Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Sedan Lebaran
0
Suka
17
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pagi itu, langit gelap. Bulir-bulir air menyeka debu dunia. Aku sudah siap dengan kemeja putih kotak-kotak. Rambutku rapi, klimis. Meja kerja yang biasa kusantap setiap malam, kini harus jadi sarapanku. Aku duduk berhadapan dengan pesawat komunikasi sederhana bernama laptop. Siku-sikunya berdiri mantap di atas papan kayu meja serbuk ini. Aroma kopi tercium dari gelas yang kuletakkan di atas meja. Ia adalah benteng terakhirku dalam mengalahkan rasa dingin sejak subuh yang masih menawan kehangatan mentari yang ditelannya saat ini. Semuanya sudah siap. Namun, aku tidak.

Sudah kubaca berkas dokumen dari pasienku ribuan kali. Sudah kutemui juga dia lewat Zoom, video call, bahkan pernah sekali kudatangi langsung tempat kediamannya di Balaraja, tetap masih kurasa peliknya hatiku. Tiap aku janji temu dengannya, berkali-kali juga aku menerawang ke atas. Aku meminta Allah supaya meridhoi, mudah-mudahan prosesnya akan cepat. Kujanjikan anakku Gisya kita akan berangkat ke Sukabumi sesegera mungkin setelah konsultasiku selesai. Setelah 7 kali kutemui pasienku, tidak ada yang kutemukan bisa membantu. Malah aku yang sepertinya hampir gila.

Pasienku Jamal, tidak seperti orang gila. Itu masalahnya. Jika aku bisa kategorikan dia sebagai orang dengan gangguan jiwa, maka semuanya mungkin akan lebih cepat selesai.

Sedangkan di sisi lain, Gisya menungguku. Gisya, anakku satu-satunya. Ia anak kesayanganku sejak ibunya minta tidak ingin ada anak lagi. Aku masih kuat saja untuk membuat beberapa lagi. Tapi Sisca yang sudah berumur 35 tahun itu tidak mau apa-apa lagi di hidupnya. Aku pun, juga tidak terlalu mempermasalahkan. Cucu kebanyakan hanya membuat Mamakku menyinyir.

"Halo, Frenaldi 'kan?"

"Iya, halo Mas Jamal," kujawab singkat sapaan itu.

"Wah, temen gue tercinta nih. Apa kabar lu?"

"Baik, bro. Baik. Lu gimana?"

Mulai lagi, adegan ini. Pasienku, bernama Jamal. Ia seorang pemuda usia 24 tahun dengan wajah rupawan, kulit sawo matang, badan kurus, kepala botak. Ia persis macam Will Smith ketika muda. Sorot matanya ramah. Alisnya tebal. Ia suka sekali cengengesan. Tapi serius, jika harus. Sudah ratusan pasien kutemui, Jamal ini yang agak berbeda. Pertama kuajak bicara dirinya, tidak dapat kukenali kegilaannya.

Ya, aku ini dokter ahli jiwa. Hari ini, terpaksa kujalani sesi konseling lewat pertemuan online. Pertemuan secara langsung sedang sulit dicari waktunya. Tentu saja, alasan utamanya karena macet arus lebaran. Semua orang berlomba untuk sampai ke kampung lebih dulu.

Jamal kuperhatikan seperti orang normal. Sampai sekarang kadang tak kupercaya dia ini sakit jiwa. Dia dari kalangan orang terdidik. Bahasa Inggrisnya level C1. Pernah jadi interpreter di kampusnya dulu. Tapi naas, sebuah tragedi mengubah hidupnya. Semuanya terjadi ketika saat itu ia masih di bangku kuliah. Yang hendak kulakukan di sini adalah, menguak tragedi tersebut dari dirinya.

"Tumben gak dateng ke sini. Lagi macet lebaran ya?"

"Iya, hehe tahu aja lu ya."

"Iya dong! Gua kan di sini nonton berita. Orang-orang pada gila kali ya? Lebaran aja sampe ada yang naik motor bonceng berempat," Jamal menggeleng sambil mendecakkan lidahnya.

"Lu kok nggak pulang kampung sih? Gua liat backgroundnya masih aja kamar lu yang suram itu. Hahaha," Jamal tergelak, cengengesan.

Aku ikutan tersenyum, karena dua hal. Pertama, karena Jamal sebagai orang gila bisa-bisanya menyebut orang lain gila. Kedua, karena ketika berkomentar seperti itu, ia tidak terlihat gila.

"Udah makan lu?"

"Udah, udah. Relax, man. I would know if I'm hungry."

"Oke deh. Kalau gitu, kita lanjut ngobrol santai aja ya kayak biasanya."

"Santai, ngobrol wes ngobrol. What do you want to talk about?"

"Hehehe, mas Jamal aja cerita. Ada yang suka membebani pikiran mas Jamal nggak hari-hari ini? Gimana keadaan di sana sekarang mas?"

"Ya, gua mah gini-gini aja. Ada sih, suster baru yang udah kepincut gitu sama gua. Suka gua senyum-senyumin. Eh, dia senyumin balik," mas Jamal kesengsem sendiri.

Aku ikutan tertawa mendengarnya. Tidak heran aku dengan hal itu. Dari tampang, Jamal ini lumayan rupawan. Terlintas sekilas di pikiranku, mungkin nama seperti Erick, Rizki, atau Kevin akan lebih pantas dengan wajahnya itu.

Sesekali, aku melihat ke arah mobil sedan berwarna biru tua yang terparkir di halaman rumahku. Sedan baru itu, akan kubawa ke kampung saat berjumpa dengan mamak. Kuharap mamak akhirnya mengerti, bahwa aku ini sudah punya hidup yang sejahtera. Entah mengapa, mamak selalu menganggap aku ini miskin. Ia senantiasa menyarankan segala hal untuk berhemat. Bahkan sampai ke punya anak pun diaturnya. Katanya, jangan punya anak. Nanti boros hidupmu. Sebelum anak, istriku juga dulu dituding demikian. Jangan punya istri, katanya. Nanti boros hidupmu. Tak maulah aku hidup sendiri sebatang kara sepertinya.

"Ada yang aneh belakangan ini memang. Aku suka dikunjungi sama ibu-ibu paruh baya. Dia suka bawain aku sayur brokoli. Entah apa gerangan sama ibu itu. Tapi dia kasih makanan setiap hari. Udah kayak ibuku dia."

Jamal mengkerutkan kening. Lipatan berbentuk tiga ruas jari timbul di dahinya.

"Tapi, masih ingatkan kau siapa ibumu?"

"Masihlah. Dia yang lahirkan aku. Mana mungkin gua lupa ibu sendiri, Mas! Hahahaha."

Jamal terbahak-bahak.

"Gua mungkin gila mas, tapi gak durhaka," tambah Jamal.

Mendengar itu, aku semakin mau tertawa. Jamal ini sadar dia gila. Orang gila biasanya mana tahu mereka gila. Aku semakin yakin, proses penyembuhan Jamal akan cepat. Ia tidak akan lama berasa di sini. Yang berarti aku pun juga tidak akan lama bisa berangkat ke kampung. Aku ingin selesaikan semua pekerjaanku di sini sebelum ke kampung. Mamak pasti mengoceh tidak karuan. Ia pasti akan bilang kepadaku supaya tidak usah pulang saja kalau masih ada pekerjaan.

"Ya, pengennya sih gak durhaka mas, sebenarnya. Tapi,"

Jamal menghentikan kalimatnya sejenak.

Aku sedikit bangun dari tempat duduk. Yang awalnya posisiku menyandar, sekarang aku maju sedikit karena tertarik pada pernyataan baru ini. Ibarat game RPG, ini adalah jalan dialog yang baru, yang belum pernah kutemukan selama aku bicara dengan Jamal.

"Gua cerita ke lu aja mas. Karena kita udah lumayan lama jadi temen ngobrol. Gara-gara ibu satu itu, aku jadi teringat ibuku sendiri. Ibu gua itu, orang yang ngomongnya kasar. Ampun dah, omongannya suka bikin sakit hati. Gua masih inget ya mas, dia pernah bilang kayak gini: Mendingan kamu jadi tuli daripada gak dengerin mama!"

Aku mengangguk saja. Tidak memberikan ekspresi yang terlalu dramatis. Bertahun-tahun mendengarkan cerita seperti ini, aku terlatih memberikan ekspresi yang tidak terlalu dramatis.

"Mas Frenaldi, nggak ke kampung?"

"Belum, nanti aja bro. Gua mah gak buru-buru ke sana."

"Waduh, mas. Mending lu berangkat sekarang aja. Keluarga pasti nungguin 'kan? Orang tua masih ada kah?"

"Masih Mas Jamal."

Aku menyeruput kopi panas di sisi kanan laptop.

"Mas Jamal apa yang dirasakan tentang ibu kandung Mas sendiri?"

"Gua sayang sama dialah. Namanya juga ibu sendiri. Tapi gua gak bisa lupa dia orangnya kayak gimana."

Aku berdehem mengiyakan. Aku tahu persis rasanya punya ibu yang menyebalkan.

"Ya begitulah, Mas. Hehehehe."

Jamal hendak menyudahi ceritanya. Ini adalah hal yang tidak boleh terjadi. Kupancing lagi dengan Cerita-ceritanya yang lain.

"Tapi, pasti ada kenangan indah sama ibu dong, mas."

"Ada mas. Gua gak terlalu ingat sih. Dulu itu, pernahkah gua dibeliin jaket baru sama ibu. Ibu orangnya baik. Nah, pas kakak gua meninggal baru dia berubah. Ini gua cuma cerita ke lu aja ya, mas."

Aku mengangguk takzim.

"Ah sudahlah, kita ngomongin aja soal Manchester City lawan Real Madrid. Kemarin 'kan mas ngedukung Real Madrid? Kasihan sekali itu MC. Sudah ngegolin berapa kali, malah berakhir seri."

"Iya, gua nonton itu mas. Seru banget bales-balesan golnya. Ngomong-ngomong, kakak lu gak suka bola?"

"Ah dia, mah. Cewek. Mana suka bola. Sukanya cowok."

"Suka cowok? Gimana tuh maksudnya?"

Jamal hening sejenak.

"Ah, tahu gua nih. Lu lagi mau mancing-mancing supaya gua cerita tentang kakak gua kan?"

"Kagak Mas Jamal. Gua penasaran aja. Tapi kalau lu gak keberatan cerita juga gak papa."

Pria berkaos bola persib itu melunturkan senyumnya. Matanya membulat. Ia memperbaiki posisi duduk.

"Yaudah, Mas. Tapi gua cuma cerita ke lu aja ya. Awas sia."

"Oke mas."

"Kakak gua meninggal di lebaran tahun lalu. Ketika keluarga lagi pada ngumpul, dia malah pergi sendiri. Kita gak ada yang tahu 'kan dia mau kemana. Kita kira, mau ngurusin bisnis onlinenya. Dia sering narik diri soalnya. Katanya mau ngurus BO, BO. Bisnis online. Kita gak ada yang tahu dia jualan apa sih. Pokoknya mah laku. Beberapa kali kita ditraktir makan aja sama dia."

"Udah sejak kapan mulai bisnisnya?"

"Wah, sejak kapan ya? Tiga tahunan ada lah. Dia rajin banget ngurusin itu. Pernah seharian bisa di kamar gak keluar-keluar. Pernah juga dia diajak rekan bisnisnya pergi keluar buat urusan bisnis. Bisa dua hari, seminggu."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Agak miris mendengarnya.

"Kalau gak salah, itu pas bapak gua tahu-tahu aja ngilang gitu."

"Ngilang?"

"Iya. Gua sering nanya ibu gua. She said he's gone. Jadi gak usah nanya-nanya lagi."

"Hmmmm begitu ya. Pergi dari rumah, gak pernah balik-balik?"

"Nggak tahu gua mas. Terakhir yang gua tahu, dia ada kerjaan. Kerjanya sibuk dan mendesak. Dia bahkan gak bisa bareng kita pas lebaran tiga tahun lalu. Kalau pas gua inget-inget, dia jarang banget di rumah tuh di hari-hari itu. Lama-lama ilang aja. Udah kayak kaos luntur. Hehehehe. Gak pernah balik lagi abis itu."

"Oh begitu. Sering berantem sama nyokap tapi?"

"Sering. Dulu mah sampe lempar-lemparan barang."

"Oh parah juga ya."

"Iya, mas. Ini gua cerita cuma sama lu aja ya."

"Aman, aman bos."

Kembali kuseruput kopi panasku. Sekarang suhunya mulai suam-suam kuku.

"Kalau boleh tahu, kenapa berantemnya?"

"Nah, itu juga gua gak tahu. Ada hubungannya sama bisnis onlinenya kakak gua seinget gua mah."

"Hmmm begitu ya."

"Pernah sekali, nyokap gua bilang gini: 'nyesel aku nikah sama kamu! Najis! Najis! Gitu katanya. Gua masih bocil waktu itu. Belum ngerti apa-apa."

"Najis?"

"Iya. Tiap berantem pasti ngomongnya begitu. Berulang kali. Sampe pengang gua denger kata najis."

"Hmmm, begitu."

Kulihat ke kaca yang ada di hadapanku. Terlihat di bayangannya anakku bermain-main dengan kucing milik kami, Rumi. Masygul hatiku, melihatnya bermain. Aku menghela napas panjang. Pelik persoalan yang dialami Jamal.

"Mas Jamal, masih ingat kondisi terakhir kakak sebelum meninggal?"

"Aduh. Males gua inget-inget mas."

"Hmmm begitu ya. Gua penasaran mas."

Jamal menggigit bibirnya.

"Oke Mas Frenaldi. Gua tapi kasih tahu ini cuma ke lu aja ya."

Aku menganggukkan kepala. Sudah kesekian kali, Jamal berkata demikian.

"Kakak gua makin sering makan. Beberapa kali juga dia kelaperan di malem hari. Tapi anehnya, tiap makan ya, porsinya mah dikit. Tapi sering banget makannya. Lama-lama tetangga gua pada nyinyir, si kakak gua ini makin gendut aja. Ehehehe. Ya atuh orang makan ngemil mulu. Jadi gendut lah."

"Hmmm, begitu. Itu waktu pas kapan?"

"Pas papa gua udah pergi. Nah, di saat-saat itu, sebelum pergi, kakak gua dikenalin sama teman papa gua. Dia mau ngajak partneran bisnis. Orangnya udah usia 50 tahunan gitu. Lucu sih orangnya. Suka bawa makanan kadang. Tiap sampe rumah, jarang sih ngobrol sama nyokap gua. Seringnya sih ngobrol sama kakak gua."

"Hmmm begitu. Masih inget namanya nggak?"

"Namanya?"

Jamal menggumam-gumam tidak jelas.

"Gua sih manggilnya Om Reno. Dia sepantar sama bapak gua. Tapi dia gak punya istri. Udah cerai katanya."

"Hmmm, begitu."

"Yang gua inget mah, tiap dia dateng mama gua nangis mulu. Tahu dah kenapa. Kayaknya sih karena bisnis dia rugi mulu dijalanin saka tuh orang. Tapi, harusnya mah gak usah sampe nangis ya? Ngapa coba harus nangis? Tinggal pegat aja weh bisnisnya. Berhenti tengah jalan, bilang gak mau bisnis lagi. Suka heran gua mah."

Kucatat nama orang tersebut.

Reno.

Orang ini, bisa jadi adalah kunci dari semuanya.

"Boleh coba lu deskripsiin orangnya gimana?"

"Yah gimana ya? Kayak om-om gendut biasalah. Brewokan. Brewoknya warna putih. Matanya rada sipit. Biasanya make kaos sama celana pendek. Udah, gua cuma tahu gitu doang."

Kucatat semua point pentingnya.

"Ya, itu mah gak penting. Yang penting mah, sekarang dia gak lagi balik ke rumah. Tapi gua juga heran sama nyokap gua. Dia dateng ke rumah, salah. Dia pergi gak balik-balik, juga salah. Nyokap gua beberapa kali nyebut nama tuh orang. 'Mana Reno?! Mana Reno?!' Heran gua mah."

"Tapi gak ketemu sampai sekarang?"

"Ah lieur urang teh. Kagak tahu kemana batang idungnya."

Aku menyesap kembali kopi yang sudah mulai dingin itu. Cuaca di luar memburuk. Hujan lebat mengguyur rumahku. Anakku masih bermain bersama kucingnya.

"Terakhir ketemu sama om Reno kapan?"

Jamal mengusap dahinya. Suara guntur bersahut-sahutan dengan hujan di luar.

"Terakhir ketemu... Gua samperin dia waktu itu. Di hotel Serambi, dekat sama daerah rumah gua. Palingan 30 menit dari sana. Gua ribut sama dia. Karena gua gak terima mama gua nangis mulu. Di situ...."

Jamal berhenti menjelaskan ceritanya.

Ia memperbaiki posisi duduknya kembali.

"Di situ?"

"Di situ, gua berantem sama dia. Kita adu pukul. Sampe bergulat-gulat di tanah. Gelut."

"Berantem?"

"Iya. Kita berantem sampe ke kasur. Akhirnya, dia kasih gua uang, pas kita udahan. Selesai berantem, pantat gua sakit banget weh. Hahahahaha. Kayak dihajar pake tongkat bisbol."

Aku mencoba mengatur napas, mendengarkan tanpa memberikan reaksi berlebih.

"Pas gua balik, tapi kakak gua udah passed away. Dia masuk rumah sakit. Kakinya berdarah-darah katanya. Karena papa gua pergi, Mama gua tinggal seorang diri."

"Mama sekarang dimana?"

"Mama?"

Jamal menengok ke sebelah kasurnya.

"Ma, ini Mas Frenaldi mau ngobrol."

Jamal memutar kameranya. Terlihat di sebelahnya seorang ibu-ibu paruh baya. Terlihat payah sekali kondisinya. Seperti tak ada tenaga. Ia berbaring saja. Wajahnya pucat. Kantong matanya tebal. Mulutnya bergetar terus. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar.

"Dia gak mau ngobrol. Udah gua coba ajak ngomong berkali-kali. Dia cuma ngobrol sama ibu-ibu yang suka ngasih gua makanan itu. Itu ibu cuma dateng tiap tiga hari sekali. Kayaknya kerja weh. Dia lawyer."

Aku mengangguk-angguk, menyisir rambut perlahan.

"Oke Mas Jamal. Terima kasih udah cerita ya mas. Sehat-sehat mas. Nanti kalau udah selesai lebaran, kita ketemu lagi ya."

"Wes, siap mas Frenaldi. Makasih juga ya udah dengerin cerita Jamal. Ini mah jarang-jarang Jamal bisa cerita."

"Ngomong-ngomong, Mas Jamal."

"Iya?"

"Nenek masih ada di kampung?"

"Nenek?"

Jamal mengkerutkan dahinya.

"Nenek?"

"Nenek! Nenek! Nenek! Aaaaaaaaaaaaah!"

Kamera mengarah ke atas. Aku tidak bisa melihat tapi bisa mendengar suaranya. Perawat mulai berdatangan, bersamaan dengan si pengacara yang baru saja tiba di sana.

"Frenaldi, gimana? Ada temuan baru?" Tanya Veronica, si pengacara.

Ia mengambil tablet yang digunakan Jamal. Di belakangnya, Jamal memberontak dan menangis.

"Bu Vero,"

Aku mendekat ke arah kamera.

"Cari orang bernama Reno."

"Reno?"

"Iya. Reno adalah pusat permasalahannya. Saya yakin, dia bisa membantu untuk menyelesaikan kasus ini."

"Reno? Saya mulai darimana ya?"

"Nanti hasil dari wawancara saya dengan Jamal, saya kirimkan ke ibu. Supaya nanti ibu bisa tinjau ulang. Tapi sementara, ibu bisa ke hotel Serambi yang ada di Kota Tangerang. Coba cari daftar tamu yang pernah menginap di hari raya lebaran tahun lalu."

"Oke mas. Thank you untuk bantuannya."

Aku mematikan laptop. Persis sebelum kumatikan, masih kudengar jelas suara Jamal menangis.

"Nenek, kenapa pergi duluan?"

Kuurungkan niat untuk menutup laptop.

"Jamal! Jamal! Ada apa sama nenek kamu?" Aku melayangkan suara dari laptop.

"Perawat, tolong untuk tenangkan Jamal dulu, sebentar saja." Veronica memerintah.

Para perawat mengikuti.

"Jamal."

Kutatap bola mata Jamal. Ceritanya tentang kakaknya yang dihamili, atau pun tentang dia yang disodomi, tidak membuat dia sedih sampai menangis seperti ini. Ada yang salah tentang neneknya.

"Nenek, kalau ada nenek, lebaran kita bisa kumpul di rumah nenek. Sekarang gak ada nenek, lebaran gak pernah sama rasanya." Jamal menjelaskan, terisak-isak.

"Kalau ada nenek, mungkin kakak masih ada. Kalau ada nenek, mungkin papa nggak tinggalin kita. Kalau ada nenek, mama sama Jamal mungkin masih duduk di rumah."

Air mata Jamal mengalir deras.

"Pas nenek udah meninggal, lebaran jadi sepi. Gabut. Orang-orang di rumah jadi gila. Sinting. Jadi suka coba ini itu."

Orang tua yang berbaring di sebelah kasur Jamal perlahan bergerak.

Ia menggerakkan tangannya untuk menekan tombol di tablet.

"Mas Frenaldi, kalau masih ada nenek, pulanglah mas ke kampung. Mumpung masih-"

Terputus sudah koneksi video call tersebut.

Aku terhuyung di atas kursi. Memikirkan semua hal yang Jamal katakan. Hari ini, dia mungkin gila. Tapi orang gila itu, berhasil membuatku termenung.

"Pa, papa udah selesai kerja?" Gisya anakku menghampiri, menggendong kucing kesayangan kami.

Aku tatap manik kecilnya. Sambil terus terpikir perkataan terakhir Jamal.

"Ayo, kita pergi. Sisca! Ayo siap-siap."

"Oke pah!" Sahut Sisca istriku tercinta.

Kuambil kunci mobil sedan untuk lebaran yang terparkir di halaman.

"Kerjaan gimana?"

Kutatap laptop itu sekali lagi.

"Nanti aja, habis lebaran baru kuberesin."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Sedan Lebaran
Feryan Christ Jonathan
Novel
Bronze
Gunting
Yuditeha
Novel
Bronze
Anak Elang Vivian
Annsilly Junisa
Novel
Sembilan belas sembilan-sembilan
Suyanti
Flash
Bronze
SAYAP SAYAP BERDURI
Mahfrizha Kifani
Novel
Bronze
Tarupala
Lita Soerjadinata
Novel
Karena X
Selvi Diana Paramitha
Novel
Bronze
Regression
Dini Atika
Flash
SURGA UNTUK ANAKKU
Embart nugroho
Novel
Bronze
BUMI Ajari Aku Kematian
Nofi Yendri Sudiar
Novel
Tergapaikah?
Aditya Maulana Yusuf
Novel
Bronze
Sujud Terakhir Bapak
Alfian N. Budiarto
Cerpen
Bronze
Lyan
Afina Munzalina F
Novel
soul
Syifa Nabilah
Novel
MIDNIGHT SUN
Bhimo adnan
Rekomendasi
Cerpen
Sedan Lebaran
Feryan Christ Jonathan
Novel
Gelombang°°
Feryan Christ Jonathan
Cerpen
Celana Pensil
Feryan Christ Jonathan
Flash
Pergumulan Pohon Cemara
Feryan Christ Jonathan
Cerpen
Masak-masakan
Feryan Christ Jonathan
Cerpen
Stranger's Jacket
Feryan Christ Jonathan
Cerpen
Lampu Merah
Feryan Christ Jonathan
Flash
Selamat Natal
Feryan Christ Jonathan
Skrip Film
-Gelombang-
Feryan Christ Jonathan