Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
***
Tidak ada yang bisa memastikan seseorang itu telah ikhlas melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan, ikhlas adalah salah satu syarat sebuah amal diterima. Lalu, bagaimana dia yakin dia telah mencapai titik itu? Titik-titik keikhlasan yang akan terangkai menjadi sebuah amal yang mulia. Yang dengan amal itu akan dapat membawanya menuju surga. Apalah arti amal tanpa ikhlas? Apalah arti amal jika bukan untuk Sang Pencipta?
Kenyataannya begitu banyak ujian yang menerpa suatu hamba yang membuatnya melenceng jauh dari keikhlasan. Begitu banyak godaan juga tipuan. Meskipun begitu, sesulit apa pun ikhlas yang mampu kita raih seutuh jiwa raga kita. Maka berusahalah agar niat ikhlas itu ada di dalam genggaman kita. Genggam niat ikhlas itu kuat-kuat. Sisanya kita serahkan dan tawakal kepada Allah.
Baiklah, ini bukan sekadar kata-kata. Melainkan sebuah semangat yang sering aku utarakan dalam hatiku. Di setiap detik, di setiap waktu dan tempat, setiap aku lelah. Setiap aku capek dan ingin menyerah. Aku selalu mengingatnya. Aku gadis 20 tahun yang tidak pernah terpikirkan dalam hidupku bahwa aku akan mengajar anak SD. Apalagi aku tidak terlalu dekat dan akrab dengan anak kecil. Siapa sangka meski aku hanya mengajar lima anak saja. Ternyata ada satu anak spesial didalamnya. Iya, anak itu bernama Hana. Dia bukan hanya spesial, tetapi juga autis.
"Ustadzah, Hana gak ngaji. Malah main," celetuk Zulfa. Ia salah satu anak muridku yang paling kritis dan berani.
Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Dan Zulfa kembali fokus dengan hapalan Al Qur'annya. Kami bukan SD biasa yang kebanyakan mengajarkan mata pelajaran umum. Melainkan mengajarkan cara menghapal Al Qur'an dan mempertahankannya disebut dengan kuttab. Dan aku juga bukan guru biasa pada umumnya. Aku hanya lulusan SMA yang tidak bergelar untuk dikatakan seorang guru. Yang memutuskan melanjutkan pendidikan di sebuah Ma'had Al-Husnayain Karanganyar.
Setelah dua tahun belajar, kami ditugaskan mengajar anak TK, SD, atau bahkan kuliah-setara Ma'had-. Dapat dipastikan aku tidak pernah punya pengalaman sama sekali dalam mengajar. Dan juga tidak ada pembekalan khusus dari pondok. Syukur saja teknik mengajarnya agak mirip dengan TPA. Jadi, tidak terlalu susah dan anak murid yang diajarkan tidak terlalu banyak.
"Ustadzah, aku mau setor." Lily muridku datang dengan menyodorkan Al Qur'annya. Pipinya yang gembul dan semangatnya yang selalu menggebu-gebu membuatku tidak pernah bosan menyimaknya. Walaupun, ia sering sekali mengulangi kesalahan di ayat yang sama. Padahal aku sudah mengingatkannya berulangkali.
Iya, biarlah. Beginilah suka dukanya menjadi guru tahfidz. Enaknya murid yang diajarkan tidak banyak, juga tidak perlu mengeluarkan banyak energi dan tenaga. Dimana kebanyakan guru mengoceh untuk mengajarkan muridnya agar paham dengan pelajaran yang disampaikan. Kami-guru tahfidz-hanya tinggal menyimak saja hapalan murid, membenarkan kalau ada yang salah, dan menyemangati kalau ada yang malas. Meski keadaan itu hanya berlaku bagi murid yang sudah mampu membaca dan menghapal sendiri-biasanya kelas dua ke atas-.
Walaupun begitu, kami membutuhkan kesabaran jauh lebih banyak dibanding guru pada umumnya. Mengingat sangat tidak mudah mengajarkan Al Qur'an pada anak kecil yang belum ada kesadaran dalam diri mereka. Mereka hanya tahu mereka disuruh menghapal saja karena keinginan dari orang tua mereka. Mereka juga kurang memperhatikan hal-hal yang kecil seperti tanda baca yang ditandai ketika salah. Mereka lebih sering melewatkannya dan melupakannya saat setoran. Sehingga, kita lebih sering menghela napas sabar untuk mengingatkan mereka kembali. Entahlah untuk berapa kali.
"Ayo, siapa yang belum setor?" tanyaku mengedarkan pandangan pada kelima anak muridku. Semuanya malah diam dan melirik ke arah Hana yang tengah asik bermain dengan alat tulisnya.
"Hana, kamu gak setoran?"
Yang ditanya hanya tersenyum saja polos tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Aku membatin dirinya kesal karena sikapnya yang acuh. Inilah masalah paling utama yang semenjak setengah tahun yang lalu aku mulai mengajar, aku masih belum bisa memahaminya. Masih belum mengerti dengan jalan pikirannya yang aneh dan tidak mudah ditebak. Hana seakan punya dunianya sendiri yang tidak ada satu pun orang yang mampu menginjakkan kakinya ke sana. Yang tidak boleh ada satu pun orang yang boleh mengusik hidupnya bersama dengan imajinasinya.
Aih, justru itulah masalahnya. Ketika anak-anak normal datang ke sekolah dengan persiapan yang matang. Dengan hapalan juga murojaah yang sudah disiapkan sebelumnya. Hana malah datang membawa mainannya yang beraneka-ragam tidak lupa dengan boneka kesayangannya. Aku hanya mampu geleng-geleng kepala melihat sikapnya yang tidak biasa. Padahal untuk anak berumur sembilan tahun itu sudah cukup dikatakan sebagai anak kecil yang masuk TK. Aih, sudah berapa kali aku menghela napas sabar.
Pernah suatu waktu aku membentaknya karena ia malah sibuk dengan mainannya dan tidak mau setoran sama sekali. Akibatnya, Hana mengamuk dan marah-marah. Melemparkan seluruh mainannya ke berbagai sisi.
Menendang-nendang meja di sampingnya. Bahkan jika ada bekas rautan pensil, Hana akan menjatuhkannya di tengah kelas. Membuat kelas jadi tampak kotor dan berantakan.
"HANA .. HENTIKAN!" teriakku tegas. Hana malah diam. Menahan air matanya ingin menangis. Aku jengkel menangkap perubahan sifatnya. Hana memang begitu, selalu memasang tampang polos seolah ia telah difitnah. Hana memang pintar berakting dengan air matanya. Akhirnya, Hana menyendiri di sudut kelas tidak berkutik sedikit pun. Setelah beberapa jam kemudian, aku melihatnya sudah tertidur-lupa dengan perbuatannya selama ini-. Dan akulah yang membereskan seluruh kekacauannya di kelas. Aih, berapa kali sudah aku menghela napas sabar.
"Ayo, Hana setoran ya!" rayuku seraya menarik tangannya pelan mendekat ke arahku.
Bibir mungilnya mulai mengucapkan ta'awudz diikuti dengan bismillah. Aku menyimaknya dengan begitu khusyuk mengingat suaranya yang amat kecil dan tidak jelas. Baru di tengah surat, mendadak Hana berhenti. Aku terhenyak memandang ke arahnya.
"Kok berhenti?" protesku.
Hana seolah tidak mendengarku. Ia malah beraksi dengan jemarinya. Berjalan dengan kedua telunjuk dan jari tengahnya. Berlayar di atas bajunya kemudian lompat ke lantai.
"HANA ... FOKUS!" pekikku melotot ke arahnya.
Hana menoleh seolah ia tidak sadar kalau sedang setoran. Hana melanjutkan kembali setorannya, tetapi selanjutnya aku sudah tidak mampu menafsirkan lagi ucapannya. Bacaannya tidak jelas seakan ia tengah mengobrol dengan dirinya sendiri.
"Hana, diulang ya bagian ini. Kamu belum lancar," kataku selembut mungkin agar ia paham.
Hana kembali ke tempat duduknya. Selanjutnya yang aku tahu Hana tidak melancarkan hapalannya. Ia malah melamun dan menerawang ke langit-langit kelas. Kadang juga Hana bermain masak-masakan dengan penghapus juga penggarisnya. Aku menepuk jidatku dan menghela napas sabar. Aih, sudah keberapa kalinya ini. Sampai waktu jam pelajaran habis, Hana tidak menambah setoran sama sekali.
Aku sering mengeluh mengenai keadaan Hana ke teman-temanku. Namun, semua orang malah tertawa dan menganggapnya lucu. Iya, mereka belum pernah merasakannya langsung. Itulah mengapa mereka menganggapnya lucu. Kenyataannya, Hana sulit diatur, tidak mau diperintah, suka mengamuk, dan tidak pernah peduli dengan semua itu.
Jika bukan karena pedoman ikhlas yang aku terapkan selama ini, mungkin aku sudah menyerah di titik awal saat aku mengajarinya. Karena ikhlaslah aku mencoba sekuat mungkin untuk bertahan mengajari Hana. Karena ikhlaslah aku mencoba sabar untuk menangani sifat-sifat Hana yang tidak masuk akal. Karena ikhlaslah aku menghembuskan napas lega kali ini. Meskipun, ada sedikit rasa kekesalan di dalamnya.
Kendatipun, aku percaya sesulit apa pun kenyataan yang aku hadapi. Semustahil apa pun dengan kemampuanku untuk mengubah Hana. Aku yakinkan pada diriku untuk menggenggam ikhlas kuat-kuat. Menggenggam kekuatan ikhlas untuk tetap percaya. Walaupun, hasil yang terlihat pada hapalan Hana tidaklah seberapa. Semoga proses yang terlewati bersama Hana menumbuhkan benih-benih taman surga yang dihadiahkan Sang Pencipta untukku bersebab kesabaranku menghadapinya .
***
Ada satu hal yang tidak pernah kulupa tentang Hana. Tentang kesukaannya terhadap suatu lagu. Awalnya, aku tidak pernah mengetahui lagu itu kecuali setelah Hana menyanyikannya di hadapanku.
Wahai Manusia..
Jangan Engkau Tertipu Daya
Oleh Dunia Yang Fana
Sebagai Tempat Ujian Bagi Kita
Dunia Sementara
Akhirat Selama-Lamanya
Suatu waktu, setelah Hana menyanyikan lagu itu Hana bertanya padaku, "Ustadzah, dunia itu fana ya, akhirat selamanya?"
Aku terhenyak mendengar pertanyaannya. Untuk anak seukuran dia, yang masih sibuk bermain dan bahkan tidak pernah berpikir kalau hisabnya belum dimulai, mengatakan sebuah hal yang bahkan orang dewasa saja sering melupakannya atau tidak pernah peduli lagi. Aku tersentuh dengan ketulusannya mengingat akhirat. Sebuah fakta kecil mengenai dirinya yang membuatku bahagia.
"Iya, Hana. Dunia itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan akhirat. Maka, kamu tidak boleh tertipu oleh dunia ya sehingga melupakan akhirat," senyumku manis. Hana mengangkat kedua sudut bibirnya bahagia. Iya, Hana jadilah kau pengingat kita untuk tetap mencintai akhirat. Pengingat diriku untuk selalu bersabar dan tetap ikhlas melakukan apa pun untuk Sang Pencipta. Terimakasih untuk kehadiranmu yang sangat indah.
***
Juara 2 lomba antologi cerpen tema “guru" dalam buku berjudul “Kembara Bakti" oleh penerbit Mandiri Jaya 2
Pertama kalinya ikut lomba iseng malah menang :)