itu semakin membuat Sekar berpikir keras. Pasalnya, sekeras apapun Sekar mengingat, ia tetap merasa bahwa ini adalah kali pertama dia bertemu dengan pria tua tersebut. Lalu, bagaimana bisa pria tua itu tahu namanya?
“Aku tahu, bahwa saat ini banyak pertanyaan di dalam kepalamu mengenai siapa aku, tapi semua itu tidak lebih penting dari menyelamatkan ibumu yang saat ini tampak mengkhawatirkan. Apa kau bersedia membantu ibumu, Nduk?”
Keadaan kritis sang ibu membuat Sekar tak bisa berpikir jernih, hingga ia mengangguk setuju tanpa tahu apakah pria tua di hadapannya tersebut benar-benar ingin menolongnya, atau justru hendak mencelakakannya.
“Apa mungkin ada yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkan ibu saya, Mbah? Apa Mbah juga bisa membuat ibu saya sembuh seperti sedia kala?”
Belum lagi dijawab oleh Mbah Jiwo, tiba-tiba Sekar dibuat terkejut oleh sang ibu yang tiba-tiba memegang tangan Sekar. Tangan tua yang mengeluarkan suhu cukup panas tersebut gemetaran, mengerahkan tenaga untuk meremas tangan Sekar.
“Ibu? Apa Ibu ingin mengatakan sesuatu?” tanya Sekar yang kini mendekatkan telinganya pada wajah sang ibu, kala ia melihat ibunya tengah berusaha membuka mulut, dengan mata yang terus melotot, menegaskan perjuangannya untuk bicara.
“Ban—tu Ibu melepaskan ikatan ini, Nak ....”
Embusan napas panas saat mendengar bisikan sang bunda yang terucap patah-patah, membuat bulu kuduk Sekar meremang. Hatinya tersayat, tak mampu membayangkan tentang apa yang saat ini dirasakan ibunda tercintanya.
Setelah membisikan permintaannya tersebut, Rasminah tiba-tiba mengalami kejang. Tatapan matanya kosong, seakan jauh ke awang-awang.
“Ibu! Ucapkan Laa ilaaha illallah, Bu!” seru sekar reflek.
“Mau kau talkinkan dengan ayat kursi sekalipun, jika ilmu ibumu belum diturunkan, dan pusaka gaib yang dia pegang belum dilepaskan, maka ibumu tetap akan tersiksa seperti itu. Dia tidak akan mati, tapi siksaan yang dia rasakan akan terus meningkat,” sahut Mbah Jiwo yang kemudian membuat Sekar berhenti menuntun ibundanya untuk mengucap kalimat tauhid.
“Lalu, apa yang bisa saya lakukan agar ibu saya bisa pergi dengan tenang?” Kali ini Sekar menatap nanar pada Mbah Jiwo. Tersirat keputus asaan dalam pertanyaannya tersebut.
Mbah Jiwo menyeringai tipis, lalu berkata, “Jika kau ingin menolong ibumu, maka kau harus siap menjadi penerusnya. Kau harus bersedia menjadi tuan baru bagi pusaka ibumu.”
Sontak semua orang yang ada di sana terperangah mendengar ucapan Mbah Jiwo yang meluncur ringan, tanpa peduli waktu dan tempat. Tanpa peduli dengan orang-orang sekitar yang turut mendengarnya. Meski menjadi dukun santet memang tampak hina dan mengerikan di kalangan Masyarakat, tapi Mbah Jiwo justru percaya diri untuk membuat Sekar menjadi penerus Rasminah.
“Edan! Apa hanya itu satu-satunya cara? Dalam agama Islam, agama yang kami anut, sangat diharamkan memainkan sihir! Bagaimana kau bisa menjerumuskan gadis belia seperti dia?” sahut Marsinah, perempuan paruh baya yang merupakan adik kandung Rasminah. Ia yang masih berdiri di ambang pintu karena baru kembali dari perantauan pun bergegas masuk, dan langsung berdiri di hadapan Mbah Jiwo, melindungi sekar agar tak terpengaruh dengan hasutan Mbah Jiwo.
“Bukankah dalam agamamu juga diajarkan bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu? Lantas, apa kau akan menghalangi seorang putri yang ingin berbakti pada ibunya?” kilah Mbah Jiwo yang memanfaatkan sedikit tentang aturan agama Islam.
Sekar meremas bajunya, kala mendengar ucapan Mbah Jiwo. Menatap pilu pada sang bunda yang kini mulai tenang, tapi di wajahnya muncul pembuluh darah berwarna kehitaman. Bak akar pohon yang menjalar di dalam tanah.
“Ibu yang rela terjun ke dalam lembah neraka demi membesarkanku, Ibu yang menjual jiwanya pada makhluk keji yang merupakan musuh abadi manusia demi membuat kami hidup layak. Bagaimana bisa aku mengabaikannya? Bagaimana bisa aku melepas tanganku, saat kini Ibu menderita?”
Hati sekar mulai berkecamuk. Rasa takut pada Yang Maha Esa mulai tertutup oleh rasa tak tega pada sang bunda.
“Berbakti pada orangtua memang wajib, tapi bukan berarti harus menyekutukan Allah Yang Maha Esa untuk berbakti!” bantah Marsinah.
Seketika Sekar tersentak, dan tangannya kini beralih meremas ujung kebaya kutu baru merah jambu yang dikenakan bibinya tersebut.
“Bibi ...,” lirih sekar yang seakan ingin bersandar pada sang bibi. Tanggap akan perasaan Sekar, Marsinah pun menggenggam erat tangan sekar. Menegaskan bahwa ia akan melindungi Sekar, meski kini masih belum mengedipkan matanya yang tengah menatap tajam Mbah Jiwo, mengisyaratkan perlawanan.
Namun, alih-alih menampakan kemarahan, atau kekecewaan karena dihalangi Marsinah saat menghasut Sekar, Mbah Jiwo justru tersenyum. Ia mengepalkan tangan seraya menggerakkan ibu jarinya untuk menggosok batu hitam pekat yang bertengger pada cincin yang melingkar misterius di jari telunjuknya. Bibir hitam Mbah Jiwo tampak komat-kamit, seakan tengah merapalkan mantra.
“Apa lagi yang pria tua ini lakukan?” batin Marsinah yang semakin teliti mengamati gerak-gerik Mbah Jiwo. Benar saja, saat perhatian Marsinah berhenti pada tangan Mbah Jiwo, Ia menyaksikan kilatan cahaya ungu di dalam batu hitam dari cincin tersebut.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Sekar berteriak, “Ibu ...!”
Membuat Marsinah terkejut dan menoleh pada kakaknya yang kini tengah muntah darah. Sementara Sekar semakin panik, Marsinah berusaha tenang dan meminta tolong pada salah seorang warga yang berada di sana untuk mengambilkan wadah kosong, air minum, handuk kecil, dan sebaskom air hangat.
“Azab Allah benar-benar nyata. Padahal dia memasukkan anak bungsunya ke pondok pesantren, tapi tetap saja tak luput dari azab. Amit-Amit, semoga seluruh keturunanku tidak ada yang bermain sihir,” celetuk salah seorang warga.
“Habis menyantet orang, langsung disantet Allah. Benar-Benar ngeri, ya?” sahut yang lainnya.
Sayangnya celetukan tak pantas tersebut didengar oleh Sekar dan Rasminah. Tak pelak Rasminah pun murka. Lalu berseru, “Kalau tidak bisa membantu, jangan membicarakan dosa orang yang sedang kalian jenguk! Kita semua adalah pendosa yang juga sedang menunggu ganjaran dari Yang Maha Kuasa, pantaskah kalian menghakimi pendosa lain, padahal belum tentu kalian selamat dari penghakiman Yang Maha Kuasa?”
“Memang kenyataannya begitu, kok! Masalah dosa, kita memang memiliki dosa masing-masing, tapi dosaku tidak lebih parah dari dosa Rasminah, kakakmu!”
Jawaban wanita paruh baya yang merupakan salah satu tetangga Rasminah tersebut membuat Marsinah semakin murka, sampai-sampai ia menyerahkan handuk dan wadah yang ia gunakan untuk mengurus kakaknya pada Sekar.
Marsinah pun beranjak dari sisi Rasminah. Menghampiri tetangganya yang julid dan sombong tersebut.
“Atas dasar apa kau mengira bahwa kau lebih baik dari kakakku? Hah!” Marsinah mengintimidasi tetangganya dengan berdiri tepat di hadapannya sambil memberikan dorongan pelan, dan secara berkala pada tetangganya yang julid.
“Ketika setan gagal membuatmu tersesat, maka dia akan memilihkan jalan sesat yang lain. Salah satunya adalah dengan membuatmu merasa lebih baik dari pendosa lainnya! Saat ini kau memang belum mendapatkannya, tapi jika waktunya tiba, kau pun akan menuai buah dari tindakanmu!” sambung Marsinah lagi.
Wanita paruh baya tersebut tampak tak bisa berkata-kata. Kemudian ia menoleh ke kanan, dan ke kiri, untuk melihat reaksi orang sekitar. Seakan tak mau kalah, kali ini wanita tersebut membalas ucapan yang membuatnya terpojok tadi dengan berkata,
“Apa kau sedang mengancamku? Penampilan dan cara bicara saja sok alim, tapi adik tukang santet tetap saja adik tukang santet! Paling kau juga akan menggunakan ilmu hitam untuk mengirimi teluh padaku! Iya, ‘kan?”
Semakin ngelunjak, kali ini Marsinah mulai mengangkat tanganya. Mengambil ancang-ancang untuk memukul mulut tetangganya tersebut. Namun, saat tangannya mengudara, tiba-tiba Sekar menahan tangan bibinya tersebut. Menatap intens mata sang bibi sambil menggelengkan kepala sebagai isyarat agar bibinya tidak melakukan perbuatan kasar tersebut.
Tidak hanya itu, Sekar bahkan menyiram bensin pada kemurkaan bibinya dengan duduk bersimpuh di hadapannya. Menghadap ke arah para warga dan wanita julid tadi.
“Kami sekeluarga memang buruk. Tolong maafkan kami. Saya mohon untuk para warga yang pernah tersakiti oleh perbuatan ibuku, baik itu disengaja maupun tidak, saya sebagai putri beliau, minta maaf atas nama ibuku pada saudara sekalian. Mohon dimaafkan, agar siksaan yang diderita ibuku berkurang.”
Marsinah langsung menarik lengan Sekar. “Sehina dan senista apapun kamu, manusia tidak boleh bersujud pada manusia lainnya. Manusia hanya boleh bersujud dan minta ampunan pada tuhannya! Paham!” tegas Marsinah yang kemudian mendorong kasar sang keponakan untuk masuk kembali kemar Rasminah.
“Untuk kalian! Aku yakin, meskipun kakakku seorang dukun santet, tapi kakakku tidak pernah berbuat buruk pada kalian. Bukankah tak sedikit dari kalian yang mendapat bantuan dari kakakku? Yang tidak suka pada kakakku, pergilah dari sini, tapi bagi kalian yang ingin membalas budi, inilah kesempatan terakhir kalian!” ucap tegas Marsinah pada para warga yang ada di rumahnya.
Alih-Alih bubar dan pergi begitu saja, para warga justru berinisiatif untuk menggelar acara do’a bersama. Hanya beberapa gelintir orang yang pergi. Itu pun hanya orang yang sedari awal datang sudah berkomentar buruk mengenai apa yang tengah dialami Rasminah saat ini.
Ya! Meskipun Rasminah dikenal sebagai seorang dukun santet, tapi ia sangat jarang menggunakan ilmu yang dia punya untuk mencelakai orang lain. Saat ada orang yang datang untuk meminta bantuannya untuk mengirim santet, Rasminah tidak sembarangan menerima. Rasminah menyelidiki lebih dulu perkara sesungguhnya yang dihadapi kliennya.
Jika memang target yang diminta memang layak untuk disantet, yang tentunya menurut standar Rasminah. Maka dia akan menerima permintaan kliennya. Itupun dengan bayaran yang tidak sedikit. Sementara bantuan yang ia berikan pada tetangga-tetangganya bukanlah membagikan uang bayarannya pada mereka layaknya bersedekah, melainkan memberikan penglaris secara cuma-cuma bagi yang berdagang.
Tak jarang, ada juga yang mendatangi Rasminah untuk pasang susuk, menangkal kiriman teluh yang kadang menimpa warganya, atau membantu pengusiran makhluk halus yang kadang mengganggu rumah warga. Itu pun kalau tetangga tersebut bersedia menerima bantuannya.
Sebab di desa Sugih Waras, tak sedikit yang paham agama islam, dan menjadikan Rasminah musuh nyata umat islam di daerah itu. Meski begitu, perilakunya dalam bertetangga sangat baik, membuat banyak warga yang merasa tak terganggu dengan keberadaan Rasminah.
***
Acara do’a bersama masih berlangsung, meski saat ini sudah memasuki hari ke tujuh. Anehnya, meski acara do’a bersama berlangsung tanpa henti, karena para warga berinisiatif untuk mengaji secara bergilir, tapi nyatanya kondisi Rasminah justru semakin parah.
“Nak Sekar, saya dan para warga yang lain sudah membantu sekuat tenaga kami, tapi tetap tidak ada perubahan. Karena kami juga punya keperluan dan harus mengurus urusan kami masing-masing, kami pamit undur diri. Sekedar memberi saran, sebaiknya Nak Sekar meminta pertolongan kyai, atau orang pintar lainnya. Agar ibu Nak Sekar tidak tersiksa semakin lama.”
Bukan satu-persatu, tapi semua warga yang dari awal tulus ikhlas mengaji untuk Rasminah berbondong-bondong pergi, dengan diwakili oleh salah seorang warga yang maju untuk berpamitan. Mereka lelah dan menyerah, lantaran tak ada sedikit pun perkembangan.
Awalnya, saat mendengar pernyataan pamit dari pria paruh baya tersebut, Sekar masih bisa tegar, dan masih tersenyum ikhlas. Namun, saat wanita paruh baya yang berdiri tepat di belakang pria yang berpamitan tadi maju, lalu memeluk sambil menyalami Sekar, dan berbisik,
“Semoga sedikit rezeki yang kami kumpulkan ini bermanfaat untukmu. Kuatkan hatimu. Yang sabar, ya, Nduk?”
Seketika tangis Sekar pecah. Betapa tidak. Bukan hanya mengorban waktu, dan tenaga untuk mendoakan ibunya, para warga juga berinisiatif mengumpulkan uang kolektif untuk membantu Sekar. Ibunya dikenal sebagai dukun santet dan musuh agama islam, tapi bukannya mendapat cercaan, hinaan, atau sumpah serapah. Para warga justru bersikap hangat dan tulus. Sampai-Sampai Sekar tak bisa berkata-kata lagi.
Begitu pula dengan Marsinah yang tampak menangis haru, di balik pintu kamar kakaknya. Ia tak bisa turut serta mengucap terima kasih dan berdiri di luar untuk menyalami warga, lantaran tidak bisa meninggalkan kakaknya, meski hanya sebentar. Sementara para warga juga takut untuk melihat kondisi Rasminah secara langsung.
Setelah para warga pergi meninggalkan rumah Sekar, tak berselang lama Marsinah memanggil Sekar dan bertanya,
“Apa kau sudah memberi kabar pada adikmu, mengenai kondisi ibumu sekarang, Nduk?”
Masih dengan sisa air mata, Sekar menggeleng.
“Belum, Bi. Sebentar lagi Arum ujian. Aku takut, jika aku memberi tahu Arum mengenai kabar kondisi ibu saat ini, akan membuat Arum meninggalkan pondok tanpa menyelesaikan ujiannya. Bukankah sayang?” jawab Sekar dengan suara yang masih bergetar.
“Ujian bisa diulang, tapi bagaimana jika di saat-saat terakhir ibumu, Arum tidak berada di sisinya? Apa nantinya Arum tidak marah? Di saat begini, seorang ibu biasanya sangat rindu dan sangat ingin didampingi anak-anaknya, melebihi saat hari raya,” ungkap Marsinah seraya mengusap lembut kepala Sekar.
“Mungkin saja dengan kehadiran Arum, justru bisa membuat kondisi ibumu jauh lebih baik,” pungkas sang bibi yang langsung dianggukki kepala oleh Sekar, sebagai isyarat bahwa ia mengerti.Tanpa menunda-nunda, Sekar bergegas pergi ke kamarnya. Mengambil pena dan kertas guna menulis sebuah surat untuk Arum, adik satu-satunya.
Selesai menulis surat, Sekar berpamitan pada sang bibi untuk pergi ke rumah Bu Yatmi. Salah seorang tetangga yang putranya satu pesantren dengan Arum.
“Jangan lama-lama, dan segera pulang! Sebentar lagi masuk waktu maghrib!” pesan sang bibi yang mengkhawatirkan keponakannya.
Jarak tempuh antara rumah Sekar dengan rumah Bu Yatmi tidak terlalu jauh. Hanya sekitar lima menit jika ditempuh dengan mengendarai sepeda ontel. Sayangnya, sore itu kebetulan sepeda Sekar bannya kempes, sehingga ia harus jalan kaki.
Sekitar lima belas menit lamanya Sekar berjalan, akhirnya ia pun sampai di rumah Bu Yatmi. Hanya sekali mengetuk pintu sambil mengucap salam, Bu Yatmi langsung keluar dan langsung mempersilakan Sekar untuk masuk dan duduk.
Namun, belum juga duduk, Sekar langsung menyampaikan maksud kedatangannya.
“Sebelumnya, saya minta maaf, Bu. Saya tidak bisa berlama-lama karena kondisi ibu saya sedang tidak bisa untuk ditinggal lama. Jadi langsung saja saya sampaikan maksud kedatangan saya kemari.” Bu Yatmi mengangguk paham. Lalu, Sekar menyerahkan amplop putih yang tepiannya garis-garis warna biru-merah. “Apa ini, Nduk?” tanya Bu Yatmi seraya mengerutkan keningnya.
“Jika memungkinkan, saya ingin minta tolong pada Bu Yatmi untuk mengirimkan surat ini pada kepala pondok pesantren Nurul Huda. Keadaan ibu sudah sangat parah. Jadi bibi Marsinah menyarankan agar Arum diberi kabar supaya segera pulang. Lalu ini untuk ongkos ...,”
Belum juga Sekar menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Bu Yatmi langsung memeluk Sekar. Ia juga menangisi Sekar karena merasa iba.
“Jangan bertingkah seperti orang lain, Nduk cah ayu. Kamu sudah kuanggap putriku sendiri. Bawa, dan simpan kembali uangmu. Gunakan saja untuk keperluan mendesak lainnya. Besok, pagi-pagi sekali, aku akan berangkat dan menyampaikan secara langsung surat ini. Aku juga akan membawa Arum pulang bersamaku,” tukas Bu Yatmi meyakinkan Sekar, sekaligus menegaskan pada Sekar bahwa beliau ada untuk Sekar.
Namun, saat Bu Yatmi menyuruh Sekar untuk duduk, dan hendak membuatkannya minum, Sekar menolak karena memang Sekar tidak bisa berlama-lama. Tepat saat adzan maghrib berkumandang, saat itu pula Sekar berpamitan untuk pulang.
“Jangan sekarang, Nduk. Setidaknya tunggulah sampai adzan selesai. Tidak baik melakukan perjalanan saat sandekala begini.”
Mengabaikan nasihat Bu Yatmi, Sekar bersikeras untuk pulang lantaran rasa cemas yang tak tertahankan pada ibunda tercintanya.
Benar saja. Di tengah perjalanan, tepatnya saat Sekar sampai di pertigaan jalan, tiba-tiba suara berat dan sedikit serak memanggil namanya hingga membuat sekar kaget.
Perasaan tegang sekaligus takut, membuat Sekar berkeringat dingin, dan gemetaran hingga tak mampu bergerak.
“Sekar, Nduk cah ayu. Jangan takut. Ini aku.”
Dari balik pohon randu alas tua yang ada di pinggir jalan, tepatnya di pinggir pertigaan, yang konon katanya pohon tersebut adalah sarang lelembut, Mbah Jiwo muncul. Menambah kekagetan Sekar hingga membuatnya jatuh terjengkang, nyaris masuk ke parit. Masih dengan pakaian sebelumnya, yakni pakaian serba hitam. Meski tubuhnya sudah bungkuk, tapi Mbah Jiwo tidak menggunakan bantuan tongkat.
“Ap—apa lagi yang Anda mau?” Sekar terbata-bata. Senada dengan Mbah Jiwo yang mendekat ke arah Sekar secara perlahan, Sekar pun beringsut mundur ke samping.
“Tenang, Nduk cah ayu. Aku tidak ingin mencelakaimu. Sebaliknya. Tujuanku menemuimu di sini adalah untuk membantumu,” terang Mbah Jiwo yang kemudian menghentikan langkahnya. Berbalik arah menghadap ke samping, agar Sekar bisa sedikit mengurangi rasa takutnya.
“J—Jika yang Anda maksud adalah menjadi penerus ibuku, maka aku tidak akan melakukannya! Aku tidak akan terjerumus ke dalam lembah neraka seperti ibuku!”
Perlahan, Sekar mulai bangkit. Keberaniannya mulai terkumpul, sehingga ia pun kembali mampu mengendalikan dirinya.
“Aku memaklumi sikap sombongmu, karena kau masih kecil. Tapi, aku yakin, begitu kau tiba di rumah, kau akan kembali ke sini untuk meminta pertolonganku.”
Tak ingin mendengar omong kosong pria tua yang sama sekali tidak dikenalnya, Sekar pun mengambil langkah seribu pulang ke rumah.
Namun, begitu sampai di rumahnya, perasaan lega dan aman hanya menyapanya sekejap saja. Sebab begitu Sekar menutup pintu, tak berselang lama terdengar teriakan sang bibi, hingga membuat Sekar panik dan bergegas masuk ke kamar ibunya.
Begitu membuka kamar sang ibu, Sekar dibuat terperangah, lantaran menyaksikan sang ibu yang saat ini tengah menari di atas ranjangnya. Sekar diam mematung, fokus mengamati ibunya dari ujung kaki, hingga ujung kepala. Kebaya kuthu baru warna abu-abu yang kini berlumuran darah di bagian depan, rambut putih acak-acakan, lalu kulit keriput yang tampak pucat, dan mata yang masih terpejam, membuat bulu kuduk Sekar meremang.
Belum usai Sekar mencerna apa yang ia saksikan, tiba-tiba sang bibi menepuk bahu Sekar sambil berkata, “Aku akan pergi ke rumah Pak RT untuk minta bantuan. Pesan Bibi, sebelum Bibi kembali, jangan tinggalkan ibumu meski hanya sedetik.”
Meski sebenarnya takut dan ingin berkata ‘tidak’, tapi Sekar tetap menganggukkan kepala,hingga Marsinah langsung bergegas pergi. Sekar terus menatap punggung sang bibi dengan tatapan tidak rela lantaran ditinggalkan sendiri.
Kini, sang bibi benar-benar sudah pergi, Sekar kembali menoleh pada sang ibu yang belum berhenti menari. Berusaha melawan rasa takut, Sekar mencoba untuk mengatakan sesuatu pada ibunya yang kini seperti orang kesurupan.
“I—Ibu ... jangan membuat Sekar takut, Bu. Kendalikan diri Ibu, dan berhentilah melakukan gerakan yang menakutkan seperti itu, Bu ....”
Tak disangka, setelah Sekar merengek, seketika itu pula Rasminah berhenti menari. Alih-Alih merasa aman, rasa takut Sekar justru semakin meningkat, lantaran sang ibu berdiam diri dan terus menghadap ke arahnya. Lalu, tiba-tiba Rasminah membuka matanya. Menampakkan mata yang kosong, tak ada bola mata. Hanya ada darah yang mengalir dari sepasang wadah matanya tersebut.
Jelas saja Sekar berteriak histeris, lalu lari terbirit-birit keluar rumah, sambil berteriak minta tolong. Tanpa disadari, saat ini Sekar tengah berlari menuju pohon randu alas tua, yang tadi menjadi titik temu antara dirinya dengan Mbah Jiwo.
Seakan sudah direncanakan, rupanya Mbah Jiwo masih menunggu di sana. Alih-Alih merasa takut, Sekar justru merasa lega kala melihat sosok Mbah Jiwo. Persis seperti yang dikatakan Mbah Jiwo sebelumnya, kali ini Sekar benar-benar meminta pertolongan pada Mbah Jiwo. Dia menceritakan tentang kondisi ibunya saat ini.
Lalu, dengan tenang Mbah Jiwo menjawab, “Kondisi seperti inilah yang ‘ku maksud. Jika pusaka ibumu tidak segera dialihkan pada keturunannya, maka kau tidak akan bisa memakamkan raga ibumu dengan layak, karena pusaka yang dipegang ibumu akan membawa raganya pergi ke alam lain.”
“Apa tidak bisa kalau hanya dibuang, atau diturunkan pada orang yang mau?” tanya Sekar, mencoba mencari kemungkinan lain.
Namun, Mbah Jiwo langsung menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak bisa. Karena pusaka itu harus diwariskan pada anak kandung ibumu. Kau harus segera memutuskannya sebelum semua terlambat. Saat ini pusaka tersebut mulai mengambil kendali atas raga ibumu, mungkin sebentar lagi pusaka tersebut akan membawa raga ibumu, dan menelan seluruh jiwanya.”
Tak punya pilihan lain, pada akhirnya Sekar bersedia menjadi pewaris atas senjata ibunya. Segera Mbah Jiwo mengajak Sekar kembali ke rumahnya, guna melakukan ritual pemindahan pusaka gaib Rasminah.
Entah itu kebetulan, atau memang sudah menjadi bagian dari rencana Mbah Jiwo. Begitu tiba di rumah Sekar, Marsinah yang pergi beberapa saat lalu, rupanya belum kembali. Segera Mbah Jiwo mengeluarkan lawon putih dengan panjang 50 cm dan lebar 20 cm dari kantong bajunya.
“Tidakkah sebaiknya kita menunggu bibiku dulu, Mbah?” tawar Sekar yang tiba-tiba ragu.
Sayangnya, Mbah Jiwo menolak dengan dalih tidak ada waktu lagi karena kondisi Rasminah yang semakin kehilangan jiwanya. Lalu, Mbah Jiwo meminta Sekar untuk berbaring di samping ibunya, dan menutup wajah Sekar dan Rasminah dengan lawon putih tadi.
Kemudian Mbah Jiwo menaburkan sejumlah kelopak bunga yang biasa orang jawa sebut kembang setaman, di atas lawon putih tersebut. Setelah itu, Mbah Jiwo memercikkan air misterius, dan membacakan sebuah mantra dengan bahasa jawa kuno yang tak bisa dipahami oleh Sekar.
Seketika kesadaran Sekar menghilang. Sukmanya mulai masuk ke dunia lain dan bertemu dengan sesosok makhluk mengerikan yang dipenuhi dengan bulu hitam, sepasang mata yang menyala merah, dan sebuah taring panjang di sudut kiri mulutnya yang melengkung seperti gading babi hutan. Makhluk tersebut mengaku sebagai wujud pusaka Rasminah, dan meminta Sekar untuk tidak takut.
“Satu taringku sudah kuserahkan pada ibumu, Untuk membuatku menjadi pusakamu, kau harus mencabut taringku yang tersisa!” perintah makhluk mengerikan tersebut.
Anehnya, tangan Sekar bergerak dengan sendirinya maju ke mulut makhluk tersebut, dan mencabut taring itu, hingga membuat tangan Sekar terluka dan berdarah.
“Perjanjian darah telah selesai. Sekarang kau adalah tuanku yang baru. Kau bebas menggunakan aku, tapi kau harus memberiku makan dengan darah cemani setiap malam jum’at kliwon, jam 00:00.”
Tiba-Tiba makhluk tersebut lenyap, dan berubah menjadi gading kecil di telapak tangan kiri Sekar. Tak berselang lama, Sekar pun kini kembali sadar. Sukmanya telah kembali ke tubuhnya, hingga kejadian tadi seperti mimpi bagi Sekar.
“Bukan hanya pusaka gaib, tapi sekarang ilmu ibumu juga menurun padamu secara otomatis, maka manfaatkan ilmu tersebut dengan bijak,” pungkas Mbah Jiwo yang kemudian pergi begitu saja tanpa pamit.
Tak berselang lama setelah Mbah Jiwo keluar dari rumah Sekar, tiba-tiba pintu kembali terbuka. Kali ini adalah Marsinah yang kembali bersama ketua RT dan beberapa warga lainnya.
Sementara Sekar yang kini duduk di samping ibunya masih tampak linglung dan bingung, Marsinah datang dengan raut wajah panik. Terlebih lagi, kali ini Rasminah lebih pucat dari sebelumnya. Benar saja. Begitu Marsinah menempelkan telinga kanannya di dada kakaknya, seketika ia menangis histeris, lantaran tak mendapati denyut jantung Rasminah.
***
Tiga hari telah berlalu sejak kematian Rasminah. Sikap Sekar sungguh di luar dugaan. Alih-Alih berduka, karena semua orang tahu bahwa Sekar sangat menyayangi ibunya, Sekar justru tampak biasa saja. Seakan tak pernah terjadi apa-apa. Bahkan Sekar sudah mampu menebar senyum kala menyuguhkan makanan ringan pada rombongan tetangga yang mengaji di rumahnya.
Tidak hanya sikapnya yang aneh. Sekar juga lebih sering mengurung diri di dalam kamar rahasia ibunya, hingga membuat Arum cemas sekaligus curiga. Tidak hanya sekali-dua kali Arum bertanya langsung pada Sekar mengenai keadaannya, tapi jawaban tetap sama, cenderung menunjukkan sikap dingin pada adik yang biasanya ia perlakukan layaknya sahabat.
Suatu ketika, Arum semakin gusar dengan kebiasaan Sekar yang semakin parah, hingga akhirnya Arum nekat mengintip Sekar yang kala itu kembali mengurung diri di kamar yang dikeramatkan ibunya. Betapa terkejutnya Arum saat menyaksikan Sekar tengah memakan beberapa kelopak bunga yang beragam, menyalakan dupa, dan tampak tengah bicara, tapi Arum tak melihat orang lain di sana.
‘Brak! Brak! Brak!’ Langsung saja Arum menggedor pintu tersebut, sambil berteriak memanggil Sekar.
Alih-Alih marah atau mengamuk, Sekar justru tampak tenang kala membuka pintu kamar tersebut. Ia bahkan mempersilakan Arum untuk masuk dan malah menunjukkan kamar tersebut penuh kebanggan.
“Apa-Apaan ini?” pekik Arum setelah selesai mengedarkan pandangannya menjelajah kamar gelap berhiaskan dengan rangkaian bunga melati yang menjulur di setiap dindingnya bak tirai.
“Indah, bukan?” jawab Sekar sambil tersenyum bangga. Mengabaikan sorot amarah yang ditegaskan Arum.
“Kamar ibu yang dulu membuat kita penasaran, akhirnya sekarang kita bisa bebas menginjakkan kaki kita, atau bahkan bermain-main di sini.”
Sekar beralih naik ke ranjang yang ada di kamar tersebut. Ranjang yang di atasnya bertaburan macam-macam kelopak bunga. Ada melati, mawar, bahkan bunga kantil pun tak ketinggalan.
“Apa yang terjadi padamu, Mbak? Kenapa sikapmu jadi seperti ini?” tanya Arum yang seakan tak mengenal kakaknya lagi.
“Awalnya kamar ini tampak suram, dan di penuhi dengan sarang laba-laba, tapi aku menghabiskan waktuku untuk mempercantik kamar ini. Bagaimana menurutmu? Apa kau juga menyukainya, Adikku?”
Alih-Alih menanggapi pertanya Arum tadi, Sekar justru membicarakan hal lain sambil rebahan di ranjang yang seperti ranjang pengantin itu sambil memainkan taburan kelopak bunganya. Hal itu membuat Arum jengkel dan langsung meraih pergelangan tangan kakaknya, lalu menyeretnya turun dari ranjang tersebut.
“Berhenti bersikap gila! Jelaskan padaku, apa yang terjadi? Kenapa kau jadi seperti ini? Ke mana Mbak Sekar yang kukenal?”
Rentetan tanya mengalir penuh emosional, seakan tak sabar menuntut jawaban. Lagi-Lagi Sekar tersenyum, bahkan kali ini senyuman Sekar mengembang menjadi tawa.
“Memangnya Sekar yang kau kenal itu seperti apa? Dan Sekar yang dihadapanmu sekarang itu seperti apa? Apa yang kau tahu tentang Sekar, wahai adik perempuanku yang secantik bidadari surga?” Sekar menghentikan gelak tawanya, lalu memegang kedua pipi adiknya. Menatap sendu pada sepasang mata bening kepunyaan Arum.
“Sekarang aku menemukan jalanku. Aku tidak lagi iri padamu, dan aku tidak lagi merasa rendah diri.”
Arum mengerutkan keningnya. Ia yang tak mengerti ucapan Sekar pun hanya menunggu kalimat Sekar selanjutnya.
“Apa kau ingat, saat kita mondok di pondok pesantren AL-IMAN?” Arum mengangguk dengan ekspresi wajah bingung. Meninggalkan senyum lembut yang menyiratkan kesedihan, Sekar berbalik memunggungi Arum dan melanjutkan kembali apa yang ingin ia katakan.
“Meski saat itu menjadi tragedi, bibit trauma, sekaligus menjadi akar masalahku, tapi masa-masa menyenangkan yang kita lalui disana, terkadang membuatku ingin sekali kembali ke masa itu. Andai kyai itu tidak dirasuki iblis, andai dari awal kita memilih pondok pesantren yang tepat seperti tempatmu menuntut ilmu sekarang, mungkin aku ....”
Arum memotong ucapan Sekar dengan langsung memeluk Sekar dari belakang.
“Jangan teruskan. Meski aku selamat, tapi ....” Arum sesenggukkan, tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Lalu, Sekar berbalik, dan mengusap air mata Arum, sambil bertanya,
“Arum adikku, menurutmu ... apakah pantas jika kyai cabul seperti kyai Rasyid terus memimpin pondok pesantren yang menjadi tempat untuk menimba ilmu agama kita yang suci?” Arum menggeleng mantap.
“Lalu, menurutmu apakah ada kemungkinan bahwa tidak akan ada santri yang bernasib sama seperti kita, sementara penjahat itu tidak pernah mendapat hukuman, dan malah berkeliaran bebas di tempat dia bermaksiat?”
Tidak seperti sebelumnya, kali ini pertanyaan Sekar mendapat anggukan ragu-ragu dari Arum. Lantas, Sekar pun bertanya pada Arum mengenai alasan dan atas dasar apa Arum mengangguk ragu, padahal jawabannya sudah jelas.
“Sejatinya sifat manusia itu bisa berubah. Tak selamanya seorang pendosa akan bertahan dengan kemaksiatannya. Seperti halnya Umar Bin Khattab, yang awalnya sangat membenci dan memusuhi islam saja, kini justru dikenal sebagai salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimuliakan. Begitu pula dengan kyai Rasyid. Jika Allah Azza wa Jalla sudah berkehendak memberikan hidayah-Nya pada beliau, maka bukan hal mustahil jika pada akhirnya beliau bertaubat.”
Sekar kembali terbahak-bahak setelah mendengar penjelasan adiknya tersebut. Bahkan di sela-sela tawanya ia berkata, “Bagaimana bisa kau samakan Rasyid yang hanya mengenakan pondok pesantrennya selayak jaring laba-laba untuk menjebak mangsa, dengan makhluk mulia seperti Umar Bin Khattab? Tidakkah itu termasuk menghina sahabat Nabi? Umar Bin Khattab membuat setan lari terbirit-birit hanya dengan melihatnya, tapi Rasyid? Iblis pun pasti pensiun menggodanya. Bukankah dia lebih layak jika disebut sebagai Fir’aun masa kini?”
Kenyataannya, jauh di dalam lubuk hati Arum, ia setuju dengan pernyataan Sekar. Ia hanya sedang menjaga prasangka hatinya pada sesuatu yang belum menampakkan buktinya.
Ya. Pada awalnya Sekar dan Arum pernah bersama-sama menuntut ilmu di pesantren. Tepatnya saat keduanya masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu Rasminah hanya dukun biasa yang juga punya keinginan layaknya ibu pada umumnya. Nyaris membuat kedua putrinya putus sekolah, karena keterbatasan biaya, Rasminah yang mendapat kabar tentang adanya sebuah pondok pesantren yang menerima pembayaran seikhlasnya, juga akan memberi bantuan pada santri-santri yang kurang mampu, pun tak melewatkan kesempatan tersebut.
Namun, ternyata keputusannya tersebut justru menjadi petaka bagi kedua putrinya. Hal itu terungkap kala Sekar dan Arum tiba-tiba pulang setelah enam bulan mondok. Lebih mengejutkannya lagi, kedua gadis yang masih berusia sembilan dan dua belas tahun itu mengaku kabur lantaran pelecehan yang dilakukan oleh kyai besar.
Awalnya Rasminah tak percaya, dan beranggapan bahwa itu hanya alasan anaknya yang dibuat-buat karena tidak betah di pondok, tapi setelah Sekar mengajak ibunya masuk ke kamar, dan memperlihatkan jejak asusila yang ada di tubuhnya, seketika Rasminah menangis pilu. Namun, ia langsung menghentikan tangisnya dan langsung memanggil Arum. Ia membuka pakaian Arum untuk memeriksa tubuhnya. Namun, tak ia temukan jejak serupa di tubuh Arum.
“Ibu tenang saja. Tidak terjadi apa-apa pada Arum. Hanya aku yang mendapat perlakuan seperti itu, tapi aku membawa Arum kabur, karena aku takut kalau apa yang menimpaku juga akan menimpa Arum nantinya,” terang Sekar meredam perasaan was-was ibunya. Ketabahan yang ditunjukkan Sekar menjadi cambuk bagi Rasminah.
Dengan perasaan hancur yang tidak bisa digambarkan, Rasminah memeluk kedua putrinya sambil berulang kali mengucap maaf. Sempat membuat tuntutan hingga menyebabkan kegaduhan di pondok pesantren AL-IMAN, tempat kedua putrinya menuntut ilmu kala itu, nyatanya Rasminah tak mendapat keadilan.
Otoritas pihak berwajib tak berguna kala kyai besar itu berlindung di balik agama. Sehingga tuntutan Rasminah malah menjadi bumerang baginya. Profesi Rasminah yang seorang dukun pun dimanfaatkan oleh kyai besar itu untuk membalik keadaan. Kyai besar tersebut mengatakan bahwa Rasminah hanya ingin menghancurkan pondok pesantren dengan menggunakan putri-putrinya sebagai senjata.
Sesal yang tak berguna ternyata menumbuhkan dendam. Keadilan yang tidak dia dapatkan setelah berusaha begitu sehingga memperparah pandangan buruk masyarakat padanya, membuat Rasminah terjerumus untuk melakukan sesuatu yang sedari awal tidak pernah ingin dia lakukan sebagai dukun. Yakni mengaplikasikan ilmu santetnya.
Bukan hal mudah bagi Rasminah untuk menyantet seseorang yang bergelar kyai. Pasalnya, sekalipun kyai tersebut orang bejat yang sudah tak layak disebut manusia, tapi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, pasti akan tetap melindunginya. Begitu pikir Rasminah, hingga ia mencoba ilmunya dengan menerima orang yang ingin mencelakakan orang lain dengan santetnya.
Keberhasilan Rasminah membuatnya berani untuk langsung menyantet kyai Rasyid. Kyai besar pendiri pondok pesantren Al-IMAN. Sayangnya percobaan itu gagal hingga membuat Rasminah tumbang, dan akhirnya meregang nyawa.
***
“Aku bisa memaklumi ke naifan jalan pikiranmu, Rum. Kini aku mengerti, alasan kenapa jalan kita berbeda. Kau yang tidak merasakan gelapnya dan menakutkannya dilecehkan, tapi malah disalahkan dan dijadikan musuh,sampai kapan pun tidak akan pernah mengerti perasaanku. Tapi aku bersyukur, karena berkat itulah kau mampu melangkah maju, tanpa menoleh ke belakang. Sehingga menjadikan pribadimu yang baik, dan tampak mulia.”
Seakan sudah bisa menangkap inti dari omong kosong Sekar yang tiba-tiba membicarakan masa lalu, juga melihat dekorasi kamar yang dipenuhi hawa dingin nan suram, Arum pun memastikan dugaannya dengan bertanya, “Apa kau berniat untuk mengikuti jejak ibu, dan melanjutkan balas dendam ibu pada kyai Rasyid?”
Sekar pun menoleh sambil tersenyum. Kemudian ia mendekat pada Arum, lalu memegang bahu Arum seraya berkata, “Seperti biasa. Kau mudah mengerti , bahkan sebelum aku mengatakannya secara langsung. Karena kau sudah tahu, maka jangan lagi pedulikan aku. Jalani kehidupanmu yang damai, dan segeralah kembali ke pondok. Setelah kau berhasil meraih cita-citamu yang mulia itu, semoga di tahap berikutnya kau juga berhasil membangun keluarga yang sakinah.”
Arum menepis tangan Sekar.
“Omong kosong apa ini! Kau adalah kakakku satu-satunya alasanku untuk selalu pulang. Meski kau mendorongku, sampai mati pun aku tidak akan pernah meninggalkanmu, apa lagi membiarkanmu mengambil jalan yang salah!”
Sekar terkekeh mendengar ikrar tekad adiknya.
“Apa kau sudah memikirkan ucapanmu tadi? Kau tahu, jika kau berusaha menghalangiku jelas bukan nyawamu yang melayang, tapi cita-cita dan sketsa hidup bahagia di masa depan yang sudah kau ukir dalam anganmu akan musnah seketika. Apa kau sudah siap menghadapi itu?”
Kali ini Arum terdiam. Tampak jelas di raut wajahnya bahwa sekarang ia tengah merasa gamang.
“Arum, adikku. Apa kau lupa bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu yang sia-sia? Begitu pula dengan jalan yang kupilih saat ini. Tidakkah kau berpikir bahwa mungkin saja Allah hendak menjadikanku sebagai wasilah untuk mengirim azab pada kyai bejat yang menjadi borok atas agama Allah?” imbuh Sekar lagi yang mencoba untuk menggeser sudut pandang Arum.
“Benar-Benar pikiran yang gila! Sekarang begini saja, jika memang prasangkamu pada kyai Rasyid yang tidak berubah itu benar, hingga jatuh korban yang muncul dalam kurun waktu satu tahun ke depan, maka aku tidak akan ikut campur akan keputusanmu. Tapi jika selama itu tidak ada apapun, maka urungkan niatmu, dan bertaubatlah.”
Sekar tersenyum, tanpa ragu ia menyanggupi permintaan Arum. Namun, belum ada lima menit setelah Arum dan Sekar membuat keputusan tersebut, tiba-tiba mereka kedatangan tamu. Seorang wanita paruh baya dan seorang wanita muda belia yang diperkirakan berusia sekitar tujuh belas tahun.
Mereka datang mencari Rasminah ibunda Sekar dan Arum. Ketidaktahuan mereka akan meninggalnya Rasminah, itu menandakan bahwa mereka bukan dari sekitar desa Sugih waras, atau tetangga desa. Sebab meninggalnya Rasminah beberapa waktu lalu, sempat menggemparkan satu kelurahan. Jelas karena mereka bahagia, atas meninggalnya musuh agama.
“Kedatangan kami ke sini tidak lain adalah untuk meminta tolong pada Bu Rasminah untuk membantu meluruhkan janin yang di kandungan putri saya ini.”
Seketika Marsinah, sebagai penerima tamu, sekaligus orang yang sekarang mengambil alih tanggung jawab mendiang kakaknya, mencak-mencak mengusir kedua wanita itu. Ia bahkan menasihati gadis berjilbab biru muda, yang tampak lugu, dan terus menunduk itu agar bertanggung jawab karena kecerobohannya.
“ ... seharusnya kau meminta laki-laki yang menghamilimu untuk tanggung jawab, dan menikahimu! Bukan malah datang ke dukun untuk menggugurkan kandungan! Bukannya bertobat karena sudah melakukan dosa zina, eh ... malah nambah dosa dengan syirik datang ke dukun untuk membunuh jabang bayi! Benar-Benar anak—“
‘Plak!’ Ucapan Marsinah yang keterlaluan tersebut langsung direm oleh tamparan keras dari wanita yang merupakan ibu dari gadis malang tersebut. Bukannya sadar dan merasa bersalah atas ucapannya, tapi Marsinah malah nyolot dan nyaris mencakar wajah wanita tersebut.
Untungnya Sekar dan Arum sigap menahan bibinya. Sehingga tidak terjadi adu fisik antara dua wanita paruh baya itu.
“Kalau penyebab anakku hamil memang karena kelalaiannya dan akibat atas dosa zina, maka aku tidak akan datang ke sini, tapi datang ke rumah orang yang menghamili anakku! Tapi, kau yang tidak tahu apa-apa malah seenaknya sendiri membuat asumsi hina, dan sok memberikan ceramah agama! Persetan dengan agama! Asal kau tahu, anakku seperti ini akibat perbuatan bejat seorang kyai besar! Orang yang diagung-agungkan karena gelarnya sebagai kyai, sekaligus pemilik pondok!”
Seketika Marsinah terdiam. Ia tertunduk malu dan merasa bersalah.
“Apakah itu perbuatan kyai Rasyid, pemilik pondok pesantren AL-IMAN?” tanya Sekar yang langsung diiyakan oleh wanita paruh baya itu. Seketika pandangan Sekar beralih pada Arum yang tampak terkejut setelah mendengar kata ‘iya’ dari wanita tersebut.
Sementara itu, Marsinah langsung meraih tangan wanita yang tadi menamparnya, seraya mengucap maaf berkali-kali. Setelah suasana agak tenang, Marsinah menjelaskan bahwa Rasminah sudah tiada, ia juga menyarankan pada wanita itu untuk menuntut pondok pesantren yang membuat anaknya berbadan dua.
Namun, tiba-tiba Sekar mencela pembicaraan para orang tua itu. Mengabaikan sikap sopan santun yang dulu diajarkannya waktu masih kecil. Sekar menceritakan pengalaman ibunya yang berakhir gagal saat menuntut keadilan dalam menuntut pesantren tersebut, sehingga Sekar menyarankan untuk melakukan aborsi dan menyingkir dari pesantren itu.
“Sayangnya ... tidak ada dukun aborsi terpercaya selain bu Rasminah,” ungkap wanita itu, dengan wajah yang melukiskan kekecewaan dan penyesalan. Tidak tinggal diam, Sekar pun mengajukan diri untuk mengaborsi gadis belia itu. Ia menyatakan bahwa ia adalah penerus ibunya yang sudah terlatih, dan tidak kalah hebat dari Rasminah.
Meski ragu, pada akhirnya wanita itu menerima tawaran Sekar. Lalu, apakah Marsinah dan Arum tinggal diam begitu saja? Saat Sekar dengan percaya dirinya mengatakan bahwa dia adalah penerus ibunya dan bersedia untuk membantu melakukan aborsi. Jelas tidak. Segala ancaman yang keluar dari mulut Marsinah dan Arum tak digubrinya. Sehingga Marsinah memilih untuk menasihati ibu dari gadis belia itu.
Sementara Marsinah tengah berusaha membujuk ibunda dari gadis belia yang malang itu, Arum juga tengah berusaha membujuk Sekar agar tidak melakukan aborsi pada gadis itu.
“Kenapa sekarang kau masih juga berusaha menghalangi langkahku? Bukankah bukti nyata kebejatan Rasyid sudah berada di hadapanmu?” protes Sekar.
“Aku hanya mengatakan bahwa kau boleh melakukan balas dendam pada kyai itu, tapi bukan membuka praktek aborsi!” bentak Arum yang seketika membuat semua orang diam.
Marsinah sangat terkejut, sehingga ia menghentikan upayanya membujuk ibu gadis itu, dan malah termangu menyaksikan perdebatan dua keponakannya itu.
“Kau bukan hanya membunuh janin yang tak berdosa, tapi jika kau gagal, kau juga akan membunuh gadis malang itu. Apa kau sudah mempertimbangkan kemungkinan seperti itu? Hah!” imbuh Arum lagi.
Namun, saat Sekar baru menyunggingkan senyum sebelum memberi jawaban pada Arum, tiba-tiba gadis malang itu menyahut dengan berkata, “Hidup atau mati, tidak ada bedanya bagiku. Jika aku membiarkan bayi ini tetap tumbuh besar, maka aku tidak punya cita dan harapan lagi untuk masa depanku. Itupun aku juga belum tentu selamat saat melahirkan, belum lagi selama mengandung, sudah pasti aku akan mendapat hukum sosial, padahal aku tidak berzina. Tentu saja hukum sosial itu juga akan berlaku untuk calon bayi ini. Lalu, apa kau punya jalan lain jika kau berada di posisiku, Mbak?”
Untuk sesaat, Arum diam seribu bahasa, kala pertanyaan itu ditujukan padanya. Ia tahu betul bagaimana rasanya dikucilkan, bahkan dinistakan tanpa melakukan kesalahan yang dituduhkan. Ia tahu betul bagaimana rasanya di fitnah.
“Meski begitu, tidak bisakah kau bersabar, dan menjalani kehidupan sesuai takdir yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa? Bukankah Allah menjanjikan surga bagi hambanya yang bersabar?” ucap Arum dengan intonasi suara yang lebih rendah dari sebelumnya. Bahkan ucapan tersebut terdengar sedih.
“Memang lebih mudah memberi saran atau memerintah. Tapi, jika kau berada dalam posisinya, apa kau mampu menjalani hidup sesuai dengan saranmu? Apa kau yakin kau tidak akan memilih untuk bunuh diri? Apa kau lupa, bagaimana kau membenci ibu, sampai kau tega mengucap sumpah serapah saat teman sebayamu terus mengolok, dan merundungmu?”
Tak lagi menanggapi ucapan Sekar, Arum memilih pergi dari ruang tamu. Sementara Marsinah masih berusaha membujuk ibu gadis tersebut. Namun, sangat di sayangkan, sebab wanita itu lebih memilih menuruti putrinya yang tanpa ragu mengikuti Sekar masuk ke kamar misterius.
Masih tak menyerah karena takut jika sampai gadis belia itu mati gara-gara ulah Sekar, Marsinah pun pergi menyusul Arum ke kamarnya dan meminta Arum untuk menghentikan Sekar. Setelah beberapa kali menggedor pintu sambil merengek, akhirnya Arum menyerah, dan langsung keluar menuju kamar misterius Sekar.
Namun, saat sampai di depan pintu, Arum, Marsinah, dan ibunda gadis itu dikejutkan dengan suara teriakan perempuan di dalam sana. Seketika mereka panik dan menggedor pintu secara brutal. Padahal hanya pintu yang terbuat dari kayu, tapi anehnya meski di gedor secara brutal, pintu tersebut tetap kokoh.
Setelah beberapa saat, akhirnya teriakan yang diduga adalah suara gadis malang tadi berhenti. Lalu, tak berselang lama Sekar pun membuka pintu. Mempersilakan mereka bertiga masuk untuk melihat kondisi Ningrum, nama gadis lugu yang saat ini mengembangkan senyum kala melihat ibunya.
“Menginaplah di sini untuk semalam. Setidaknya sampai Ningrum bisa berdiri dan berjalan meski pelan,” pungkas Sekar yang kemudian keluar dari kamar itu.
Benar-Benar tidak bisa dipercaya. Keberhasilan Sekar saat mengaborsi membuat Arum, dan Marsinah tercengang keheranan.
Keesokan paginya, sebelum meninggalkan rumah Sekar, ibunda Ningrum memberikan amplop yang tampaknya berisi uang banyak, lantaran amplop tersebut tampak tebal. Namun, Sekar justru menolaknya. Ia meminta hal lain dari wanita itu. Yakni beberapa helai rambut kyai Rasyid, atau sehelai kain yang biasa digunakan oleh kyai Rasyid.
“Untuk rambut, sepertinya akan sulit untuk mendapatkannya, tapi jika hanya sehelai kain, aku menyimpannya.”
Wanita itu membuka tasnya, kemudian mengambil potongan kain yang merupakan celana dalam milik kyai Rasyid yang di curi Ningrum di malam tragedi.
“Ini saja cukup.” Sekar tersenyum puas. Meski begitu, ibunda Ningrum tetap meminta sekar untuk menerima amplop itu. Beliau juga mengucapkan terima kasih, karena putrinya masih memiliki kesempatan untuk merajut cita-citanya kembali.
Selang satu minggu setelah Sekar mendapatkan bahan utama untuk melancarkan aksinya, ia pun tak menunda waktu lagi. Layaknya dukun santet yang sudah terlatih, ia begitu hafal langkah-langkahnya saat melakukan ritual. Di mulai dari puasa mutih selama empat puluh hari, lalu khusyuk bersemedi di kamar misteriusnya. Anehnya, semua itu Sekar lakukan tanpa arahan Mbah Jiwo.
Sangat berbeda dengan ibunya dulu, yang saat mengirim santet selalu didampingi Mbah Jiwo, dan sesuai arahan yang diberikan.
Buhul telah diikat. Kali ini Sekar meminta bantuan Mbah Jiwo untuk meletakkan buhul tersebut ke lokasi yang tepat. Jelas saja Mbah Jiwo terkejut. Pasalnya, belum ada satu tahun Sekar mewarisi senjata dan ilmu ibunya, tapi sudah berani mengirim santet pada orang yang membuat ibunya kewalahan hingga meregang nyawa.
“Apa kau yakin dengan tindakanmu, Nduk? Tidakkah ini terlalu gegabah?”
Sekar menyunggingkan senyum sombong, sambil berkata, “Jika aku tidak yakin, aku tidak akan melakukan ini. Berhenti bertanya, dan lakukan apa yang ku katakan!” Seketika Mbah Jiwo menunduk tunduk. Aura energi tubuh Sekar berbeda dari sebelumnya. Energi gelap nan pekat menguar kuat, sampai-sampai Mbah Jiwo gemetar ketakutan dan langsung pergi melaksanakan perintah Sekar.
Alih-Alih menanam buhul tersebut di daerah sekitar rumah utama kyai Rasyid, Mbah Jiwo justru melemparkannya di dalam sumur yang ada di samping rumah utama. Tentu ia juga mengikat batu buhul tersebut, agar bisa tenggelam.
Begitu peletakan buhul selesai, sekar langsung mengirim siksaan yang tak akan pernah dibayangkan oleh kyai Rasyid.
Di buka dengan mimpi buruk, permasalahan di pondok pesantren maupun rumah tangga yang tak henti-hentinya menghantam kehidupan kyai Rasyid, kejiwaan kyai Rasyid yang semakin gila, lalu setiap pukul 02:00 dini hari, beliau meraung kesakitan dan terus meminta ampun.
Sampai akhirnya tiba pada puncaknya, yakni tepat di hari pernikahan putra bungsunya, kyai Rasyid mempermalukan diri sendiri juga semua anggota keluarganya.
Seakan tengah mengalami halusinasi, kyai Rasyid tiba-tiba menerjang calon menantunya, dan hendak berbuat tak senonoh di depan umum. Spontan, putra bungsunya langsung melayangkan pukulan pada kyai Rasyid, hingga kyai Rasyid tak sadarkan diri.
Pernikahan dibatalkan, kyai Rasyid di pasung oleh putranya sendiri. Meski begitu, tidak mungkin bagi sang putra untuk tidak menyadari segala keanehan yang terjadi secara tiba-tiba. Ia pun memulai penyelidikan. Semenetara itu, kyai Rasyid semakin menggila. Ia tak pernah berhenti mengatakan hal-hal aneh dan hal-hal mesum yang pernah ia lakukan.
Berpedoman dari racauan sang ayah, Hasan—putra sulung kyai Rasyid memulai penyelidikan dari setiap nama yang ayahnya sebutkan.
Sayangnya, baru saja hasan menemukan satu petunjuk, tiba-tiba ayahnya meregang nyawa dengan sangat mengenaskan. Organ vital bagian bawah yang biasa ia bebaskan untuk merusak masa depan para santri, meledak dengan bau yang amat sangat menyengat. Bahkan banyak belatung yang keluar dari setiap lubah yang ada di tubuhnya.
“Benar-Benar keji! Kalau sampai aku menemukanmu, aku akan membalasnya dua kali lipat. Tidak peduli entah itu pria atau wanita. Tidak peduli entah itu saudara atau bukan!” Kini, bunga api dendam mulai tumbuh di hati Hasan.
Lantas, apa Sekar baik-baik saja setelah selesai dengan dendamnya? Ada harga mahal yang harus dibayarkan pada setiap pencapaian. Jika orang normal mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan biaya untuk mencapai kesuksesan dalam meraih cita-cita, begitu pula dengan Sekar. Jalan gelap yang dia pilih harus ia bayar mahal.
Bersamaan dengan meninggalnya kyai Rasyid, Sekar pun tumbang. Ia mengalami kondisi yang sama persis seperti ibunya. Menua dalam waktu semalam, dan hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Ditemani dengan siksaan yang tak pernah berhenti. Siksaan sunyi yang bahkan membungkam mulut Sekar untuk berteriak. Siksaan serupa sakaratul maut yang diibaratkan dengan duri-duri kawat yang mengaduk perut.
“Apakah ini benar-benar yang kau inginkan? Apakah ada sesal di hatimu sekarang, Mbak Sekar?” Arum menangisi sang kakak setiap waktu. Ia juga menunda untuk kembali ke pondok pesantren Nurul Huda, tempatnya menimba ilmu dengan damai, tanpa drama gelap.
“Jika aku tahu akan sesakit ini, aku tidak akan menuruti kobaran api dendam, dan memilih untuk menyerahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa,” ucap Sekar dalam hati, menjawab pertanyaan sesak adiknya.
Pada akhirnya sesal datang memenjarakan angan, menemani siksaan. Pelampiasan dendam hanya akan menumbuhkan dendam baru, dan menjalani permusuhan yang mungkin bisa terjalin sampai mati.