Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebuah ketukan mengagetkanku. Dengan setengah mengantuk aku berjalan menyeberangi ruangan untuk melihat siapa yang tiba-tiba bertamu selarut ini. Aku memutuskan untuk mengintip dari balik tirai jendela sebelum akhirnya membuka pintu. Terlihat dua orang gadis berusia dua puluhan awal sedang berdiri di depan pintu sembari menenteng sebuah kantong kertas berwarna cokelat.
“Cari siapa, ya?” Tanyaku ketika pintu sudah kubuka sepertiga. Mereka berdua tersenyum ramah ketika melihatku.
“Udah tidur ya, Mbak?” Gadis yang lebih tinggi balik bertanya, alih-alih menjawab pertanyaanku.
“Ada apa?” Jawabku agak dingin karena jujur saja mereka berdua bukan tamu yang aku tunggu dan aku sedang tidak ingin berbasa-basi dengan orang baru. Aku tidak berusaha terlihat ramah, dengan harapan mereka akan segera pergi dan aku bisa melanjutkan istirahatku.
“Eung, kami tetangga di sebelah. Aku Jena dan ini Tita, sebenarnya ada satu lagi namanya Haura, tapi dia nggak bisa ikut soalnya ada acara sama temen yang lainnya. Kami tinggal di unit 704, tepat di sebelah unit ini, kami bertiga juga masih kuliah jadi mohon maaf kalau nanti-nanti Mbak bakalan keberisikan pas kami lagi kumpul-kumpul sama temen yang lain di rumah.” Begitulah Jena yang ternyata masih mahasiswa ini mengenalkan dirinya dan teman-temannya yang lain. “Oya, kami ada bingkisan buat Mbak,” aku mengernyitkan kening tak mengerti, “sebagai ucapan selamat datang dan permintaan maaf kami kalau seumpama nanti kami bikin ribut-ribut.”
Aku menerima kantong berwarna cokelat yang ternyata adalah makanan cepat saji yang sepertinya mereka beli di restoran seberang flat kami. “Makasih, ya,” kali ini nada bicaraku aku tekankan sedikit bersahabat sebagai tanda terima kasih karena mereka sudah mencoba bersikap ramah.
“Kami nggak disuruh masuk, Mbak?” Gadis bernama Tita kini mulai bersuara yang berujung disenggol oleh Jena karena mungkin ia merasa pertanyaan itu kurang pantas.
“Maaf, Mbak, si Tita ini kalau ngomong emang suka gak dipikirin dulu,” Jena berusaha menjelaskan. “Oya, Mbak namanya siapa?”
“Saya Maryam,” jawabku singkat namun tetap berusaha ramah, “dan, mungkin mampirnya lain kali saja, ya. Saya baru pindahan, belum sempat merapikan semua barang, takutnya nanti tidak nyaman.”
“Oh, iya, nggak apa kok, Mbak. Ini kami juga mau langsung balik, maklum mahasiswa, ada aja tugas dari dosen yang mesti dikelarin.”
Setelah beberapa obrolan singkat dan ringan, mereka berdua berpamitan. Aku memperhatikan mereka dari tempatku berdiri untuk beberapa saat sebelum kembali menutup pintu.
Sangat menyenangkan jika bisa kembali muda.
*
Alarm membangunkanku dari tidur siang, jam menunjukkan pukul tiga sore, udara di kamar terasa sangat panas sehingga memaksaku segera turun dari tempat tidur dan menuju dapur untuk mengambil air dingin. Aku berdiri di balkon belakang, sembari minum aku memperhatikan kesibukan jalanan yang disesaki orang yang lalu-lalang menuju tujuan masin-masing. Tak lama ponselku bergetar, sebuah pesan masuk dari tante Widia berhasil mengalihkan perhatianku.
Kok nggak ada kabar? Kamu baik-baik aja, kan?
Ya, seminggu yang lalu aku baru saja pindah. Setelah aku tinggal selama tiga bulan bersama tante Widia di rumah nenek, aku merasa akan terlalu merepotkan jika aku tetap di sana, meski tante Widia sangat senang dan menahanku agar tetap tinggal bersamanya. Ia berasalan untuk kebaikan semua pihak akan lebih baik jika aku tetap tinggal di sana, tante Widia akan ada teman mengobrol, dan selain itu akan ada orang yang mengingatkanku untuk minum obat secara teratur. Namun, jika aku tetap tinggal di sana, aku juga akan kehilangan kemandirian dan otoritas penuh atas diriku, karena saat ini aku sedang berusaha menata ulang dengan baik dan cermat agar kehidupanku kembali normal, atau setidaknya lebih seimbang daripada saat ini.
Kok nggak bales?
Sebuah pesan dari tante Widia membuyarkan lamunanku. Aku segera mengetik beberapa kata yang mengabarkan bahwa aku baik-baik saja dan semuanya terkendali. Aku paham jika tante Widia ingin menjemputku kembali ke rumahnya, pertama kali ketika ia mengantarkanku melihat tempat tinggalku ini ia merasa agak kurang senang, ia menilai lingkungan flat ini sedikit kumuh dan terlalu ramai, padahal semua kondisi di tempat baru ini sangat sesuai dengan harapanku. Aku sengaja memilih tinggal di sebuah flat daripada apartemen, karena menurutku akan terasa lebih sepi dan terasing jika aku memutuskan tinggal sendirian di apartemen, sedangkan di flat ini lingkungannya lebih sibuk dan ramai, meski kadang terasa sangat berisik, namun semua kebisingan yang meraka timbulkan berhasil membuatku lebih terhibur dan tidak merasa terasing dari kehidupan.
Kompleks flat ini mempunyai empat blok yang dipisahkan oleh taman dan lapangan parkir, dan tiap blok terdiri dari sebuah gedung berlantai delapan dengan masing-masing lantainya terdapat dua puluh unit kamar yang terbagi dua, sehingga masing-masing sisi memiliki sepuluh unit kamar yang saling berseberangan. Lantai satu di tiap gedung dijadikan sebagai pusat perniagaan, di sana bisa ditemui toko sembako, tempat makan, salon, penatu, dan jenis usaha lainnya yang ditujukan untuk mempermudah kebutuhan harian para penghuni gedung.
Ada yang menarik dari lantai tempat tinggalku, aku mengetahui fakta ini dari Jena yang beberapa kali datang bertamu tanpa aku undang dan dengan senang hati ia memberikan info apa pun terkait tempat tinggal kami. Menurutnya, ada beberapa orang unik di lantai kami, seperti misalnya wanita tua berusia 60-an tahun di unit 718 yang letaknya berseberangan dengan unit kamarku, Jena dan teman-temannya memanggilnya si Mata-mata, karena ibu tua itu selalu mengawasi tetangga lainnya dari balik jendela rumahnya, mereka malah berani bersumpah bahwa si Mata-mata ini tidak pernah tidur sama sekali, dibuktikan dengan tiap kali mereka melewati kamar itu, si Mata-mata selalu berada di sana dan memperhatikan mereka dari balik jendela dengan tatapan tajamnya, si Mata-mata ini juga sangat jarang atau hampir tidak pernah keluar dari kamarnya, tiap akhir pekan akan selalu ada paket berisi keperluan sehari-hari diletakkan di depan pintu unitnya yang menurut kabar angin adalah kiriman dari anak si Mata-mata.
Ada juga wanita cantik berkulit sawo matang yang tinggal di unit 715, wanita cantik ini adalah wanita simpanan pemilik toko emas yang terletak di lantai satu, si wanita ini juga jarang terlihat berbaur dengan tetangga yang lain, namun meski begitu pada tiap awal bulan ia rutin membagikan buah-buahan ke tetangga lainnya, paling tidak stok buah-buahan akan terjamin dengan bertetangga dengannya, pikirku.
Selain itu, ada kisah yang tak kalah unik dari unit 709. Unit itu ditinggali seorang wanita paruh baya bersama dengan seorang keponakannya yang masih remaja, menurut gosip yang beredar mereka berdua terlibat cinta terlarang, yang akhirnya menyebabkan mereka berdua kabur dari rumah dan tinggal di flat ini. Jika tak salah ingat, aku pernah sekali bertemu dengan si keponakan ini, memang masih sangat muda dan sangat sopan, bisa dibilang ia adalah tipe idaman gadis-gadis muda seusianya. Namun, dia bukan satu-satunya lelaki berwajah cukup tampan di lantai ini, ada seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun yang tinggal di unit 720, menurut pengakuan Jena pada mulanya ia sempat ingin mendekati si lelaki ini, namun gayung tak bersambut dengan baik, setelah beberapa lama kenal ternyata lelaki ini sangat pendiam dan berwatak kaku, aku tidak tahu definisi kaku di sini karena aku belum pernah terlibat percakapan apa pun dengannya.
Sisa unit lainnya ditinggali oleh keluarga yang biasa-biasa saja, bukan lahan hijau yang bisa dijadikan bahan gosip bagi Jena dan gengnya. Jika diperhatikan sebenarnya likungan tempat baruku ini cukup acuh tak acuh dengan urusan orang lain, alasan Jena memberikan semua informasi cuma-cuma yang sama sekali tidak terlihat manfaatnya ini hanya karena ia beranggapan aku adalah orang baru di sini, jadi ia merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk mengenalkan orang-orang yang hidup selantai dengan kami. Meski kami tak begitu saling peduli dengan urusan masing-masing, mau tak mau orang-orang inilah yang pertama akan datang jika kami membutuhkan pertolongan, jadi setidaknya kami harus saling mengenal.
Aku merasa keputusanku untuk tinggal di sini semakin tepat. Di sini aku bisa tetap bertemu dengan orang banyak seperti yang disarankan psikiaterku, namun di saat yang bersamaan aku juga tidak perlu bersusah payah peduli dengan mereka.
*
Aku mencoba menjalani hariku sebaik yang aku bisa. Meski aku masih mengikuti terapi dengan psikiaterku, terkadang aku merasa perasaan kosong dan tak diinginkan tetap selalu datang menderaku setiap saat. Beberapa kali aku juga bermimpi tetang masa kecilku, mimpi-mimpi yang pada akhirnya membuatku lebih baik terjaga di sepanjang sisa malam daripada harus kembali lelap namun dalam keadaan terancam. Kadang aku berpikir, untuk apa aku terus melakukan semua terapi dan terus meminum obat jika keadaaanku tak juga kian membaik?
Psikiaterku sekali waktu mengatakan bahwa diriku bisa diibaratkan sebagai sebuah peti yang tertutup rapat yang berisi muatan melebihi kapasitas semestinya, dan ketika peti itu dipaksakan tetap menampung semua hal, pada akhirnya dia akan meledak, dan ledakan yang ditimbulkan membuat si peti dan ruang di sekitarnya rusak—lebih tepatnya analogi ini tak hanya berlaku untukku saja tetapi juga berlaku untuk orang lain—kita semua cenderung memasukkan terlalu banyak beban ke dalam pikiran kita, dan tanpa disadari itu semua tak lebih dari sebuah upaya menyakiti diri sendiri di kemudian hari.
Sudah dua tahun lebih aku mengikuti terapi, sebuah terapi yang pada awalnya aku ikuti karena pada saat itu aku membutuhkan pertolongan ketika aku merasa depresi akibat kehilangan anak pertamaku. Kondisiku pada saat itu bisa dibilang sangat kacau, aku menjadi kehilangan nafsu makan, hari-hari kuhabiskan dengan mengurung diri di kamar sembari menangis sepanjang waktu, perasaan bersalah karena tidak bisa menjadi ibu yang baik padahal aku juga belum pernah mendapatkan kesempatan itu, dan rasa putus asa yang teramat menyakiti hingga berujung upaya bunuh diri. Dan saat ini, ketika aku mengira diriku akan segera membaik dan bisa lepas dari cengkeraman obat-obatan ini, perkara perceraian yang kukira akan berakhir baik-baik saja juga memberikan andil yang cukup besar. Pascacerai aku merasa telah mejadi orang yang gagal karena tidak bisa mempertahankan pernikahanku dan tidak bisa memberikan kebahagiaan bagi suamiku, bukankah itu semua adalah hal yang sangat ironis? Akulah orang yang mengusulkan perceraian dan saat ini aku malah merasa akulah satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk semua hal yang ditimbulkan, padahal aku cukup sadar bahwa bertahan dalam sebuah pernikahan yang toxic juga tidak akan lebih baik dari ini semua.
Tak cukup sampai di sini saja, dua hal itu diperparah dengan ingatan masa lalu yang tanpa peringatan telah meledak di kepalaku, dan hal itu hanya dikarenakan suatu waktu tante Widia yang berniat baik ingin memberikanku sebuah kejutan kecil malah berakhir sebuah petaka baru. Ya, selembar potretku bersama ibukulah yang melemparku pada lubang yang semakin dalam ini, yang jika merujuk pada pernyataan psikiaterku, foto itu adalah sebuah trigger yang kuat. Menurutnya ada banyak hal yang harus diselesaikan dengan masa laluku, dan langkah pertama yang disarankannya adalah aku mesti berdamai dengan diri sendiri—sebuah hal sederhana yang ternyata sangat rumit dan seperti di luar jangkauan manusia mana pun. Ia mengatakan bahwa aku harus bisa belajar untuk melupakan masa lalu dengan semua kengerian dan kesalahan yang telah ditimbulkan. Ia menekankan bahwa semuanya tentu saja tidak bisa dilakukan secara mendadak, tetapi untuk lepas dari semua bayangan masa lalu aku harus memulai melangkah jika ingin tetap menikmati hidup yang lebih seimbang.
Dan, di sinilah aku sekarang, mengikuti semua yang disarankan dengan memilih kembali hidup di tengah keramaian manusia lainnya, dengan harapan jika aku kembali pada lingkungan sosialku, mereka setidaknya sanggup memberikan sedikit keringanan yang aku butuhkan. Selain itu, aku juga telah kembali bekerja. Seorang teman lama beberapa waktu lalu menawariku untuk bergabung menjadi anggota timnya untuk sebuah proyek drama di salah satu stasiun TV, hanya menjadi tim pendukung, tapi kukira itu sudah lebih dari cukup sebagai langkah awal.
*
Waktu telah berselang, dan aku berani mengatakan bahwa setahun terakhir ini adalah waktu terhebatku, meski aku menjalaninya dengan begitu banyak pengorbanan dan kesabaran karena mesti terus melakukan terapi. Tapi, paling tidak semuanya mulai berjalan dengan normal. Aku sudah mempunyai pekerjaan tetap, hidupku juga bisa dikatakan cukup teratur, dan yang paling menyenangkan adalah aku tak lagi harus meminum obat apa pun untuk kondisi mentalku, aku hanya cukup datang melakukan konseling seminggu sekali.
Kini aku tak takut lagi dengan pikiran-pikiran kalut yang datang secara tiba-tiba yang membuatku mendadak merasa kesepian atau tak diinginkan. Perlahan aku mulai bisa menerima kondisiku, menerima semua masa laluku, dan berdamai dengan itu semua. Aku juga lebih bisa mengontrol emosiku, saat ini bisa dikatakan bahwa orang lain mengenalku sebagai sosok yang tenang, meminjam istilah yang Jena berikan, aku terlihat lebih Zen—sebuah pernyataan yang pernah ia katakan ketika sekali waktu ia datang mengunjungiku untuk sekadar minum teh bersama. Namun, keusilan Jena sudah pasti tidak akan bisa lagi aku temui, ia dan teman-temannya kini tengah pergi ke sebuah desa untuk melakukan penelitian dari kampusnya.
Selain Jena, saat ini aku juga dekat dengan seorang lelaki tua berusia tujuh puluh tahunan, ia adalah pemilik penatu yang terletak di lantai satu, meski usianya tak lagi muda, lelaki tua ini selalu terlihat bugar dan penuh semangat. Ya, salah satu orang yang kerap memberikan nasihat kehidupan adalah lelaki tua ini, ia juga pernah mengatakan bahwa ia telah menganggapku sebagai anak perempuannya yang sudah lama tak pulang, dan ia memintaku untuk memanggilnya bapak—sebuah panggilan dan sosok yang selama ini tentu saja aku rindukan kehadirannya.
Bisa dikatakan bahwa hubunganku dengan para tetangga cukup baik, kecuali dengan ibu mata-mata di unit 818, bukan karena aku tak ingin beramah-tamah dengannya, namun si ibu tua ini sangat jarang terlihat keluar dari rumahnya. Dan benar seperti apa yang dikatakan oleh Jena pada saat awal kepindahanku, si ibu tua ini sepanjang waktunya hanya dihabiskan untuk mengawasi para tetangga dari balik jendela, aku kadang penasaran apakah dia benar-benar manusia? Pernah sekali waktu ketika aku akan pergi, aku mendapatinya sedang mengawasiku dengan tatapan tajam, sebuah tatapan yang bisa aku terjemahkan sebagai isyarat kebencian atau bahkan sebuah ancaman. Entahlah, kadang pikiran gilaku mengatakan bahwa si ibu tua ini adalah sosok yang harus aku hindari karena akan menimbulkan sebuah penderitaan panjang untukku.
Apakah aku pernah mengenalnya?