Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dia masih berbaring di sana. Berbaring dengan wajah damainya. Berbagai selang yang terpasang di tubuhnya yang mulai mengurus tampak seperti anyaman penyambung kehidupannya saat ini. Berapa waktu yang sudah terlewati? Apa masih kurang? Kapan kedua mata sayu itu akan kembali menatapku?
Lagi-lagi seperti ini. Air mataku mengalir tanpa henti tiap mengunjungi tempat ini. Aku bukan sedih karena caci-maki yang kuterima saat menginjakkan kaki di tempat ini. Aku juga sangat menyesali semua yang telah terjadi. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan dengan itu selain memohon pada Sang Pencipta.
Seandainya aku tahu akan seperti ini, aku tidak akan pernah mengajaknya pergi bersamaku hari itu. Seandainya aku tahu akan seperti ini, aku akan memperlakukannya dengan lebih baik lagi. Seandainya aku tahu akan seperti ini, aku akan lebih sering mengatakan padanya betapa bersyukurnya aku atas keberadaannya di sampingku dan betapa aku mencintainya. Seandainya dan seandainya. Semua hanya sebatas seandainya.
BYURRR……
“Kenapa kamu datang lagi ke sini, hah?!! Sudah berapa kali kubilang? Jangan pernah muncul lagi di sini?”
“Sabar bu, sabar.”
“Lihat apa yang sudah kamu lakukan?” tunjukkan ke arah laki-laki yang tengah berbaring di ruangan itu.
PLAKK…..
“Gara-gara kamu! Semua gara-gara kamu! Memang seharusnya dari awal aku menolak orang yang tidak jelas asal-usulnya seperti kamu.”
“Lin, keluar aja.”
“Pergi kamu dari sini! Saya tidak sudi melihat wajahmu lebih lama lagi. Wajah orang yang sudah mencelakai anak saya satu-satunya. PERGI KAMU!! PERGI!”
Suara teriakan yang menggema di seluruh penjuru ruangan itu memaksa diriku melangkahkan kaki kembali ke luar. Niatku yang ingin sekedar melihat wajahnya tidak bisa terwujud. Aku memang salah di sini. Semua memang adalah kesalahanku. Kalau bisa menggantikannya di sana, aku mau. Tapi siapa aku ini sampai berharap memiliki kuasa layaknya Sang Ilahi?
Dengan langkah gontai aku meninggalkan tempat itu. Air mata menetes sepanjang jalan. Tidak ada tempatku untuk bersandar lagi saat ini. Dari semua orang mengapa harus ia yang mengalami hal seperti itu?
Tubuhku menggigil, aku kedinginan. Kuraba pipiku yang terasa panas dan perih saat ini. Sakit, benar-benar terasa sakit. Tapi sakit ini tidak bisa dibandingkan dengan yang ia alami. Dari semua orang mengapa harus ia? Orang yang kupunya hanyalah dia? Tidakkah terlalu kejam untuk merenggutnya dari sisiku juga?
Setelah jauh melangkah, aku terduduk. Aku benar-benar tidak sanggup dengan semua itu. Air mataku mengalir dengan derasnya. Aku menjerit, memanggil namanya berkali-kali meskipun aku tahu dia tidak akan pernah datang dan memelukku di sini. Semua benar-benar terasa berat dan menyakitkan. Aku tidak bisa kalau harus tanpanya.
***
Kedua mataku mengerjab berkali-kali berusaha memahami situasi yang sedang terjadi di sekitarku. Berapa lama aku tertidur? Apa aku pingsan saking sedihnya? Entahlah. Aku tidak mengingatnya. Hal terakhir yang kuingat adalah tangisanku yang meraung-raung di pinggir jalan.
Tempat ini terasa tidak asing. Benar, ini memang tidak asing. Aku sedang berada di rumah yang kutinggali bersama suamiku sejak dua bulan yang lalu. Rumah yang selalu terasa hangat kini terasa dingin dan penuh duri yang dapat melukaiku walau sekedar melihatnya saja.
Tempat ini mengingatkanku terakhir kali kami bersama sebelum kejadian mengerikan itu. Aku mengajaknya pergi membeli mie ayam yang tiba-tiba saja ingin kumakan malam itu. Ajakan yang berujung maut. Kami kecelakaan dalam perjalanan.
Meskipun pernikahan kami baru berusia dua bulan, aku sesungguhnya telah mengandung darah daging kami. Usia kehamilanku saat itu sekitar enam belas minggu. Mengetahui hal itu saja orang-orang sudah pasti tau kami adalah pasangan yang menikah karena keadaan yang mengharuskan kami untuk menikah. Meskipun demikian, bukan berarti kami tidak pernah memiliki niat untuk maju ke jenjang pernikahan. Kami sudah berpacaran selama satu tahun sebelum aku mengetahui bahwa diriku tengah berbadan dua.
Pernikahan kami ditolak mentah-mentah oleh keluarganya. Bukankah itu sudah jelas? Orang tua yang telah membesarkan anak dengan susah payah, tidak mungkin rela anaknya menikah dengan sembarangan orang. Sembarangan orang itu termasuk diriku yang asal-usulnya tidak jelas. Aku bahkan tidak tahu siapa orang tuaku. Semua penolakan itu akhirnya teredam ketika mereka mengetahui fakta bahwa diriku sedang mengandung.
Karena asal-usulku tidak jelas, tidak sedikit yang berpikir aku adalah anak hasil hubungan terlarang atau anak yang tidak diinginkan keberadaannya tapi tidak sempat digugurkan, sehingga aku dibuang ke panti ketika lahir. Pemikiran-pemikiran seperti itu yang membawa pemikiran baru. ‘Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.’ Kebanyakan orang pasti pernah mendengar ungkapan seperti itu. Ungkapan yang cocok menggambarkan pemikiran mereka bahwa aku kotor seperti orang tuaku. Kelakuanku kotor seperti kelakuan orang tuaku. Hal itu yang menyebabkan aku bisa menggaet anak dari keluarga baik-baik menjadi pasangan.
Yah, mau bagaimana lagi. Orang-orang yang mendengarkan apa yang ingin mereka dengar. Orang-orang hanya beropini sesuai keinginan mereka tanpa peduli rasa sakit yang ditimbulkan perkataan itu. Di mata mereka, aku tidak lebih dari sekedar jalang licik, dan itu tidak akan berubah sampai kapanpun.
***
Aku menatap sekitarku. Pandanganku mulai mengabur sebelum air mataku kembali menetes, aku menengadahkan kepalaku menghadap langit-langit kamarku. Ah, kamar kami tepatnya. Usaha itu sia-sia karena pada akhirnya air mataku tetap saja menetes.
Ingatan akan kejadian malam itu masih sangat jelas. Kami mengendarai mobil di tengah hujan deras yang mengguyur sepanjang jalan malam itu. Suamiku sudah mencoba membujukku untuk memesan makanan secara online alih-alih pergi langsung memesan di rumah makan langganan kami. Aku yang keras kepala menolak usulannya mentah-mentah. Seandainya tahu akan berakhir seperti ini, aku tidak akan pernah menolak usulannya malam itu.
Hujan deras membuat pandangan kami terbatas. Suamiku mengemudi dengan hati-hati karenanya, apalagi jalanan juga lebih licin dari biasanya. Akan tetapi, apa gunanya berhati-hati demi keselamatan jika orang lain tidak melakukan hal yang sama?
Tidak jauh dari tempat yang kami tuju, sebuah bus yang dikemudikan secara ugal-ugalan menabrak mobil yang sedang kami tumpangi. Di tengah kecelakaan itu, suamiku masih saja memikirkan keselamatanku dan janin yang sedang berada di kandunganku. Ia mendekapku dengan erat, melindungi tubuhku agar tidak terluka. Perlindungan yang benar-benar membahayakan baginya.
Setelah kecelakaan itu, kami dilarikan ke rumah sakit setempat. Suamiku kritis dan koma hingga sekarang. Aku yang lebih dulu sadar harus menerima segala konsekuensi dari keinginanku malam itu. Bahkan janin yang kukandung pun harus menerima konsekuensi itu. Aku kehilangan janin yang belum sempat kulahirkan ke dunia itu.
Keluarga suamiku yang sejak awal tidak pernah menyukai kehadiranku melimpahkan segala kesalahan yang terjadi malam itu kepadaku. Memang semua adalah salahku. Aku tidak akan menampiknya. Tidak sampai di sana, mereka juga melarangku untuk menjenguk suamiku yang sedang terbaring tidak berdaya di rumah sakit itu. Bahkan mereka mengatakan akan menyuruh suamiku untuk menceraikanku begitu ia tersadar dari komanya.
***
“Kau sudah sadar?”
Suara itu menyentakku yang sedang meratapi nasibku. Nasib malang yang tidak akan pernah bisa kuubah. Aku memang tidak pernah ditakdirkan untuk mencicipi kebahagiaan. Aku tidak layak untuk itu.
Aku memalingkan wajahku, menatap laki-laki yang sedang menggenggam gelas di depan pintu kamar.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Sama-sama.”
“Hah?”
“Setidaknya kau harus berterima kasih pada orang yang menolongmu bukan? Kalau aku tidak melihatmu di sana, entah bagaimana keadaanmu sekarang.”
Aku terdiam. Rupanya dia yang memindahkanku ke sini. Aku menatapnya dan gelas yang saat ini ada di dalam genggamannya.
“Oh ini? Aku kehausan jadi aku numpang minum di rumahmu.”
“Bagaimana kau bisa masuk ke sini?”
“Aku minta tolong sama satpam komplek.”
“Satpam tidak punya kunci rumahku. Bagaimana kamu bisa membuka pintu dan masuk ke dalam sini?”
Dia tersenyum sekilas sebelum melangkah meninggalkanku yang menatapnya dengan penuh curiga.
“Aku pamit dulu, lagipula kau sudah sampai dengan selamat di sini.” Katanya sambil berlalu meninggalkanku yang masih menyimpan kecurigaan padanya.
Tidak mungkin ia bisa masuk begitu saja ke dalam rumah yang pintunya terkunci. Kunci pintu hanya dimiliki oleh aku dan suamiku, bagaimana mungkin dia bisa masuk ke sini?
***
Aku bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar mandi, aku ingin membersihkan diriku saat ini. Membersihkan diri dari semua rasa sakit yang menyiksa saat ini. Aku berharap rasa sakit ini akan luluh bersama air yang membasahi tubuhku, Tapi itu tidak mungkin terjadi.
CEKLEK
Pintu kamar mandi yang kutuju membuka sebelum kusentuh. Rasa takut menghampiriku? Siapa yang ada di sekarang bersamaku? Bulu-bulu kudukku berdiri seketika ketika tidak ada seorang pun yang dijumpai indera penglihatanku.
Memberanikan diri, aku melangkah masuk ke dalam dengan sehelai kain handuk di tangan. Setidaknya aku harus membersihkan diriku sendiri. Setidaknya tubuhku harus bersih. Saat suamiku sadar nanti, aku tidak ingin ia melihat penampilanku yang berantakan.
Aku menanggalkan pakaianku satu demi satu. Kemudian menyalakan shower untuk membasuh tubuhku. Rasa sedih kembali menyelimutiku begitu dinginnya air menyapa kulit tubuhku. Aku merindukannya. Rasa dingin ini datang beriringan dengan rasa sedih dan sepi yang tidak pernah bisa kutepis.
Bulu kudukku meremang. Aku merasakan dekapan dari arah belakang tubuhku. Aku sadar bahwa aku sendirian di sini. Tidak ada orang lain di ruangan ini. Dengan perasaan takut, perlahan aku menatap ke arah belakangku.
Tubuhku rasanya tak sanggup lagi kutopang. Air mataku luluh seketika begitu melihatnya. Dia ada di sini bersamaku saat ini. Apa aku terlalu merindukannya sampai berhalusinasi tentangnya? Aku tidak peduli, selama ia bisa kulihat, selama ia bisa kusentuh, selama ia bisa peluk, aku tidak peduli pada apapun. Dirinya sudah lebih dari cukup. Aku tidak butuh apapun lagi.
Ia mendekapku dengan erat. Dekapan yang selama ini selalu kurindukan. Dekapan yang selalu membuatku tegar menatap jalan yang ada di depanku.
“Aku merindukanmu,” bisiknya.
“A-ak-akuuu j-jug-juga mer-rindukanmu.” Ucapku terbata-bata saking tidak percayanya dengan apa yang terjadi saat ini.
“Aku sudah lama menunggumu, anak kita juga.”
‘Tapi anak kita..”
Aku mengangkat wajaku dan menatapnya sendu. Aku tidak mampu melanjutkan kalimatku. Anak yang telah kami nanti-nanti dengan penuh suka cita harus pergi mendahului kami menghadap Sang Pencipta.
“Ssstt..,” ia meletakkan telunjukkan di depan bibirku. Membungkam tiap kata yang akan dimuntahkan oleh mulutku.
“Aku tahu,” lanjutnya..”aku tahu. Tidak apa-apa. Semua bukan salahmu.”
Ia memegang kedua pundakku, menatap wajahku dengan tatapan hangatnya yang selalu kurindukan.
“Aku datang menjemputmu. Ayo kita pergi dari sini. Anak kita sudah menunggu kita di sana.”
Tangannya beralih menggenggam tanganku yang lebih kecil dibanding tangannya. Genggaman erat yang tidak akan pernah bisa kutepis.
Perlahan ia memakaikan handuk kering yang tadi kubawa ke tubuh polosku. Mengeringkan tubuhku yang telah basah.
Aku menganggukkan kepalaku. Aku ingin ikut dengannya. Dengannya saja sudah cukup, aku tidak butuh apapun lagi. Asalkan bisa bersamanya, aku akan ikut. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Lebih baik begini, dibanding aku harus hidup sebatang kara di dunia yang tidak pernah ramah kepadaku ini.
Kami melangkah keluar dari sana. Berjalan menuju cahaya yang entah sejak kapan ada di sana. Seseornag menunggu kami di depan cahaya itu. Seseorang yang rasanya tidak asing bagiku.
Pakaiannya berwarna hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada tatapan terkejut darinya melihat kedatanganku dan suamiku saat ini. Seolah-olah kedatangan kami memang sudah ia nantikan sejak awal.
Aku menatapnya lagi. Ia adalah laki-laki yang menolongku siang ini. Wajahnya yang belum lama kutemui tidak mungkin langusng kulupakan begitu saja.
Sebelum melangkahkan kaki memasuki pintu bercaya itu. Laki-laki yang berdiri di samping pintu itu mengatakan sesuatu yang membuatku mengerti dengan semua keadaan ini.
Kami telah bertemu di alam yang berbeda dengan sebelumnya. Suamiku datang menjemput jiwaku yang ada di rumah kami bersama laki-laki yang mengaku menolongku itu. Aku mati tertabrak mobil di jalan ketika aku sedang menangisi nasibku yang malang.
Suamiku yang telah koma selama ini katanya sudah menungguku selama ini. Kami telah berjanji untuk selalu bersama. Baik dalam keadaan hidup ataupun telah mati. Karena kami ditakdirkan untuk selalu bersama. Kami adalah pasangan sehidup-semati.
***SELESAI***