Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SEHABIS HUJAN air menggenang di tepian gang.
“Mau ke depan?”
Ratih menggelengkan kepala. “Duluan, saya mau ke Bi Inom sebentar.” Sudut bibirnya melengkung. Kedua kakinya terbungkus celana panjang katun biru. Langkahnya mengayun. Kadang bersijingkat menghindari genangan. Sepatu kets dragonfly abu-abu terciprat air dan bercak lumpur. Ratih lupa membawa tisu. Dadan berlalu dengan bibir yang juga melengkung. Raungan knalpot motornya masih terdengar walau telah ditelan kelokan di ujung gang, disusul adzan yang mengambang.
Sore itu giliran Ratih shift malam. Shift terakhirnya, lakon terakhirnya sebagai buruh. Ia memang terlelap sepanjang siang. Badannya harus segar untuk bekerja di waktu malam. Dan sebenarnyalah, ia hampir terlambat bangun kali ini. “Setelah shift ini selesai mau ngapain?” Gumamnya.
Hujan sedari pagi baru reda pukul lima sore. Tetesannya yang berkeretap di atap asbes kos-kosan, semilir angin yang menyelinap lewat ventilasi di atas pintu, membuatnya betah menggeliat di atas kasur apak. Baru pukul lima lewat tiga puluh ia tersadar. Byar-byur di kamar mandi, lalu berkemas secepat kilat. Ia lupa memasukkan tisu ke tas jinjing.
Tapi Ratih tak lupa mimpi di siang harinya. Sepanjang jalan, pikirannya tak henti mengingat-ingat. Sesekali bahkan berandai-andai jika hal itu betulan ia alami. Ia sadar, ia baru saja menolak tawaran dibonceng Dadan. Ratih memang tak sedang berbohong. Ia harus ke Bi Inom, mengambil rute berbeda dengan Dadan. Hanya bibir tipisnya itu ditekuk setelahnya. Kecipak genangan sepanjang mata memandang. Ada yang terinjak. Ada yang sengaja diinjak.
Bi Inom nongol dari nako jendela, membuka pintu yang diketuk Ratih. “Masuk malam, neng? Ya udah, makasih, ya.” Ratih melangkah mundur, berlalu. Ia menghitung sisa gaji yang baru saja berpindah amplop. Masih sisa buat Ibu, buat ade, buat pulsa, sama mau ke tempat Ningsih pamitan. Kecipak lagi di kaki Ratih. Air keruh kecoklatan menggenang, semen jalanan gang berlubang. Pantulan wajah Ratih bergoyang-goyang.
Wajah Dadan membayang. Hari esok samar terbayang.
Ia berharap bakal berpapasan lagi dengannya di depan gang. Tapi sesampainya di sana, tak ia temukan rekahan bibir yang selalu mengasongi senyum nan menggemaskan itu. Lalu-lalang kendaraan, lampu-lampu yang mulai menyorot tajam, bising knalpot dan raungan gas, orang-orang asing, semuanya tak sedang menandakan kehadiran Dadan.
Ratih mencegat angkot, duduk di belakang, memandangi jalanan sekitar. Malam turun perlahan. Ia ingin hari ini segera berlalu dan bertemu esok. Meski masih esok yang serba entah,
Lagipula malam ini sama seperti yang lalu. Kepala supervisi Ratih masih berkirim salam genit lewat Ningsih. Ih, jijik. Tapi Ningsih kok mau nurut, sih? Sebab Ningsih, walau mengetahui sikap Ratih, tak bisa berbuat lain daripada itu. Ratih hanya menertawakannya. Tampakanya gara-gara shift Ratih sering berbareng dengan shift atasannya. Pernah suatu kali Ratih beralasan, “Maaf, Pak, saya mau antar Ningsih, dia keguguran,” dan duda itu tak bisa berkutik. Ningsih menggetok kepala Ratih kemudian.
“Kenapa sih gak dicoba lagi? Umur, ingat, umur,” seru Ningsih, suaranya masih bisa Ratih tangkap di samping dengung mesin pintal.
“Najis. Najis. Mending sama Tarno sekuriti. Masih liat. Daripada sama yang udah bau tanah,” saut Ratih. Mereka cekikikan gara-gara ucapannya sendiri.
Dalam hati Ratih sebenarnya bilang mau sama Dadan, seketika bayangan Dadan melintas di benaknya. Sosok semampai dan penuh senyum itu menjadi pembanding yang tak tertandingi antara si duda dan Tarno sekuriti. Ia mau bilang itu jika dirasa waktunya pas. Untuk kali ini, bahkan ditawari boncengan ke depan gang saja Ratih perlu berpikir sekali lagi.
GERBANG pabrik berwarna kuning menganga lebar. Matahari masih malu-malu. Tabah sinarnya merambat, menembus jendela persegi tempat Tarno menyeduh kopi di posko. Wanginya mampir di hidung Ratih. Subuh yang melelahkan. Ia dan Ningsih pulang diam-diam. Mangkir ajakan kepala supervisi. Sang duda itu, lagi-lagi, mau berbaik hati mengantar Ratih sampai depan kosan. Pria itu rela mengambil jalan memutar, dua kali lebih jauh dari rute menuju rumahnya sendiri. Bukannya Ratih tak mau tumpangan gratis. Kalau nanti Dadan melihat, gimana?
Ia dan Ningsih bertengger di atas trotoar agak jauh dari gerbang pabrik. Jalanan masih sepi. Keduanya menahan kantuk dan sama-sama ingin segera mandi air hangat. Kerah seragam mereka sudah menyerap keringat semalaman. Warnanya menguning dan susah dicuci. Sekujur badan likat dan lelah. Buru-buru Ningsih mencegat angkot, diikuti oleh Ratih. Langit mulai kelabu. Mau hujan lagi seperti kemarin.
Ningsih turun lebih cepat, Ratih masih beberapa menit lagi di depan. Menahan kantuk yang memberati kelopak mata, menahan perut yang juga ikut keroncongan. Ratih juga pelan-pelan berharap. Semoga di depan gang Dadan sudah siap sedia dengan motornya; menanti permaisuri tiba dan mengantarkannya pulang.
Tapi tak ada siapa pun yang menanti Ratih. Air keruh masih betah menggenangi tepian gang, dan jalan semen itu masih basah. Ratih berjalan perlahan. Lumayan mengantuk, ia kembali memikirkan mimpinya. Apakah mungkin? Dengung lalat di telinga Ratih. Sepatu ketsnya berlumuran bercak lumpur. Ia menghindari lubang dan genangan. Ia belum mau melihat pantulan dirinya di jalanan gang yang becek. Apalagi hari-hari setelah ia kembali ke kampung. Tanpa gaji, tanpa Dadan juga.
Ratih meloloskan gagang kunci dan pintu kosan pun berderit terbuka. Ia kunci dari dalam, lalu ia sampirkan tas jinjing di samping almari. Di situ ada kaca, dan tisu yang tertinggal. Aku gak tua-tua amat. Pakaiannya tanggal, ia ingin segera mengguyur rambutnya yang terasa kaku. Badannya pun mulai menguarkan kecut. Mandi sampai wangi. Bersijingkat ia masuk kamar mandi. Bungkus shampo sachet tergeletak di tepian bak. Jaring laba-laba menjuntai di sudut atap. Basah, dan Dadan kembali melintas di benaknya. Aku gak tua-tua amat.
Hujan turun berderap di atap asbes. Waktu yang baik untuk lelap tertidur. Ia tengok weker lalu meletakkannya tepat di samping bantal. Sebelum mengatupkan kedua matanya, Ratih kembali membayangkan Dadan. Ia membayangkan tepian bibir lelaki itu, bagaimana bibirnya mendarat di bibir Ratih kalau mereka berciuman. Rasanya gimana... enak... Angin menyelinap dari ventilasi. Hujan masih berkeretap, berkecipak di luar dan kembali mengisi lubang di jalanan.
TATANG mengamuk mengacak-acak ruang tamu. Meja terjungkal, kursi tak tentu arah. Beberapa foto terjatuh dari dinding, kacanya retak. Kata-kata makian berhamburan keluar dari mulut Tatang, diiringi semerbak anggur koloseum. Mukanya tampak merah dibakar amarah dan alkohol. Baru kali ini ia mabuk lalu mengamuk. Para tetangga berhamburan dan memenuhi bibir halaman. Beberapa lelaki paruh baya bahkan sampai memasuki halaman. Raut wajah mereka penasaran, sisanya terbius.
Ratih tak bisa bersandiwara lagi. Ia tak bisa mengelak. Ia menangis, tapi tangis yang penuh sesal. Karenanya, ia rela lelaki itu mengacak-acak ruang tamu, memakinya dengan sederet penghuni kebun binatang, lalu disemburkan ke muka berikut wewangian alkohol. Tatang masih sanggup menunjukkan foto di hp-nya, seolah menantang Ratih agar bicara.
“Lihat! Enak betul ya kamu berduaan sama ini bocah!” maki Tatang.
“Itu bukan apa-apa... bukan apa-apa,” Ratih sedu-sedan.
“Waduk sia! Memangnya, aku gak tahu apa; Once suka sms-an sama kamu kan, heh?”
“Itu dulu. Sekarang udah enggak.”
“Sundal!”
Once Suherman, pemuda tanggung yang indekos tak jauh dari kediaman mereka, memang sudah babak belur lebih dulu di tangan Tatang. Orang-orang sempat menyangsikan alasannya. Sebab, di mata mereka, Tatang adalah lelaki penyayang burung, yang juga terbilang aktif dalam kepengurusan mesjid. Para tetangga baru paham kemudian setelah mencuri-curi foto di seluler Tatang, bahkan setengahnya menduga-duga dan sekaligus memutuskan pangkal perkaranya seperti apa.
Selang beberapa belas menit, teriakan Tatang mulai melemah. Ia dihabisi oleh emosinya sendiri. Lebih-lebih ia pun mabuk. Tersungkur, sambil menunjuk Ratih, yang terduduk di pojok bermandikan keringat dan masin air matanya sendiri. “Jika kau tak pernah mencintaiku, Ratih, bunuh aku sekarang juga.” kata Tatang. Badan Ratih gemetaran. Ia tak berani menatap dan melirik ke arah suara barusan. Suara yang parau, serak, dan habis. Tatang memang tak pernah macam-macam, selalu menuruti apa yang Ratih inginkan. Tatang Sobari memang gak pernah marah, aku takut...
Ratih menggelengkan kepalanya. Tapi Tatang malah tertawa-tawa seperti setan. Suaranya menenggelamkan Ratih ke rupa-rupa memori. Memang Ratih gak mau sama Tatang, tapi dia baik sama Ratih. Sampai Ratih gak boleh kerja. Lamaran Tatang diterima baik oleh ibu Ratih. Sambil menyelipkan amplop tebal, “Untuk biaya sehari-hari,” kata Tatang. Janda beranak dua itu memang didera kesukaran. Pekerjaan Ratih, sebagai buruh kontrak yang kerap menerima kabar usaha pabriknya terancam bangkrut, membuat mereka tak bisa berharap banyak. Memang ada saatnya untuk tidak menjadi egois dan mendengar apa kata ibu, pikir Ratih. Ya sudahlah kalau memang jodoh mah.
Akan tetapi, jika Tatang menceraikannya, otomatis ia tak lagi bergantung pada usaha sukses tambak lele dan mujaer milik Tatang, yang selalu mendatangkan apa pun yang Ratih mau. Jika demikian, sudahlah, puluhan tambak lele dan mujaer itu tak perlu lagi membuat ibunya tersilaukan. Ratih hanya ingin bekerja, dan ia pun ingin hidup bebas sebagaimana kehendak hatinya. Alasan ini akan dikutuk habis-habisan oleh keluarga dan delik mata tetangga. Kasian Once... kasian Tatang...
Ratih pun menatap wajah suaminya. Mata Tatang teler. Tapi mulutnya tertawa-tawa, diam, tersenyum, dan tertawa kembali.
“Sejak dulu aku sudah tahu tabiat busukmu. Sebelum kuusir kamu dari rumah ini, kamu mesti nyahok. Kemarin pun aku main-main di hotel sama jablay. Ahh! Rasanya nikmat, Ratih. Kau harus nyahok! Rasanya nikmat!”
Tatang Sobari dikubur sehari kemudian, sebelum rmereka secara resmi mengurusi perceraian. Dokter bilang, Tatang Sobari overdosis; tetangga saling berbisik lelaki aleman itu mati stress. Ratih pun menjanda, cobaannya gini banget... Beberapa hari kemudian ia angkat kaki dari tambak agung lele dan mujaer milik almarhum suaminya. Tekadnya kini bulat. Memburuh, mandiri, dan mudah-mudahan mapan. Bismillah...
SEHABIS HUJAN. Air masih menggenang sepanjang tepian gang. Kini ditambah sampah plastik, bungkus rokok, dan kerikil yang mulai berserakan. Sebentar lagi gang mau jadi aliran sungai. Kali ini Ratih tak lupa membawa tisu. Sepatu kets dragonfly-nya ia pandangi setelah disikat bersih. Ia pilih petak jalan yang tak tergenang. Kakinya mengayun di sore itu. Hatinya agak kecewa, seperti warna kelabu langit sehabis hujan. Ini kali terakhir Ratih menyusuri gang becek itu.
Perasaan murungnya diselamatkan oleh deru knalpot motor bebek. Berdebar-debar kini dada Ratih. Langkahnya jadi serba kikuk. Lalu suara lelaki menyapa Ratih, lembut, dan mengajak.
“Kerja sore, Bu? Tumben bawa tas besar banget”
Ratih tak menggeleng. Ia sudah duduk di atas jok motor dan Dadan menarik gas kemudian. Stang motornya meliuk-liuk mengindari jalanan berlubang. Lengan kiri Ratih melingkari pinggang Dadan. Lengan kanannya meraih bahu lelaki itu. Deodoran Dadan menguar, tertanam di rongga kepala Ratih. “Jangan ngebut-ngebut, ya,” pintanya. “Siap, Bu, santai.” Pita suara Dadan dirasanya bergetar. Ratih mendadak terdiam, namun mulutnya perlahan mengulum senyum.
“Saya mau pamit sama Dadan,” kata Ratih setengah berteriak hanya untuk mengalahkan raung knalpot.
“Bu Ratih mau ke mana emangnya?”
“Saya pulang kampung. Pabrik tutup. Korona bikin pusing.”
“Aduh, bu, saya jadi sedih.”
Saya juga sedih. Bahkan lebih sedih dari kamu. Saya harus pulang kampung, dan kehilangan kamu.
Jalan raya perlahan tampak di ujung gang. Di pinggang Dadan lingkar lengan Ratih semakin erat.