Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Sebuah Dermaga untuk Pulang
0
Suka
21
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sepenggal Dermaga dan Langkah Pulang

Di tepian dermaga kecil kota pesisir yang sederhana Pantai Karangwangi, aku berdiri memandang laut yang sama yang pernah mengisi masa kecilku. Langit di atasnya memudar keabu-abuan, menyembunyikan cahaya matahari yang sebentar lagi tenggelam. Ombak datang silih berganti, membelai tiang-tiang kayu tua dermaga, mengirimkan suara yang mengiringi kenangan yang mulai menyeruak dari sudut ingatan.

Namaku Laras Ayuningtyas. Di punggungku, sebuah ransel tua dengan resleting yang mulai berkarat, berisi barang-barang sederhana, namun bagiku lebih berharga dari apa pun: sebuah buku catatan lama bersampul cokelat lusuh, beberapa surat yang usang warnanya dan potongan kecil kenangan berupa kerang-kerang kecil yang pernah dikumpulkan tangan-tangan kecilku bersama seorang anak lelaki bernama Alam.

Hampir dua puluh tahun lalu aku tumbuh di kampung ini. Kampung yang sederhana, tapi penuh nyawa. Setiap pagi menjelang sekolah, aku berjalan di jalanan berpasir yang lembut, pasir yang sering kali menyelinap masuk ke sela-sela jari kaki hingga aku terbiasa membiarkannya menempel. Sepanjang jalan, bau asin yang tajam bercampur wangi kelapa bakar dari warung-warung kecil, menjadi aroma khas yang hanya dimiliki kampung pesisir seperti Karangwangi.

Bapakku seorang nelayan yang sederhana. Lengannya hitam legam terkena matahari, bajunya selalu berbau garam, dan garis-garis kerut di wajahnya lebih banyak dari hitungan jaring yang ia miliki. Tapi senyumnya selalu lembut saat memandangku bahkan ketika tangannya kasar karena tali dan jala yang ia genggam setiap hari.

Ibuku, seorang perempuan yang hatinya selembut pasir basah di pagi hari. Warung kecilnya adalah tempat anak-anak desa berkumpul sepulang sekolah. Aku masih ingat suara ibu yang selalu memanggil satu per satu anak-anak, menyuruh mereka makan lebih dulu sebelum pulang, memastikan mereka kenyang meski hanya dengan pisang goreng dan teh manis.

Dan di antara semua tempat di kampung ini, ada satu yang menjadi rahasia kecilku dermaga kayu yang lapuk itu. Dermaga tua yang tidak semua anak berani memijakinya karena sebagian kayunya sudah bolong, sebagian lagi berlumut. Tapi bagiku, di situlah aku menemukan tempat pulang pertama dalam hidupku.

Di dermaga itulah aku menulis catatan harian pertamaku. Di sanalah aku mengenal diam dengan cara yang paling sunyi dan ditemani oleh seseorang yang memahami diam itu dengan baik: Alam, sahabat kecilku, satu-satunya orang yang tahu isi halaman-halaman pertama buku catatanku.

Alam bukan anak yang banyak bicara. Ia lebih sering duduk bersamaku, diam-diam mengamati langit, memperhatikan awan yang lewat, atau menggambar kapal-kapal sederhana di atas pasir. Tapi ia memahami semua kalimat yang tak pernah bisa kuucapkan dengan sempurna. Setiap kali aku murung, Alam cukup duduk di sampingku, dan kami akan berbagi kerang atau sekadar menatap laut.

Aku masih ingat satu senja yang khusus, saat kami berdua duduk di ujung dermaga sambil menggantungkan kaki di atas air. Angin sore membelai rambutku, dan tanpa bicara panjang, Alam menyodorkan sebuah kerang kecil yang ia kumpulkan dari pantai.

“Untukmu, Laras,” katanya pelan, “kerang ini bentuknya tak sempurna, tapi warnanya cantik. Sama seperti kita. Kita mungkin tak sempurna, tapi ketika bersama… kita jadi indah.”

Usianya saat itu baru sembilan tahun, tapi kata-katanya menancap dalam sekali.

Hari-hariku selepas sekolah selalu dihabiskan di situ, di bawah cahaya keemasan matahari sore, di antara suara camar, debur ombak, dan kehadiran diam Alam. Bahkan ketika aku tak membawa apa pun, aku tahu cukup berjalan ke dermaga, duduk di situ, dan Alam akan muncul. Entah dari arah warung ibunya, atau dari kebun kelapa, selalu saja ia tahu aku ada di sana.

Buku catatan lama itulah yang menjadi saksi betapa sederhana tapi berharganya hari-hari kami. Kami menuliskan impian kami di sana: Alam ingin menjadi pelaut yang menjelajah samudera, sementara aku hanya ingin punya tempat pulang tak peduli sejauh apa aku pergi.

Catatan-catatan itu penuh coretan tangan bocah yang goyah tapi penuh harapan: gambar-gambar kapal sederhana, peta-peta negeri yang bahkan kami tak tahu benar letaknya dan puisi-puisi kecil yang kutulis tentang laut.

Aku tumbuh di antara tawa anak-anak kampung, main petak umpet di halaman rumah panggung tua, dan bermain layang-layang di pasir lapang tak jauh dari dermaga. Sore hariku penuh dengan kehangatan sederhana: aroma nasi yang dimasak ibu, suara bapak yang pulang membawa ikan di dalam ember besar serta pelukan lembut angin laut yang membelai pipiku sebelum tidur.

Alam adalah bagian dari semua itu. Ia tak sekadar sahabat; ia adalah tempat aku menaruh semua rahasia kecilku, semua sedihku, semua cita-citaku yang bahkan tak berani aku sebutkan pada bapak atau ibu.

Tapi hidup adalah serangkaian jeda dan jeda pertama yang merenggut aku dari dermaga itu adalah kepindahan keluargaku ke kota.

Aku masih ingat dengan jelas pagi itu. Aku berdiri memeluk erat Buku Langit, memandangi dermaga yang sunyi tanpa Alam di sisiku. Kami tak sempat berpamitan baik-baik. Ia hanya meninggalkan secarik kertas kecil di sudut meja warung ibuku.

“Aku akan menunggumu di dermaga ini, Laras. Aku janji.”

Kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuatku membawa janji itu dalam benakku bertahun-tahun.

Kini, dua puluh tahun kemudian, aku kembali. Jalanan pasir itu tetap sama. Bau asin bercampur kelapa bakar masih menusuk hidungku. Suara camar, desir ombak dan bau laut mengingatkanku pada semua yang pernah kubiarkan hilang.

Dermaga kayu itu masih berdiri, tapi tampak lebih rapuh. Beberapa bagiannya hilang, kayu-kayunya memutih dimakan garam dan waktu. Namun bagiku, dermaga itu tak pernah benar-benar pergi.

Di sinilah aku berdiri lagi, seorang perempuan dewasa dengan ransel tua di punggung, memeluk catatan masa kecil, mencoba merajut kembali jejak-jejak yang pernah tertinggal.

Dan di sini pula aku merasa seluruh langkah hidupku akhirnya benar-benar pulang meskipun aku belum tahu, apa yang akan kutemui berikutnya.

 

Catatan yang Tidak Pernah Usang

Kami menulis di sebuah buku catatan bersampul cokelat tua, yang kami beri nama “Buku Langit.” Nama itu lahir begitu saja, dari imajinasi sederhana dua anak kecil yang sering memandang langit sambil berbaring di atas papan dermaga. Langit bagi kami adalah kanvas besar tempat semua mimpi bisa tergambar dan Buku Langit adalah upaya kecil kami untuk menangkap serpihan-serpihan mimpi itu agar tak hilang ditiup angin.

Suatu sore ketika aku berusia delapan dan Alam sembilan tahun, ia menulis kalimat pertama di buku itu dengan pensil tumpul yang ujungnya hampir patah:

"Aku ingin menjadi pelaut, keliling dunia.”

Tulisannya tidak rapi, ada noda pasir di tepi kertasnya. Tapi aku bisa merasakan ketulusan cita-citanya, seperti aku bisa mendengar debur ombak bahkan saat tak ada suara. Aku membaca kalimat itu berulang-ulang, lalu menjawab di halaman berikutnya dengan tulisanku yang kecil dan agak miring:

"Aku hanya ingin jadi orang yang punya tempat pulang.”

Itu bukan sekadar jawaban polos seorang anak kecil. Dalam kata-kata itu tersembunyi rasa rinduku yang entah datang dari mana, mungkin karena aku sering melihat ayahku pergi melaut hingga berhari-hari, meninggalkan aku dan ibu di rumah kayu yang sederhana. Dalam kata-kata itu ada keinginan sederhana: memiliki tempat yang selalu siap menyambutku, bahkan jika aku sendiri belum tahu seperti apa tempat itu.

Setiap hari kami bertukar halaman Buku Langit. Aku menyelipkan daun kering yang aku pungut dari pekarangan ibu, daun jati yang besar dan berurat jelas. Alam menyisipkan kerang-kerang kecil yang bentuknya tak beraturan tapi bercahaya di bawah sinar matahari. Ada hari-hari ketika kami hanya menggambar: aku menggambar kupu-kupu yang beterbangan di atas pantai, Alam menggambar kapal layar dengan bendera yang mengepak tertiup angin.

Buku Langit menjadi lebih dari sekadar kertas dan tinta. Ia adalah cermin jiwa masa kecil kami, tempat kami menyimpan suara hati yang belum berani kami ucapkan keras-keras. Di dalam buku itu ada puisi-puisi kecil tentang hujan pertama di musim kemarau, cerita sederhana tentang ibu yang menyiapkan bekal nasi dan ikan asin atau gambaran tentang langit malam yang dihiasi bintang-bintang.

Di sela halaman-halaman itu, kami menulis rahasia kecil. Aku menulis tentang rinduku pada bapak yang sering tak pulang tiga atau empat hari karena melaut jauh. Alam menulis tentang keinginannya memberikan ibunya rumah yang lebih baik, rumah berdinding bata yang kokoh bukan bilik bambu yang bolong di beberapa sisi.

Kami tidak pernah berbicara langsung tentang cinta, meskipun aku tahu tanpa perlu kalimat apa pun bahwa cara Alam memandangku ketika senja datang sudah lebih dari cukup untuk menjawab. Saat langit berwarna oranye keemasan, ia hanya duduk diam di sampingku. Kadang ia memberikan secuil kerang kecil yang warnanya unik: jingga pucat, keabu-abuan dengan garis-garis halus. Katanya, “Kerang ini seperti senja. Kalau kamu simpan, kamu bisa membawa senja ke mana pun kamu pergi.”

Dan aku menyimpannya. Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu, kerang kecil itu tetap berada di dalam saku halaman pertama Buku Langit, menjadi pengingat masa kecil kami yang sederhana tapi bermakna.

Buku Langit menjadi tempat pelarian kami dari kerasnya kehidupan desa pesisir. Saat keluarga Alam sedang susah karena hasil tangkapan laut menurun, ia menulis: "Aku ingin esok cuaca baik. Ibu bilang kalau cuaca baik, ikan akan datang." Saat aku kesepian karena bapakku belum pulang dan ibu terlihat cemas di sudut warung, aku menulis: "Aku ingin esok bapak pulang dengan senyum."

Kami kecil, tapi catatan kami penuh doa. Doa yang sederhana tapi tulus, doa yang ditulis tanpa pretensi hanya kerinduan dua anak untuk merasa tenang, aman dan bahagia.

Setiap senja terasa lebih panjang ketika kami bersama. Kami sering duduk memandang langit, seolah menemukan ruang tanpa batas untuk berkhayal. Alam berkata padaku sekali waktu, “Langit itu seperti Buku Langit kita, Laras. Kalau kita terus menulis di dalamnya, langit akan terus punya tempat untuk cerita-cerita kita.”

Momen-momen kecil itu senyum tanpa kata, tatapan yang diam tapi hangat, tulisan-tulisan sederhana di atas kertas cokelat lusuh adalah benih dari kedekatan kami yang murni. Kami belum tahu apa arti kehilangan saat itu, belum tahu bahwa kehidupan kelak akan membawa jeda yang panjang. Yang kami tahu hanya satu: kami punya Buku Langit, dermaga tua dan senja yang tak pernah gagal datang setiap hari.

Dan meskipun waktu terus berjalan, aku percaya: catatan-catatan itu tidak akan pernah usang. Karena di dalamnya, aku menemukan versi terbaik dari diriku dan dari Alam. Versi yang polos, jujur, penuh harapan dan mengajarkan bahwa kebahagiaan bisa sesederhana duduk berdua di dermaga kayu, mencatat impian-impian kecil.

 

Ombak Pergi dan Tak Kembali

Waktu bergerak tanpa menunggu, seperti air laut yang tak bisa dihentikan meski hanya untuk sesaat. Usia 13 tahun menjadi batas antara hari-hari riangku di dermaga dengan hidup baru yang tak kupahami sepenuhnya.

Pagi itu, ibu menggenggam tanganku erat, matanya sembap tapi tegas. “Di kota ada sekolah yang lebih baik, Laras,” ucapnya sambil menyisir rambutku yang belum sempat kusisir rapi. Di suaranya ada getar yang membuatku sadar: ini bukan sekadar pergi, ini perpindahan yang akan membelah jalur hidupku.

Hari terakhir di dermaga, angin bertiup agak keras, membawa bau asin yang begitu akrab tapi kali ini terasa melankolis. Laut seolah lebih luas dari biasanya dan dermaga kayu itu berdiri dengan sunyi yang tak biasa. Di sana, Alam sudah menungguku.

Ia tidak membawa kata-kata manis atau hadiah yang rumit. Ia hanya duduk di ujung dermaga sambil memeluk Buku Langit. Kami diam cukup lama, hanya mendengarkan bunyi air yang berkejaran di bawah kaki kami. Tak ada yang tahu harus bicara apa pada saat perpisahan yang sesungguhnya.

Akhirnya ia merobek satu halaman terakhir Buku Langit dan menulis dengan pensil yang hampir habis:

"Jika kamu pulang suatu hari nanti, dermaga ini akan tetap ada meski aku mungkin tidak."

Ia menyelipkan halaman itu ke tanganku. Tidak ada pelukan, tidak ada tangisan hanya tatapan panjang yang tak mungkin kuterjemahkan dengan kata-kata.

Aku berjanji akan kembali. Aku berjanji akan mengirim surat, bercerita tentang kota besar, tentang sekolah baruku, tentang teman-teman baru. Tapi janji-janji itu perlahan hanyut bersama arus rutinitas yang tak memberiku ruang untuk bernapas panjang.

Kota tempatku tinggal adalah kebalikan dari Karangwangi. Jalanannya berlapis aspal panas yang memantulkan terik matahari, gedung-gedung tinggi mengaburkan langit yang dulu selalu penuh bintang di kampungku dan bau udara bercampur asap kendaraan menggantikan wangi kelapa bakar yang akrab.

Hari-hari sekolah penuh dengan jadwal yang padat. Ada les tambahan yang harus kuikuti, pekerjaan rumah yang menumpuk dan jarak tempuh yang panjang dengan bus kota yang sesak. Awalnya aku menulis surat-surat panjang untuk Alam. Kuceritakan bagaimana aku rindu suara debur ombak, tentang perpustakaan besar yang baru kukunjungi, tentang gedung sekolahku yang memiliki pendingin udara.

Surat-suratku penuh kerinduan sederhana. Aku membayangkan Alam duduk membaca surat-suratku di dermaga, sambil menunggu matahari tenggelam seperti dulu.

Tapi kehidupan di kota terus menuntut waktuku. Musim pertama berlalu, musim kedua datang tanpa sempat kuisi dengan surat baru. Aku mulai lupa bagaimana tepatnya suara ombak memecah karang, bagaimana bau ikan asin yang dikeringkan ibu-ibu di halaman rumah warga, bagaimana rasanya duduk di papan kayu yang sudah lapuk di dermaga tua.

Lama-lama aku hanya menyimpan janji dalam pikiran, tidak lagi dalam tindakan. Surat yang sudah kutulis setengah berhenti tanpa sempat selesai. Kerang kecil pemberian Alam yang selalu kusimpan dalam saku, kini tertinggal entah di mana. Buku Langit tergeletak di dalam laci, terjepit di antara buku pelajaran dan catatan matematika yang harus kupelajari untuk ujian.

Tahun-tahun berlalu cepat. Aku tumbuh menjadi remaja yang sibuk. Aku mulai punya teman baru, hobi baru, dan rutinitas baru yang sepenuhnya berbeda dari kehidupan di kampung. Namun, di sela-sela kesibukan itu, kenangan tentang Alam tetap tinggal seperti jangkar dalam dadaku. Jangkar itu kadang membuatku sesak, kadang membuatku hangat, tapi selalu mengingatkanku pada siapa aku sebelumnya.

Ada malam-malam ketika aku terjaga dan tiba-tiba merasa rindu pada langit penuh bintang yang dulu kami pandangi bersama. Pada malam-malam itu, aku sering mengambil Buku Langit dari dalam laci, membolak-balik halaman yang mulai menguning. Aku membaca lagi kalimat yang ia tuliskan dengan tangan kecilnya:

"Jika kamu pulang suatu hari nanti, dermaga ini akan tetap ada meski aku mungkin tidak."

Kalimat itu menjadi semacam mantra yang aku ulang-ulang dalam hati. Aku tak tahu apakah dermaga itu sungguh akan tetap ada. Aku tak tahu apakah Alam masih duduk di sana, menungguku, menuliskan halaman-halaman baru sendirian. Aku bahkan tak tahu apakah ia sehat-sehat saja.

Waktu terus melaju tanpa menoleh. Aku beranjak dewasa, mulai menggapai impian yang dulu hanya ada di halaman Buku Langit. Namun ada bagian dariku yang tetap tertambat di dermaga itu. Ada bagian kecil dari jiwa kanakku yang belum berpindah, yang tetap duduk berdampingan dengan Alam sambil memandang senja.

Aku menunda-nunda kepulangan karena selalu ada alasan. Sekolah. Ujian. Teman-teman baru. Hingga tanpa terasa, sepuluh tahun berlalu. Dermaga yang dulu lapuk mungkin kini sudah hilang, ditelan karang atau tergantikan oleh pelabuhan baru. Alam mungkin sudah menjadi orang yang berbeda. Atau mungkin, seperti yang sering diam-diam aku takutkan, ia sudah benar-benar tiada.

Namun ada satu yang pasti: meski jarak memisahkan kami begitu jauh, meski waktu terus mengikis kenangan menjadi samar-samar, jejak kenangan kami tak pernah benar-benar hilang. Setiap kali aku teringat pada Buku Langit, aku tahu: di sanalah semua yang paling penting tentangku tertulis, termasuk halaman terakhir yang belum sempat kutuliskan.

Kini aku kembali berdiri di hadapan lautan yang sama, dermaga yang sama, tapi aku bukan lagi Laras kecil. Aku datang membawa ransel tua yang sama, membawa Buku Langit yang dulu menjadi tempat mimpi-mimpi sederhana kami.

Dan meski semuanya terasa asing, aku merasa langkahku akhirnya benar-benar pulang meskipun aku belum tahu, apa yang akan kutemui berikutnya.

 

Pulang yang Terlambat

Kini aku berdiri lagi di dermaga itu, dua puluh tahun kemudian. Pagi yang lembut memeluk pesisir Pantai Karangwangi, tetapi di mataku segalanya terasa asing. Dermaga itu masih ada, meskipun tubuh kayunya sudah ringkih, lapuk dimakan waktu dan garam. Beberapa papan hilang, meninggalkan lubang-lubang kecil yang memantulkan suara air di bawahnya.

Warung-warung kecil yang dulu ramai kini berkurang separuhnya, atap sengnya berkarat, cat temboknya mengelupas dimakan panas dan hujan. Aroma kelapa bakar dan kopi hitam yang dulu mengisi udara kini tergantikan bau asin laut yang lebih dominan. Orang-orang menatapku dengan pandangan heran. Mereka tak mengenalku lagi. Wajah-wajah yang dulu akrab telah berubah, berganti dengan wajah-wajah baru atau mungkin hanya lupa karena waktu terlalu lama menghapus bekas.

Aku menyusuri tepian dermaga dengan langkah perlahan. Hatiku berdetak aneh: ada kerinduan yang menyakitkan sekaligus kelegaan aneh karena akhirnya aku kembali. Aku berhenti di sebuah warung kecil yang menjual kelapa muda. Di sana duduk seorang ibu tua yang wajahnya terasa samar-samar kukenal. Garis-garis di wajahnya dalam, rambutnya putih semua, matanya teduh namun lelah.

Aku memberanikan diri bertanya dengan suara nyaris bergetar, “Bu, maaf… saya mencari seseorang. Namanya Alam. Dulu dia tinggal di sini, anak seorang janda yang suka menyeduh kopi…”

Ibu tua itu memandangku lama. Sorot matanya meredup pelan. Mulutnya mengatup rapat sebelum akhirnya terbuka pelan.

“Alam…” gumamnya lirih, seolah nama itu sendiri membawa beban kenangan.

“Alam sudah pergi lama, Nak,” katanya akhirnya, suaranya serak tapi lembut. “Ia bekerja di kapal setelah ibunya meninggal beberapa tahun setelah kamu pindah. Bekerja keras, katanya ingin melihat dunia. Tapi enam tahun lalu badai besar datang… kapalnya hilang. Tidak pernah ada kabar lagi sampai sekarang.”

Kalimat sederhana itu menghantamku lebih keras dari ombak.

Aku terdiam, dan dalam diam itu segala yang kutahan selama ini runtuh di dalam dada. Dadaku terasa sesak. Angin pantai yang biasanya terasa menyegarkan, kini seperti pisau-pisau kecil yang menusuk lembut kulitku.

Ibu tua itu masih melanjutkan, “Alam anak yang baik. Setiap senja duduk di dermaga ini. Kadang bawa buku kecil yang katanya dulu kamu beri. Duduk diam, menulis. Orang-orang di sini ingat betul, Laras. Ia selalu bilang, ‘Aku cuma menunggu teman kecilku pulang.’”

Aku menatap dermaga yang diam, seolah dermaga itu juga tahu semua cerita tapi tak sanggup mengucapkannya.

Ia tak ada lagi. Dermaga tetap ada. Laut tetap ada. Tapi Alam… Alam telah menjadi bagian dari lautan itu sendiri. Bagian dari gelombang yang terus datang dan pergi, bagian dari angin yang menyapa wajah-wajah nelayan yang pulang terlambat, bagian dari langit jingga yang setiap sore menghampiri Pantai Karangwangi.

Aku berjalan lagi ke ujung dermaga, tempat di mana kami biasa duduk berdampingan. Aku menatap tempat kosong di sebelahku yang dulu selalu diisi tubuh kecilnya, diam tapi hangat. Aku membayangkan ia masih di sana, duduk dengan kaki menggantung ke laut, memegang Buku Langit, menunggu aku datang.

Orang-orang di kampung ini telah lupa siapa aku. Warung-warung yang dulu menjadi tempat aku bercengkerama sudah nyaris hilang. Tapi aku sadar: dermaga ini tidak pernah benar-benar melupakan siapa yang pernah duduk di atasnya.

Aku duduk di sana lama, mendengarkan suara ombak memukul tiang-tiang kayu rapuh. Ada rasa sesal yang terlalu dalam untuk diungkapkan. Sesal karena aku datang terlambat. Sesal karena surat-suratku berhenti terlalu cepat. Sesal karena membiarkan jarak dan waktu menjadi jurang yang tak sempat kututup kembali.

Di tanganku, Buku Langit terasa berat, bukan hanya karena usianya yang tua, tapi juga karena semua kenangan dan kata-kata yang tersimpan di dalamnya. Aku membuka halaman-halamannya perlahan. Di sana ada tulisan tangan kecil kami, mimpi-mimpi sederhana dan di antara semua itu ada kalimat terakhir yang Alam tuliskan bertahun-tahun lalu:

“Jika kamu pulang suatu hari nanti, dermaga ini akan tetap ada meski aku mungkin tidak.”

Kini aku mengerti. Alam menulis kalimat itu bukan hanya sebagai janji, tapi sebagai pelajaran: tempat bisa tetap ada, tetapi orang bisa hilang. Yang tersisa hanya kenangan dan catatan yang kita tinggalkan di dalam hati orang lain.

Aku menarik napas panjang, membiarkan udara asin memenuhi paru-paruku. Sambil menutup mata, aku berkata dalam hati, “Aku sudah pulang, Alam. Meski kau tak ada lagi di sini, aku tahu dermaga ini menyimpan jejakmu. Aku terlambat, tapi aku tetap kembali.”

Dan pada senja itu, aku duduk lama. Seolah mengobrol dengan angin dan debur laut, seolah berbagi cerita pada tiang-tiang dermaga yang dulu jadi saksi bisu persahabatan kami.

Aku tahu sekarang: meski pulangku terlambat, dermaga ini tidak pernah berhenti menungguku. Dan di situlah aku akan duduk, memeluk semua kenangan yang kini menjadi satu-satunya bentuk pertemuanku dengan Alam.

 

Surat yang Tertinggal

Aku pulang ke rumah warisan ibuku yang berdiri senyap di ujung jalan kecil yang dulu begitu ramai dengan tawa anak-anak. Rumah kayu tua itu kini tampak ringkih, catnya memudar, kusen jendelanya retak di beberapa sisi. Namun ada kehangatan yang masih tertinggal di dalamnya: bau kayu tua yang lembab, aroma samar anyaman tikar pandan dan cahaya lembut yang masuk lewat celah-celah dinding.

Satu-satu aku membuka laci-laci yang pernah disusun ibuku dengan penuh kasih. Di dalam salah satu laci meja kayu tua di ruang tamu, aku menemukan Buku Langit yang dulu kutinggalkan ketika pergi. Sampul cokelatnya sudah berdebu, warnanya lebih kusam dari yang kuingat, tapi ketika aku menyentuhnya, ada getar aneh di dalam dadaku seolah waktu mundur, membawaku kembali pada diri kecilku.

Aku duduk di lantai, membiarkan cahaya sore masuk menimpa halaman-halaman yang mulai menguning. Setiap tulisan di dalamnya mengingatkanku pada masa kecil yang sederhana: puisi-puisi polos, gambar kapal layar Alam yang belum sempurna, catatan harian kami tentang hujan, angin, dan gelombang yang dulu terasa begitu dekat.

Lalu, di sela-sela halaman terakhir, aku menemukan satu surat yang terlipat rapi. Surat yang sepertinya sudah lama diselipkan di sana, tapi aku sendiri tak pernah tahu keberadaannya. Jantungku berdetak cepat saat membukanya. Tulisannya kukenal baik: huruf-huruf Alam yang agak miring, sederhana, namun jelas dan bersih.

"Laras, aku sering duduk di dermaga menunggumu. Aku tahu kau mungkin tak kembali, tapi dermaga ini mengajariku satu hal: kesetiaan bukan pada hadirnya seseorang, tapi pada sabarnya menunggu tanpa batas."

Tanganku gemetar saat membaca kalimat itu. Kata-kata sederhana tapi dalam maknanya. Seolah ia menuliskan seluruh isi hatinya dengan satu tarikan napas. Tak ada keluhan, tak ada amarah atas ketidakhadiranku yang lama; hanya keikhlasan yang begitu besar, yang hanya bisa dimiliki oleh orang yang benar-benar mencintai dalam diam.

Aku menangis malam itu. Tangisku tumpah bukan hanya karena kehilangan Alam, tapi juga karena kehilangan diriku sendiri yang dulu pernah menjanjikan pulang tapi tak pernah benar-benar menepatinya.

Aku menangis untuk diri yang terlambat, terlambat memahami arti pulang, terlambat menyadari betapa dermaga itu telah menjadi tempat sakral bagi kenangan kami.

Aku menangis untuk surat yang tidak sempat kubalas, surat yang diam-diam menjadi saksi bagaimana Alam tetap setia menjaga dermaga itu meski aku tak pernah muncul. Dalam surat itu, aku menemukan cinta yang tak pernah diucapkan, kesetiaan yang bahkan tak pernah kutahu wujudnya sampai kini.

Dan aku menangis untuk dermaga yang menjadi saksi dari segalanya, tempat kami mencatat impian, tempat kami belajar membaca langit, tempat kami duduk berdampingan di senja terakhir sebelum aku pergi.

Di dalam rumah kecil itu, aku menyalakan lampu minyak kecil di meja tua peninggalan ibu. Aku menatap nyalanya yang bergetar lembut, lalu kuletakkan Buku Langit dan surat terakhir itu di hadapanku. Aku membayangkan Alam duduk di hadapanku malam itu, diam tapi hangat seperti biasa, mengajakku bercakap-cakap tanpa banyak kata.

Aku teringat betapa sederhananya hidup yang pernah aku jalani di sini: ibu yang selalu memastikan aku makan sebelum pergi sekolah, bapak yang mencium kepalaku sepulang melaut meski lengannya lelah, Alam yang diam-diam selalu memperhatikanku saat aku sibuk menulis di dermaga.

Kehidupan sehari-hari yang dulu kuanggap sederhana ternyata menyimpan makna yang luar biasa. Tawa di warung ibu, langkah kaki kecil di jalan pasir, debur ombak di sela percakapan senja, dan sekarang… surat yang baru saja kubuka, semua itu adalah jejak kenangan yang menyala, menyala pelan tapi abadi di sudut hatiku.

Malam itu aku berjanji dalam hati: dermaga ini tidak akan lagi menjadi tempat yang hanya kutuju dalam angan-angan. Aku akan kembali, bukan hanya sebagai Laras yang pulang karena sesal, tapi sebagai Laras yang ingin menjaga semua yang pernah memberi makna.

Karena aku tahu, seperti yang ditulis Alam: kesetiaan tidak terletak pada kehadiran seseorang, tapi pada sabarnya menunggu tanpa batas.

Dan kini, tugasku bukan hanya menunggu, tapi juga menjaga… menjaga cerita ini tetap hidup meski yang kami tunggu tak lagi kembali.

 

Jejak yang Menyala

Keesokan harinya, matahari pagi menyusup malu-malu dari balik awan, mencium wajah kampung Karangwangi yang senyap. Aku berjalan perlahan menuju dermaga, melewati jalur pasir yang dulu akrab di telapak kakiku. Setiap langkah terasa berat namun penuh makna, seperti menapaki kembali cerita lama yang ingin kuselesaikan.

Di tangan kiriku, Buku Langit kupeluk erat di dada. Aku menatapnya lama, membelai sampul cokelat yang sudah retak-retak itu dengan ibu jari. Rasanya seperti menyentuh seluruh kenangan masa kecil sekaligus: saat pertama aku dan Alam menulis cita-cita sederhana, saat kami menggambar kapal dan layang-layang dan saat kami saling menyisipkan daun dan kerang sebagai tanda persahabatan yang diam tapi hangat.

Ketika aku sampai di ujung dermaga, tiang-tiang kayu di bawahnya berderit pelan, seolah menyapa. Suara debur ombak mengiringi langkahku dan angin pantai menyibak rambutku ke belakang, membelai wajahku lembut. Di sini, di tempat kami dulu duduk bersisian, aku duduk sendirian kali ini tetapi entah mengapa aku tidak merasa sendiri.

Aku menarik napas panjang, membuka halaman terakhir yang masih kosong di Buku Langit. Tanganku sempat gemetar, bukan karena dingin angin laut, tetapi karena semua perasaan yang tak tertuliskan dalam dua puluh tahun terakhir mendadak tumpah di dadaku.

Dengan hati-hati aku menulis, membiarkan setiap kata menjadi jembatan menuju masa lalu dan perpisahan yang tak sempat terjadi:

"Aku pulang, Alam. Mungkin terlambat, tapi catatan ini akan tetap hidup. Dermaga ini akan menjadi tempat kita abadi."

Aku menulis perlahan, membiarkan ujung pensil tumpulku menggoreskan bukan hanya huruf, tetapi juga seluruh rindu, sesal, dan cinta yang diam-diam kupelihara selama ini.

Sore itu, orang-orang kampung mulai memperhatikanku dari kejauhan. Beberapa anak kecil duduk di pasir sambil memandangku dengan rasa ingin tahu; seorang nelayan tua berhenti memintal jaring dan hanya berdiri diam menatapku. Ibu tua penjual kelapa muda duduk di bangku kayu warungnya sambil menggenggam gelas teh yang uapnya sudah habis.

Aku tahu mereka tak perlu kata-kata penjelasan. Aku hanya orang asing yang pulang, tapi dermaga ini, dermaga yang menjadi saksi langkah-langkah kecilku dulu memahami semua yang tak terucap.

Saat senja tiba, langit di Karangwangi menyala jingga keemasan. Aku menyalakan lilin kecil yang kubawa, meletakkannya di sudut papan dermaga yang paling lapuk. Api kecil itu berkedip-kedip diterpa angin pantai, tetapi tetap menyala dengan gagah, seolah juga ingin ikut mengabadikan momen ini.

Angin sore memukul wajahku pelan-pelan, lembut seperti genggaman tangan Alam yang dulu sering kurindukan. Angin itu membawa bau laut, bau rumah, bau kenangan yang menempel erat pada setiap butir pasir dan kayu lapuk dermaga ini.

Aku menundukkan kepala sebentar, memejamkan mata, membiarkan air mataku jatuh diam-diam ke papan kayu yang dingin. Aku tak bisa membawa Alam kembali, tapi aku bisa membuat dermaga ini tetap hidup. Dalam Buku Langit, dalam kenangan orang-orang yang masih tinggal di sini, dalam cerita yang kelak akan kuceritakan pada siapa pun yang bertanya tentang bangku kosong di ujung dermaga ini.

Orang-orang di kampung mulai bergerak mendekat. Seorang anak kecil, kira-kira seusia kami ketika dulu menulis halaman pertama di Buku Langit, duduk di sampingku tanpa bicara. Tangannya kecil, polos, menggenggam sebongkah kerang putih yang ia letakkan di sebelah lilin kecilku.

Aku tersenyum pada anak itu, merasakan semacam kelegaan yang sulit diucapkan. Mungkin kelak anak-anak ini akan menanyakan siapa Laras dan siapa Alam. Mungkin dermaga ini akan menjadi legenda sederhana tentang dua anak kecil yang saling berjanji dan menulis mimpi bersama.

Dan mungkin, tanpa sadar, aku sedang mewariskan jejak yang menyala, jejak sederhana yang mengajarkan tentang pulang, tentang setia, dan tentang cinta yang meskipun tak selalu hadir dalam wujud nyata, tetap bertahan dalam sabarnya menunggu.

Senja itu, api kecil lilin di ujung dermaga tetap menyala meski angin pantai terus-menerus datang. Api itu menjadi simbol bagi siapa saja yang lewat: bahwa ada cinta yang tak lekang oleh waktu, ada kesetiaan yang tidak membutuhkan saksi, hanya membutuhkan kesediaan untuk tetap bertahan dalam diam.

Aku menatap api kecil itu hingga langit menjadi biru tua, dan di balik keremangan itu aku tahu: jejak kenangan ini akan terus menyala, bahkan ketika aku kelak tak ada di sini lagi.

 

Hidup yang Mengajariku Pulang

Setiap sore kini, aku duduk di warung kopi kecil milik ibu tua yang dulu pernah kuceritakan. Warung sederhana dengan bangku-bangku kayu yang mulai rengkah, atap seng berkarat, dan meja kayu yang selalu dilap bersih meski sudah penuh noda waktu. Wangi kopi hitam menyatu dengan semilir angin laut yang membawa asin dan bau karang. Di sudut warung, ada kendi tanah liat berisi air dingin yang selalu terisi penuh.

Aku duduk di bangku panjang, memandang dermaga yang tetap setia berdiri meski lebih banyak lubang dan retak di kayunya. Dermaga itu kini bukan hanya milikku atau Alam tetapi menjadi ruang berbagi cerita bagi siapa pun yang ingin mendengarkan.

Anak-anak kecil sering berkumpul di sekitarku, duduk bersila dengan mata penuh ingin tahu. Mereka datang setelah bermain layang-layang atau selesai membantu orang tuanya membawa ember air dari sumur. Baju mereka lusuh, tapi wajah mereka penuh antusias. Mereka menyebutku "Kak Laras", dan aku menerima panggilan itu dengan hati yang lebih lapang dari sebelumnya.

Aku bercerita kepada mereka tentang dermaga tua yang dulu menjadi panggung rahasia masa kecilku, tentang sahabatku Alam yang hilang bersama badai, tentang Buku Langit yang menyimpan jejak sederhana tapi penuh makna.

“Dulu aku duduk di dermaga itu bersama seorang sahabat,” kataku pada mereka suatu sore. “Kami menulis mimpi-mimpi kami, menukar cerita-cerita kecil, menulis rahasia yang hanya kami berdua tahu.”

Anak-anak mendengarkan tanpa berkedip. Beberapa dari mereka terkadang memeluk lututnya sendiri, seolah mencoba memahami kenangan yang tak mereka alami, tapi dapat mereka rasakan melalui kata-kataku.

Suatu hari, seorang anak perempuan kecil dengan rambut diikat dua bertanya padaku dengan suara lirih, polos, dan penuh ketulusan:

“Kak Laras, apakah cinta itu masih ada meski orangnya sudah pergi?”

Pertanyaan itu menghantam lembut dadaku. Aku memandangnya lama, mencoba menyusun kata yang tidak hanya menjadi jawaban sederhana, tapi juga bisa menjadi pegangan kecil bagi jiwanya yang sedang belajar memahami kehilangan.

Aku tersenyum, lalu menjawab perlahan, memastikan kata-kata ini meresap bukan hanya untuknya, tapi juga untuk diriku sendiri:

“Cinta tidak pernah pergi. Ia tinggal di tempat-tempat yang pernah kita beri makna. Di dermaga ini, cinta akan selalu ada."

Anak kecil itu mengangguk, meski aku tidak yakin apakah ia benar-benar memahami makna yang dalam di balik kalimatku. Tapi aku tahu, kelak ketika ia dewasa, kata-kata itu mungkin akan kembali dalam ingatannya.

Hidup mengajariku pulang dengan caranya sendiri: tidak selalu dengan kehadiran yang utuh, tapi dengan penerimaan pada apa yang telah hilang. Aku belajar bahwa kadang kita tidak bisa memiliki segalanya, tidak bisa memperbaiki semua yang tertunda, tapi kita bisa memilih untuk merawat jejak yang pernah memberi makna.

Setiap sore aku menyalakan lampu minyak kecil di sudut meja warung. Nyala temaramnya menjadi pengganti lilin yang dulu kutaruh di ujung dermaga. Dan anak-anak mulai ikut-ikutan: mereka membawa cangkang kerang kecil, potongan ranting, atau batu karang yang mereka anggap “cantik” untuk menghias sudut warung ini.

Warung kopi ibu tua itu perlahan berubah menjadi ruang kenangan yang hidup. Orang-orang dewasa juga mulai mampir, duduk sebentar sambil menyeruput kopi pahit dan berbagi kisah. Mereka bercerita tentang laut, tentang kehilangan, tentang anak-anak mereka yang pergi merantau, dan tentang hujan yang turun lebih awal dari biasanya.

Aku mendengarkan mereka semua, sambil sesekali memandang dermaga tua yang tetap berdiri dalam diamnya. Dan aku merasa, meski hidup telah membawaku pergi jauh, tempat ini selalu punya cara untuk menarikku kembali.

Hidup tidak lagi kuukur dari seberapa banyak tempat baru yang kudatangi. Hidup kuukur dari seberapa dalam aku mampu memberi makna pada tempat yang selalu menyambutku pulang, tempat yang mengajarkan bahwa cinta sejati bisa tinggal diam-diam dalam udara, dalam kayu lapuk, dalam gelombang yang tak pernah berhenti datang dan pergi.

Senja menjelang, anak-anak perlahan pulang satu per satu, ibu tua pemilik warung membersihkan meja-meja yang tersisa, dan aku duduk sendiri sambil memeluk Buku Langit yang kini sudah penuh. Tapi hatiku tak lagi merasa kehilangan seperti dulu.

Karena aku tahu, di dermaga ini, jejak kenangan kami telah menyala.

 

Epilog: Cahaya yang Tetap Menyala

Lima tahun berlalu sejak aku kembali ke Karangwangi. Dermaga tua yang dulu lapuk kini telah direnovasi oleh tangan-tangan warga dengan gotong royong sederhana: papan-papan kayu baru menggantikan yang sudah patah, tiang-tiangnya diperkuat agar bisa menahan gelombang lebih lama. Namun mereka tidak menggantinya seluruhnya masih ada bagian dermaga yang dibiarkan dalam warna tuanya, sebagai tanda bahwa waktu dan kenangan pernah menjejak di sana.

Di ujung dermaga itu, sebuah bangku kayu sederhana dipasang menghadap laut, tempat orang-orang bisa duduk menikmati senja dan mendengarkan debur ombak. Bangku itu tidak diberi nama, tidak ada plakat besar, tidak ada tanda khusus yang menceritakan siapa pernah duduk di sana. Hanya sepotong bangku kayu, dengan goresan waktu dan sentuhan tangan warga desa.

Namun mereka yang sudah sering mendengar ceritaku tahu: di bangku itulah aku sering duduk setiap sore, memeluk Buku Langit yang kini penuh tulisan, gambar dan lembaran tua yang nyaris rapuh, sambil membisikkan cerita pada laut yang terus bergerak tanpa henti.

Kadang orang-orang baru datang, duduk di bangku itu, bertanya padaku yang duduk tidak jauh: “Mengapa kau selalu kembali ke sini? Apa yang kau cari di dermaga ini?”

Aku hanya tersenyum. Tidak selalu aku menjelaskan. Karena sebagian cerita memang hanya pantas disimpan di dalam dada, diserahkan pada ombak, diceritakan hanya pada senja.

Dalam hati aku sering membisikkan jawaban yang hanya aku dan langit tahu: “Kami hanya dua anak kecil yang pernah saling berjanji untuk kembali, dan dermaga ini adalah janji itu yang tetap berdiri.”

Anak-anak desa kadang datang menghampiriku, membawa kerang yang mereka kumpulkan, menaruhnya di sebelah kakiku di bangku dermaga. Mereka tahu bahwa aku selalu mengumpulkan kerang di sana, seolah melanjutkan kebiasaan lama yang dulu kulakukan bersama Alam. Ada yang bertanya polos, “Kak Laras, kenapa Kakak selalu menunggu di sini?” Aku menjawab, “Karena tempat ini mengajarkan aku bagaimana menunggu dengan sabar dan merawat kenangan dengan cinta.”

Waktu boleh berjalan maju, usia bertambah, wajah-wajah baru datang dan pergi. Namun aku selalu tahu: bayang Alam tetap tinggal di antara jeda napasku, hadir dalam tiupan angin laut, dalam siluet senja yang membias di permukaan air, dalam suara camar yang sesekali melintas di atas dermaga.

Setiap senja yang menggantung, aku masih duduk di sana. Kadang sendiri, kadang ditemani anak-anak kecil yang mendengarkan kisahku, kadang ditemani nelayan tua yang duduk diam sambil menyeruput kopi hitam. Tidak ada patung atau tanda yang menyebut nama kami, tapi dermaga ini sendiri adalah penanda yang abadi, tempat kenangan hidup tanpa perlu diucapkan.

Karena dermaga ini, laut ini, dan jejak-jejak yang dulu kutinggalkan bersama Alam… akan selalu menyala.

Bukan cahaya yang terang, bukan cahaya yang memancar untuk dunia melihat, tapi cahaya kecil yang tenang yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang tahu bagaimana menghargai cerita sederhana.

Dan dalam cahaya senja itu, aku selalu percaya: jejak kenangan kami akan terus hidup, bahkan ketika aku tak lagi duduk di bangku kayu di ujung dermaga ini.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Sebuah Dermaga untuk Pulang
Tresnaning Diah
Cerpen
Bronze
Hampir Jadi Mantu: Sebuah Kenangan
Cahyana Endra Purnama
Cerpen
UITDF
Hary Silvia
Cerpen
KISAH DI BALIK HUJAN
Penulis N
Cerpen
Bronze
Setelah Malin Menjadi Batu: Doa Uni Salamah
Jasma Ryadi
Cerpen
Api Luka Dan Kesuksesan
LISANDA
Cerpen
Bronze
Ujung Fajar
Utia Nur Hafidza Rizkya Ramadhani
Cerpen
Bronze
Selimut Tidak Pernah Kering
Titin Widyawati
Cerpen
Petasan Yang Kontroversial
Yovinus
Cerpen
FINE
eSHa
Cerpen
Bronze
Persimpangan di Stasiun Kereta
AnotherDmension
Cerpen
Impian Sang Burung
Celica Yuzi
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
Mutasi
Nadya Wijanarko
Cerpen
Bronze
Kakek dan Bisma
Anggrek Handayani
Rekomendasi
Cerpen
Sebuah Dermaga untuk Pulang
Tresnaning Diah
Cerpen
Melesat Sat Set: Di Antara Peluh, Paket, dan Perjuangan Tanpa Batas
Tresnaning Diah
Cerpen
Barang Biasa, Cerita Luar Biasa
Tresnaning Diah
Cerpen
Hal-Hal yang Tidak Pernah Kupelajari dari Ibu
Tresnaning Diah
Cerpen
Dalam Setiap Musim, Aku Memilihmu
Tresnaning Diah
Cerpen
Putus, Tapi Nggak Putus Asa
Tresnaning Diah