Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SECARIK KERTAS DALAM TAS
‘Hhh.. dua baju lagi,’ batin Dini sembari meletakkan kemeja putih yang baru saja digosoknya ke keranjang pakaian. Senyum tipis mulai menghiasi wajah letihnya kala melihat hanya tersisa 2 helai pakaian yang harus digosoknya. Empuknya tempat tidur mulai membayang di pelupuk matanya. Setelah bekerja tanpa henti beres-beres rumah dari pagi sampai siang, tidur adalah reward yang paling ia harapkan saat ini.
“Din... Diniii!!” Lengkingan keras dari lantai bawah seketika membuyarkan bayangan tempat tidur empuk di benak Dini. Dengan cepat ditinggalkannya 2 helai baju yang tersisa itu untuk langsung berlari menemui sang nyonya rumah. Karena panggilan kedua akan menjadi bentakan panjang, dan Dini tidak ingin mendengarnya.
“Iya bu?” tanyanya pada wanita bernama Mirna itu. Bu Mirna langsung melemparkan sebuah gaun kearahnya.
“Gosok nih, ibu mau arisan!” ketusnya.
5 bulan bekerja sebagai ART dirumah ini, Dini semakin menyadari bahwa penyakit berbicara dengan nada-nada tinggi sepertinya sudah mendarah daging di keluarga ini. Dan benar saja, ketika ia sedang menaiki anak tangga terdengar teriakan dari sebuah kamar seiring dengan munculnya kepala Yola dari balik pintu.
“Din, bikinin gue spageti, gue lapar!” titah anak gadis bu Mirna yang masih seumur dengannya itu.
“Um.. iya Yol sebentar ya, aku mau menggosok baju ibu dulu, mau dipakai soalnya.”
“Ckk.. gimana sih lu, baju udah mau dipakai baru mau digosok, kemaren-kemaren lu ngapain aja. Jangan kebanyakan main HP makanya!” hardik Yola sembari melotot kearahnya. Telinga Dini mamanas mendengarnya, karena boro-boro bisa main HP, untuk makan siang saja dia belum sempat. Ia baru mengganjal perutnya dengan 2 potong kue bolu yang dimakannya sambil menyetrika. Namun Dini tidak ingin memperpanjang argumen dan hanya mengangguk sebelum melangkah ke ruang laundry.
Aliran darahnya yang terasa hendak mendidih membuat Dini perlu mengatur nafasnya terlebih dahulu sebelum mulai menyetrika gaun bu Mirna. Terkadang ia kesal pada dirinya sendiri. Kenapa hal seperti ini masih mengganggunya. Seharusnya ia sudah kebal, karena hardikan dan bentakan seperti ini sudah biasa ia terima. Pekerjaan yang nyaris tak putus dari pagi sampai malam pun sudah jadi makanannya sehari-hari. Namun tetap saja ia harus bertahan. Ia tidak boleh goyah hanya karena mulut beracun para penghuni rumah.
Sorenya ketika Dini baru saja selesai mencuci piring, bu Mirna pulang dengan muka merah padam dan langsung mencengkram lengannya. Ia tak banyak bicara, hanya matanya yang memandang tajam kearah Dini sebelum akhirnya ia menghilang kedalam kamar seiring dengan bantingan pintu yang memekakkan. Dini yang bingung akan sikap majikannya itu hanya bisa menahan diri. Hingga akhirnya ia mendapatkan jawabannya di acara makan malam mereka.
“Ma gimana, tadi ketemu tante Ayu nggak?” tanya Yola kepada ibunya yang masih belum banyak bicara dan bahkan tampak tak bernafsu terhadap makanannya. Bahkan pertanyaan dari putri kesayangannya itu pun seperti tak didengarnya.
“Ma, gimana—“
“Apa sih Yol, kamu mau ngapain nanya-nanya tante Ayu? Mau nanya tentang Reino, iya? Nggak usah, lupain aja dia!” hardikan bu Mirna seketika membuat suasana meja makan menjadi hening. Yola tampak kaget dan saling berpandangan dengan ayah dan kakak laki-lakinya.
“Maksud mama?” tanya Yola lagi. Masih heran kenapa tiba-tiba mamanya meminta ia melupakan tentang Reino, padahal mamanya sendiri yang paling bersemangat ingin menjodohkannya dengan anak semata wayang teman arisannya itu. Dua minggu lalu saat Reino akhirnya bertamu kerumah mereka bersama kedua orang tuanya, mamanya juga yang paling heboh dan tidak putus mengatakan bahwa mereka berdua sangat serasi. Yola pun sudah langsung menyukai laki-laki tampan dan mapan itu. Lalu kenapa sekarang mamanya berubah pikiran?
“Percuma mengharapkan cowok yang seleranya rendah itu. Dia malah nyuruh ibunya minta no telpon perempuan itu!” jawab bu Mirna ketus sembari menunjuk kearah Dini dengan dagunya. Dini yang sedang beres-beres di dapur seketika terkejut, pun dengan semua makhluk yang ada disana.
“Minta no telpon Dini? Koq bisa, memang dia kenal Dini?” Pak Harry, sang kepala keluarga akhirnya bersuara.
“Jelas aja kenal, kan dia yang keganjenan waktu itu pakai muncul segala pura-pura bawa minuman!” ketus bu Mirna. Darah Dini tersirap. Ia bahkan tidak mengingat kejadian dua minggu yang lalu itu. Dimana ia hanya mengantarkan sajian untuk tamu mereka dan bertemu dengan laki-laki bernama Reino dan kedua orang tuanya itu sekilas. Hanya itu. Sembari memahan marah Dini menghampiri bu Mirna dan Yola. Namun belum sempat berkata apa-apa Yola sudah langsung membentaknya.
“Dasar nggak tau diri lu ya! Kan gua udah bilang waktu itu, lu nggak usah keluar dapur, biar bi Ina aja yang antar minuman, lu nggak usah kepo!”
“Maaf, tapi waktu itu bi Ina sedang sibuk menyiapkan makanan, jadi saya yang disuruh antar minuman. Tapi saya sama sekali nggak ada maksud apapun Yol,” jawab Dini tak ingin disalahkan.
“Alaah nggak usah ngeles, sengaja kan lu, cari perhatian sama Mas Reino, berharap dia bakal kasihan lihat lu kerja jadi pembantu terus dia bakal peduli sama elu. Gitu kan rencana lu, dasar ganjen!”
Suasana seketika riuh. Dini yang merasa tuduhan itu sangat tidak beralasan, dan duet ibu-anak yang sudah terlanjut marah dan kecewa sehingga apa pun pembelaan yang dilontarkan Dini justru semakin membuat mereka meradang. Adu mulut pun tak terelakkan, hingga akhirnya Yudha yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba memukul meja, mengagetkan semua yang ada disana.
“Udah diam! Malu-maluin kalian semua, ribut gara-gara cowok!” bentaknya sembari berdiri dari duduknya dan menatap tajam kearah Yola.
“Lu bisa punya harga diri dikit nggak, kalau tuh cowok emang nggak suka ya nggak usah maksa!” tegasnya pada adik perempuannya itu yang hanya bisa terpana melihat amarah sang kakak. Yudha lalu memandang kearah Dini dengan tatapan yang sama tajamnya.
“Lu mending masuk kamar sekarang, lain kali nggak usah lancang dan nggak usah kepo sama urusan orang!” semprotnya sebelum melangkah meninggalkan semua orang yang masih terdiam. Dini pun segera beranjak dari tempat itu. Meskipun masih merasa gondok atas tuduhan dan hinaan yang diterimanya dari semua orang, tapi pelupuk matanya yang memanas membuatnya tak ingin lagi berada disitu. Dan air matanya yang menggantung akhirnya benar-benar mengalir deras begitu ia menutup rapat pintu kamarnya.
“Bibi heran kenapa kamu masih betah kerja disini sampai selama ini Din? Para ART sebelum kamu rata-rata nggak bisa bertahan lebih dari dua bulan.”
“Bibi yang cuma datang sebentar buat masak aja rasanya pusing dengar perintah-perintah kasar mereka, apalagi kamu yang seharian disini.”
Kalimat-kalimat yang pernah diucapkan Bi Ina sang juru masak, kembali terngiang di telinga Dini. Bersahut-sahutan dengan kalimat yang pernah dilontarkan ibunya sendiri.
“Din kamu harus sabar, selagi mereka tidak melukaimu, omongan kasar mereka tidak perlu digubris. Yang penting lakukan saja tugasmu disana, demi keluarga kita.”
Sambil menghapus air matanya Dini beranjak ke lemari dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya. Ia menghela nafas panjang. Kertas itu sudah dibawanya sejak beberapa bulan yang lalu. Dan sampai kini ia masih tak tau bagaimaimana cara agar ia bisa menggunakannya.
***
Akhir pekan seperti biasa Dini mendapat ijin untuk pulang kerumah orang tuanya yang masih berada di kota yang sama. Kesempatan yang tidak akan ia sia-siakan untuk keluar dari suasana rumah majikannya yang masih panas. Bu Mirna masih suka menyindir-nyindirnya dengan ketus. Yola sibuk mendiamkannya dan menatapnya dengan sorot penuh emosi. Pak Harry sibuk dengan bisnis Restorannya. Ia dan Yudha seperti biasa tidak banyak bicara pada Dini dan tak cukup peduli untuk mendamaikan para wanita dirumah itu yang masih bertikai. Dini sungguh tak tahan. Dia ingin segera kabur dari rumah itu dan tak harus kembali.
Malam itu di rumah orang tuanya, Dini kembali mengutarakan niatnya untuk berhenti bekerja pada ibunya. Dan seperti sudah diduga, ibunya masih saja melarang.
“Din, bersabarlah sedikit lagi. Mama tau ini berat, tapi demi papamu, demi keluarga kita, kamu harus bertahan disana,” jawab ibunya lirih.
“Tapi sampai kapan ma, aku udah 5 bulan disana dan aku masih nggak tau harus gimana. Apa nggak sebaiknya kita lupakan saja rencana kita ma? Ikhlaskan saja restoran itu, kita mulai usaha yang baru, ya?” tanya Dini hati-hati. Sang ibu seketika terdiam, sebelum akhirnya menggeleng cepat.
“Nggak Din, mama nggak mau, mama nggak ikhlas kita kehilangan restoran itu, restoran yang mama dan papa rintis dari nol!”
“Iya ma, tapi anggap saja itu semua memang harga yang harus kita bayar karena hutang papa pada pak Harry.”
“Papa memang berhutang pada pak Harry tapi papa nggak pernah menggadaikan restorannya untuk membayar hutang itu!” jelas mama setengah membentak. Ia lalu menarik nafas menenangkan diri sebelum melanjutkan ceritanya. “Kamu kan tau, bagaimana sulitnya kehidupan kita saat perusahaan papa bangkrut dulu. Sampai kita harus menjual semua aset untuk melunasi hutang-hutang bisnis papa," kenang mama lirih. "Tapi papa pantang menyerah, ia berusaha untuk membangun keluarga kita lagi. Berhutang pada pak Harry untuk membuka bisnis restoran. Dan papa berhasil, restoran kita maju pesat. Sedikit demi sedikit papa mulai membayar hutangnya pada pak Harry." Seketika air mukanya memerah begitu mengingat nama Pak Harry.
“Tapi laki-laki rakus itu tergiur pada kesuksesan restoran kita. Dengan jahatnya dia menjebak papamu malam itu, kamu ingat kan?!” tanya ibunya lagi dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Ya Dini ingat. Tentu saja dia ingat. Kecurangan yang membuat mereka mendendam, sehingga tersusunlah semua rencana itu. Nekat melamar kerja menjadi ART dirumah pak Harry. Memanfaat kan ketidak-tahuan pak Harry pada sosok anak perempuan rekan bisnisnya yang baru saja dihancurkannya.
“Yang kita punya sekarang hanyalah rumah mungil ini dan restoran itu. Itu hak kita Din, itu yang harus kita perjuangkan!” lanjut ibunya sembari menggenggam tangan Dini. Gadis itu pun mengangguk. Bayangan ayahnya yang kini kerap melamun dan sakit-sakitan, membulatkan tekatnya untuk melanjutkan rencana mereka.
“Tapi gimana caranya menyerahkan surat pernyataan itu pada pak Harry ma?” tanya Dini kemudian, teringat akan selembar kertas yang masih tersimpan di tas nya. Kertas penting itu lah yang menjadi misi mereka sejak awal. Kertas yang lengkap bermaterai itu bertuliskan Surat Pernyataan bahwa pak Danu, ayah Dini, telah melunasi semua hutangnya pada pak Harry, dan pak Harry telah mengembalikan kepemilikan Restoran Batavia Cuisine kepada pak Danu.
“Dengar Din, kita akan balas persis seperti apa yang dilakukan pak Harry pada papamu, yaitu membuatnya mabuk berat. Mama tahu sebentar lagi mereka akan merayakan ulang tahun pernikahan. Pada saat itu kita harus menyelundupkan minuman keras kesana. Dengan banyaknya tamu dan berbagai jenis minuman, tidak akan ada yang mencurigai isi gelas yang kamu bawa untuk pak Harry,” jawab mama Dini mulai menyusun rencana. Dini memasang telinga dan sang mama pun melanjutkan penjelasannya.
“Saat suasana sudah ramai, kamu harus cari cara untuk membuat pak Harry mabuk dan beristirahat sendiri di ruang kerjanya. Saat itu lah kamu ajukan surat pernyataan itu. Katakan saja bahwa itu adalah surat dari ketua RT atau apa pun yang harus ditanda tangani saat itu juga,” jelas ibunya panjang lebar yang disambut dengan anggukan yakin dari Dini. Rapat rahasia ibu dan anak itu pun berlanjut sampai larut malam. Berbagai ide dan skenario bersahut-sahutan terdengar dari mulut mereka. Sampai mereka merasa benar-benar puas dan tak sabar menunggu datangnya saat eksekusi.
***
Minggu malam Dini kembali kerumah pak Harry dengan mengendarai ojek. Sesampainya di depan pintu gerbang rumah itu, Dini tertegun sejenak. Namun bukan karena keraguan yang seperti biasa menyelimutinya setiap kali ia kembali kesana, melainkan justru karena kemantapan hatinya. Kemantapan hati untuk merampas kembali apa yang selalu menjadi milik keluarganya. Membela harga diri orang tuanya. Mengembalikan kehidupan lagi ke dalam jiwa kosong sang ayah. Tidak peduli seberapa sulitnya ia melalui hari-hari melayani keluarga bar-bar ini, ia akan hadapi. Demi sempurnanya kelengkapan isi dalam secarik kertas berharga yang telah mereka persiapkan. Yang akan menjadi senjata untuk membalas kelicikan dengan kelicikan yang sama.
TAMAT
a/n: Restoran Batavia Cuisine adalah fiktif. Jika terdapat kesamaan nama dan ingin saya menggantinya tolong di komen atau dm saja ya.