Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kucing itu menggeram. Suaranya rendah, tetapi lekukan nadanya terdengar tidak ramah. Sementara lensa matanya memipih seperti pisau yang menusuk hati Rindu Asmarandah, sang majikan muda.
Sungguh, gadis itu tidak habis pikir dengan perangai aneh Singa, kucing oranye peliharaannya. Sepulang dari widyawisata (study tour) ke Gua Purba di Dusun Kawufian tadi, Rindu langsung mencari Singa untuk menyapanya dahulu, sebelum mandi. Niatnya ingin berkangen-kangenan. Sepuluh jam tidak bertemu, ini rekor terlama Rindu berpisah dengan Singa!
Namun, tak dinyana, malah begini sambutannya! Ditemui di ruang keluarga, kucing itu membuka mulutnya lebar, mempertontonkan deretan giginya yang runcing, dengan desisan panjang ke arah Rindu. Punggungnya terangkat tinggi. Sepertinya, ia sudah tidak mengenali majikannya lagi.
“Maaaa?” Rindu meninggikan suara agar didengar ibunya, tanpa memalingkan pandangan dari kucingnya. “Singa udah dikasih makan, belum? Kok, jadi jahat gini?”
Belasan detik kemudian, Bu Kangen datang dan memberi tahu bahwa Singa sudah ikut makan ketika papa sarapan tadi. Sementara untuk jatah makan malam, tentu saja belum waktunya. “Jahatnya gimana, sih?”
“Kayak kucing liar gitu, tuh!” Rindu menunjuk Singa. “Mama lihat sendiri aja. Eh, tapi kayaknya penglihatannya bermasalah, deh! Kayak menerawang gitu. Iya, enggak, sih?”
Bu Kangen memperhatikan dengan kening berkerut.
“Periksa, dong, Ma! Siapa tahu ada penyakit apa, gitu, di matanya,” desak Rindu.
Profesi Bu Kangen memang dokter hewan. Ia mendekati Singa. Menggendongnya. Anehnya, Singa tidak berontak sama sekali. Tidak pula memperlihatkan sikap bermusuhan. Hanya, ia terus memperhatikan Rindu dengan tatapan waspada.
Bu Kangen memperhatikan Singa yang ditimangnya, lalu membuang pandangan ke putrinya. “Kayaknya, masalah Singa itu kamu, deh!” goda Bu Kangen sambil berjalan menuju ruang kliniknya.
Rindu bergeming. Dahinya bekernyit. Ia rupanya menanggapi serius gurauan ibunya. “Tapi, aku salah apa?”
Rasa penasaran dan baper itu Rindu bawa sampai kamarnya. Mengapa Singa berkelakuan seagresif itu? Apakah ia terkena rabies? Atau, ia kesurupan siluman penunggu selokan?
Belasan menit, Rindu duduk di meja belajarnya. Hanya terdiam dengan kening mengerut. Mau mandi, rasanya sudah hilang mood.
Akhirnya, gadis itu memilih membaca-baca buku. Rindu menarik secara acak sebuah punggung buku yang berjajar secara vertikal. Ternyata, itu buku Fisika. Karena tidak benar-benar berniat membaca, ia asal saja membuka halaman-halamannya.
Sampai akhirnya, Rindu berhenti di Bab Optik, hanya karena ilustrasinya mencolok. Itu infografik tentang pemantulan dan pembiasan cahaya. Digambarkan, ketika seseorang fokus pada sebuah benda yang teramat dekat, matanya menjadi juling.
“Jelek banget gambar cowoknya,” komentar Rindu sambil menguap lebar. Namun, sebelum bibir tipis itu mengatup, sirna seketika rasa kantuk. “Jangan-jangan, ini yang terjadi pada Singa!” gumamnya.
Rindu jadi tertarik membaca bab tersebut secara runut dari awal, sembari mengingat penjelasan-penjelasan guru Fisikanya di sekolah. Juga guru Biologinya! Otaknya sibuk menghubung-hubungkan semua teori di kepalanya.
Sama seperti mata manusia, mata kucing ternyata juga memiliki kemampuan untuk berakomodasi atau mengubah bentuk lensa mata, dalam rangka membuat objek yang jauh maupun dekat menjadi jelas.
“Ketika kita melihat benda dekat, lensa mata menjadi lebih cembung dan tebal,” Rindu membaca penjelasan buku itu dengan lambat dan lantang, seolah dengan begitu otaknya bisa lebih mudah mencernanya. “Ini menyebabkan cahaya dibiaskan dengan lebih kuat, sehingga sinar benda bisa jatuh tepat di retina dan terlihat jelas. Sebaliknya, ketika kita melihat benda jauh, otot siliaris mengendur, otomatis lensa mata menjadi lebih pipih. Tujuannya sama, yakni agar sinar dari benda itu jatuh tepat di retina.”
Rindu merenung beberapa jenak.
Matanya mendelik. Jarinya menjentik. Ia pun langsung berlari menuju ruang praktik.
“Gimana, Ma?” tanyanya tanpa basa-basi.
Begitu tahu Rindu mendekat, tingkah janggal Singa berulang. Kucing itu bangkit, punggungnya menegang sengit, mulutnya melebar sembari mendesis, menggeram, dengan sorot mata tajam.
Rindu menelan ludah. Jantungnya berdentuman.
“Enggak ada masalah kesehatan apa-apa, kok. Tadi udah tenang. Normal. Tapi kenapa reaksinya gini lagi pas lihat kamu? Apa yang bikin Singa benci ke kamu?”
Rindu terdiam beberapa detik, lalu berbisik terbata, “S-Singa bukannya benci aku, Ma. Singa juga bukan… sedang lihat aku.”
“Maksudmu?” tanya Bu Kangen sembari memperhatikan kucing yang seperti menggeram makin garang itu.
“Aku juga enggak yakin. Tapi tunggu!” Rindu balik badan begitu saja, lantas memelesat menuju garasi.
Di sana, ia mengambil dan mengenakan jas hujan. Berikutnya, helm dan sarung tangan. Lantas, siswi SMP Wufi itu berlari balik menuju ruang klinik dengan kamera video ponsel yang menyala.
Karuan saja, Bu Kangen kaget melihat sosok berjas hujan, sarung tangan, dan helm itu.
“Ini aku, Ma!” ucap Rindu dari balik helm yang tertutup penuh.
Keterkejutan Bu Kangen langsung raib, berganti tawa geli. “Kamu ngapain, sih?”
Rindu tidak menjawab. Ia hanya terus merekam reaksi kucingnya. Singa kembali bertingkah seakan Rindu adalah musuhnya. Setelah sekira satu menit, ia meminta ibunya mengembalikan si oranye ke kandangnya di kebun belakang.
Barulah Rindu melepas helm dan duduk di sofa ruang keluarga. Masih mengenakan jas hujan, ia tak sabar memeriksa hasil rekamannya.
Tak lama kemudian, Bu Kangen bergabung di sebelahnya.
“Sewaktu aku pakai jas hujan dan helm, Singa kemungkinan besar enggak mengenali aku lagi,” terangnya tanpa diminta. “Tapi anehnya, reaksinya tetap agresif. Artinya, Ma, marah atau enggak sukanya Singa itu… bukan sama aku!”
“Kamu aneh-aneh pakai jas hujan gini, jelas aja Singa enggak sukanya sama kamu! Hahaha….”
“Bukan, Ma!” Rindu tidak ikut tertawa. Ia menunjuk layar ponselnya. “Perhatikan matanya.”
Bu Kangen spontan mendekatkan wajahnya ke layar ponsel.
Rindu menyetop video rekamannya, lalu memperbesarnya hingga empat kali. “Singa bukan melihat aku. Kalau titik fokusnya ke aku, matanya akan seperti ini....” Rindu memutar ulang video saat ia pertama muncul di bawah pintu klinik.
Dokter hewan itu memperhatikan dan mengangguk-angguk paham.
“Nah, selang beberapa detik, mata Singa berubah fokus. Kepalanya agak mendongak. Lensa matanya jadi pipih. Penglihatannya kayak lebih ke atas dan… lebih ke belakang. Itulah 'sesuatu' yang merisaukannya. Tuh, Mama lihat, enggak, arah mata Singa? Itu lihatnya ke belakang aku, Ma, bukan ke aku!”
Rahang Bu Kangen ternganga. “Singa lihat apa, menurutmu? Enggak ada apa-apa di belakangmu tadi.”
“Kita enggak tahu juga, Ma. Penglihatan binatang, kan, konon lebih peka dari kita. Tapi, dilihat dari kepala dan mata Singa, pasti 'sesuatu' yang dilihat Singa itu... jauh lebih tinggi dari aku! Entah karena tinggi, entah karena ia melayang.”
“Melayang? Apa yang melayang? Apa yang tinggi?” berondong Bu Kangen tidak sabaran.
“Enggak tahu, Ma,” sahut Rindu, merasakan rambut-rambut kecil di tengkuknya mulai meremang. “Aku takutnya, 'sesuatu' itu… terus ada di belakangku. Seperti… ngikutin aku….”
“Ngikutin? 'Sesuatu' itu... hidup?” Bu Kangen langsung memeriksa apa yang ada di belakang putrinya. Namun, tentu saja, tidak ada apa-apa di sana.
Rindu menelan ludah lagi. Wajahnya kian pucat. Ia mendekatkan kepalanya ke kepala mamanya. Lalu berbisik teramat lirih, seakan takut ada yang ikut mendengar. “Mungkin, 'dia' udah ngikutin aku sejak aku pulang dari study tour ke Gua Purba tadi, Ma.”