Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Melati berjalan riang di atas trotoar alun-alun. Hari yang cerah ini dia habiskan bersama ibunya. Besok, Melati akan punya kegiatan baru yang menyenangkan. Seperti yang kakak-kakaknya lakukan setiap hari. Bangun pagi, mandi pagi, pakai seragam, bawa tas dan bekal, bertemu teman-teman dan bu guru …
Ya, Melati akan masuk sekolah seperti kakak-kakaknya. Sejak minggu kemarin, ditemani ibunya, bungsu dari tiga bersaudara itu sudah mencicil perlengkapan sekolah. Melati sendiri yang memilih botol minum dan kotak bekal, lalu krayon, disusul perlengkapan menulis dan sepatu.
Melihat perlengkapan sekolahnya mulai terkumpul, Melati senang bukan kepalang. Apalagi sebelumnya, dia demam dan tubuhnya lemas. Melati sering mengalami sakit seperti itu. Orang tuanya hanya memberi parasetamol atau ibuprofen, melarang Melati bermain terlalu jauh dari rumah, dan menyuruhnya banyak tidur.
Melati sebetulnya sering menolak kalau disuruh tidur. Kecuali kalau ada yang menemani. Pasalnya, Melati sering bermimpi tentang sosok berpakaian hitam. Sosok itu hadir tanpa bicara apa-apa. Dalam mimpinya, Melati ketakutan, dan rasa takut itu terbawa sampai dia bangun.
Melati sering menceritakan hal itu pada ibunya. Ibu Melati hanya berkata kalau itu adalah mimpi buruk gara-gara Melati lupa berdoa sebelum tidur. Melati akhirnya memanjatkan doa sebelum tidur, tetapi sosok itu masih saja muncul di dalam mimpinya.
“Aku mau tidu kalau ditemani mama,” Melati mengajukan syarat.
Ibunya menuruti kemauan Melati. Di samping ibunya, Melati bisa tidur dengan pulas dan bangun dengan puas.
Setelah sembuh dari sakitnya beberapa hari yang lalu, Melati minta dibelikan perlengkapan sekolah yang baru, bukan lungsuran kakak-kakaknya. Hari ini, waktunya Melati membeli tas ransel. Melati pergi berdua saja bersama ibunya. Kakak-kakaknya ditinggal di rumah agar ibu Melati tidak kerepotan membawa tiga anak saat suasana alun-alun begitu ramai. Sementara ayah mereka tetap masuk kerja walaupun hari libur.
Sebelum Melati berangkat, salah satu kakaknya berpesan untuk tidak membeli tas sekolah yang sama dengan miliknya. “Biar nggak tertukar.”
Ibunya juga bilang begitu. Melati harus memendam keinginannya untuk memiliki ransel merah jambu bergambar Barbie. “My Little Pony saja, ya,” ibunya menunjuk sebuah tas bergambar Pinkie Pie dan kawan-kawan.
Melati mengangguk. Dia juga suka My Little Pony, terutama Pinkie Pie. Dunia My Little Pony yang ceria membuatnya yakin bahwa di sekolah besok dia akan menemukan kegembiraan yang belum pernah dia dapatkan di rumah.
Melati senang semua perlengkapan sekolahnya sudah lengkap. Dia tidak sabar menunggu besok. Melati berjanji besok akan bangun lebih awal dan menyiapkan perlengkapan sekolahnya sendiri.
Alun-alun hari itu sangat ramai. Maklum, hari Minggu. Orang-orang jalan-jalan dan belanja. Mereka yang punya anak seumuran Melati juga membeli perlengkapan sekolah. Entah di toko, entah di pedagang kaki lima yang mengambil jatah pejalan kaki di trotoar. Membuat Melati dan mamanya harus pintar-pintar menyelip di antara kerumunan orang.
Melati memegang tangan mamanya erat-erat, dengan ransel My Little Pony melekat di punggungnya. Ukurannya yang besar menutupi tubuh mungil melati. Membuatnya terlihat seperti seekor kura-kura jika dilihat dari belakang.
Suasana alun-alun yang ramai agak berbahaya. Melati sempat gentar, takut terseret orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Dia terus memegang tangan mamanya erat-erat. Di saat seperti ini dia berpikir, seharusnya ayahnya ikut bersama mereka. Kalau ada ayahnya, Melati bisa digendong dan mereka bisa cepat kembali ke rumah.
“Melati, jangan melamun.”
Teguran sang ibu membuat Melati sadar kalau dia harus bergerak hati-hati. Lengah sedikt, dia bisa kehilangan ibunya.
Pada saat seperti itu, muncul sosok berpakaian hitam yang biasa hadir dalam mimpinya. Namun Melati tak lagi takut melihatnya. Dia sudah mengenal sosok itu, yang muncul langsung di hadapan Melati beberapa hari yang lalu dan bercakap-cakap dengannya ketika bocah itu bermain sendirian di teras rumahnya.
Melati sempat takut dan bingung melihat sosok tersebut tiba-tiba duduk di dekatnya. Langit cerah, matahari bersinar hangat. Namun tiba-tiba saja Melati merasakan hawa sejuk, padahal tidak ada angin yang bertiup. Pintu pagar dikunci rapat. Dia sempat bertanya dalam hati, bagaimana sosok itu bisa tiba-tiba muncul di dekatnya?
Namun kebaikan sosok berpakaian hitam itu melenyapkan rasa heran dan takut dalam diri Melati. Wajahnya menyiratkan kalau dia orang baik-baik dan ramah. Tutur katanya saat menyapa Melati juga lembut dan menenangkan. “Ternyata, orang itu tidak sejahat yang aku kira,” batin Melati.
Sosok itu menemani Melati bermain boneka dan masak-masakan. Melati senang punya teman bermain karena kakak-kakaknya sedang sekolah. Kalaupun ada di rumah, mereka kerap menolak bermain bersama Melati dan memilih melakukan kegiatan mereka masing-masing.
“Kamu mau nggak main di tempat lain?” tanya sosok itu sambil pura-pura mengaduk daun anak nakal yang dipetik Melati. Melati sedang pura-pura memasak untuk boneka Barbie-nya. Seperti halnya ibunya yang sedang memasak untuknya di dapur.
Mata Melati membelalak. “Di tempat lain? Di mana?”
“Cukup jauh dari sini. Tempatnya sangat indah. Kamu pasti betah berada di sana. Ada sungai dengan air yang jernih, padang bunga yang luas. Enak buat bermain dan kamu tidak akan pernah merasa sakit lagi. Di sana juga ada anak-anak yang seumuran denganmu. Kamu bisa bermain dengan mereka. Kamu tidak akan kesepian.”
“Maksudnya, di sekolah?”
“Tidak juga. Tetapi, tempatnya tidak kalah menyenangkan dengan sekolah.”
Melati menimbang-nimbang. Sepertinya tempat itu sangat menyenangkan. Tetapi, Melati tidak mau pergi sendiri. Dia mau pergi bersama ibunya.
Sosok itu menggeleng. “Ibumu tidak bisa ikut. Dia masih punya banyak pekerjaan di sini. Nanti kalau sudah waktunya, ibumu juga pasti pergi ke sana.”
“Tapi aku mau sekolah bersama kakak-kakakku,” rengek Melati. “Apakah mereka juga ikut denganku?”
“Tidak. Kakak-kakakmu masih harus tinggal di sini menemani ibu dan ayahmu. Tetapi suatu hari nanti, mereka pasti menyusul.”
“Jadi, aku saja yang pergi?”
Sosok berpakaian hitam itu mengangguk.
“Kenapa?”
“Karena kau anak yang baik dan ada yang ingin sekali bertemu denganmu di tempat itu. Kau sangat beruntung akan bertemu dengannya.”
“Siapa dia?”
“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Tetapi, dia sangat menyayangimu.”
Melati diam. Mendadak, dia tidak ingin lagi bermain. Antara penasaran dengan tempat yang dijanjikan sosok berpakaian hitam itu dan tidak mau berpisah dengan ibu dan kakaknya, serta menerka-nerka orang yang dimaksud sosok berpakaian hitam itu.
“Percayalah, Melati. Di sana sangat menyenangkan. Kamu tidak perlu takut apa-apa.” Sosok berpakaian hitam itu berusaha menghapus keraguan dalam benak Melati.
Bocah lima tahun itu pun takluk. “Tapi, aku mau jalan-jalan dulu sama mama. Hari Senin, kan, aku mau sekolah. Mama janji mau membelikan aku tas ransel.”
Sosok itu mengangguk. Dia perhatikan betapa girangnya Melati sampai-sampai gadis kecil itu berlari masuk rumah, meninggalkannya, untuk menemui dan bercerita pada mamanya. Sang ibu yang sedang memasak tergopoh-gopoh mengikuti ajakan Melati ke teras depan untuk menemui sosok yang diceritakan Melati.
Tidak ada siapa-siapa di teras ketika Melati kembali bersama mamanya.
“Tadi dia duduk di sini,” Melati berusaha meyakinkan.
Sang mama mengedarkan pandang ke sekeliling halaman. Tidak ada siapa-siapa. Pintu pagar pun tetap dalam keadaan terkunci. Dia pikir, Melati berkhayal. Maka dia kembali ke dapur dan membiarkan Melati kembali bermain sendirian.
Lalu tibalah hari ini. Hari Minggu yang cerah dan ramai. Keramaian membuat udara lumayan panas. Apalagi matahari bersinar cukup terik. Anehnya, Melati tidak merasa panas. Sebaliknya, sejak sosok berpakaian hitam itu muncul, Melati merasakan sebuah kesejukan.
Melati memberi isyarat tangan kepada sosok berpakaian hitam itu untuk ikut bersamanya. Dia berpikir, jika sosok itu ikut mendampinginya, Melati akan merasa aman.
“Kita pergi sekarang,” kata sosok itu setelah berada di samping Melati.
Melati ragu. Alih-alih membuatnya merasa aman, sosok itu membuatnya galau. Dia kembali berpikir tentang tempat seperti yang dikatakan sosok berpakaian hitam itu. Betapa ingin dia pergi ke sana dan membuktikan kebenaran kata-kata sosok berpakaian hitam itu. Di sisi lain, Melati menyayangkan karena mamanya tidak boleh ikut. Padahal selama ini sang mama selalu mendampingi Melati dalam situasi apapun. Melati bingung menentukan jawaban. Dia tidak tahu harus meminta saran kepada siapa. Dalam keramaian orang-orang, Melati merasa kesepian.
“Mama?” tanyanya, berusaha agar sosok berpakaian hitam itu berpikir tentang ibunya.
Ibu Melati menoleh pada anaknya. Dia mengira Melati memanggilnya. “Ada apa, Nak?”
Melati tidak menjawab. Sang ibu kembali melihat ke depan. Sambil terus berjalan, sesekali Melati pandangi wajah itu. Wajah yang pertama kali dia kenal, yang paling sering dia lihat. Wajah yang selalu menenangkannya saat gundah. Wajah dengan bibir tipis yang selalu merapal doa di samping Melati ketika dia sakit. Wajah yang harus dia tinggalkan demi sebuah tempat baru dengan seseorang yang juga merindukan dan menyayanginya.
“Mamamu tidak ikut. Hanya kita berdua,” bisik sosok berpakaian hitam itu.
“Tapi, Mama…”
Sekali lagi ibunya menoleh. “Ada apa, Nak? Semua sudah kita beli. Tidak ada yang kurang.”
Melati tahu, mamanya mengira dia masih ingin membeli perlengkapan sekolah lainnya. Tetapi bukan itu maksud Melati. Dia tidak tahu bagaimana harus mengatakan pada mamanya bahwa ada orang yang mengajaknya pergi ke suatu tempat yang menyenangkan, tetapi mamanya tidak boleh ikut. Melati tidak mau berpisah dengan sang mama. Dia juga ingin pergi ke sekolah bersama kakak-kakaknya.
“Aku tidak mau,” tolak Melati pada sosok berpakaian hitam itu.
Mendengar Melati berbicara, ibunya menoleh. “Hah? Kamu tidak mau tas itu?”
Melati melongo. “Mau. Aku mau tas ini,” jawabnya seraya menunjuk ransel My Little Pony di punggungnya.
“Barusan kamu bilang ‘tidak mau’.” Ibu Melati agak kesal dengan sikap anaknya yang sulit dipercaya. Ditambah, mereka belum bisa keluar dari kerumunan. Orang-orang bukannya berkurang, malah bertambah jumlahnya.
Melati terdiam. Dia kembali menoleh pada sosok berpakaian hitam yang masih saja berjalan bersama mereka.
Sosok itu mengangguk. Memberi isyarat pada Melati untuk melepaskan genggaman tangannya pada sang mama. Melati menggeleng. Matanya mulai basah oleh air mata, membayangkan jika dia harus meninggalkan mamanya. Tatapannya jadi buram. Berkali-kali Melati menubruk orang.
Sosok itu lantas menggamit lengan Melati dengan lembut. Melati berusaha melepaskan. Namun, pandangannya semakin kabur. Warna-warni pakaian orang-orang di sekitar mereka memudar di mata Melati. Langkah-langkahnya juga tak lagi pasti. Kedua kakinya seakan tidak mampu lagi menopang tubuh Melati. Anak itu tidak sanggup lagi mengikuti ibunya.
“Mama…”
Suara Melati melemah.
“Melati, kamu kenapa?” tanya ibunya cemas tatkala melihat Melati berjalan sempoyongan.
Perempuan itu merasakan genggaman tangan Melati yang longgar.
“MELATI!” teriaknya begitu tubuh Melati ambruk.
Suara histeris perempuan itu seolah mematikan waktu. Orang-orang berhenti berjalan. Mata mereka tertuju pada seorang ibu dan anak perempuannya yang terbaring di atas trotoar.
“MELATI! Bangun, Nak. BANGUN!”
Orang-orang mendatangi Melati dan ibunya.
“Kenapa, Bu?”
“Anaknya sakit?”
“Cepat bawa ke Puskesmas!”
Seorang laki-laki pedestrian mengangkat tubuh Melati sambil melepaskan ransel My Little Pony di punggung bocah itu. Ibu Melati meraihnya dan terseok-seok dia mengikuti laki-laki tadi menggendong Melati ke Puskesmas. Rumah sakit letaknya belasan kilometer dari alun-alun. Karenanya Melati dibawa ke Puskesmas yang terletak beberapa meter saja dari lokasi kejadian agar Melati mendapat pertolongan pertama.
Di Puskesmas, Melati dibaringkan di atas brankar. Sang ibu, menangis dan histeris, menggoyang-goyang tubuhnya, berusaha membangunkan anaknya itu. Air mata mengucur deras di wajahnya. “Nak… Bangun, Nak…”
“Ada nomor yang bisa dihubungi?” tanya laki-laki yang menggendong Melati tadi, menyadarkan ibu Melati bahwa dia sebetulnya tidak sendirian menghadapi kejadian itu.
Ibu Melati bergegas mengeluarkan ponsel dari tas selempangnya dan menelepon suaminya dengan suara bergetar dan terbata-bata.
“Melati… di Puskesmas… kritis…”
Melati sendiri tampak seperti sedang terlelap. Suara apapun di sekitarnya tidak lantas membangunkannya. Seolah dia tidak tahu ibunya sedang panik, cemas, sedih, dan bingung. Melati tidak tahu sedang ada di mana dan bahkan tampak tidak peduli apa yang terjadi dengannya. Dia tidak lagi merasakan antusiasme menjelang masuk sekolah besok, lupa akan janjinya untuk bangun lebih pagi, lupa kalau dia baru saja membeli tas baru yang sempat dia telantarkan di trotoar.
Ibu Melati kembali mengguncang-guncang tubuh Melati. “Bangun, Nak. Ada mama di sini. Suster, tolong anak saya…”
Dua orang suster mendorong brankar tempat Melati dibaringkan dan membawanya ke UGD untuk diperiksa dokter jaga. Melati sendiri tetap bergeming. Sama sekali tidak ada respons. Sambil ikut mendorong brankar dari samping, dia memegang tangan Melati. Dingin seperti es.
Ibu Melati menunggu di luar UGD dengan cemas. Air matanya mengalir dengan deras, sulit sekali dibendung.
Seseorang menepuk bahu ibu Melati. Dia mengangsurkan tas My Litte Pony kepada ibu Melati, lalu pamit. Ibu Melati hanya mengangguk pelan, tak mampu mengucapkan “terima kasih”. Dia seperti kehilangan kewarasannya.
Beberapa meter dari brankar itu, Melati diam saja memandang ibunya. Sosok berpakaian hitam yang kini menuntun Melati berkata, “Jangan khawatir, ibumu akan baik-baik saja.”
Melati mengikuti ajakan sosok itu untuk meninggalkan Puskesmas. Kepalanya masih menoleh ke arah ibunya yang menangis di depan UGD. Menunggu diagnose dokter tentang anaknya.
“Apakah aku bisa melihat Mama lagi?” tanya Melati, menoleh kepada sosok berpakaian hitam yang menuntunnya. Sorot matanya berharap sebuah jawaban yang menenangkan.
Sosok itu menatapnya dengan lembut, tapi tegas. “Tentu. Tetapi sekarang, kita harus pergi dulu.”
Melati diam. Dia tidak lagi menoleh ke belakang, meskipun hatinya tetap ingin kembali. Terutama ketika dokter keluar dari ruang UGD dan berbicara dengan ibunya. Melati mendengar perempuan itu memanggil-manggil namanya dengan histeris seraya memeluk tas My Little Pony yang tidak akan pernah digunakan anaknya.
Seandainya bisa, Melati ingin balik badan dan berlari menuju ibunya. Namun, entah kenapa tubuhnya tidak bisa membalik dan kakinya terus melangkah ke depan, menuju sebuah tempat seperti yang dijanjikan sosok berpakaian hitam itu.