Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Sekali Lagi Purnama
0
Suka
583
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aruminarwa Nawangwulan, nama yang selalu aku banggakan kepada teman-teman semenjak aku berhasil melafalkannya dengan sempurna tanpa ada sedikitpun kekurangan. Aku, kakak dari Si Tengah dan Si Bungsu, yang tak selalu menjadi kakak terbaik bagi mereka sebab dua pasang mata coklat kelabu keduanya menyiratkan itu. Aku sama sekali tidak istimewa. Seratus juta persen kujamin Arum sangat tidak sempurna. Sebutlah aku pesimis, penuh dengan sejuta asumsi yang jauh dari kata manis. Sekitaran tidak jarang mengelukan bahwa Arum Si Manusia Praktis, serba manis, selalu memperoleh hasil positif dari tabiatnya yang optimis. Tetapi menurutku itu hanya bual basi terkemas majas hiperbola berlapis-lapis.

Aku tidak pernah merasa cantik. Kulitku kuning langsat, sementara wajahku cenderung pucat. Bibirku pun sama, semacam senada. Sehingga ketika aku melihat diri di pantulan cermin sana, aku tak dapat warna apa-apa. Hanya seperti kanvas polos tertumpah cat putih tulang kekuningan, lengkap dengan gradasi sedikit lebih gelap di beberapa bagian. Tetapi mereka semua, memandang dan berkata seolah aku sebuah mahakarya luar biasa. Melebihi estetika yang dituangkan Da Vinci pada lukisannya, dan detail yang François Auguste René Rodin ukirkan pada pahatannya. Aku akui, beberapa bagian di wajahku sewaktu-waktu membuatku merasa aku memang ‘secantik’ itu. Bibir, hidung, bentuknya cukup indah menurutku. Tetapi sebab sejak lama terselimut rasa kurang percaya diri, aku tak terlalu menyukai dan terobsesi pada diri sendiri.

“Arum, ayo cepetan. Rapatnya dimulai sebentar lagi.” Naya, Ketua OSIS berkata kepadaku sembari mengemas beberapa dokumen. Ia membuyarkan atensiku yang terfokus pada jendela besar di ruangan ini. Rutinitas anggota OSIS di sekolahku setiap tahun adalah bekerja sama dengan sekolah sebelah yang masih ada di dalam lingkup yayasan pendidikan. Akan ada semacam pentas, dan tentunya diperlukan persiapan matang untuk kegiatan itu. “Nanti aku tunjukin ke kamu anak yang aku maksud, ya,” lanjutnya sambil sedikit tertawa. Hanya kutanggapi gerutuan kecil saja agar pembicaraannya tentang hal itu cukup sampai disana. Aku begitu malas dengan topik dan ambisinya intuk mempertemukan aku dengan ‘Arum di Lain Raga’ yang dia maksud sejak lama.

Tidak ada hal menyenangkan dari sebuah rapat yang menguras tenaga. Beberapa anggota bersahut-sahutan, tak jarang meninggikan nada suara. Sama halnya dengan Naya. Ia memang termasuk pribadi yang teguh jika sudah berpendapat. Tetapi jarang sekali aku mendapati suaranya meninggi ketika kami sedang berdiskusi. “Pendapatmu bagus, tetapi lebih efisien lagi kalau kita pakai rencana awal yang sekolahku rancang. Mekanisme pentas yang kalian buat terlalu rumit, berbelit-belit. Kontras banget sama tema kita yang lebih ke arah seru-seruan.” Ekor mataku menangkap ada yang berdecak mendengar penuturan Naya. Dia terlihat mencatat, sesekali membenarkan letak kacamata yang melindungi mata elangnya lalu menatap Naya lamat-lamat. Tangannya terlipat di depan dada. Aku mencibir, sombong sekali kelihatannya.

“Moderator, saya izin bicara.” Aku sedikit terkejut karena dia menatap ke arahku secara tiba-tiba. Perlahan aku menganggukkkan kepala lalu dia kembali berkata, “Maaf sebelumnya, Naya. Seperti tahun-tahun sebelumnya pentas kali ini diadakan di sekolah kami. Panitia sekolah kalian lagi-lagi bisa dibilang tamu. Sekolah kami ya kami yang tau. Gimana kami akan lakukan ini, lakukan itu, menyikapi masalah a, masalah b, dan sebagainya. Mekanisme yang kalian rancang memang bagus, kami akui. Tapi, ya, selain harus susun strategi, kamu juga harus kenali medan perangnya dengan baik.” Naya kalah telak, sementara rekan OSIS sekolah sebelah tersenyum menang di balik punggung anak itu. Antara H. Karsabenang, kesusahan aku membaca name tag yang disematkan di sisi kiri almamater OSIS yang ia kenakan. Anak itu, Sekretaris I yang dielu-elukan seluruh penjuru menatap Naya tanpa ragu. Sementara rekanku itu mengepalkan tangannya di dalam saku.

Sedari tadi, Naya menggerutu di sebelahku karena kelakuan sekretaris itu. “Aku sebenarnya fine-fine aja kalaupun mekanismenya pakai punya mereka. Tapi tampangnya itu lho, pengen aku tonjok.” Aku mengidikkan bahu, bingung harus menanggapi apa. “Tapi, ngomong-ngomong, itu anak yang aku maksud. Sembilan puluh persen mirip kamu.”

Jelas aku tidak terima. Dengan nada mencibir, aku berkata, “Jadi maksudmu aku ngeselin? Lagipula, bukan gitu caraku berpendapat di dalam forum.” Naya tertawa pelan, lalu menyodorkan cermin kecil ke hadapanku. Aku menatapnya bingung, lantas meletakkan meletakkan cermin itu di atas map berisi dokumen yang aku bawa menuju rapat tadi. Cermin itu memantulkan refleksi wajahku, tentu saja. Tidak ada yang aneh, tetap normal seperti biasa, kok.

“Kalian sama-sama pakai kacamata, walau kamu cuma sesekali di waktu tertentu. Dia juga Sekretaris I, persis kayak kamu.” Tidak kami sadari, anak itu berdiri di gerbang sambil membetulkan letak kacamatanya. Aku bertaruh, suara kami tidak mengganggunya sama sekali, bahkan tidak akan terdengar olehnya. Tetapi, entah dia mewarisi gen pemilik pendengaran tertajam di muka bumi, atau mungkin memiliki kekuatan sakti, dia menoleh tepat ke arah kami. Persis menatapku dengan tatapan yang tidak aku sukai.

Kesan pertama sangat penting. Sebab akan berbekas, tak mudah lekang oleh waktu dan terganti kesan yang baru. Antara, kalau boleh jujur kesanku saat pertama kali melihatnya cukup baik. Harus aku akui dia tampan. Matanya tajam, garis wajahnya simetris, sempurna dengan bibir yang tidak begitu tipis dan kulit kuning langsat yang manis. Tetapi ia merusak reputasinya sendiri di mataku. Antara itu menyebalkan. Tuturnya dapat menusuk siapapun kalau ia mau. Sialnya, sekarang aku terjebak bersama Si Sekretaris itu. Naya sudah dijemput lebih dahulu, meninggalkan aku yang masih menunggu kepastian Papa menjawab teleponku.

Antara, lagi dan lagi membetulkan letak kacamatanya dan berkata padaku dengan suara datar yang sama sekali tidak menggugah selera, “Pulang sama siapa?”. Aku menatapnya heran, belum mengerti apa yang ia bicarakan. “Cuma nanya, biasa aja dong mukanya.” Ia sedikit tertawa. Dasar aneh sedunia!

Kepalaku rasanya akan meledak. Masih dengan suara yang terdengar sampai kamarku walau pintu tertutup sejak sepuluh menit lalu, Mama melanjutkan, “OSIS terus, makan ditinggalin. Udah tau kurus masih aja bandel kamu, Kak. Coba kalau Mama ngomong itu diperhatiin baik-baik.” Dokumen yang aku ketik semakin berantakan. Lagi dan lagi muncul sisi Mama yang paling aku benci. “Ngeluh katanya capek sama kantung mata gelap tapi kerjanya begadang terus.” Mama selalu begitu. Mama merasa paling tahu dan mengerti segala hal tentangku. Urusan sekolah, OSIS, dan lain sebagainya.

Aku menghela napas pelan, enggan serius mendengarkan. Masih banyak hal yang belum terselesaikan dan aku tidak akan mengacaukan konsentrasi hanya karena omelan. Terkadang yang aku inginkan adalah pelukan hangat dan elusan lembut di bahu dari Mama, persis seperti apa yang aku dapatkan dulu. Tetapi beberapa tahun terakhir, semuanya hilang begitu saja. Entah karena Mama menganggap aku sudah cukup dewasa atau apa. Satu dua alasan ketidakpercayaan diriku pun berasal dari Mama. Aku tidak butuh validasi orang selain Mama. “Anakku hebat, Mama bangga sama kamu,” gumamku pelan sambil memeluk tubuh kurus yang terasa semakin ringkih. Mama pernah mengatakan itu, dulu. Sekarang aku butuh kalimat itu lagi.

Waktu berlalu satu persatu permasalahan di kepalaku terselesaikan. Pentas yang persiapannya beberapa waktu lalu memenuhi seluruh hariku kini sudah berjalan dengan baik. Sorak sorai dari seluruh panitia bergema di aula malam itu. Ada yang menyeka peluh sambil menghela napas, ada si emosional yang menangis terharu, sementara aku yang merupakan gabungan dari keduanya menyilangkan tangan di depan dada setelah jejak air mata di wajahku tiada. Aku tentunya bangga. Banyak hal yang telah kami lewati, berupa caci maki, kritik beserta cuap-cuap basi. Tetapi lihat, semuanya berjalan dengan baik.

Setidaknya satu beban berkurang, pikirku. Walau masih ada beban lain berupa cerpenku yang tak kunjung rampung. Kemarin Mama sempat memeriksa sejauh mana tulisanku terselesaikan. Hampir beres, memang. Tetapi Mama bilang, “Ini masih berantakan. Kemana seninya, Arum? Tuang hatimu ke karya ini, jangan cuma sebatas formalitas jarimu yang seolah menari.” Mama memang bukanlah seorang kritikus sastra. Tetapi jiwanya melekat disana. Mama yang membuat aku menulis. Dari karya-karya kecilnya aku terhipnotis. Mama juga yang membawaku kemari, mengikuti ajang menulis yang entah kenapa semangatku mengikutinya tidak ada sama sekali.

“Mau minum?” Sebotol air mineral disodorkan ke hadapanku. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa si pelaku. Aku tersenyum kecil menerima air tersebut walau tidak langsung saat itu juga. Dia Antara. Entahlah bagaimana, tetapi tiba-tiba aku merasa kami lebih dekat dari sebelumnya. Ternyata dia baik, sesuai kesan pertamaku saat melihatnya. Walaupun agak menyebalkan, tapi dia lawan bicara yang asik. Dia selalu mendengarkan apapun dari aku yang terlalu banyak bicara. Kami sering bertukar cerita, terkadang sedikit masalah-masalah kecil juga. Sore ini kami sedang di taman kota. Dengan jemariku yang tak lepas dari keyboard sementara dia sibuk membaca. Jika Naya mengetahui hal ini, pasti dia menganggap aku dan Antara sedang book date atau semacamnya. Padahal Antara hanya membantu aku menyelesaikan karya.

“Kenapa lagi?” Ia bertanya setelah mendengarku menghela napas kasar. Dua jam berlalu tetapi dia masih setia di sebelahku. Helaan napas ia dengar berkali-kali. Tetapi dengan sabar dia bertanya walaupun aku abaikan lagi dan lagi. Kalau di posisinya adalah Mama, aku jamin Mama malah mengomeliku tiada henti. Tukang mengeluh, katanya.

“Aku bingung, kehabisan ide. Cerpen ini udah selesai, tapi kalau kata Mama pasti ini belum ada nilai seninya.” Aku tertawa pelan.

Antara merebut laptop yang ada di pangkuanku lalu ia letakkan di hadapannya. Wajahnya terlihat serius, sesekali ia membetulkan letak kacamata yang ia kenakan. “Heh, ini udah bagus tau. Yang bilang ini jelek biar aku pukul kepalanya,” tukasnya berapi-api. “Sampai kapan kamu selalu merasa kurang? Kamu harus tau ini, Arum. Banyak orang yang kagum sama kamu. Bahkan di sekolahku banyak yang naksir juga.” Raut wajahnya terlihat kesal.

“Kalau yang bilang cerpenku jelek itu Mama, mau kamu pukul juga kepalanya?” Antara jelas panik.

Harus aku akui walaupun dengan berat hati bahwa perlahan-lahan aku mulai terbiasa dengan kehadirannya. Sosoknya yang menyenangkan, terkadang lebih mirip anak kecil dibanding remaja tujuh belas tahun, tetapi tetap dewasa dan berpikiran terbuka. Entah aku yang haus validasi atau apa, namun kata-kata manis Antara tak jarang membuat aku kembali merasa sembuh dan baik-baik saja. Ketika Mama memadamkan api kecil yang aku nyalakan susah payah dengan sisa-sisa minyak tanah, Antara menyalakan kembali sumbunya sekaligus menunjukkanku arah.

Sebut saja aku Si Pahit Lidah. Segala hal buruk yang aku pikirkan maupun aku ucapkan terjamah oleh semesta dan ia lantas mengabulkannya. Sementara realisasi dari pengharapanku tentang hal-hal baik yang aku lambungkan tinggi-tinggi tak kunjung menampakkan diri. Hari ini merupakan pengumuman lomba cerpen waktu itu. Aku tidak berkespektasi, tetapi mungkin Mama iya. Mama bukanlah orang yang lemah, aku tahu pasti hal itu. Tetapi mendengar bahwa aku gagal lagi untuk yang ke-sekian kali, Mama jatuh sakit dan sekarang sudah tiga hari. Setelah Mama mengomeli aku habis-habisan, tekanan darahnya naik lalu Mama pingsan. Aku yang sudah terlanjur remuk hati ya jika diminta menemui Mama tentu aku enggan. Aku berusaha tidak peduli setidaknya di hadapan Mama.

Malam ini ruang inap Mama lengang seperti biasa. Mama sudah terlelap sejak satu jam lalu. Menatap wajahnya membuat rekam memori beberapa hari kemarin terputar di kepalaku. “Konsentrasi, Arum. Selalu fokus dengan tujuan kamu. Apapun, siapapun yang menghambat, tinggalkan!” Aku tahu persis siapa yang Mama maksud. Mama mengenal Antara karena beberapa kali anak itu memaksa ingin bertemu Mama. Tetapi aku tidak terima jika Mama menganggap Antara penghambat konsenstrasi anaknya. Justru cerpen itu aku selesaikan bersama dia. Antara selalu membantu aku, menopang dari belakang, menyemangati sepenuh hati. Antara sangat mirip Papa. Kesibukan Papa membuat aku kehilangan sosoknya. Lalu Antara datang di masa-masa ketika aku membutuhkan kehangatan. Tetapi Mama terlalu dibutakan ambisi. Berbanding terbalik dengan Papa yang memintaku untuk selalu mengikuti kata hati. Aku harus sempurna di matanya dan di mata mereka semua, itu yang Mama inginkan.

Aku yang gelap mata waktu itu pun berkata, “Mama egois. Mama terlalu maksa. Arum bukan robot. Arum menulis kalau Arum mau, sulit kalau dipaksa. Mama selalu nyalahin Arum tentang ini dan itu. Apa Mama sendiri paham kesalahan Mama? Apa Mama pernah lihat kelebihan Arum dan enggak peduli kekurangan Arum. Orang lain selalu anggap Arum sempurna, Ma. Sementara Mama sendiri gimana?” Mama hanya menggeleng tidak percaya. Seperti bukan Arum, mungkin itu yang ada di pikirannya.

Diam-diam aku menahan kembali air mataku yang memaksa keluar. Terbesit rasa bersalah sebab telah mengatakan itu kepada Mama. Emosi yang aku tahan menumpuk dan meledak saat itu juga. Air muka Mama waktu itu tak terbaca. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam benaknya. Mataku menangkap sebuah buku bersampul biru tergeletak di atas nakas. Aku kenal buku itu. Jurnal itu milik Mama. Catatan singkat dan puisi di dalamnya menjelma magnet pertama yang menarik aku jatuh cinta terhadap sastra. Aku nyaris hafal isinya. Kebanyakan tentang bulan purnama. Setahuku Mama menyukai matahari terbenam, bukan malam. Tetapi entahlah kenapa Mama sering menulis tentang rembulan dan temaram.

Secarik kertas terjatuh ketika aku meraih buku tersebut. Seingatku memang ada lembaran yang robek, namun Mama bilang itu hanya puisinya yang gagal lalu ia buang. Dengan penuh penasaran aku membaca kertas yang lumayan usang tersebut. Tidak aku duga bahwa aku akan hanyut dalam segala macam emosi yang berlarut-larut.

Sekali lagi purnama. Dari balik jendela bilik bercat biru muda, bulan terpampang sempurna. Cantik, apik meneduhkan mata. Pun ada purnama di pangkuanku. Kulit langsatnya kemerah-merahan. Ranum mungil itu kini berhenti bersuara. Ia lelap, sementara aku terjaga.

Aku takut. Ia lahir dari cantik utuh cahaya rembulan. Sementara aku dari gemuruh, marah riuh badai berisik. Banyak hal yang aku tak tahu. Takut-takut tak dapat menjawab tanya miliknya yang lebih dari satu. Aku masih sering tertatih. Tak sanggup menuntunnya berjalan ketika aku sendiri seringkali merintih. Tersesat, terombang-ambing semakin ringkih.

Arum, anakku, purnama menjelma kamu. Dunia menyambutmu bahagia, mengulurkan tangan menawarkan pelukan. Itu harapku yang terlalu pengecut dan menyembunyikanmu di belakang bahu. Risau akan ada yang menyakiti, mengoyak hati kecilmu.

Selamat datang ke dunia, kamu yang terlalu cantik untuk menjadi anakku.

Kertas itu aku remat kuat-kuat. Tangisku pecah, enggan lagi dibendung. Aku terlalu buta, berlarut-larut menyudutkan Mama. Aku merasa paling mengerti. Padahal mengenal Mama lebih jauh pun aku tak pernah lakukan sama sekali. Mama dengan seluruh rasa takut yang ia pikul di bahu memilih tetap membesarkanku. Menghapus seluruh tanda tanya di kepalaku meskipun masih banyak yang ia tak tahu. Mama adalah peta nyata, padahal ia sendiri juga sering kali tak tau harus kemana. Ia yang selalu aku anggap membunuh angan-anganku ternyata jauh lebih sempurna daripada itu. Mama, bahkan sebelum orang lain menyambutku ada, ia memandangku seolah akulah yang paling berharga. Sikap tegas Mama tak lain adalah agar aku setangguh dirinya. Selalu siap dengan apapun yang akan diberikan dunia. Validasi yang selalu aku cari-cari tanpa aku minta pun sering disiratkan oleh Mama. Kritikan Mama terhadap karyaku hanya agar aku berimajinasi lebih luas, menari bebas dengan banyak majas. Tidak terpaku pada satu sisi sastra baku itu sendiri. Maaf, Mama. Arum selalu salah sangka.

Tapi menurut Arum, Mama cemerlang. Mampu mengharmonisasikan gemuruh badai menjadi simfoni penghantar tenang. Mama cantik, terlalu indah. Arum setuju dengan Papa yang kelihatannya selalu jatuh cinta. Mama sering berkata bahwa hidup adalah tentang sudut pandang, dan Arum kini sudah salah melihat. Walau tak jarang Arum bilang lebih menyayangi Papa, hati kecil yang tertaur milik Mama tak pernah bisa berdusta. Rahasia kecil, bahkan saat terkejut Arum sering spontan menyebut nama Mama. Maafkan Arum untuk semuanya, ya.

Selembar kertas aku lipat lalu aku letakkan di atas buku biru Mama. Bergegas aku beranjak agar tak mengganggu Mama yang terlelap. Ponselku menunjukkan pukul dua belas malam. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan pesan yang belum terbaca dari Antara. Beberapa hari belakangan, saat kondisiku berantakan, Antara aku abaikan. Entah akan bagaimana perasaannya, aku tak tahu.

Papa dulu pernah bercerita, ketika Mama meninggalkan kami berdua di restoran cepat saji sementara Mama memburu potongan harga di supermarket mall. Aku lahir ketika Mama berada di titik rendahnya. Buku Mama ditolak penerbit, hubungannya dengan Papa merenggang karena beberapa hal, kondisi fisik dan mentalnya melemah. Mama dan Papa menikah karena dijodohkan, psikis Mama sedikit terganggu karena hal itu. Ia takut akan merasa terkekang, tak bebas mengekspresikan dirinya lagi. Usianya masih terbilang muda waktu itu. Mama merasa tidak sanggup mengurus aku nantinya. Asumsiku, catatan itu Mama tulis setelah aku lahir.

Mama tidak pantas aku salahkan atas segala sikapnya kepadaku. Mama jelas-jelas tahu apa yang terbaik. Selama ini aku salah menilai karakter Mama. Aku menutup mata atas segala rasa sayang yang Mama berikan. Arum, salah menaruh rasa, selalu salah sangka.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Sekali Lagi Purnama
Siti Sulha Darmaini
Cerpen
Bronze
Elysera Surga yang Terkurung
go han
Cerpen
Mie di Kala Hujan
zain zuha
Cerpen
Bronze
TERBELAH
WN Nirwan
Cerpen
Bronze
Kualat
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
MINIMALIS
Nur Reformawati
Cerpen
Perhatikan Rani
Cassandra Reina
Cerpen
KABULKU
Racelis Iskandar
Cerpen
Melodi Cinta Biru
REZA
Cerpen
Bronze
Asa Untuk Iza
Rafiu H
Cerpen
Messi, Jangan Pindah!
Serenade
Cerpen
Sitta dan Warna
Rewinur Alifianda Hera Umarul
Cerpen
Bronze
Bidadari yang Bergoyang
Yuisurma
Cerpen
Bronze
Perjalanan
Fatimah Ar-Rahma
Cerpen
Bronze
Buku-Buku di Penjara
Galang Gelar Taqwa
Rekomendasi
Cerpen
Sekali Lagi Purnama
Siti Sulha Darmaini
Cerpen
Yang Dia Pilih Saat Dunia Ditawarkan
Siti Sulha Darmaini