Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Sebuah Pekerjaan
0
Suka
56
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bhagasasi, Senin 26 November 2323

 

Agak malas rasanya membuka mata setelah dua hari libur kemarin. Namun, ada tanggung jawab yang harus dijalani sebagai staf pemasaran di sebuah perusahaan teknologi informasi. Pagi ini, jam 09.20, aku harus menghadiri rapat dengan calon klien yang berada di bilangan Tangerang Selatan.

Posisi sebagai staf asisten eksekutif tentu saja membutuhkan mobilisasi tinggi, itulah sebabnya perusahaan tidak mensyaratkan absensi di tempat kerja. Kami menggunakan teknologi abstraksi data yang dikeluarkan pemerintah sehingga seluruh indeks prestasi kami tercatat.

Negara ini menggunakan sistem perhitungan yang adil. Tidak ada satu pun dari warga negara yang mendapatkan perlakuan buruk. Terlebih banyak hal yang bisa kami dapatkan gratis di negara ini.

Tidak ada pajak.

Tidak ada tagihan rumah sakit.

Tidak ada biaya pendidikan.

Tidak ada pinjaman.

Tidak ada biaya transportasi.

Uang yang dihasilkan dari kerja benar-benar terasa manfaatnya. Untuk bepergian dari satu titik ke titik lainnya, kami bisa menggunakan fasilitas kereta komuter secara cuma-cuma. Bahkan, untuk bepergian ke luar daerah, negara masih menggratiskan seluruh biaya transportasi.

Selama kita memilih kelas ekonomi.

Rumahku berada di bilangan Bhagasasi, dahulu namanya Bekasi sebelum perang Fusion-Aleph. Sekarang wajah kotanya begitu maju dengan ketertiban yang luar biasa. Seluruh fragmen terhubung dengan transportasi dan mengarah ke stasiun atau terminal distrik.

Semua orang bahagia, setidaknya itu yang juga kurasakan.

Pemerintah bahkan sudah mengatur pendapatan minimum untuk pekerja sepertiku. Sebagai staf asisten eksekutif, aku berada di notasi kelas 3.2 pada tabel pekerja. Sesuai dengan lulusan sarjana di bidang ilmu pemasaran, aku mendaptkan gaji 330 Ayria, lebih tinggi dari standar lulusan SMA di 290 Ayria.

Tentu saja, gaji itu masih di luar beberapa tunjangan dan insentif yang didapatkan apabila mencapai target. Hebatnya negara ini, meskipun tidak ada pajak, pemerintah tidak menguasai seluruh alat produksi.

Negara membebaskan swasta untuk berkembang, bersaing, dan berinovasi. Namun, seluruh bahan baku harus dibeli dari negara. Istilahnya, pemerintah hanya berbisnis dengan perusahaan swasta, tidak langsung kepada rakyat.

“Mengapa kau melamun saja dari tadi?” tanya Riko, salah satu staf asisten eksekutif lainnya.

“Tidak apa, aku hanya bersyukur lahir di masa ini,” kataku dan menatap ke arah kereta kami tiba.

 “Oh iya, untuk bahan presentasi dengan Pak Usman, apa kau sudah persiapkan?”

Aku mengangguk. “Tentu saja, semua tentang penerapan teknologi SEMESTA CellOS untuk interkoneksi dengan beberapa peranti agar seluruh proses berjalan sempurna.”

“Apa kau yakin, dari tim pengembang sudah menyesuaikan kebutuhan calon klien?” tanya Riko, tepat ketika kereta yang akan kami tumpangi berhenti di hadapan.

“Aku sudah memastikannya, tinggal bagaimana presentasi Pak Usman nanti.”

Ketika pintu di buka, aku melihat tiga pejabat publik sedang naik di komuter ini. Salah satu dari mereka adalah MACTUS Firman Andriansyah, Kepala Dinas Kependudukan & Catatan Sipil Resor Jayakarta. Ia memang berasal dari Distrik Cikarang di Resor Bhagasasi.

Sebelum menjadi Kepala Dinas Resor, ia adalah Kepala Dinas Distrik Cikarang. Ia diangkat karena indeks prestasinya yang begitu baik dalam mengelola data kependudukan. Di Admaspheria, indeks prestasi pejabat publik bisa diakses melalui laman resmi negara.

“Selamat pagi,” kataku seraya menyapa Firman.

“Selamat pagi,” sahutnya sambil tersenyum.

Ia mengenakan seragam Ventus Imperias Solus, fraksi di pemerintah yang menjalankan birokrasi dan kedinasan. Semua komponen negara selain jabatan politik dan militer berada di fraksi itu.

Inilah potret pejabat negara Admaspheria saat ini. Suatu kebanggaan justru bagi mereka bisa bepergian tanpa protokol. Kata mereka, itu tandanya negara ini stabil dan aman. Bahkan sekelas presiden pun tidak membutuhkan protokol yang rumit seperti di negara lainnya.

Setelah perjalanan dua puluh menit, aku dan Riko harus berganti kereta di Stasiun Tanah Abang menuju ke arah Tangerang Selatan. Wajah stasiun ini benar-benar berubah drastis berdasarkan dokumen sejarah. Namun, Admaspheria tetap mempertahankan Pasar Tanah Abang sebagai salah satu pusat grosir pakaian terbesar di negeri ini.

Kami berganti relasi kereta yang langsung tersedia di lajur 4. Selama aku bekerja di area Jayakarta dan sekitarnya, kereta komuter tidak pernah terlambat walau hanya satu detik. Itu membuktikan bahwa sistem transportasi yang dijalankan oleh Airwave begitu presisi.

Hal yang paling baik adalah, semua ini gratis.

Seperti kubilang, di Admaspheria tidak ada biaya perjalanan.

Namun, jangan coba-coba untuk naik taksi di sini, karena ongkosnya adalah setengah Ayria per kilometer. Sehingga, apabila aku harus bepergian dari Tangerang Selatan ke Bhagasasi, ongkos yang dikeluarkan hampir 30 Ayria.

Sekitar 15 menit, kami tiba di Stasiun Serpong.

Area ini masih dipertahankan sebagai salah satu wilayah elite. Rumah di sini harganya begitu mahal. Untuk unit yang paling terjangkau saja seharga 50.000 Ayria. Sebagai komparasi, uang itu bisa untuk makan selama 100.000 hari dengan sangat layak; atau sekitar 12 tahun gajiku.

Masyarakat Admaspheria, khususnya Jayakarta, terbiasa dengan berjalan kaki. Hal pertama yang membuat nyaman adalah adanya trotoar yang lebarnya tujuh meter dengan deretan pohon rindang. Tentu saja dengan itu banyak orang nyaman berjalan kaki.

Posisi calon klien yang akan kami kunjungi berada di sebuah pusat perkantoran elite. Katanya, mereka mencari vendor yang tepat dalam menyediakan kebutuhan komunikasi. Sebagai salah satu perusahaan yang telah lama berkecimpung di telekomunikasi, PT. Datanara Unggul Propagasi selalu memberikan apa yang klien inginkan.

“Selamat pagi, kami dari Datanara ingin bertemu dengan Ibu Valia,” kataku saat melihat jam di belakang resepsionis masih menunjukkan pukul 08.55.

“Selamat pagi, mohon pindai Kartu Penduduk SEMESTA Anda untuk mengkonfirmasi jadwal rapat dengan Ibu Valia.”

Aku dan Riko menyerahkan Kartu Penduduk SEMESTA untuk dipindai. Saat selesai, kami langsung mendapatkan akses ke lantai 13 untuk bertemu dengan Usman Nurhadi, staf eksekutif di bidang pemasaran.

Saat kami masuk di sana, Usman sudah duduk bersama seorang gadis, mungkin masih remaja, dengan rambut berwarna perak yang agak aneh dilihat. Ia tidak tua, ya kulit-kulitnya masih kencang, tetapi rambutnya seperti orang tua berwarna perak.

Namun, setelah kuperhatikan dengan saksama, rambut peraknya sangat mengilap. Mungkin lebih tepatnya disebut pirang yang terlampau terang hingga menjadi perak, atau mungkin platina.

“Selamat datang,” sapanya dengan ramah.

“Selamat pagi,” jawabku singkat.

Aku tidak tahu, siapa Valia. Namun, Imron, direktur pemasaran kami, mengatakan bahwa ia tertarik dengan portofolio perusahaan kami yang banyak menjual integrasi komunikasi dan pengolahan data melalui sistem CellOS.

“Mohon maaf, kami terlambat,” kata Riko dan duduk di sebelahku.

“Kalian tidak tepat waktu, aku yang terlampau cepat,” katanya dan menatap kami.

Aku tidak tahu, ia memiliki aura yang aneh. Ia terlihat sangat muda, tetapi bisa mengintimidasi kami hanya dengan ucapan seperti itu. Seolah-olah ia mengejek bahwa dirinya bisa datang lebih cepat.

Orang di posisi sepertinya pasti menggunakan kendaraan pribadi sehingga bisa cepat sampai di sini. Tidak mungkin ia menggunakan transportasi umum.

“Ibu naik komuter?” tanyaku mencoba mencairkan suasana.

Ia mengangguk. “Aku naik komuter dari Kebayoran Baru. Panggil saja Valia, tidak perlu formal.”

Ternyata aku salah. Lagi-lagi ia menunjukkan superioritasnya dengan cara yang aneh. Justru, ini lebih memalukan ketimbang apa pun. Apabila orang sepenting dirinya saja bisa lebih cepat, mengapa aku tidak bisa lebih cepat lagi?

“Sekali lagi, mohon maaf kami terlambat,” kataku mencoba menahan malu.

Ia tertawa kecil. “Tidak masalah, lagi pula janji rapat kita adalah jam 09.20.”

“Terima kasih, Valia,” kataku dan menunduk.

Usman memulai rapat dengan sedikit presentasi dan pembuktian konsep berdasarkan permintaan dari mereka. Hal yang membuat kami yakin bisa mendapatkan pekerjaan ini adalah teknologi enkripsi kelas militer digunakan oleh beberapa instansi.

Memang benar, SEMESTA mengeluarkan berbagai jenis sistem operasi dan bahasa pemrograman yang harus kami beli lisensinya. Namun, SEMESTA membebaskan pengembangan sejauh kreativitas perusahaan. Tiap perusahaan memiliki pola pengembangan dan kreativitas yang berbeda. Itulah sebabnya masing-masing kerangka aplikasi tidaklah sama.

“Jadi, bagaimana tingkat enkripsi yang kalian bisa berikan? Aku ingin penggunaan data internet secara masif untuk sekitar dua ribu pengguna dengan satelit dan terenkripsi.”

Aku mengangguk. “Sesuai dengan permintaan tersebut, kami memanfaatkan SHA-16384 dengan lapisan protokol sekunder yang mencegah adanya penyusup. Seperti yang kita tahu, SEMESTA CellOS memiliki protokol sekunder yang mendukung enkripsi tersebut.”

“Untuk kecepatan, berapa yang bisa kalian jaminkan?”

“18 Terabytes per detik dengan metode dua arah dan latensi yang rendah di 100 milidetik,” kata Usman.

“Aku ingin menggunakan itu di atas kapal pesiar dengan kecepatan 80 knot, apakah kalian bisa menjamin tingkat presisinya?”

Riko mengangguk. “Teknologi ini sudah dipakai di Angkatan Udara Ventus Reginae untuk komunikasi sipil. 80 knot tampaknya masih dalam ambang batas.”

Valia mengangguk. “Baiklah, harga yang kalian tawarkan adalah 32.500 Ayria untuk dua puluh hari, benar?”

Jujur saja, 32.500 Ayria itu adalah angka yang sangat besar untuk layanan 20 hari. Keuntungan kami dari sana juga begitu masif, sekitar 21.000 Ayria. Karena kami hanya membayar lisensi CellOS per koneksi dan kecepatan.

“Itu benar,” kata Usman.

Valia mengangguk dan mengeluarkan uang denominasi seribu Ayria sebanyak 35 lembar dan langsung menyerahkannya ke Usman tanpa banyak berkata.

“Ini adalah pembayaran penuh, aku mau tanggal 30 November semua peranti sudah siap di KKA Protefano yang akan berlabuh dari Tanjung Perak jam delapan.”

Baiklah, ini sudah melampaui logika orang normal.

Ia mengeluarkan uang sebanyak itu tanpa melalui proses pemesanan pembelian yang ditandatangani dan dibalas dengan permintaan penjualan dari perusahaan kami.

“A-apa tidak masalah?” kata Usman dengan wajah sedikit pucat.

“Tidak masalah, sisa 500 Ayria akan kumasukkan sebagai insentif langsung kepada kalian,” kata Valia dan tersenyum.

Aku tidak memercayai telinga ini.

500 Ayria itu sudah lebih besar dari gajiku.

Namun, ia memberikan itu seolah-olah bukan sesuatu yang mahal. Padahal, Valia tidak terlihat glamor dengan apa yang dikenakan. Ia hanya memakai blazer berwarna hijau gelap. Ia bahkan tidak mengeluarkan ponsel sejak tadi. Hanya kalung choker­-nya saja yang terlihat sangat mahal.

 “Jujur, kami masih sedikit bingung,” kata Usman sambil memasukkan uangnya.

“Oh iya, kalian bisa langsung berangkat ke Surabaya naik kelas prioritas jam 14.10. Aku sudah memberikan tiketnya saat kalian memindai Kartu Penduduk SEMESTA barusan.”

Aku terkejut bukan main, perjalanan ke Surabaya dengan kelas prioritas adalah impian semua orang. Tiket itu biasa dijual dengan harga 400 Ayria!

Selama aku menemani Usman menjadi asisten, baru kali ini ada klien yang begitu royal membagikan tiket kelas prioritas kepada kami.

Di Admaspheria, ketika seseorang menjadi kaya dan ingin bergaya, maka harga yang dikenakan pun berbeda. Jujur saja, kalau melihat dari gajiku yang hanya 330 Ayria, membeli tiket ke Surabaya dengan harga semahal itu tidaklah revelan.

Namun, aturan pemerintah tentang multiplikasi biaya dan ongkos berdasarkan kelas sudah ada sejak negara ini berdiri. Katanya, jaman dahulu kegiatan ekonomi disekat berdasarkan pendapatan dengan biaya yang serupa.

Sehingga orang kaya bisa seenaknya menggunakan fasilitas yang lebih murah dan subsidi untuk pamer. Perlakuan orang-orang pun berbeda, semua melihat dari harta.

Tidak dengan negara ini.

Apabila orang kaya ingin mendapatkan fasilitas orang kaya dan diperlakukan berbeda, mereka harus mengeluarkan ongkos yang berbeda. Semua yang dianggap ekonomi adalah gratis, termasuk di bidang kesehatan.

Baiknya adalah, metode pengobatan dan sebagainya sama rata. Bedanya adalah kelas yang lebih tinggi mendapatkan fasilitas kamar lengkap. Namun, perbedaan harga antara kelas bisnis dan prioritas adalah 80 kali lipat.

Hal ini juga berlaku dengan perhitungan moda transportasi yang selalu dihitung per kilometer; persis seperti naik taksi. Bedanya, masing-masing kelas memiliki harga yang berbeda dengan aturan yang rigid sesuai aturan pemerintah.

Untuk kelas ekonomi gratis; bisnis 0,00625 Ayria per kilometer; eksekutif 0,0125 Ayria per kilometer; superior 0,125 Ayria per kilometer; naratetama 0,25 Ayria per kilometer; dan prioritas 0,5 Ayria per kilometer.

Dalam hal kehormatan, seseorang bisa dinilai dari indeks prestasi yang diperoleh. Indeks terbesar diambil dari adab yang menjadi evaluasi harian. Setiap orang yang taat aturan dan tidak melakukan pelanggaran apa pun akan ditambahkan 1 kredit setiap harinya.

Sistem ini baru berlaku apabila seseorang sudah menginjak usia 15 tahun. Sebelum itu, sistem kredit akan ditambahkan ke orang tuanya. Hal ini tentu seolah-olah mengajarkan bahwa tanggung jawab anak sebelum dewasa ada di orang tua.

Valia meninggalkan ruangan rapat, menyisakan kekaguman yang begitu luar biasa atas apa yang diberikannya barusan. Mendengar apa yang dikatakan oleh Valia, kami bergegas menuju kantor untuk berangkat.

“Marsha,” panggil suara itu, ternyata adalah Valia.

“Iya, siap,” sahutku dan menghampirinya.

“Apakah ada restoran yang buka di sini, mengingat sekarang masih jam 10.04?”

Aku mengangguk. “Kau ingin makanan mewah atau sederhana?”

“Apa pun, yang penting tidak lama menunggu.”

Teringat ada salah satu kedai masakan Padang yang buka sejak pagi. Namun, itu adalah makanan yang tergolong murah. Untuk satu set nasi dengan lauk rendang, harganya hanya 0,15 Ayria.

“Masakan Padang, apa tidak masalah?”

Ia mengangguk. “Selama itu enak dan tidak menunggu lama, aku tidak masalah.”

Ia berdiri di sebelahku, seakan-akan menunggu komando kapan langkah ini terpimpin. Aku mulai berjalan menuju elevator dan turun ke lantai 3, tempat di mana restoran itu berada. Pagi ini masih terasa sepi, karena memang bukan jam lazim bagi pegawai untuk makan.

“Hei, aku bisa makan semuanya?” tanyanya dengan wajah berseri.

“Tentu saja, selama kau bisa,” kataku sambil tertawa kecil.

Benar saja, Valia tampak memesan semua menu yang ada di etalase masing-masing dua. Aku tidak tahu bagaimana ia akan menghabiskannya, tetapi ia tampak begitu semringah saat makanan itu tersaji.

“Kau mau habiskan ini semua?”

Ia mengangguk. “Tentu saja.”

“Berapa usiamu? Kau terlihat seperti remaja?” tanyaku pelan.

Ia tertawa kecil. “Beri aku tebakan, nanti akan kuberikan sesuatu apabila mendekati.”

Aku memperhatikan Valia sekali lagi. Sungguh, aku tidak punya ide berapa usianya. Wajahnya terlihat belia, tetapi caranya berkomunikasi tampak sudah dewasa. Sebagai perbandingan, usiaku 25 tahun, mungkin ia sedikit lebih muda.

“22?” tanyaku mengambang.

Ia menggeleng. “Aku 38 tahun dan tidak menikah.”

Aku terperanjat, untuk wanita dengan usia hampir 4 dekade, ia tidak terlihat tua sama sekali. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia tidak terlihat tua? Belum lagi ia begitu lahap memakan semua menu yang dipesan.

Tidak butuh waktu lama hingga Valia menyelesaikan makannya, sekitar jam 10.41, kami bertolak dari restoran untuk sama-sama berjalan menuju ke Stasiun Cisauk.

“Kau mau ke Kebayoran?” tanyaku saat berjalan di sebelahnya.

“Tentu saja, aku tinggal di sana dengan adikku untuk sementara,” katanya sambil tersenyum.

Sungguh, aku saja sesekali masih melirik ponsel. Aku tidak melihat Valia memegang ponsel sama sekali. Seolah-olah ia tidak peduli dengan dunia. Apakah ia memiliki cara yang berbeda untuk menghubungi orang lain?

“Aku tidak melihatmu memegang ponsel, apakah memang kau tidak pernah menggunakan ponsel?”

Ia menggeleng. “Sejak aku masih muda, aku tidak pernah memegang ponsel. Tidak ada yang menghubungiku, jadi untuk apa ponsel.”

“Berarti negara tidak bisa melacakmu?” tanyaku penasaran saat kami tiba di Stasiun Cisauk.

Ia menggeleng. “Negara tetap bisa melacakmu dengan perpindahan Kartu Penduduk SEMESTA.”

“Kau benar, Kartu Penduduk SEMESTA adalah segalanya. Semua informasi kependudukan ada di sana,” kataku dan mulai masuk ke pintu stasiun.

Tak lama satu rangkaian komuter yang tiap lima belas menit sekali melintas berhenti. Tepat pukul 11.15, kami naik ke rangkaian kereta listrik yang hanya berhenti 15 detik tiap stasiun untuk menuju ke Stasiun Tanah Abang.

Tidak banyak orang yang naik, karena memang ini bukan jam sibuk. Namun, aku harus segera bersiap karena harus kembali ke Resor Bhagasasi dan mengemas pakaian, lalu pergi ke Stasiun Manggarai untuk pergi ke Stasiun Surabaya Pasarturi.

“Kau kembali ke rumahmu terlebih dahulu atau langsung bertolak ke Surabaya?” tanya Valia.

Aku mengangguk. “Aku harus pulang, mengemas pakaian, dan pergi ke Manggarai.”

Ia mengeluarkan uang seribu Ayria dari sakunya dengan enteng. “Gunakan ini saja, Marsha. Kau tinggal beli semua kebutuhanmu di Anahira.”

Aku menatap wanita ini dengan tidak percaya. “Ti-tidak perlu, ini berlebihan, Valia.”

“Apakah kurang?” tanyanya dan meraih lagi sakunya.

Kutahan pergelangan tangannya. “Aku tidak mau merepotkanmu, uang seribu Ayria itu banyak sekali.”

Ia tersenyum dan mengambil seribu lagi. “Ini untukmu karena sudah menemaniku makan. Singgahlah di Anahira untuk membeli kebutuhan selama kau di Surabaya.

“Satu lagi, kau juga harus mempersiapkan diri untuk ikut berlayar di KKA Protofino. Selama kami menggunakan pelayanan dari perusahaanmu, aku akan meminta kepada direktur utama Datanara agar kau ikut.”

Aku hanya bisa terdiam mendengar permintaan Valia. Sekali lagi, baru kali ini aku mendapatkan klien yang begitu royal. Setidaknya, aku sudah mendapatkan 2.500 Ayria hari ini.

Padahal ini hanya sebuah pekerjaan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Sebuah Pekerjaan
Faristama Aldrich
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
Bronze
Asih
Yona Elia Pratiwi
Cerpen
Bronze
Pukuc Kadit Odlas
Muhaimin El Lawi
Cerpen
Bronze
Kualat
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Di Ujung Langit Yang Sama
Anoi Syahputra
Cerpen
Bronze
Diam Diam Protes
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
OH MY BOSS
ELI WAHYUNI
Cerpen
Messi, Jangan Pindah!
Serenade
Cerpen
Bronze
Kognisi
Arba Sono
Cerpen
Bronze
Pergi Dengan Angin
Viona fiantika
Cerpen
Bronze
Memecat Bos
Ravistara
Cerpen
Bukan Tak Cinta
Dewi Fortuna
Cerpen
Sebuah Dermaga untuk Pulang
Tresnaning Diah
Cerpen
Batas Pacuan
Kopa Iota
Rekomendasi
Cerpen
Sebuah Pekerjaan
Faristama Aldrich
Flash
Sugarbaby
Faristama Aldrich
Novel
Talita, Tentang Sebuah Nama
Faristama Aldrich
Flash
Kekasih
Faristama Aldrich
Cerpen
Kamu Harus Bahagia, Nad
Faristama Aldrich
Flash
Cinta
Faristama Aldrich
Cerpen
Sang Idola
Faristama Aldrich
Flash
"Teman"
Faristama Aldrich
Cerpen
Keabadian yang Kau Inginkan
Faristama Aldrich
Flash
Sebuah Impian
Faristama Aldrich
Novel
A Legacy of Cyllia
Faristama Aldrich
Flash
Penantian
Faristama Aldrich
Flash
Marsha
Faristama Aldrich
Flash
20
Faristama Aldrich
Novel
The Perpetual Chronicle: Fusion-Null
Faristama Aldrich