Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Secuil Cinta di Kalangbret
1
Suka
35
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Secuil Cinta di Kalangbret

Disclaimer: Cerita ini hanya fiksi hasil imajinasi yang terinspirasi dari tokoh sejarah, termasuk nama dan tempat/lokasi. Tidak dimaksudkan untuk mempresentasikan kejadian nyata ataupun menyinggung pihak-pihak tertentu.

***

“Kenapa, Wulan?”

“Karena aku tidak akan mampu untuk menjadi pramesywari.”

***

“Wulan, ada seorang pemuda yang ingin menemuimu. Dia menunggu di atas.”

Aku yang asyik memeras baju terhenti. Siapa? Seorang pemuda?

Semilir angin di pagi yang cerah sungguh membuai, cuaca yang cocok untuk mencuci baju. Teman-temanku asyik bermain air, saling menciprati. Aku buru-buru membetulkan kain jarik, merapikan diri.

“Wisya, tolong jaga cucianku ya?” aku melempar kerikil pada salah satu temanku.

“Kau mau kemana, Wulan?”

“Ke atas sebentar.” Tanganku menggapai akar pohon, menjejak tanah yang curam dengan hati-hati.

“Wulan ...”

Aku yang baru saja berhasil menginjak tanah datar di atas sungai seketika terpaku. Suara itu ... suara yang amat kukenali.

“Lama tidak bertemu ...”

Suaranya bagai panah, menembus hingga ke ulu hati. Pemuda di depanku mengenakan caping yang menutupi sebagian wajahnya. Namun, dari postur tubuhnya, cara berdirinya, aku sangat mengenali itu.

“Arya ...” Aku tercekat, “... kenapa ... kau menemuiku?”

Ia membuka caping, menatapku dengan sepasang mata yang selalu berhasil menghangatkanku. Air mataku seketika menetes. Wajah itu ....

“Aku merindukanmu, Wulan ....” Ia maju, jemarinya terangkat.

Dadaku berdenyut, tetapi aku memilih untuk melangkah mundur.

Tanganku cepat-cepat mengusap pipiku yang basah. “Bukankah dunia kita sudah berbeda sekarang? Aku kira menjadi Akuwu telah berhasil membuatmu lupa padaku, sudah berbulan-bulan sejak kita terakhir bertemu.”

“Justru bukankah dirimu sendiri yang menghindariku, Wulan? Kau sengaja tidak tinggal di rumah ayahmu? Memaksa semua orang untuk bungkam tentang keberadaanmu? Berusaha pergi tanpa jejak agar aku tak bisa menelusurimu?”

Aku tersentak, mengingat momen terakhir kali aku dan Arya bertemu, saat itu ia pamit untuk perang melawan prajurit Jenggala. Aku memang menghindarinya sejak dirinya diangkat dari Senopati menjadi Akuwu. Memohon pada Ayah dan Ibu untuk mengizinkanku tinggal di rumah Embah.

“Sekarang kita sudah bertemu. Ada yang ingin kau sampaikan?” Aku menoleh, menatap pohon-pohon bambu yang bergoyang.

Arya mendekat sekali lagi, menurunkan sedikit bahunya. “Menikahlah ... denganku, Wulan.”

Aku menggigit bibir kuat-kuat, “Seperti yang pernah kubilang. Aku ... tak bisa.”

Riuh-rendah suara teman-temanku yang sedang mencuci dan bermain air menggema di udara. Dedaunan kering tersapu angin bersama debu-debu. Lihatlah, Arya rela jauh-jauh dari Tumapel, mengenakan pakaian seadanya untuk menyamar, bahkan mungkin hanya berjalan kaki sampai ke sini.

“Tinggal di bilik, dengan dikelilingi dayang-dayang, menjadi pusat perhatian orang-orang di Pakuwuan ...” Aku menghela napas, “ Aku ... aku tidak bisa menjadi bagian dari itu. Itu bukan impianku. Aku ingin hidup bebas, menjadi kawula.”

Arya terdiam, meremas tangan, ia tahu. Dirinya mengerti kalau tanggung jawabnya terlalu besar untuk melanggengkan cinta ini. Aku ... dengan seluruh kebebasan yang kupunya, dan akan terus kupertahankan. Aku lebih suka membaca lembaran lontar dengan tenang daripada menunggu harap-harap cemas suamiku pulang dari medan perang, atau merasa was-was setiap menatap keputren dan bertanya-tanya siapa yang akan dijadikan selir, atau bahkan khawatir tentang perebutan tahta di antara anak-anakku nanti.

Jauh sebelum hari ini, aku telah mengatakan isi hatiku dengan jujur. Bahwa impianku adalah tinggal di desa yang permai dan mengajari anak-anak kecil membaca aksara-aksara Kawi dan Sansekerta. Dan suamiku kelak, kuharap juga punya mimpi yang sama. Hidup tanpa memikirkan penaklukan, pertumpahan darah.

“Jika tujuan kita berbeda, apakah itu berarti kita tak mungkin bersama?” Suara Arya bergetar, terdengar ingin memastikan sekali lagi. Matanya sedikit memerah.

Aku menatapnya nanar, perlahan mengangguk.

Hening sejenak.

“Mungkin ada yang lebih mampu untuk mendampingimu. Kudengar ada wanita yang digadang-gadang bahwa dirinya adalah Stri Nareswari. Dia lebih kau butuhkan. Kau bisa menikah dengannya ... dan melupakanku.” Kalimat terakhirku terdengar serak.

Arya hendak membuka mulut, tapi suaraku lebih dulu memotongnya.

“Cinta tak harus bersama, bukan? Kau tak ingat kisah Radha dan Kresna yang dulu pernah kuceritakan?”

Arya hendak meraih tanganku, tapi aku lebih cepat menyembunyikannya di belakang punggung. Tanpa berlama-lama lagi, aku melangkah pergi. Sebelum dadaku semakin sesak. Sebelum Arya berkata lagi dan membuatku tak mampu mengelak. Sebelum takdir benar-benar mengikat kami.

Aku semakin menjauh, meninggalkan Arya yang masih berdiri mematung di tempatnya. Kakiku bergetar, tapi aku tak berhenti.

Sepoi angin menerpa wajah, membuat pipiku yang basah terasa dingin. Hatiku tahu, perasaanku padanya masih amat kuat dan belum reda. Setiap langkah terasa berat dan lambat, seolah ada tali yang mencoba menarikku kembali ke arahnya. Tapi aku tahu, jika aku berbalik sekarang, aku akan jatuh. Dan aku tidak boleh jatuh.

“Selamat tinggal, Arya.” lirihku, yang hanya dapat kudengar.

***

Bagaimana aku dan Arya saling mengenal?

Kami berteman sejak kecil. Jarak rumahnya hanya seperlemparan batu dari pendopo tempat ayahku, yang seorang Mpu, biasa menulis dan membaca kitab. Ayahku bukan orang yang kaku, jadi meski aku anak perempuan, dibebaskan berteman dengan siapa saja. Termasuk dengan Arya, ia hanya pernah dimarahi sekali oleh Ayah karena mengajakku mandi di sungai.

Aku suka membaca, sedangkan Arya lebih suka berlatih ilmu bertarungnya. Meski begitu, ia selalu antusias setiap aku berceloteh dengan semangat, menceritakan hikayat-hikayat dari naskah kuno milik Ayah. Ah ... waktu itu, dunia kami masih jauh dari perasaan rumit dan ambisi.

“Betapa beruntungnya aku, ada dirimu yang membacakan banyak kisah untukku.” ujarnya sehabis kuceritakan tentang Radha dan Kresna.

Saat usia kami semakin beranjak, Arya berkata bahwa ia ingin menjadi seorang prajurit. Saat aku bertanya mengapa, ia hanya diam. Namun aku mendukungnya jika itu memang takdir yang ia pilih, dan aku selalu berdoa untuk keselamatannya. Saat itu aku mulai menyadari, bahwa jalan yang hendak kami tempuh berbeda.

Meski begitu, perlahan tapi pasti. Perasaan saling nyaman sebagai teman itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih abstrak, yang sering dipuja orang-orang.

Langit malam kali ini terasa pekat, dengan gumpalan awan-awan hitam yang menggantung. Bukan cerah bersih seperti biasanya, bahkan kali ini disertai gerimis rapat. Aku tahu mengapa malam kali ini berwarna kelam. Alam semesta ikut menangis sendu untukku. Untuk Arya.

Sore tadi, saat aku duduk di pendopo dan bertanya-tanya mengapa senja kali ini berwarna biru? Bukan gurat kemerahan seperti biasanya, rupanya itu sebuah pertanda. Seorang utusan berkuda datang tergopoh-gopoh dari Tumapel, menyampaikan sebuah berita besar. Sang Akuwu telah dibunuh.

“Mendiang Yang Mulia Tunggul Ametung berpesan untuk menyampaikan ini.” ujar sang utusan sembari menghaturkan sembah.

Serasa ada sesuatu yang menghantam dadaku. Aku terpaku beberapa menit, sebelum akhirnya mengulurkan tangan dengan gemetar, menerima lembaran lontar yang diikat. Air mataku memenuhi pelupuk, membuat rangkaian tulisan terlihat kabur.

Wulan, bolehkah aku bertanya, sebenarnya dirimu manusia atau bidadari? Sampai sekarang aku belum menemukan jawabannya.

Beruntung sekali aku dipertemukan dengan orang sepertimu, gadis baik hati yang sudah mengajarkanku banyak hal. Kau menjadi teman ketika masa kanakku, dan menjadi cinta saat aku menjadi seorang pemuda. Kau tahu? Setiap malam, ketika aku jauh darimu, aku selalu menyempatkan diri untuk memandang rembulan sambil duduk mencangkung. Meski rembulan di Kalangbret ataupun Tumapel sama saja, tak mampu menyaingi keayuan parasmu.

Waktuku rasanya makin dekat, Wulan. Mungkin saat surat ini sampai padamu, upacara pati obongku telah selesai. Dan aku hanya bisa memelukmu dengan kata-kata.

Dari dulu kau selalu bertanya-tanya, mengapa aku sungguh bersikeras dan berambisi untuk menjadi petarung? Mengapa aku bersemangat untuk menjadi prajurit dan berlaga di medan perang? Baiklah, sekarang aku akan menjawabnya.

Karena aku ingin menikah dan hidup bersamamu, Bidadari. Namun aku sadar, aku hanyalah Sudra yang mengharapkan cinta seorang Brahmani. Tak pantas sama sekali. Ayahmu mengizinkanmu untuk bermain denganku saja sudah merupakan keajaiban, lalu apakah patut jika aku memaksa semesta untuk bekerja keras sekali lagi?

Maka dari itu, aku bertekad untuk menjadi seorang yang besar dan berkedudukan. Aku tahu dirimu tak pernah memandang seseorang dari takhta atau kasta, tetapi jika aku sudah berjaya, maka pinanganku untukmu tak terasa menghinakan untuk Ayahmu.

Namun betapa hancurnya aku. Saat diriku sudah menjadi ksatria, kau menolakku karena merasa tak mampu untuk hidup denganku. Bukan hanya itu, kau juga menyuruhku untuk menikahi wanita lain. Lalu, apa arti semua ini?

Kemudian aku mencoba melanjutkan hidup, walau dunia tak lagi terasa sama setelah kejadian di dekat pinggiran sungai itu. Kau menolakku, kemudian pergi tanpa memberiku kesempatan untuk bersuara. Baiklah, lantas aku menikahi Stri Nareswari seperti yang kau sarankan.

Aku mencintaimu dan teramat ingin kau duduk di singgasana sebelahku. Namun bagaimanapun juga, pada akhirnya aku harus menghormati keputusanmu. Kau tidak akan pernah hilang, namamu senantiasa kusimpan di relung hati terdalam.

 

 

Arya Pulung

 

 

 

 

 

 

 


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Secuil Cinta di Kalangbret
Rilaiqaza
Novel
Bronze
Luka Yang Tak Pernah SEMBUH
Maria Ulfa
Cerpen
Bronze
Aroma Mesiu Di Langit Senja Pantai Malaka
Anjrah Lelono Broto
Flash
HORUS-God of Truce
Donquixote
Flash
Legenda Putri Mandalika
Sukini
Novel
Bronze
PARADESHA
Rida Fitria
Novel
Bronze
Legenda Negeri Bharata
Putu Felisia
Skrip Film
Jatuhnya Pesawat Cocor Merah (Screenplay)
Ikhsannu Hakim
Novel
Gold
Indonesia Poenja Tjerita
Bentang Pustaka
Flash
Kisah Masa Lalu
Ralali Sinaw
Novel
Bronze
Keris Bima Sakti: The Return Of Jena Teke
Vitri Dwi Mantik
Novel
Dunia Sunyi Muaramerah
Ubaidillah
Novel
Dear, Peaceful Day, Where Are You?
Pie
Novel
PELANGI SENJA ARZINARA
Kandil Sukma Ayu
Flash
Keris Bima Sakti: The Return of Jena Teke
Vitri Dwi Mantik
Rekomendasi
Cerpen
Secuil Cinta di Kalangbret
Rilaiqaza
Flash
Bukan yang Terbaik
Rilaiqaza