Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pada suatu hari di tahun 1998, sekolah kami pernah libur sehari gara-gara orang gila. Orang itu melompat pagar, menerobos pintu, dan membuat anak-anak kelas enam berhamburan lari. Kocar-kacir. Aku sudah kelas lima pada waktu itu, dan ingatanku bisa diandalkan untuk merekam peristiwa itu sampai ke detail yang paling renik. Aku tidak mungkin melupakan aib itu, barangkali sampai kelak menjadi pikun dan linglung. Sebabnya, orang gila itu adalah Nordin, adalah anak pertama yang dibanggakan bapakku, adalah kakakku yang bikin malu.
Sesungguhnya aku sudah dapat membaca gelagat kegilaan itu sejak beberapa hari sebelumnya, ketika Nordin tiba-tiba bersikap manis padaku. Saat itu tidak ada angin juga tidak terlihat mendung namun sekonyong-konyong Nordin membelikanku es goyang. Sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, sepanjang ingatanku sebagai adiknya.
"Aku kan kakakmu, Lay. Sudah sewajarnya aku baik padamu," katanya ketika aku enggan menerima pemberiannya.
Sudah lama aku jadi adiknya dan pengalaman mengajarkanku untuk tidak mempercayai silat lidahnya. Bisa saja ia telah mengoleskan ramuan gatal dari tumbukan buah rawe di permukaan es itu. Hal semacam itu bukan tidak mungkin ia lakukan. Ia pernah melakukannya pada adik ragil kami, semata untuk menguji keampuhan ramuan hasil racikannya, yang kemudian aku tahu –dari pergunjingan kawan-kawan kriminalnya –akan ia gunakan pada guru kimia di sekolahnya.
Ia agaknya dapat membaca kecurigaanku. Sebab, kemudian ia menjilat es itu di depanku, untuk membuktikan benda itu bebas dari zat berbahaya.
"Enak sekali, Lay. Ayo terimalah...!"
"Najis!" Hardikku, lalu meninggalkannya.
Ia muncul lagi di hadapanku pada sore hari, selepas mengerjakan PR matematika, menampakkan muka sok manisnya yang menjijikkan. Tampang belatung itu adalah hal terakhir, dari segala hal yang bisa dilihat di jagat raya ini, yang ingin kulihat setelah mengerjakan soal matematika.
"Ayolah, Lay. Bantu aku sekali ini saja. Kau mau apa? Kaos kutang? Tempo hari kau minta kaos kutang pada bapak. Kalau aku yang minta pasti kau dibelikan. Mau, ya...!"
Bukannya aku begitu murahan, hingga mau disogok dengan selembar kaos kutang, namun demi menjaga kewarasanku sendiri dan demi lekas-lekas mengenyahkan tampang belatungnya, maka kusanggupi permintaannya. Sesuatu yang kemudian kusesali seumur hidupku.
Ia memintaku menulis dan menyampaikan surat cinta kepada Nur Anifah, anak kelas enam yang kecantikannya sudah dimufakati oleh seluruh warga sekolah, yang membuat iri kawan-kawannya dan membuat jengkel kawan-kawanku, tersebab hanya dia satu-satunya, di sekolah kami, murid perempuan yang sudah memakai kutang sungguhan.
"Bukannya aku tak bisa menulis surat itu," kilah Nordin. "Tapi kau tahu sendiri tulisanku sebagus apa."
Ya, aku tahu. Tulisan tangan Nurdin memang seindah tahi lintung yang dikorek sapu kerik. Lagi pula jika ia nekad menulis surat itu sendiri, aku yakin Nur Anifah akan mengira telah menerima daftar belanjaan yang ditulis pemabuk buta huruf.
Nordin tahu belaka aku bisa diandalkan untuk hal semacam itu. Kalian mungkin menganggapku berlebihan dan mengada-ada, tapi biar jelek begini aku sudah lancar membaca buku resep memasak milik ibuku, dari sampul ke sampul, sebelum masuk sd, dan sebelum naik kelas dua aku sudah merampungkan semua roman Hamka dan novel-novel terjemahan yang ada di perpustakaan sekolah. Membuat surat cinta yang indah sama mudahnya dengan buang ingus bagiku.
Maka, kutulislah surat itu, dengan kata-kata mendayu, bersayap, mengepak terbang hingga luar angkasa. Nordin sangat puas ketika membacanya. Aku sendiri membaca surat itu berkali-kali sebelum membubuhkan minyak wangi dan melipatnya dengan pola yang sedang tren pada waktu itu. Kalian boleh menganggapku narsis atau apa, tapi surat itu memang betul indah. Aku sendiri heran dan takjub saat membacanya. Seandainya surat itu ditujukan kepadaku (dengan catatan bukan dari si belatung Nordin) tentu aku akan dengan senang hati menerimanya.
Tapi Nur Anifah bukan aku. Dia memang memiliki wajah gemilang, secemerlang bongkahan kristal gunung es, namun bagian terbesar kecerdasan akademiknya, mengikuti perangaai gunung es pula, terbenam dalam di bawah laut. Kami bahkan sering berprasangka bahwa ia tidak bisa membaca. Ia menerima surat itu, cekikikan sebentar, lalu memasukkannya ke dalam saku. Itu saja. Dan Nordin tidak pernah menerima surat balasan sampai kelak di hari pembalasan.
Bukannya aku peduli dengan kakakku dan tai kucing perasaannya pada gadis itu. Menurutku tindakannya adalah kesia-siaan yang sungguh-sungguh sia-sia. Dan apa yang dia lakukan tak ubahnya mengalungkan mutiara ke leher beruk.
Setelah gagal dengan surat cinta, Nordin mencoba peruntungan asmaranya dengan cara yang agak heroik. Ia nekat mencegat gadis itu sepulang sekolah, sendirian. Rencananya, ia ingin secara langsung mendapat jawaban atas suratnya, dan jika memungkinkan mengajaknya nonton pagelaran layar tancap di desa tetangga.
Rombongan kami berada di belakang anak-anak kelas enam dan aku melihat kejadian itu dari jauh dan ikut merasakan rona panas di wajahku. Apalagi teman-teman menunjuk-nunjuknya sambil menanyakan hal yang sudah terang benderang: "Itu kakakmu, kan?" Pada saat itu aku bahkan tidak keberatan bertukar nasib dengan Oliver Twist.
Siang itu aku melihat Nordin begitu menderita. Ia berusaha menjauhkan Nur Anifah dari teman-temannya. Namun anak-anak itu justru mengepung dan memojokkannya ke bawah naungan pohon waru, yang daunnya mirip gambar hati –tanda cinta –dan ketika angin bertiup agak keras, beberapa lembar daun yang telah menguning lepas dari tangkainya dan jatuh ke permukaan kali, hanyut dan kemudian tenggelam dan membusuk bersama endapan lumpur. Begitulah nasib cinta Nordin, menurut perkiraanku.
Di rumah, dengan suara yang terdengar seperti orang yang menahan tangis, Nordin mengatakan bahwa gadis itu sepertinya senang dengan surat cinta buatanku. "Dia tertawa cekikikan saat kutanya soal surat itu," katanya. "Sayang sekali dia mungkin tidak akan diizinkan ayahnya nonton layar tancap."
Aku tidak peduli, si kutang itu mau pergi ke layar tancap atau ke neraka.
Malam itu, meskipun tahu Nur Anifah tidak akan datang, Nordin tetap berangkat nonton layar tancap bersama gerombolan kriminalnya. Mereka menunggu gelap di rumahku, menjarah kudapan di toples ruang tamu dan saling menceritakan, sambil tertawa-tawa, jalan cerita film horor Suzzana yang nantinya akan mereka tonton.
Hari itu aku menemukan satu lagi bukti kebenaran ucapan Einstein, bahwa Tuhan begitu mencintai orang bodoh, dan karenanya Ia menciptakannya banyak sekali, dan sebagian dari mereka sedang mencemari ruang tamu rumahku.
Nordin tidak pulang malam itu, juga malam berikutnya. Lalu ia tiba-tiba muncul di sekolah kami, telanjang bulat. Kusdi cs yang pertama kali melihatnya. Mereka, seperti setiap pagi sepanjang aku bersekolah di sana, tengah berdiri satu kaki di depan kelas untuk menghayati hukuman dari Pak Halim, guru olah raga yang kami cintai karena obsesinya pada hukuman.
Kusdi cs tidak segera mengenali Nordin waktu pertama kali melihatnya. Mereka bahkan sempat menertawakannya, lelaki telanjang yang berjibaku memanjat gerbang setinggi hampir tiga meter. Lalu tawa mereka berubah menjadi teriakan histeris ketika Nordin menghampiri mereka dengan sebilah balok. Teriakan orang gila itu mula-mula berasal dari mereka ini.
Selanjutnya keadaan menjadi kacau balau. Nordin tidak hanya mengacak-acak kelas enam. Ia mengejar setiap orang yang berlari menghindarinya, masuk dan keluar ruangan. Semua murid dan juga guru, bahkan Pak Halim yang terkenal garang itu, lari kocar-kacir dan berteriak histeris. Nordin juga memasuki kelasku, menjatuhkan hampir semua meja dan bangku, dan nyaris saja merobohkan almari. Aku terduduk lemas di bangkuku, saking kagetnya. Tapi dia mengabaikanku dan mengejar hanya mereka yang lari. Saat itu, gerbang masih dikunci. Jadi, setiap orang hanya berlari di halaman dan mencari tempat sembunyi di kantin dan ruang kelas.
Keadaan baru bisa dikendalikan setelah beberapa murid kelas lima melompat pagar dan menjemput Pak Hasan Basri, guru agama kami, yang rumahnya hanya terpisah dua gang saja dari sekolah. Pak Hasan yang tanggap segera memahami situasi dan ancaman yang akan ia hadapi. Buktinya, meskipun punya kunci cadangan, ia tidak langsung membuka gerbang dan masuk, melainkan mengumpulkan sejumlah lelaki dari warung kopi. Kalian tahu, sejak dahulu, di mana saja dan untuk persoalan apa saja, agama memang selalu bisa diandalkan.
Tak kusangka Nordin ternyata bisa begitu tangguh. Lima lelaki dari warung kopi, dua di antaranya anggota Hansip, kalang kabut olehnya. Seolah ia telah mendapat pinjaman energi setani langsung dari raja setan sendiri. Mereka membutuhkan waktu hampir satu jam untuk benar-benar meringkusnya. Selanjutnya giliran Pak Hasan membacakan potongan ayat dari kitab suci, lalu mengguyur Nordin dengan segayung air yang telah diberi doa dan jampi. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi, sebab kemudian Pak Hasan menyuruhku pulang, memanggil bapak atau ibuk.
Ketika aku dan bapak tiba di sekolah, Nordin sudah duduk termangu di ruang UKS, dengan bagian bawah tubuhnya terbalut kain spanduk penerimaan siswa baru, mengangguk-angguk takzim mendengarkan wejangan Pak Hasan Bashri.
“Dia kesurupan, Pak” jelasnya pada bapak. “Dan tidak tanggung-tanggung, yang merasukinnya tiga jin sekaligus. Dan semuanya dari jenis Ifrit.”
Bapak membawa Nordin pulang, setelah mengucap banyak-banyak terima kasih kepada Pak Hasan Bashri dan lebih banyak lagi permintaan maaf kepada Bu Asih, Pak Halim dan semua warga sekolah, termasuk kepada Junaidi Pak Bon, orang yang mengunci gerbang dan kemudian pergi ngopi sepanjang pagi.
Cerita tentang kesurupan itu lekas menyebar dan Nordin –untuk berapa lamanya –menjadi sedikit lebih alim: ia menjadi yang paling awal datang dan mengumandangkan azan di langgar, serta tak pernah absen mengaji di hadapan Wak Moden. .Sampai-sampai, grombolan kriminalnya mengira ia benar-benar telah kerasukan jin langgar.
Hari-hari itu, baik di langgar maupun di pos ronda, banyak orang berkerumun dan menanyakan prihal kesurupannya. Dan, aku yakin, dengan senang hati –meskipun nadanya terdengar kesal –ia lantas mengisahkan, bahwa pada malam itu sepulang dari melihat pagelaran layar tancap tanpa sengaja ia menginjak akar nimang dan disesatkan oleh hantu-hantu dan dibawa pergi ke alam mereka dan dikembalikan lagi setelah dua hari dalam keadaan telanjang. Cerita perjalanannya di negeri para hantu itu bisa memakan banyak sekali halaman jika kutulis di sini. Lagi pula cerita itu berubah setiap kali dikisahkan di tempat dan waktu yang berbeda.
Aku sendiri sejak semula tidak pernah percaya cerita itu. Dan kelak, bertahun-tahun kemudian, aku menjadi tahu bahwa malam itu Nordin tidak pulang karena mabuk biji kecubung. Nordin tertidur di rumah kawannya selama dua hari dua malam, lalu bangun dan merancau tidak keruan dan melepas pakaiannya dan berjalan berputar-putar di halaman rumah. Tingkah Nordin tidak menarik perhatian sebab rumah itu kosong (kedua orang tua kawannya merantau ke Ambon, bapaknya jualan pentol dan ibunya jualan jamu) dan agak jauh jaraknya dari tetangga. Kawannya lekas-lekas membawa Nordin masuk dan mengunci pintu dan ia sendiri pergi ke rumah neneknya untuk sarapan. Namun, seperti yang telah kita tahu, saat ia kembali Nordin sudah tidak ada di rumah itu.
Satu demi satu kebohongan dan rahasia-rahasia kecil Nordin terbongkar setelah ia pergi kuliah ke luar negeri. Hasan yang menceritakan semuanya padaku. Dia adalah salah satu anggota terpenting grombolan itu. Sebab rumah kosong itu adalah miliknya.
Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Nordin dan grombolan kriminalnya melakukan kegilaan-kegilaan itu dan tetep dapat melanjutkan sekolah hingga lulus SMA. Hampir setiap malam, di rumah kosong itu, mereka berpesta, membakar ayam atau singkong curian, merokok dan mabuk. Sedang siang harinya mereka habiskan di parit-parit untuk memburu biawak atau garangan, kulitnya mereka keringkan untuk bahan kerajinan dan sebagian dagingnya untuk tambul minuman. Namun, dua manfaat itu hanya soal kecil saja dibandingkan keseruan, teriakan-teriakan dan keringat yang mereka kucurkan saat perburuan berlangsung.
Mungkin kalian bertanya, dari mana remaja-remaja tanggung itu mendapat cukup uang untuk membeli arak tiap malam? O, mereka tidak perlu membelinya, sebab dapat membuatnya sendiri dengan alat suling rakitan. Jumali Dragon yang membuat alat itu dengan mengikuti sketsa kasar yang digambar oleh Nordin berdasarkan deskripsi terperinci dari guru kimia mereka. Dan bahan yang diperlukan pun tersedia melimpah, karena rumah kosong itu difungsikan juga sebagai lumbung pendaringan oleh keluarga Hasan.
Ketika semua anggota grombolan berpencar untuk kuliah di tempat-tempat yang jauh, Hasan tetap tinggal dan kuliah di kota kami. Tidak sulit bagiku untuk mengorek semua informasi itu dari Hasan, biarpun seumpama ia telah bersumpah pocong untuk tidak membocorkan rahasia itu pada siapapun. Sebab, sejak lama aku tahu diam-diam Hasan menaruh hati padaku. Hanya dengan sedikit sikap manis dan kesediaan setiap sore ditraktir mie ayam semua rahasianya terdedah di hadapanku. Yah, memang pada akhirnya kami menikah.
Kata Hasan, meskipun sudah terbiasa mabuk tapi malam itu ada yang aneh pada diri Nordin. Ketika film baru diputar seperempat jalan, Nordin tiba-tiba mengajak mereka pulang. Katanya film itu sudah empat ratus kali ia lihat di televisi. Dan di rumah Nordin memprofokasi mereka untuk minum lebih banyak. Jauh lebih banyak dari biasanya. Ketika orang-orang sudah bertumbangan Nordin masih tegar dalam duduknya, kira-kira masih kuat push up tiga puluh kali. Seakan minuman itu hanya air putih saja. Hasan yang belum terlalu mabuk melihat Nordin tiba-tiba menjadi murung dan menangis dan keluar lalu masuk lagi beberapa waktu kemudian dengan membawa sebuah cupu, yang kemudian ia tahu berisi biji-biji kecubung kering.
Hasan memang tidak pernah tahu dan menayakan mengapa Nordin melakukan hal itu. Namun, rasanya aku tahu betul alasannya. Sebab, setelah pagelaran layar tancap itu, aku mendengar si kutang berkoar pada kawan-kawannya di kantin sekolah bahwa semalam dia dibonceng Suwoto naik honda melihat layar tancap. Pada waktu itu, kalian tahu, motor masih menjadi barang mewah. Di kampung kami hanya keluarga Lurah Kromo yang punya. Suwoto adalah salah satu cucunya. Aku yakin pasti Nordin melihat si kutang dan Suwoto di sana.
Kata orang cinta bisa meluruhkan waktu dan waktu bisa meluruhkan cinta. Namun, kata-kata itu agaknya tidak berlaku bagi Nordin. Sejak ia pergi ke luar negeri komunikasi kami nyaris putus. Ia menulis surat tiga kali, dari tiga alamat yang berbeda. Surat pertama dari Boston, mengabarkan ia diterima di Universitas Northeastern dan mengambil jurusan Biomedis. Surat kedua dengan sangat singkat mengabarkan bahwa ia bekerja di sebuah laboratorium di Kanada. Surat ketiga dari Tibet, menanyakan apakah si kutang sudah menikah?
Dalam suratnya yang terakhir ia menyertakan nomor ponsel. Tapi aku tidak pernah menghubunginya. Bisa-bisanya, setelah sekian lama, ia hanya menayakan perempuan itu, alih-alih kabar bapak atau ibu. Bahkan ia juga tidak pulang ketika bapak meninggal. Padahal aku yakin ia pasti mendengar kabar itu. Sebab, selang beberapa bulan kemudian ia menghubungiku, mengonfirmasi kebenaran berita bahwa si kutang dinikahi oleh Lurah Kromo.
“Kok bisa?” tanyanya.
“Kenapa tidak bisa?”
“Bukankah dia seumuran dengan cucunya?”
“Biar sudah kisut Lurah Kromo masih salah satu orang terkaya di kota ini.”
“Maksudku, apa dia bahagia?”
“Kalau yang kau maksud bahagia itu hidup terjamin dan pergi kemana-mana naik mobil, sudah pasti iya, dia bahagia.”
“Tapi apa dia mencintainya?”
“Jangan tanya aku! Lupakan si kutang. Dia sudah menikah. Sekarang sudah bukan urusanku juga bukan urusanmu lagi apa dan mengapa dia mau memberikan lubangnya untuk dimasuki burung kisut.”
Panggilan terputus.
Aku yakin dia pasti sedang menangis dan barangkali, jika ada, akan mabuk biji kecubung lagi. Namun, bisa jadi aku keliru. Mungkin saja setelah itu ia mengerjakan hal lain. Sesuatu yang jika kupikirkan sekarang ini membuatku begidik ngeri dan bertanya-tanya, apa yang tidak bisa dilakukan oleh seseorang karena dorongan cinta?
Tapi, barangkali juga semua itu hanya kebetulan. Kalian tahu, tepat tiga bulan sebelum pandemi, Nordin berkabar sedang ada di Tiongkok untuk sebuah proyek besar, sesuatu yang menurutnya akan mengubah dunia. Tentu saja aku tahu proyek itu tidak berhubungan sama sekali dengan bidang kontruksi. Saat itu aku hanya tertawa dan memintanya pulang jika sempat.
“Aku akan pulang,” katanya.
“Kapan?”
“Satu atau dua tahun lagi. Jika dia sudah mati.”
“Siapa?”
“Burung Kisut.”
Gresik, 22 November 2022
*Atika Salsabila Zahra
*lun = pun
*oasti=pasti
*Tali=tapi