Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kawinlah dengan Mas Pur. Setidaknya, Bapak tidak akan mengkhawatirkan masa depanmu. Dia cukup terpandang, urusan hati itu bisa diatur. Bapak dan Ibumu dulu juga begitu. Rasa cinta bisa menyusul nanti."
Kawin? Aku paling benci dengar kata itu. Apalagi dengan Mas Pur yang lebih tepat aku sebut sebagai bapak. Aku jelas saja mau protes, tapi aku memilih diam karena alasan bapak baru ditinggal ibu. Meskipun ini bukan perdagangan manusia, aku merasa sedang diperlakukan seperti itu. Untuk apa dilahirkan dan dirawat kalau akhirnya hanya untuk dijual?
Sejak saat itu, aku merasa tidak lagi membutuhkannya. Tapi aku juga tidak bisa meninggalkannya begitu saja, karena dia adalah Bapakku.
Sejak Ibu meninggal setengah tahun lalu, Bapak berubah drastis—seperti ingin menang sendiri. Aku diminta tinggal dengan Nenek dengan alasan agar ada yang menjaganya. Tapi aku tahu, Bapak tidak mau diganggu, tidak mau repot, apalagi keluar uang. Begitulah menurutku.
Ada atau tidak ada dia sekarang sama saja. Toh aku sendiri juga yang mencari uang untuk kebutuhanku sendiri, selain ditanggung Nenek dari sisa uang pensiunan suaminya.
Aku cuma buruh pabrik kretek lintingan. Setiap hari harus menyeberangi sungai dengan rakit, dan harus rela bertelanjang kaki karena pinggiran sungai berlumpur. Lalu sedikit berdandan sebelum masuk pabrik.
Tapi setidaknya, sekarang aku bisa melinting 5.000 batang kretek setiap hari. Dulu, waktu pertama masuk, paling banter hanya 1.200-an batang. Setidaknya, sekarang aku punya tabungan.
***
Sebuah mobil van kecil parkir di depan rumah. Bapak sedang bercakap-cakap dengan seseorang di ruang tamu. Aku memilih masuk dari pintu belakang.
“Itu anakku,” ujar Bapak sambil beringsut masuk ke belakang rumah, begitu mendengar pintu belakang berderit. Lalu mengetuk pintu kamarku.
"Ada Mas Pur, buatkan air."
Aku merasa enggan. “Nanti dulu, Pak. Ganti baju dulu.”
Sekira lima belas menit aku masih bimbang untuk keluar, dan memilih duduk di pinggiran ranjang.
"Sebentar, Mas Pur. Mungkin Diah sudah selesai," terdengar Bapak berbasa-basi.
Aku keluar membawa nampan berisi dua gelas teh panas.
"Duduklah."
Laki-laki yang disebut Bapak itu paruh baya, berpakaian sedikit perlente. Bau minyak wangi tajam menyeruak menusuk hidung. Kacamata hitam disangkutkan di atas dahi. Kalung dengan bandul emas besar menggantung di lehernya, dengan kerah baju dibiarkan terbuka satu kancing atasnya.
"Ini putrimu? Lumayan," ujarnya, seolah sedang menilai barang.
Kurang ajar, batinku.
Bapak melirik ke arah Mas Pur yang matanya sedang menelanjangi tubuhku. Sepertinya tertarik, karena senyum tak lepas dari bibirnya. Entah apa yang sedang dipikirkan di benaknya.
Pasti mesum, batinku, memilih menunduk. Wajah kesal tak bisa kusembunyikan.
"Saya masuk dulu, Pak," ujarku tanpa menunggu aba-aba.
Meskipun keberatan, Bapak membiarkanku. Apalagi dilihatnya Mas Pur juga tidak keberatan. Bahkan saat Bapak melirik ke arah Pur, pandangan laki-laki itu masih mengikuti ke arah kepergianku.
"Baiklah, saya izin dulu, Pak Kirman. Soal rencana Bapak itu, saya setuju saja. Asal Diahnya juga setuju."
Entah apa maksudnya. Aku yang mendengarnya dari kamar merasa marah dan kesal.
***
"Bapak mau jual saya!" Diah bersungut-sungut kesal, langsung mendamprat Bapak begitu Mas Pur pergi dengan mobilnya.
"Bapak cuma mau kamu bahagia."
"Bahagia? Bapak yang bahagia maksudnya!"
"Kok Bapak? Ya kamu... kan kamu yang mau kawin."
"Kawin? Bapak sudah tanya saya setuju atau tidak? Kalau Bapak yang setuju, ya sudah... Bapak saja yang kawin!" Aku melengos dan langsung masuk ke kamar, menguncinya.
"Semprul! Bapakmu disuruh kawin! Iya kalau sama Sumirah, ini malah sama Mas Pur."
Sumirah? samar aku mendengarnya.
Aku mencoba mengingat-ingat nama yang terasa tidak asing itu.
Perempuan yang pernah datang ke rumah, mengaku sebagai teman SD Bapak. Ibu merasa kesal dengan kedatangannya, karena bersamaan dengan sakitnya Ibu yang makin parah, dia datang bertamu.
Bapak mengobrol lama berjam-jam. Aku yang akhirnya minta dia pulang, karena Ibu mengeluh sakit dan meminta diantar ke puskesmas.
Bapak mengantar Sumirah sampai ke pagar, dan mengobrol lagi sekitar lima belas menit sebelum masuk.
***
Waktu Ibu meninggal enam bulan lalu, Sumirah datang. Bapak tak bisa menyembunyikan wajah sumringahnya melihat kedatangan perempuan itu. Meskipun sedang berduka, mereka mengobrol lama. Bahkan sepulang dari pemakaman, Sumirah mampir ke rumah.
Aku kesal luar biasa. Bisa-bisanya sedang berkabung malah memanfaatkan situasi—aji mumpung!
Tapi saat itu aku anggap angin lalu. Barulah ketika nama itu kembali disebut oleh Bapak, aku kembali teringat.
Setelah itu, Sumirah tak pernah datang lagi. Tapi Bapak semakin sering meninggalkan rumah. Bahkan di hari Minggu, ia tak pulang. Aku tahu, meski tinggal di rumah Nenek. Sekali waktu aku hendak mengambil barang-barangku yang tertinggal, aku mendapati rumah itu terkunci meski lampu depannya menyala. Padahal hari sudah menjelang malam.
"Kata tetangga, Bapak sering keluar belakangan ini."
"Dengan perempuan, Mbak?" tanyaku.
"Kelihatannya sih sendiri, cuma ya itu... berdandan rapi, seperti mau kondangan."
Sumirah, batinku. Siapa lagi?
Aku tak bisa menahan amarah hanya karena alasan Ibu sudah meninggal. Toh Bapak sekarang sendiri, sudah melewati masa iddah, dan jadi laki-laki bebas. Artinya, dia bisa memilih perempuan mana saja di luar sana sebagai pengganti Ibu. Bahkan mungkin tanpa meminta persetujuanku. Selama hatinya senang.
***
"Bapak mau kawin lagi," ujar Bapak suatu siang sepulang aku dari pabrik.
"Itu makanya Bapak minta saya kawin sama Pak Pur?"
Bapak memandangku seolah bertanya.
"Jadi itu yang Bapak maksud dengan ‘rencana’ waktu ngomong ke Pak Pur kemarin?"
Bapak memandangku seperti bingung. "Maksudmu?"
"Nggak usah pura-pura, Pak. Saya dengar dengan telinga saya sendiri."
Mungkin karena sudah terlanjur terbongkar, akhirnya Bapak buka suara.
"Bukan itu. Bapak mau buka usaha," elaknya.
"Modalnya dari Pak Pur?"
"Iya."
"Dengan menjualku biar modalnya keluar?"
"Bukan begitu."
"Lalu? Apa alasan Pak Pur mau pinjamin Bapak modal? Karena dia baik?" sergahku.
Bapak menghela napas. "Semua demi kebaikan kamu," katanya akhirnya.
"Bukan. Tapi demi kebaikan Bapak. Apa Bapak pikir saya bahagia kawin sama Pak Pur hanya karena dia punya duit? Meskipun cuma buruh pabrik, aku bahagia dengan hidupku sekarang!"
Bapak mencoba memotong. "Tapi—"
"Tapi apa? Bapak pikir, dengan menyetujui aku kawin sama Pak Pur, Bapak dapat pinjaman? Dengan pinjaman itu, Bapak mau melamar Sumirah?"
Bapak mendongak, terperanjat. Tak menduga aku akan bicara sampai sejauh itu.
"Sudahlah, Pak. Saya tahu isi kepala Bapak. Bapak pikir saya nggak tahu kenapa Bapak minta saya tinggal di rumah Nenek? Supaya Bapak bebas pergi, bisa bawa perempuan itu ke rumah, bahkan kalau perlu menginap tanpa diganggu. Ibu juga sudah nggak ada. Terserah, Bapak mau apa!"
"Diah!"
Aku memilih tak membalasnya, beranjak dari rumah dengan wajah merah padam.
Kata tetanggaku, sekarang Bapak sudah lebih sering di rumah, tidak keluyuran lagi.
Aku mencoba melunak, tapi hatiku masih enggan bertemu Bapak. Aku kesal dengan keinginannya yang egois. Mau menang sendiri. Aku disuruh kawin sama juragan kaya beristri tiga, sementara Bapak sendiri ada maunya.
***
"Diah! Diah! Bapakmu!" teriak Bu Masruroh, tetangga depan rumah, malam-malam menggedor pintu dengan keras.
Aku terlonjak. Ada apa lagi dengan Bapak? Bukankah selama ini juga tak pernah peduli padaku?
"Pingsan! Bapakmu pingsan!" Bu Masruroh nyaris berteriak.
Aku langsung berlari mengikuti langkahnya yang cepat.
Pintu rumah terbuka. Beberapa tetangga ada di sana, sedang mengipasi Bapak yang terbaring di atas dipan di teras rumah.
"Pak?"
Bapak mengangsurkan tangannya. Secarik kertas tergenggam.
Aku menariknya. Potongan kertas berlogo rumah sakit. Aku membacanya sampai habis.
"Kenapa Bapak nggak pernah bilang?"
Bapak menggeleng.
"Jadi ini semua alasan Bapak menjodohkan aku dengan Pur?"
Bapak tidak menjawab, tapi memandangku.
"Ini juga alasan Bapak mau buka usaha?"
"Maisaroh. Dia yang selama ini antar Bapak ke rumah sakit. Bapak nggak mau kamu tahu tentang penyakit ini."
"Jadi...?"
Bapak mengangguk. Aku terdiam. Mungkin aku terlalu banyak berprasangka.
"Nanti kita bicara, Pak. Semuanya pasti ada jalan. Tidak boleh Bapak memikirkan semuanya sendirian. Ada aku."
Satu per satu tetangga pamit. Bapak terlihat membaik. Aku memapahnya masuk ke ruang tengah, karena Bapak menolak tidur di kamar.
Malam itu aku memutuskan untuk tinggal di rumah.
***
Aku ketiduran di ruang tengah. Televisi masih menyala sendiri. Sepanjang malam aku bermimpi Bapak mondar-mandir di ruangan itu, lalu masuk ke kamar.
Aku terbangun, tersentak. Bapak masih terbaring di dipan. Aku duduk di sampingnya, memeriksa kondisinya.
Tangannya dingin. Nafas kosong.
Tiba-tiba, aku merasakan saat-saat kehilangan seperti ketika Ibu pergi.
Malam ini, Bapak menyusul Ibu.