Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Seharusnya, Ku Beranikan Diri Menatap Matamu
0
Suka
186
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Jemari Samantha menekan-nekan dan menari. Setiap tuts yang ditekannya menyemburkan not-not balok ke udara. Begitu mengentak, begitu pecah. Di akhir, nada-nada itu terdengar ngaco.

Dia berhenti, berdiri, terhuyung, menenggak anggur langsung dari botol. Perempuan gila, rambut ikal gantung berantakan, hanya mengenakan lingerie, berjalan meliuk-liuk ke dekat jendela katup dua yang terbuka lebar. Perempuan itu gila dan alkohol membuatnya mabuk.

Hoy! Dia teriak, lalu tertawa sendiri. 

Tak ada yang menyahut panggilannya. Matanya yang mulai kabur, menyipit dan samar-samar. Di luar sana hanya ada gedung-gedung yang tampak seperti wafer dan lampu-lampu taman seperti lolipop bercahaya.

“Lapar,” katanya, lalu berbalik menuju lemari es di dapur.

Dia berada dalam apartemennya milik suaminya. Bukan ... milik suaminya bukan cuma unit apartemen itu, melainkan seluruh gedung apartemen itu, termasuk pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta, toko-toko perhiasan, perusahaan-perusahaan di Segitiga Emas Jakarta, gedung-gedung di luar negeri, sekolah seni ternama di Rusia, tujuh pesawat jet pribadi, dua kapal pesiar pribadi dan masih banyak lagi.

Maklum, dia menikah dengan anak konglomerat yang sudah menjadi konglomerat. Akan tetapi, isi lemari esnya cuma kue ulang tahun saja.

Kue-spons-tanpa-krim-sama-sekali itu dari sahabatnya yang baru meninggal tadi pagi. Menatap kue itu sekarang, membuat Samantha merasakan panas di matanya lagi. Panas yang sama saat menyaksikan sahabatnya itu dikremasi, tapi matanya tidak berapi-api seperti tadi, kini berair.

Jatuhlah setitik dua titik air mata, lama-lama menjadi deras. Samantha memukul-mukul dada—rasanya sesak dan sakit sekali di sana.

Hanya sahabatnya yang tahu, dirinya adalah wanita dari masa lalu. Umurnya mungkin sudah dua abad—mungkin lebih—ini rahasia, sebab, kelihatannya tidak seperti itu. Pikirmu, kenapa anak konglomerat yang sudah menjadi konglomerat mau menikahinya padahal dia miskin? Tentu saja, karena penampilannya.

Dipotongnya kue spons itu, lalu dikunyahnya begitu saja. Tidak terlalu manis, persis seperti kue spons untuk wanita tua. Sahabatnya itu tahu persis apa-apa yang menjadi kesukaannya. Dia menangis lagi, kali ini sambil mengunyah, lalu menelan.

Kini, tiada lagi orang yang tahu kesukaannya. Tiada lagi orang tahu rahasianya. Pikirmu, kenapa rahasia menjadi rahasia? Tentu saja karena ada orang yang tahu. Kalau tidak ada yang tahu, ya, cukup tahu sendiri, namanya.

Kesedihan itu mengantarkannya kembali ke dekat jendela, tanpa menutup kulkas, tanpa membenarkan tali lingerie-nya yang melorot.

Dalam bayangan kepalanya, dia melompat dari ketinggian 27 lantai. Dalam bayangan kepalanya, kepalanya pasti langsung hancur. Dalam bayangan kepalanya, yang tersisa di apartemennya ini pasti cuma kue spons yang nanar, sendirian, dingin.

Untung saja, semua itu hanya ada dalam kepalanya—tidak benar-benar dilakukannya.

Masuklah merpati putih ke apartemennya itu, lalu menjatuhkan segulung kertas. Samantha tak habis pikir, gimana bisa merpati itu terbang setinggi ini? Malam-malam begini.

Ditatapnya merpati itu terbang ke sana-ke mari di dalam apartemennya, hinggap sejenak di atas piano tuanya, sebelum akhirnya terbang pergi.

Samantha tinggal melongo. Merpati itu tampak seperti kemustahilan yang melesat-lesat di antara gedung-gedung tinggi. Hilanglah merpati itu ditelan gelap dan dingin.

Sepucuk kertas ini....

Samantha memungutnya, membacanya, lalu jatuh cinta.

Sebuah cerita, alih-alih sebuah surat. Cerita yang lestari, berharga, sekaligus menyenangkan. Samantha sangat menantikan lanjutan ceritanya.

Ya. Di akhirnya ada tulisan “bersambung....” yang berarti kalau tak salah kirim, cerita itu akan ada lagi—merpati itu akan datang kembali.

Benar saja, besoknya, merpati itu datang lagi, membawa lanjutan cerita dengan paruhnya. Bisa jadi, cerita itu menjadi sangat menarik karena dibawa oleh merpati itu sepenuh hati dan hati-hati.

Samantha tidak jadi mati. Dia hidup untuk menantikan cerita-cerita berikutnya. Dia bahkan menyediakan jagung kering  di apartemennya itu untuk upah si merpati, setiap hari. Dia penasaran bagaimana cerita akan berlanjut dan lama kelamaan, dia pun penasaran siapa yang mengiriminya merpati setiap hari. Tahu? Mau tak mau, rasa penasaran membuatmu ingin bertahan dari hari ke hari.

***

Bujang itu selalu terbayang-bayang senyum Samantha. Jika orang-orang biasa melihatnya di televisi, bujang itu pertama kali melihatnya di sebuah toko buku tua yang menjual buku-buku bekas. Kala itu, Samantha yang mengenakan terusan bunga-bunga peninggalan neneknya tampak berkilau di antara tumpukan kertas-kertas usang, laiknya senja di tengah padang gurun nan luas.

Siapa gadis penuh pesona itu? Bujang itu penasaran. Ingin mengajak berkenalan, tapi, seperti ada benteng tinggi menghalangi mereka. Akhirnya, sang pria cuma bisa melesakkan tangan ke saku celana, lalu pergi. 

Lalu, dari jendela lantai dua apartemennya yang sempit, tanpa sengaja, dia melihat Samantha lagi. Kali ini, perempuan itu membeli lili dari nenek tua di seberang apartemennya. Semuanya tampak serasi—Samantha, lili-lili kuning itu dan cuacanya yang agak mendung, tapi teraba hangat di kulit tangan.

Ketika jarum jam jatuh di detik berikutnya, tiba-tiba saja, Samantha mendongak ke arah jendela apartemennya. Mata mereka bertemu. Akan tetapi, sang pria sangat malu, sampai-sampai tak berani menunjukkan batang hidungnya. Ketika mata mereka bertemu dan seharusnya dia tersenyum, ini malah berjongkok menekuk punggung di balik tembok jendela seperti trenggiling yang pemalu.

Pada akhirnya, setelah Samantha tak terlihat lagi, dia menyesal bukan main dan mulai mengutuki diri, mengapa tidak lebih berani.

Namun, rasanya, memang cukup memandangi Samantha dari jauh—seperti yang terjadi di hari-hari berikutnya. Bujang itu sangat tahu diri, tahu batasan. Dia bertemu Samantha lagi di akhir pekan, akhir bulan, tapi selalu menarik diri, mengambil jarak, agar bisa mencuri pandang dari jauh.

Hatinya tenang, nyaman dan senang. Dia ingin terus melihat senyum itu. Kalau bisa, dia ingin membingkai senyum Samantha dengan pigura lalu membawanya pulang, menggantungnya pada dinding kemudian memandanginya setiap kali dirinya ingin.

Namun, tidakkah terdengar mesum? Seperti pria kurang ajar. 

Jadi, suatu hari, dia memutuskan untuk terus datang ke toko buku tua itu dan menanti Samantha diam-diam. Dia berjanji tidak akan mengambil gambar atau apa pun. Asal melihat senyum Samantha—itu sudah cukup baginya.

Hari ke hari, selagi menunggu, bujang itu menyambi menulis di kafetaria kecil toko buku tua itu. Tiba pada suatu hari, dia terpikir untuk menulis cerita yang berbeda. Kenapa aku tidak menulis cerita yang bisa dibaca Samantha?

Dia melakukannya—menulis cerita untuk Samantha. Tentang seorang pria yang mencintai seorang wanita. Tentang perasaan si pria. Tentang betapa mengagumkannya wanita itu sehingga layak untuk dicintai.

Aduh, tapi, bujang itu tak punya keberanian untuk menyampaikan ceritanya. Berkali-kali dia berusaha mendekat saat Samantha sedang memilih buku, tapi gugup dan gemetar selalu menyerangnya lebih dulu. Dia takut tergagap kalau bicara. Apa tidak usah ngomong apa-apa? Ah, nanti disangka gagu. Kesan pertama itu penting, kan? Akhirnya, dia cuma bisa menghela napas hingga menerbangkan debu-debu tipis di buku-buku tua.

Maka, kesan pertama, pertemuan pertama itu tak pernah jadi. Malu dan gugup telanjur mendarah daging di urat nadi. Suatu pagi, sambil menggenggam kertas yang nyaris lecek, dia berjalan kuyu, melewati pohon besar yang tak sebesar nyalinya.

“Apa aku seorang pecundang?” keluhnya, pada diri sendiri.

Dengan bibir memble dan sudut mata tertarik ke bawah, bujang itu menatap dahan pohon yang tinggi. Ada sangkar burung di sana. Ibu merpati kemudian hinggap untuk menduduki telur-telurnya.

Begitulah, ide itu muncul begitu saja. Dia memanjat pohon, mengendap-ngendap, mendekati merpati itu dengan menirukan suara tekukur. Namun, induk merpati itu terbang kabur seperti bujang itu tiap kali Samantha menengok ke arahnya.

Bujang itu mendengkus putus asa. Mungkin, keluhannya itu terdengar sampai ke telinga Sang Pencipta.

Retak. Telur merpati itu retak. Lalu, sebuah kepala kecil menyembul dari dalam sana. 

“Mama!”

Mata Bujang itu membeliak, lalu sejurus kemudian, dia terhuyung jatuh terlentang dari atas pohon. Aduh, untung kepalanya tidak retak!

Bicara. Anak merpati itu memanggilnya ‘Mama’!

Tak cukup sampai di situ, masih dalam posisi terletang menatap langit, bujang itu melihat sendiri, merpati kecil itu terbang ke atasnya dan mengepak-ngepakkan sayapnya dengan riang. Matanya tersenyum.

Bujang itu sungguh ingin menangis. Apa dia jadi gila karena mendambakan Samantha?

Tunggu, jangan gila dulu. Dia belum berhasil memberikan cerita itu pada Samantha. Pertama-tama, bujang itu bangun duduk. Punggungnya terasa patah. Lalu, tiba-tiba saja, merpati itu hinggap di bahunya.

Bujang itu merinding kaku, seperti ada hantu di pundaknya. Dia menangis sungguhan, sekarang. Bukan karena merpati itu buang tahi di bahunya, tapi karena terharu, semesta melihat usahanya.

Merpati penurut itu kemudian diajak bernegosiasi untuk mengantarkan cerita kepada Samantha. Satu surat, lima cacing tanah yang gemuk-gemuk. Mata merpati itu tersenyum lagi seperti menyepakati urusan mereka. Dia cepat sekali besar, seperti tumbuh setiap detik. 

Zaman sekarang, kenapa tidak kirim surel saja? Bukannya bujang itu tak pernah kepikiran, tapi, rasanya—entah dari mana dia dapat firasat, merpati pos akan lebih cocok dengan Samantha. Seperti toko buku tua, terusan peninggalan nenek dan lili-lili kuning, seperti itu pula dia berharap Samantha bisa menyukai ceritanya.

Merpati itu berhasil menyampaikan ceritanya. Bujang itu mendengar sendiri, saat Samantha menceritakan kejadian langka itu kepada penjaga toko buku tua. 

“Aku langsung ke sini setelah semalam membaca cerita itu. Aku bertanya-tanya, apakah ada cerita seperti itu di sini? Tapi, tidak kutemukan di mana pun. Apa seseorang menulisnya secara khusus untukku?”

Bujang itu menyembunyikan senyum di balik buku yang terbuka. Dia tidak menyangka, usahanya tak sia-sia. Hari-hari berikutnya, dia bahkan tidak perlu memancing  merpati itu untuk datang ke apartemen Samantha. Setiap kali dia menyodorkan segulung kertas, setiap itu pula merpati itu tahu ke mana harus pergi.

***

Pria itu terinspirasi dari kisah Umar Bin Khattab sekitar 1400 tahun yang lalu. Meski tak lurus betul agamanya dan tak rajin membaca, tapi pria itu tahu kisah ini: seorang janda miskin merebus batu untuk menghibur anak-anaknya yang kelaparan.

Dia melakukannya sama persis. Dia merebus batu dengan tungku kayu di samping rumah, membohongi anak-anaknya, bilang sedang masak bubur. Dia sangat tahu, sangat kecil kemungkinan pertolongan itu datang. Tak mungkin merebus batu lalu ujug-ujug datanglah seorang khalifah memikul sekarung gandum untuknya. Meskipun bantuan pemerintah pernah disaksikannya sendiri, yakni pada zaman Covid 19, di mana bantuan itu berisi mi instan, sarden, beras dan minyak goreng, tapi, tidak mungkin sekarang. Covid sudah berakhir dan Umar Bin Khattab sudah bernyaman-nyaman di surga.

Namun, pada akhirnya, dia tetap melakukannya demi menghentikan tangis tiga orang anaknya. Anak sulungnya yang berusia sepuluh tahun mungkin tak menitikkan air mata, tapi pria itu tahu betul apa yang dirasakan anaknya. Kelaparan dan kesedihan, diselimuti harapan yang semakin tipis.

Setelah anak-anaknya tertidur, dia menatap ke arah hutan belakang rumah, lalu menatap rumahnya. Terlalu mewah jika disebut rumah. Itu hanyalah sebuah gubuk beratap daun rumbia dan berdinding bambu. Tidur pun hanya dikeloni selembar tikar tipis. Tiada seorang ibu. Istri pria itu sudah kabur meninggalkan mereka dari jauh-jauh hari sebelum hari ini. Siapa juga yang tahan berlama-lama hidup dalam kemelaratan? Pria itu pun sebenarnya ingin ikut melaut bersama teman-temannya, tapi tak tega menitipkan anak-anaknya pada si sulung.

Suara batu yang bergerak dalam air mendidih menyentaknya. Kepalanya berhenti terantuk-antuk. Lapar membuat kantuk, kenyang pun demikian. Apa ini artinya dia sudah jadi pemalas? Segera, dia bangkit. Dia harus mendapatkan sesuatu sebelum anak-anaknya bangun. Langkahnya mulai memasuki hutan.

Tak ada buah ataupun sayur yang bisa dimakan. Sementara itu, terlalu bahaya mencari ikan di sungai. Konon katanya, ada buaya putih dan kerajaan setan yang menunggu di bawah sana.

Tuk! Tuk!

Pria itu menoleh ke sumber suara ketukan. Ada burung merpati sedang minum air yang menggenang dalam batok kelapa.

“Hauskah kamu, Wahai Merpati?” bisiknya, dari kejauhan. “Hidup sangat melelahkan, bukan?”

Segera, dia berlari kembali ke rumah, untuk mengambil ketapel. Bolehlah, dia tak paham agama, tak pintar membaca, tak setangguh Umar Bin Khattab dan tak cukup berani untuk menyelam mencari ikan, tapi, saat kanak-kanak, dia dijuluki Arjuna Ketapel saking jago menggunakan ketapel untuk membidik dan melumpuhkan target.

Jarang sekali ada merpati liar di hutan ini, pasti ada pemiliknya. Akan tetapi, siapa peduli? Anak-anaknya bisa terbangun lebih awal saking kelaparan. Dia tidak peduli, sekalipun ada yang mati—asalkan bukan anak-anaknya.


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Gold
Drama
Bentang Pustaka
Novel
Tujuh Hari Untuk Sekar
Baggas Prakhaza
Cerpen
Seharusnya, Ku Beranikan Diri Menatap Matamu
Anita Utami
Novel
Prick Of Heart
Elia Gracecia
Flash
Cerita 14 Mei 2013
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
Seandainya Aku Tidak Membalas Ciumanmu
dari Lalu
Novel
Gold
Dear Nathan
Coconut Books
Cerpen
C for Cinta, T for Toxic
Delly Purnama Sari
Novel
Bronze
Stuck On You
Venny Lestari
Novel
Handsome Widower
Maria
Flash
Kupikir itu cinta
winda nurdiana
Novel
Mimpi Tanpa Tapi
VelouRa
Flash
Bronze
Ternyata Begini Rasa Cemburu
Sulistiyo Suparno
Flash
Sepotong Coklat Untuk Kau Di Surga
Alwinn
Flash
Bronze
Ketika Harapanmu Berbicara untukmu..
Shabrina Farha Nisa
Rekomendasi
Cerpen
Seharusnya, Ku Beranikan Diri Menatap Matamu
Anita Utami