Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
POV Reihan
Aku sudah memendam rasa ini sejak minggu lalu.Itu sejak aku melihatnya dengan pria lain. Bukan kali pertama dia berjalan dengan pria lain, tapi kali ini benar-benar membuatku marah. Api amarah ini bukan karena cemburu, tapi karena merasa ia tak menghargaiku dan bohong padaku.
Aku sudah curiga, sejak ia pulang dari dinas di Kalimantan terakhir kalinya. Ia yang biasanya selalu cerita tentang perjalanan, aktivitas dan apa pun yang ditemukannya selama job trip, kali ini tidak ada sama sekali, kecuali keluhan kecil, capek.
Sebaliknya, Ranti kelihatan lebih pendiam, lebih kalem. Sering mengambil jeda untuk menyendiri, mata tak lepas dari ponselnya, dan anehnya, ketika di meja makan atau ketika duduk dekatku, dia selalu menempatkan posisi layar ponselnya di bawah. Seolah dia tak ingin ada yang melihat sesuatu di layar itu
Ini bukan gayanya. Aku tahu ada yang salah. Suatu kali tak sengaja aku melihat dia tengah melihat profil LinkedIn seseorang. Aku membaca namanya dengan jelas. Indra Ardhana Tambunan. Juga tampak olehku foto gagahnya dan jangan ditanya lagi, aku sempat membaca sekilas biodatanya.
Dia manajer, background pendidikan teknik sipil.
“Kamu sedang merekrut manajer baru?” pernah kutanyakan padanya suatu malam tentang itu.
“Manajer baru?” dia menggeleng, bingung. Lalu bangkit ke tempat tidur.
“Aku lihat beberapa minggu ini kamu sibuk melihat profil beberapa manajer di Linkedln!”
Aku menjawab sambil lalu.
Dan aku tak pernah melihat reaksinya segugup itu. Aku tahu, dia menyembunyikan sesuatu. Istriku sedang memikirkan laki-laki lain?
POV Ranti
Tak pernah kubayangkan akan bertemu dengannya lagi. Lima belas tahun, waktu bukan hanya mengubah fisik seseorang, tapi juga sikap.
Indra, dalam versi dewasanya kini, harus kuakui tetap lah sosok yang gagah. Ia tampak lebih kalem. Tapi, aku juga bukan gadis yang 15 tahun lalu. Aku yang sekarang adalah aku yang juga sudah dewasa. Aku yang ingin penjelasan 'kenapa' dia melakukan itu? Kenapa dia melarikan uang tabungan itu, meninggalkanku tanpa pesan. Aku sangat ingin tahu alasannya. Aku juga mau uangku.
"Maaf soal 15 tahun yang lalu, Ranti.” Indra menarik napas, seperti membuang beban. Aku tidak menjawab. Aku memberi waktu untuk dia menjelaskan segalanya.
"Bapak sakit saat itu,” ia sedikit gugup. “ Aku bingung, kau tahu, aku anak paling besar, aku tak tahu harus cari uang kemana."
Aku mencibir. "Lebih mudah melarikan diri dari pada berkata jujur," sahutku dingin.
"Aku tahu kau ya...pasti bisa memaklumi andai aku pinjam uang itu dulu, tapi...."
Bapak Indra – menurut pengakuannya- meninggal sebelum benar-benar mendapat perawatan. Ia lalu memakai uang tersebut untuk membereskan segala sesuatunya, acara pemakaman, untuk uang pegangan ibunya , uang sekolah adik-adiknya.
Indra seketika menjadi co -parent bagi ibunya. Ceritanya mengundang simpati, tapi tetap tidak bisa kuterima alasan itu. Kami sudah dekat sejak tahun pertama kuliah, kurasa dia harus menghargai itu, dengan tidak menyembunyikan fakta keluarganya –saat itu .
"Aku tahu tidak pada tempatnya membela diri dan membuat alasan," seolah bisa membaca isi hatiku, Indra berkata lagi ." Tapi, aku juga mencarimu, Ranti. "
Tujuh bulan setelah melarikan uangku, katanya ia mendatangi kosku, tapi aku sudah tidak kos di tempat itu. Ini oke, valid, karena tiga bulan setelah Indra menghilang, aku pindah kos, aku cari kos yang lebih dekat kantor supaya hemat ongkos . Motorku sudah dibawa kabur.
"Kau bisa menelponku." Indra lupa, kalau aku tidak bisa menerima alasan tanpa argument yang jelas. Sebagai engineer, ntuk mendesain pondasi saja butuh beberapa formula untuk memastikan hitungan. Apa lagi ini.
"Aku mengalami double musibah waktu itu, Ranti. Ketika pulang dari kampung aku juga kena rampok, semua isi tasku hilang termasuk ponsel. Aku kehilangan semua nomor kontak."
Aku ingin mempercayainya, meski kayaknya terlalu dibuat-buat. Tapi akau tidak ingin membuktikan apapun kini. Terima saja alasan itu.
"Tapi percayalah, aku akan membayarnya. Kau boleh hitung jumlahnya dengan asumsi harga emas, tidak masalah," jelas Indra. Aku, dengan emosi, waktu itu sudah mengirimkan detail hitungan dipandang dari nilai inflasi atau harga emas.
Tentu, kau kan sudah banyak uang!
"Bayar sesuai nilai awal saja," aku membuang pandangan. Aku tidak perlu prosentasi inflasi, aku tak perlu harga emas saat ini. Akan kusumbangkan uang itu ke yayasan anak yatim atau ke panti asuhan . Aku tidak menginginkan uang itu. Tapi, kalau aku tak meminta Indra membayarnya, aku akan terus bertanya sepanjang hidup. Kenapa?
Indra mengangguk, tertawa kecil . " Kau hebat sekarang, " Indra menatapku, bukan tatapan seperti dulu. Ini seperti kekaguman teman sejawat atas prestasi kawannya.
"Sok tahu!" Aku mencibir. Tahu apa dia tentang hidupku sekarang?
"Queen Engineer ," Indra manatapku dengan menahan senyum. "Pulau mana yang belum kau jelajahi?"
Aku kaget mendengarnya. Itu juluka yang disematkan rekan kantor padaku, kenapa dia bisa tahu?
"Aku mengikuti perkembanganmu lima tahun terakhir," Indra menarik napas, lega. “Dokter Reihan Ashari, dokter ahli bedah yang jempolan," dia menyebut nama suamiku, Reihan. "Aku bersyukur kau mendapat yang lebih baik,"sambungnya, suaranya terdengar tulus.
"Aku...aku..." Sungguh mati aku tidak tahu apa-apa mengenai Indra, sedang dia mengetahui tentangku.
"Keira cantik sepertimu," kata Indra lagi, seperti menahan tawa, ia menyebut nama anakku.
"Stalker," aku merengut , dan tawa kami sama –sama meledak.
Indra masih tertawa tapi di ujungnya ada getir. " Kami...aku dan Diana," ia menyebut nama istrinya. " Kami belum diberi momongan, sudah 12 tahun!"
----
POV Reihan
Aku pulang ke rumah sudah lewat jam 11 malam. Dua bidadariku, Keira dan mamanya, Ranti, sudah tidur.
Aku memeriksa kamar Keira, memeriksa PR nya sebelum masuk ke kamar sendiri. Ranti tertidur amat pulas, dia kelihatan capek. Aku menatap wajahnya. Kami sudah menikah sepuluh tahun dan selama itu, kami tidak pernah bertengkar. Kadang-kadang ada ketegangan kecil, tapi biasanya kami selesaikan segera. Tapi seminggu ini, kurasa ada yang absen dari diri kami. Dan itu membuatku sangat tidak nyaman. Aku harusnya tidak membiarkan ini berlama-lama.
POV Ranti
Aku membuka mata, melirik jam. Setengah enam pagi. Itu naluri, bukan karena alarm. Reihan pasti sudah bangun sejak tadi. Alarm tubuhnya selalu lebih baik dariku. Aku tidak tahu jam berapa Reihan pulang. Aku tertidur setelah membantu Keira mengerjakan PR.
Aku bergegas ke kamar mandi. Sabtu ini aku ingin belanja ke pasar. Tentu menyenangkan kalau Reihan juga tidak harus tugas hari ini.
Harum aroma kopi menyambarku begitu melangkah ke dapur. Aku melihat Reihan sedang menyeduh kopi. Ia mengenakan kemeja biru yang lengannya digulung sampai siku. Ia mengangkat kepala ketika mendengar langkahku. Tatapan kami bertemu dan aku siap mengukir senyum ketika, seperti seminggu terakhir, Reihan langsung membuang pandangannya.
Aku tahu, ada yang tidak beres. Kalau kemarin aku abai dengan sikapnya itu tapi kali ini tidak . Aku harus tahu kenapa dia dingin seminggu ini .Aku duduk di kursi pas di depan Reihan yang tengah menyeduh kopi dengan serius, seolah ia tengah di meja bedah. Aroma Gayo Arabika yang menguar membuatku menarik napas, menghirupnya. Gerakan itu memancing reaksi Reihan. Ia menghentikan sejenak kegiatannya. Tapi hanya sesaat, ia meneruskan lagi menyeduh kopi .
"Rei," panggilku dengan suara lembut.
Ia menggerakkan kepalanya sedikit.
" I want to talk about.."
" Someone Special?" Di luar dugaanku, Reihan langsung menyambar kalimat ku dengan suara keras, sesuatu sesuatu yang amat jarang dilakukannya.
Aku terkejut, dan Reihan seperti menyadarinya, dia meletakkan teko air. "Ngomonglah," katanya.
Aku menggeser kursi agak ke belakang. Sambil mikir, aku mau mulai dari mana.
" Dulu, lima belas tahun yang lalu, aku punya kawan, ya kawan dekat," aku memulai ceritaku.
"Pacar?" Suara Reihan terdengar lucu di telingaku, ada nada cemburu.
"Ya... Begitulah," aku mengangguk. Lalu meluncurlah ceritaku tentang uang itu, tentang seseorang yang membawanya tanpa kabar.
"Dia...dia manajer yang di LinkedIn itu?" Tanya Reihan lagi.
Aku mengangguk. "Jadi itu bukan dalam rangka mencari manajer untuk kantorku," jelasku jujur.
“Mencari mantan pacar,” suara Reihan seperti menggerutu. “Kau bertemu denganya di Kafe Mayor minggu lalu,” suaranya pelan tapi mengejutkanku.
“Sejak kapan kau mengawasiku?” aku mendelik, tidak marah, hanya lucu dan akhirnya tahu, kenapa dia ‘sedingin’ itu seminggu ini.
Reihan menggeleng. Dia berbalik menuju lemari penyimpanan, mengeluarkan gelas kopi. “Jadi, uang itu, apa kau tagih juga?”
Aku menceritakan isi pembicaraan kami. “Aku meminta dia membayar uang itu, Rei. Aku akan menyumbangkannya ke panti asuhan atau kemana saja.”
Rei mengangguk.”Kalau kau mengikhlaskannya juga tidak masalah, Ranti,” ia menuang kopi ke gelas. “Jika benar apa yang diceritakannya, kau sudah membantu satu keluarga bertahan di masa lalu! Mungkin karena itu, hidupmu penuh berkah kini.”
Aku tersentak mendengar ucapan Reihan. Mati-matian aku mengejar Indra untuk mendapatkan uang itu dan Reihan menanggapinya begini?
“Kau tidak kekurangan kan, Ranti,” sahutnya. “Lebih baik mengikhlaskannya, kita tidak pernah tahu, beban apa yang dipikulnya saat membawa uang itu, mungkin lebih besar dari yang dia ceritakan.”
" Kami belum diberi momongan, sudah 12 tahun!"
Aku teringat ucapan Indra. Mungkin ini juga beban itu?
Reihan memandangku, menyodorkan gelas yang yang sudah berisi kopi. “Kopimu, Ran,” ia tersenyum.
“Terima kasih, Pak Dokter,” aku menatap suamiku dengan rasa terima kasih. Bukan hanya soal kopi, tapi nasihat tadi.
“My pleasure, queen engineer,” ia tersenyum.
Aku menarik toples gula, dan menambahkan sejumput gula ke kopi. Terserah orang bilang, tapi aku terbiasa menambahkan sedikit gula ke kopiku.
“Kopimu jangan terlalu manis,” suara Reihan terdengar dekat di telingaku.
“Ini cuma sejumput gula, Rei,” aku menunjukkan sendok berisi gula.
“Bukan gulanya,” dia berbisik pas di telingaku. “Kau sendiri sudah sangat manis, aku takut nanti kena diabetes.”
“Oh, Rei….”
Kepalaku meledak bahagia.
Tamat