Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lelaki tua yang terbaring di bagsal rumah sakit Nomor 201 adalah ayahku. Dua pekan lalu, ia tertabrak gerombolan geng motor. Satu diantaranya sudah tertangkap, sementara sebelas orang lainnya dalam pengejaran aparat.
Pagi itu aku bergegas menuju rumah sakit yang berjarak 1 kilo meter dari kontrakan rumah. Adikku sudah menunggu giliran, ia duduk di teras Rumah Sakit, wajahnya tampak lusuh dan lelah. "Bagaimana tidak!" Kami berdua harus bergantian menemani ayahku yang lemah dan terbaring tak berdaya.
Entah berapa banyak, peluh dan Keringat bercampur air mata terbuang percuma, entah berapa banyak doa dan untaian kalimat penuh haru terucap dalam hening. Kadang raga ini ingin memisahkan diri dari setumpuk anasir jahat yang menguasai tubuh. Melihat gedung bertingkat seolah menjadi tempat terbaik meluapkan amarah dengan satu loncatan saja.
“Ka, aku pulang dulu ya..mau mandi ama istirahat.” lirih Wina adikku.
Sosok inilah yang menghalangiku, mengakhiri raga. Jika terpisah, bagaimana nasibnya? bagaimana ia hidup sebatang kara, merawat ayah? Mampukah melewati segalanya?"
“Iya hati-hati dijalan, eh ya nanti sekalian isi termos ini ya.” jawabku sambil menyodorkan termos
“Iya ka, tapi gasnya sudah mau habis ka.” jawabnya
“Gitu ya...” jawabku terasa sesak, menghalangi kata yang tak terucap.
Rutinitas pagi mengunjungi rumah sakit, setelah Wina datang di siang hari. aku berkeliling menjajakan kue basah ada juga gemblong, pukis, dadar gulung, klepon dan lainnya.
Aku berteriak “Kue...” sambil terus melangkah menyusuri gang sempit perkampungan, hingga daganganku habis biasanya menjelang maghrib. Terkadang daganganku kurang laku, maka terpaksa menambah waktu kerja sampai jam sembilan malam.
“Kue...” lelaki paruh baya memanggilku.
“Iya...” Aku menghampirinya, sambil meletakan baskom, yang dipenuhi aneka kue basah.
“Mau kue apa?” tanyaku
“Pukis, Klepon sama Gemblong, 15 ribu saja ya, campur.” Jawabnya
“Ini pak.” Kataku, sambil menyodorkan kue yang sudah dibungkus.
Lelaki tersebut mengeluarkan uang dari sakunya, tiba-tiba secarik kertas jatuh. Terlihat seperti brosur. Secepat kilat aku meraih kertas tersebut dan segera menyerahkannya pada lelaki tersebut.
“Ini pak, jatuh” tangan kiriku menyerahkan kertas, tangan kanan menggenggam kue, yang belum sempat diambil.
“Oh itu brosur lomba lari, hadiahnya 10 juta, ada juga hadiah hiburan, barang elektronik. ambil saja!” Jawab lelaki itu sambil menyerahkan uang 15 ribu dan mengambil kue dari tangan kananku.
Aku memperhatikan brosur tersebut. Hadiah utama 10 juta, hadiah kedua 5 juta dan hadiah hiburan seperti laptop, mesin cuci, kulkas dan sebagainya. Lomba lari akan diadakan pekan depan tepat di hari minggu, biaya pendaftaran Rp. 20.000,-. Seketika aku membayangkan, tagihan rumah sakit sebesar Rp. 4 Juta dan harus dibayarkan senin pekan depan.
“Semoga ini jalannya, Ya Tuhan” sambil mengusap wajah. Aku berdiri dan melanjutkan perjalananku menjajakan dagangan.
“Win...” aku memecah hening, sambil menoleh ke Wina
“Ya Ka.” Jawabnya
“Aku mau daftar ini.” Sambil menunjuk brosur yang diserahkan ke Wina
“Wah, hadiahnya gede ya ka.” Wina terbelalak.
“Iya Win, doain Kaka ya.” Jawabku
“Iya ka, semoga ka Sari lolos, aamiin!” Sahut Wina sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.
“Aamiin.” Jawabku
Hari-hariku penuh harap, sepulang jualan selalu menyempatkan lari-lari kecil, bangun lebih pagi, selepas sholat subuh, aku berolah raga berkeliling di taman Jalan Sugiharjo. Terkadang adikku ikut berolah raga, meski tak rutin.
Pagi itu aku menyusuri komplek elit yang berada di sekitaran kali kuwut. Tiba tiba seorang ibu berlari mengejar motor yang melesat kencang “Jambreeeet...” Ibu itu terus berteriak meskipun tertinggal jauh. Saat motor itu melesat mendekat arahku, secepat kilat aku mengambil patahan dahan angsana dan melemparkannya ke arah jeruji ban motor. Seketika motor terpental hingga 5 meter dan pelaku tersungkur. Warga yang berlarian membantu ibu korban jambret, segera membekuk tersangka dan membawanya ke pos polisi simpang empat. Ibu itu terlihat senang dan berkali-kali mengucapkan terimakasih.
“Terimakasih nak, ini ada sedikit uang, tolong diterima.” Ibu itu menyodorkan lempitan uang seratus ribuan.
“Tidak usah bu, saya ikhlas.” jawabku, menolak pemberian ibu tersebut.
“Oh iya kamu siapa namanya?" Tanya ibu itu
“Saya Sari Bu, maaf bu saya lagi ada perlu.” Jawabku berpamitan meninggalkan tempat tersebut.
“Saya lisa...” jawab ibu tersebut, seraya memperhatikanku hingga hilang di pertigaan
Esok hari lomba lari akan diselenggarakan. Aku baru saja mendaftarkan diri serta mendapatkan nomor 0090. “Semoga ini adalah keberuntunganku.” gumamku. Saat melewati pertigaan, tiba-tiba motor melaju kencang dan belum sempat menghindar, akupun tersungkur, gelaplah semesta. Semaput.
“Win, aku dimana?" Tanyaku sambil menoleh ke Wina disamping tempat tidur serba putih.
“Kaka ada di rumah sakit.” jawabnya lirih
“Kaka kenapa?” tanyaku
“Tertabrak motor Ka, tadi diantar warga.”
“Win, Kaka harus pulang, sekarang.” Kataku lemah
“Ahh...” aku menoleh Wina, pendanganku beralih ke arah kaki yang diperban bawah lutut hingga tumit, terasa sakit saat bergerak. Hatiku merintih, saat membayangkan esok harus mengikuti lomba lari. Wajahku menunduk lemah. Peluhku keluar deras, mataku sembab tetapi berusaha tegar dihadapan Wina. “Sekali lagi Tuhan... mengapa aku selalu menghadapi beban ini. Mengapa Tuhan?”
“Kaka istirahat dulu, ga usah banyak pikiran, si penabrak menitipkan uang, cukup untuk berobat Kaka hingga 3 hari kedepan Ka.” Wina seolah mengerti apa yang sedang aku rasakan. Ia berusaha menghiburku. Aku segera merentangkan kedua tanganku seraya memeluknya.
“Maafin Kaka” tak terasa airmata yang berusaha dibendung tumpah menetes dipelukan Wina
“Ga perlu minta maaf Ka, kakak sudah melakukan yang terbaik untukku, untuk ayah. Kaka yang sabar." Wina memeluk erat dan berupaya menenangkanku.
“Besok biar aku yang menggantikan Kaka lomba.” Wina mengambil secarik nomor yang ada disamping kasur dan memasukannya kedalam saku baju.
“Win...” aku tak mampu berkata lagi, tenggorokan terasa sesak, bayanganku entah apa, menyelinap menusuk seolah duri menghujam tubuh, perih, tapi harus kuat.
Wina baru beranjak 11 tahun, sejak kecil harus menahan lapar, meninggalkan masa kecil dan bergulat dengan kerasnya hidup. Membantu berjuang ditengah kegersangan ruang. Terhimpit cacian dan hinaan, sebagai anak kecil dan melarat, ia harus pula meninggalkan bangku sekolah sejak kelas III SD. “Ya Allah...” Ayahku sebelum sakit bekerja sebagai buruh, dari gali kuburan, penambang pasir, kernet truk, apapun dilakukan. Sejak ibu tiada, sejak bapak sakit. Saat ini, hanya beban berat yang kurasa. Hanya perih yang menimpa. Entahlah aku harus bersyukur apa atau memilih sabar terus menerus sejak dahulu.
Esoknya, aku menggunakan alat bantu tongkat, tertatih-tatih menuju lapangan. Aku memaksa keluar dari rumah sakit, karena ingin melihat adikku berjuang, meski aku sempat melarang, tapi tekadnya begitu kuat, aku tau bahwa dialah yang paling kecil diantara peserta lain. Aku tau betapa tak mungkin bersaing dengan orang-orang dewasa. Namun dia memaksa, akupun tak punya daya untuk mencegahnya.
Senyum manis terlihat dari raut muka yang terhalang kerumunan. Penduduk desa berkumpul, riuh dan tampak meriah. Wina bersemangat meski samping kiri dan kanan para pelari ulung. Berbadan besar, ada juga orang berkaki panjang dan tentu saja menyisakan pesimis bagi para pesaing si badan besar dan kaki panjang.
Terdengar peluit panjang tanda lomba lari sudah dimulai. Para peserta berhamburan berlari cepat. Aku berteriak menyemangati Wina “Semangat Winaaa...” Beberapa orang terpental jatuh, saat bersenggolan dengan pelari berbadan besar.
Wina berlari sekuat tenaga dan berusaha untuk menghindari senggolan si badan besar, meloncati si kaki panjang dan terus jaga keseimbangan. Meski sekuat tenaga berupaya dan aku terus berteriak menyemangatinya hingga tersisa 7 orang saja yang berada di garis terdepan, termasuk yang ketujuh adalah Wina. Tiba-tiba 2 orang dihadapan Wina bertabrakan dan terguling di jalanan. Kesempatan inipun tak disia-siakan Wina, secepatnya ia menerobos di urutan kelima.
Namun, saat berusaha melewati urutan keempat, kaki kiri salah satu peserta menjulur seolah berupaya untuk menjatuhkan Wina. Wina yang sudah waspada, akhirnya merubah arah, loncat ke samping kanan. Sementara peserta keempat hilang keseimbangan dan tersungkur di jalanan. Kini Wina berada di urutan keempat dan berhasil melompati peserta ketiga yang terpeleset dan bangkit mengejar. garis finish sudah terlihat. Kedua peserta di depannya terlalu sulit untuk ditaklukan, hingga mencapai finish. Wina hanya bertahan di urutan ketiga.
Detik-detik melewati garis finish, tak terasa airmata Wina mengalir jatuh ke aspal yang dilewatinya. Akupun meneteskan airmata, perjuangan Wina sangat besar. Keberaniannya menunjukan betapa sayang ia padaku juga pada ayah. Beberapa saat, setelah menyelesaikan lomba, Wina menghampiriku, ia memeluk dan menangis sesegukan. Akupun memeluk erat dan menepuk pundaknya
“Aku hanya bisa ini, Ka...” Lirih Wina. Ia membawa tas berisi laptop baru hadiah lomba urutan ketiga.
“Terimakasih Wina, Kaka Bangga..." Sahutku sambil melepas pelukan.
“Tapi gimana dengan Ayah ka, Besok harus bayar tagihan rumah sakit, darimana uangnya.” Wina terisak
“Ga usah dipikirin, mudah-mudahan besok ada jalan keluarnya.” Jawabku menenangkan.
Senin pagi, seorang perawat menghampiriku seraya mengatakan, "hari ini harus segera dilunasi."
“Baik bu” aku menjawab sekenanya, dalam benakku berfikir keras. Siang ini, aku berencana menjual laptopnya, untuk membayar tagihan Rumah Sakit. Itupun setelah mendapat persetujuan Wina, sebenernya tidak tega menjualnya, apalagi Wina juga membutuhkannya, ia senang saat mendapatkan laptop baru, apalagi belum pernah mendapatkan barang mewah, hatiku pilu tersayat begitu dalam, Wina selalu mengorbankan keinginannya. Aku melangkah ke luar ruangan dengan gontai. Saat itu berpapasan dengan seorang perawat. Ia pun menyodorkan kertas tagihan Rumah Sakit. Tetapi, samar-samar terlihat cap rumah sakit berwarna merah dengan tulisan yang tak begitu jelas. Setelah menerima kertas tersebut dan memeriksanya. Betapa terkejutnya, kertas tersebut berisi cap dan tulisan "Lunas". Haru dan bahagia berkecamuk, aku berteriak “Wina...” kali ini semoga tidak harus mengorbankan kebahagiaan Wina. tak perlu menjual laptopnya.
“Ibu Lisa sudah membayar tagihannya” Sergap perawat tersebut.
“Hai Sari” Tiba-tiba wanita paruh baya yang tak asing, tapi lupa namanya muncul di hadapanku. Sementara Wina yang baru saja keluar, membaca tagihan yang sudah dilunasi. Ia pun memelukku dari samping.
“Ibu yang dijambret ya?” Tanyaku mempertegas ingatan yang mulai mengenali
“Betul.” jawabnya
Akupun merangkul ibu lisa seraya berkata “terimakasih banyak bu, terimakasih..."
"Sudahlah..." Dia memelukku juga Wina.