Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pasar dan Sebuah Perpisahan
Hari itu pertama kali aku melihatnya, seseorang yang cantik, dengan kulit eksotis yang tampak licin, dan kumis tipis yang entah kenapa terlihat begitu menawan.
Aku hanya bisa menatapnya, terpaku, saat ia tersipu malu di bawah pandanganku.
Dadaku bergetar.
Oh Tuhan, apakah ini… cinta?
Bola matanya yang hitam tampak teduh, memperhatikanku yang mulai salah tingkah.
Aku bahagia. Aku merasa takdir telah mempertemukan kami di sini, di sebuah pasar tradisional yang ramai, penuh suara riuh dan tawa-tawa asing.
Langit tampak cerah di balik tenda plastik yang tembus cahaya. Udara dipenuhi aroma bumbu dapur dan suara ibu-ibu yang sibuk menawar harga. Tapi semuanya mendadak senyap. Hanya ada kami berdua, di dunia yang sementara.
Perlahan Ia mendekat, menerobos ringan melewati kerumunan. Ada getaran yang tak bisa dijelaskan, seperti arus hangat yang menyusup ke seluruh tubuhku. Kami tak sempat bicara, hanya saling tatap dalam diam.
Sampai sebuah suara membuyarkan lamunanku.
Seorang wanita bertubuh gempal berbicara dengan pedagang,
"Bang, lelenya sekilo ya."
Seketika, duniaku runtuh.
Dia diangkat paksa oleh tangan kasar itu, menggelepar tanpa daya.
Air menyiprat, tubuhnya meliuk panik matanya masih sempat menatapku… seolah memohon waktu sedikit lagi.
Tapi takdir tak memberi jeda.
Ia dibungkus plastik, lalu dibawa pergi.
Sementara aku, membeku di dasar kolam terpal.
Sendiri, menyaksikan cinta terakhirku dijual… per kilo.
Satu Tarikan Napas Terakhir
Setiap pagi, aku bangun dengan harapan yang sama: semoga hari ini ada yang berbeda.
Meski ototku kaku dan leher pegal karena tidur sambil berdiri, aku tetap berharap ada kejutan kecil dari rutinitas yang membosankan ini.
Tidur sambil berdiri memang terdengar aneh, tapi di sini, itu hal yang biasa. Kami semua melakukannya. Bukan karena ingin, tapi karena memang tak ada pilihan.
Kau tahu, tempat ini jelas bukan hotel bintang lima.
Lebih mirip hostel sempit tanpa ventilasi, pengap, ramai, dan bau apek adalah aroma khasnya.
Tapi, setidaknya aku punya tetangga yang cukup... menghibur.
Sebelah kanan pendiam.
Nyaris tak pernah bersuara, kecuali saat lapar, itu pun cuma mendesah pelan, seolah hidup sudah terlalu berat untuk dikomentari.
Sebelah kiri?
Sumber kegaduhan utama.
Cerewetnya luar biasa.
Setiap pagi dia selalu menyapa dengan topik random: mulai dari mimpi absurdnya tiap malam, sampai kabar burung yang belum tentu benar.
Hidup kami memang membosankan, tapi celotehan anehnya kadang cukup membuatku sedikit terhibur.
“Hidup ini singkat, Kawan,” katanya kemarin. “Kalau nggak bisa lari, ya jongkok aja asal jangan rebahan.”
Jujur, menurutku itu sama sekali tidak lucu.
Setiap pagi, ritual di sini tak pernah berubah:
Lampu menyala tiba-tiba.
Pintu berderit.
Dan aroma makanan yang, entah kenapa…
selalu sama.
Seolah waktu berhenti di menu yang itu-itu saja.
Yang lucu, bukan harinya saja yang terasa berulang.
Penghuninya juga.
Semuanya mirip. Warna kulit sama, bentuk mulut serupa, bahkan gaya rambut pun seragam.
Kadang aku curiga, jangan-jangan kami semua hasil cetakan pabrik, cuma beda nomor.
Tapi belakangan, suasana itu mulai berubah.
Tempat ini perlahan jadi lenggang.
Satu per satu dari mereka pergi, tanpa pamit, tanpa kabar.
Yang kudengar, mereka dipindah ke tempat yang lebih baik.
Tapi tak pernah ada yang kembali… bahkan untuk sekadar bercerita.
Tempat ini, mulai terasa aneh, asing, sunyi.
Seolah menyimpan sesuatu yang tak pernah bisa ku pahami.
Di tengah rutinitas yang monoton, aku mulai bertanya:
Apa memang beginilah cara hidup bekerja?
Tumbuh cepat. Makan banyak. Lalu diam menunggu.
Jangan-jangan… kami diciptakan hanya untuk memenuhi keinginan mereka.
Pertanyaan itu menumpuk…
tanpa pernah terjawab.
Hingga hari ini.
Giliranku tiba.
Cahaya luar menyilaukan.
Udara hangat menampar wajahku.
Untuk pertama kalinya, aku melihat langit. Bukan cahaya bohlam murahan.
Tapi langit sungguhan, biru dan lapang.
Dan dalam satu tarikan napas terakhir, aku mengerti.
Kami dilahirkan bukan untuk hidup, tapi untuk dihidangkan.
“Bang, ayamnya satu ekor ya. Yang gemuk.”
Lalu semuanya gelap.
Langkah Kaki Kecil
Kita berpijak di atas bumi yang sama. Tapi mengapa rasanya… tidak semua kaki diperlakukan setara?
Sejak kecil, aku terbiasa hidup di jalanan yang keras. Tak ada pelukan, tak ada tempat kembali. Hanya dinginnya malam dan bau sampah yang setia menemani.
Aku melangkah dengan satu kaki pincang, sementara mata kiriku buram, bekas dari pertempuran yang tak pernah benar-benar usai. Luka-luka itu bukan sekadar kenangan, tapi bukti bahwa aku pernah mencoba bertahan di dunia yang tak pernah memberiku pilihan.
Meski begitu, aku tak menyerah. Aku tetap bermimpi, suatu hari akan ada seseorang yang memelukku, membawaku ke tempat yang lebih hangat, atau setidaknya… menatapku tanpa jijik.
Tapi setiap kali aku mendekat, mereka hanya melirik sekilas, lalu menjauh. Ada yang mengusir, ada yang mengumpat.
Bahkan tak jarang melempariku dengan sisa makanan basi, seolah aku tak lebih dari sampah yang pantas disingkirkan.
Yang bisa kulakukan hanyalah berlari, menepi, dan menelan pahitnya nasib.
Karena terlahir dengan rupa yang buruk.
Pernah sekali, aku melihat dia yang di sana, bermata bulat, berwajah indah berjalan anggun seolah dunia memang diciptakan untuknya.
Ia disambut dengan tangan terbuka, dipeluk penuh kasih sayang, dipotret, lalu dipamerkan dengan bangga.
Aku hanya bisa menghela napas pelan.
Mungkinkah aku bisa seperti dia?
Pertanyaan itu sering mampir di kepalaku.
Apakah hidup ini memang tak adil?
Apakah dunia hanya milik mereka yang rupawan?
Haruskah aku lahir kembali dengan rupa yang lebih indah… hanya untuk sekadar dianggap ada?
Pertanyaan itu terus menumpuk tanpa pernah terjawab.
Dan aku pun mulai berhenti peduli.
Malam-malam panjang kulewati di balik kardus lembap, di bawah gerobak berkarat, atau sudut warung kosong. Tak ada kasur empuk, hanya beton dingin dan bau amis yang menempel di tubuh.
Tapi aku tetap hidup.
Karena mungkin, itu satu-satunya cara membalas dunia: bertahan, meski tak pernah dianggap.
Hingga suatu hari, seseorang mendekat. Langkahnya pelan, sorot matanya tak menghakimi. Ia berjongkok di depanku, tak takut, tak jijik.
“Matanya aneh, tapi unik,” katanya sambil tersenyum.
Tangannya menyentuh kepalaku. Hangat. Lembut. Bukan sekadar sentuhan, tapi pengakuan.
Untuk pertama kalinya, aku merasa… mungkin dunia ini tak sepenuhnya kejam.
Mungkin… masih ada ruang kecil untuk seekor kucing jalanan sepertiku, yang pincang, dekil, dan hanya ingin dianggap ada.
Di Balik Sangkar Emas
Setiap hari, aku terbangun dalam cahaya yang gemerlap.
Langit-langit di atasku berkilau, gagang pintu pun dilapisi emas.
Mereka bilang aku beruntung, hidupku mewah, tak kekurangan apa pun.
Tapi mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang kurasakan.
Aku tidak butuh kilau emas, atau pujian yang datang setiap hari.
Yang kurindukan justru sederhana: udara pagi yang dingin, gemuruh angin liar, dan ruang untuk terbang tanpa batas.
Itulah kebebasan—sesuatu yang tak bisa dibeli, bahkan dengan ribuan keping emas.
Dari luar, segalanya tampak sempurna: sangkar berkilau, makanan berlimpah, pujian datang silih berganti.
Tapi di balik semua itu, tak ada yang benar-benar melihatku.
Mereka memuja suaraku, tapi tak pernah mendengar diamku.
Mereka menikmati pertunjukanku, tapi tak pernah peduli apa yang hilang dariku.
Malam-malam panjang kulewati dengan terus terjaga, hanya untuk membayangkan seperti apa rasanya bebas.
Bukan sebagai bayangan. Bukan sebagai khayalan. Tapi sebagai kenyataan… yang bisa disentuh.
Dan yang paling menyakitkan dari semua ini:
Aku dilahirkan untuk langit,
tapi ditakdirkan untuk dikagumi dari balik jeruji.
Aku sering bertanya dalam hati:
Apakah suara indahku adalah anugerah…
atau justru kutukan yang membelenggu?
Pagi ini, saat tirai dibuka dan cahaya masuk, aku kembali bernyanyi.
Bukan karena ingin,
melainkan karena mereka menunggu.
Mereka menyebutku penyanyi emas—simbol keindahan, aset berharga.
Padahal, tak satu pun dari mereka tahu…
aku hanyalah seekor burung kecil,
yang dulu bebas mengepakkan sayap,
kini terkurung dalam sangkar mewah, bernyanyi demi menghibur manusia, sambil perlahan melupakan… seperti apa rasanya terbang.
※※※