Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Sebuah Janji
2
Suka
5,641
Dibaca

Kami pernah duduk beradu punggung di pinggir pelabuhan, menunggu sirine kapal yang melengking tajam. Tak peduli betapa banyak penumpang yang mulai riuh memasuki kapal, kami berdua hanya berjalan pelan seperti tak ingin semua ini terlewati dengan cepat. Dia bilang, aku harus pulang pada waktu dan tempat yang kami janjikan. Aku menjawab iya, sebagaimana yang aku inginkan. Aku akan pulang empat tahun lagi setelah kuliahku selesai. Aku akan meminangnya dan kuharap kisah kami akan berakhir bahagia seperti dalam kisah-kisah dongeng yang sering kami dengar.

**

“Kau serius akan kuliah di Jawa?” tanyanya padaku di satu sore ketika aku bermain ke rumahnya.

Aku mengangguk.

Aku tahu dia ketakutan, tapi dia mencoba menyimpan perasaannya itu. Dia lantas memundurkan badannya ke punggung kursi. Disibakkannya sebagian rambut yang terkulai di pipinya ke belakang telinga. “Baguslah. Aku dengar pendidikan di Jawa memang lebih baik.”

“Kau bagaimana?” aku menimpalinya dengan pertanyaan. 

Sejak kami memasuki SMA, dia tak pernah sekalipun menyinggung rencana kuliahnya. Sepertinya, urusan ekonomi menjadi momok utama bagi keluarganya untuk menyekolahkannya ke perguruan tinggi. Sebetulnya orangtuaku dan orangtuanya sama. Hanya saja, orangtuaku tidak memiliki tanggungan lain selain aku untuk disekolahkan. Sementara, orangtuanya masih memiliki tiga anak. Uang mereka hanya cukup untuk mengepulkan asap dapur di rumahnya.

“Yah… aku tidak melanjutkan sekolah lagi. Aku akan membantu orangtuaku bertani kopra,”

Saat mendengar kalimatnya itu wajahku jadi murung. Aku tahu dia cukup cerdas. Dengan mudah ia pahami pelajaran. Dia bahkan selalu mendapat peringkat di kelas. Pasti sangat tak nyaman untuk menerima kenyataan bahwa dia tak bisa lanjut mengenyam pendidikan.

“Dan kalau orangtuaku ada modal, aku bisa membuka kios kecil-kecilan di depan rumah,” ucapnya lagi sembari tersenyum.

Senyum yang sama seperti topeng yang dia kenakan agar kesedihannya tak tertangkap olehku. Tampak jelas di mataku bahwa kekasihku sedang bersedih. Bukan hanya sebentar lagi aku meninggalkannya jauh, tapi juga karena cita-citanya mesti terputus. Aku bersumpah, andaikan aku punya uang, aku pasti menyekolahkannya. Tapi apalah diriku ini? Aku hanya anak pemilik toko kelontong dengan orang-tua yang tak pernah lelah bekerja. Yang sepanjang hidupnya mereka habiskan untuk menabung uang sekolahku.

“Baiklah.  Jangan khawatir. Nanti aku akan selalu mengabarimu. Di sana, aku tinggal di rumah kakekku. Tempat tinggal dan makanku sudah pasti terjamin,”

Dia masih diam.

“Kenapa?” tanyaku.

“Entahlah. Aku membayangkan kau akan jatuh cinta dengan teman kuliahmu. Perempuan jawa yang berkulit kuning langsat, berambut lurus, dan bicaranya lemah lembut.”

Aku mengerutkan dahi. Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu. Aku bukanlah lelaki yang begitu dan seharusnya dia percaya aku tak akan pernah menjadi seperti itu.

“Kau bicara apa? Tidak mungkin. Aku sudah berjanji padamu untuk pulang setelah selesai kuliah. Dan aku akan meminangmu. Aku berjanji.”

Dia tersenyum lagi dan mengangguk. Aku tahu pandangannya menyimpan banyak keraguan. Apakah empat tahun lagi aku masih seperti kekasihnya yang dulu? Yang suka mengetuk pintu rumahnya dan menghampirinya untuk berangkat ke sekolah. Yang suka melarangnya minum es cukur di siang hari. Yang mendadak suka mengomel ketika mendengar dia sakit. Atau aku justru pulang bersama gadis lain seperti yang baru saja dia bayangkan.

“Tugasmu hanya satu. Teruslah menungguku. Ya?” pintaku padanya sekaligus menutup perbincangan kami sore itu.

**

Di awal perkuliahan, rasa rinduku kepadanya sering datang bertubi-tubi. Aku menelepon orangtuaku seminggu sekali, namun aku meneleponnya tiap malam, meski hanya sebentar. Aku bahagia hanya dengan mendengar suaranya yang ceria waktu menceritakan kesehariannya. Detik-detik itu, aku dapat membayangkan kekasihku yang bicara di seberang telepon masih secantik dulu.

Aku ceritakan padanya tentang hari-hari baruku di Jogjakarta. Mengenai ikan yang jarang kutemukan di sini, makanan di angkringan yang mengenyangkan perut hanya dengan uang yang tak lebih dari sepuluh ribu, teman-temanku yang sering meledek gaya bahasaku, hingga mengenai kegiatan ekstrakurikuler yang akan aku ikuti. Mulanya, kudengar dia cukup antusias menanggapi. Namun, ketika sampai pada ceritaku tentang perkuliahan, dapat kurasakan dia berubah dingin seperti es. Aku tidak mempermasalahkannya. Barangkali dia memang tidak mengerti mengenai itu. Dan kalau sudah begitu, aku mengganti topik pembicaraan kami mengenai kabar di kampung. Aku sering menanyakan kabar orangtuaku dan kios kecil kami.  Aku juga bertanya tentang kabar orangtuanya, tiga adiknya, juga kabar teman-teman kami. Dia bercertia bahwa orangtuaku baik-baik saja, tetap ramah seperti dulu dan kios pun masih ramai seperti dulu. Keluarganya juga baik, hanya saja ayahnya mulai menderita darah tinggi sehingga akhir-akhir ini dia jadi rajin mengantarkan ayahnya memeriksakan tekanan darahnya. Sedangkan kabar tentang teman-temanku didominasi oleh pernikahan. Satu persatu dari mereka telah menikah, satu persatu dari mereka telah menimang momongan.

“Aku ingin kuliahku segera selesai agar kita berdua bisa menyusul mereka,” kataku padanya.

Dia mesti tahu bahwa aku serius dan itu bukan sebatas rayuan. Itu adalah keinginanku dari lubuk hati yang paling dalam. Dia memang cinta pertamaku dan sampai sekarang perasaan itu tak berubah. Meski jarak memisahkan kami sebegitu jauhnya.

Namun, dari bibirnya, aku mendengar respons yang tak kuharapkan, “Aku tidak pantas untukmu. Kamu akan menjadi sarjana dan aku hanya anak kampung. Lagipula, tidakkah kau bertemu dengan salah satu teman kuliah yang menarik perhatianmu dan…?”

Secepat mungkin aku memotong kalimatnya sebelum malaikat mengamininya. Aku tak pernah ingin itu terjadi dan aku yakin itu tak akan pernah terjadi.

“Tidak, jangan berpikir macam-macam, aku akan memenuhi janjiku. Aku akan pulang di akhir tahun ke empat dan meminangmu,” tegasku padanya untuk kali sekian.

**

Tahun demi tahun berlanjut begitu saja. Tak kudengar kabar dari teman-temanku bahwa dia tidak setia. Seperti apa yang kuduga, dia memang kekasih yang tidak akan pernah menghianatiku. Aku percaya dia setia dan menungguku. Dan betul apa yang aku yakini, sampai pada tahun keempat, dia masih seperti dulu.

Namun, ada cerita berbeda ketika aku memberi kabar padanya bahwa aku menunda kepulanganku. Aku mendapat masalah dalam masa studiku. Dosen tak kunjung memperlancar skripsi yang kubuat. Berkali-kali aku mengerjakan revisi dan masih tak sesuai dengan maunya. Saat kubilang tunggulah aku setengah tahun lagi, kudengar suaranya bersedih. Sejak saat itu, dia mulai jarang membalas SMS maupun mengangkat teleponku. Kadang nomornya justru tidak dapat dihubungi. Aku seperti kehilangan dia, namun rasa percayaku padanya tidak hilang begitu saja.

Setengah tahun berlalu, aku makin pusing dengan skripsi yang juga belum selesai. Sesungguhnya aku malu hati bila memintanya menunggu setengah tahun lagi, namun saat itu, tak ada lagi yang dapat kulakukan. Aku harus mengatakannya. Dan saat mendengar kabar dariku, bukannya dia menyemangatiku, dia malah menyerah dengan hubungan kami. Dia memutuskanku dan memintaku untuk mencari jodoh teman kuliahku. Aku tidak menyerah begitu saja. Aku bilang padanya untuk tetap menungguku karena meski terlambat aku akan memenuhi janjiku untuk menikahinya. Namun aku tak mendapat kabar darinya lagi, kecuali berita yang menyakitkan beberapa bulan kemudian.

Hari ini, lima tahun sudah aku meninggalkan kampung kami. Aku pulang membawa selembar ijazah dan sebuah harapan bahwa aku masih dapat memenuhi janjiku untuk meminang perempuan yang aku cintai. Namun, seperti yang orangtuaku bilang di telepon beberapa pekan lalu, janjiku memang tak pernah bisa kutepati. Perempuan yang kucintai telah resmi menjadi istri seorang pengepul kopra dari Makassar beberapa bulan lalu.

Hatiku seperti teriris. Selama ini, begitu banyak perempuan yang berlalu-lalang di depanku dan barangkali begitu terbuka hatinya untuk kudatangi. Tapi tak satu pun dari mereka yeng membuatku tertarik. Tak satu pun dari mereka yang aku dekati. Perasaanku sudah terisi penuh olehnya. Tiap kali aku ingin menyerah dengan skripsi yang memusingkan kepala, aku selalu mengingat dia di kampung. Dan hanya dengan itu aku kembali berdiri.

Namun, hari ini aku mendapatkan jawaban atas janjiku tak tak sempat kulakukan. Aku tak tahu aku harus bersedih atau bahagia atas perasaan yang kualami ketika aku melihat dia terseyum sambil mengelus perutnya yang membesar itu.

Dari seberang jalan, aku dapat melihat dia duduk di dalam sebuah toko besar. Di samping karung-karung kopra yang menunggu untuk ditimbang dan di samping seorang pria tua pendatang yang merangkulnya dengan sangat mesra.

Aku menyadari sepenuhnya bahwa kenyataan akan tetap berjalan sebagai kenyataan. Tak ada lagi yang dapat kulakukan kecuali menjalaninya. Kekasih yang aku cintai sepenuh hati tak lagi bisa menunggu sebuah janji yang belum kutepati.

Aku berkata pada diriku sendiri. Mengapa aku bersedih? Bila benar aku mencintanya, bukankan memang ini yang aku harapkan? Melihat dia bahagia. Entah bersamaku atau bersama pria lain yang mencintainya. (Halmahera Selatan, 2016)

Cerpen ini terpublikasi di Koran Malut Pos pada September 2016

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Hem, mengenaskan.
Terima kasih masukkannya, Mas.
Bagus, Bu Dokter. Dulu saya sering baca cerpen di koran Malut Pos via internet, saat jadi admin grub Fb: Sastra Koran Majalah.
Rekomendasi dari Romantis
Komik
is this a cliché story?
Ratu Tiara Jayaputri
Cerpen
Sebuah Janji
Intan Andaru
Novel
Kenangan yang beriringan
Illa fadila
Novel
Bronze
Revanadya
Noranita Vinka
Novel
Mahkota Untuk Raihan
Ratnasari
Novel
CINLOV
Frasyahira
Novel
Bad Lovers
Gana Dahayu
Komik
After Death, Villainess!
Salsabila Balqis
Flash
Bronze
Caffeine Anecdote (Membicarakan Adam 9)
Silvarani
Skrip Film
Bright Your Future and Love (Script)
Sweet September
Cerpen
Our Memories : Her
Yohana Gie
Novel
Bronze
Akhir Cerita
Eshal
Novel
Gold
Lesap
Falcon Publishing
Novel
Bronze
DID (Dissosiative Identity Disorder): Mengejar Jiwamu hingga Napas Terakhir
Riskaninda Maharani
Flash
Hari Ini Hari Apa, Sayang?
Vika Rahelia
Rekomendasi
Cerpen
Sebuah Janji
Intan Andaru
Cerpen
Bronze
INSOMNIA
Intan Andaru
Cerpen
Bronze
Bendera di Bawah Bintang Senja
Intan Andaru
Cerpen
Bronze
Perempuan yang Menikahi Belik
Intan Andaru
Cerpen
Bronze
Sakit Kiriman
Intan Andaru
Cerpen
Kopiah Bapak
Intan Andaru