Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Sebuah Catatan Galau
0
Suka
14
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hujan selalu punya cara untuk membuat segalanya terasa lebih melankolis. Apalagi hujan di bulan Juni, bulan yang seharusnya dipenuhi dengan kehangatan mentari dan semangat liburan. Namun, di beranda kamarku, hanya ada genangan air dan perasaan yang lebih keruh dari kopi yang lupa kuseduh.

Namaku Seno, dan aku sedang berkutat dengan kegalauan tingkat dewa. Bukan tentang tugas kuliah yang menumpuk, atau masalah keuangan yang selalu datang menghantui di akhir bulan. Tapi tentang hati yang patah, remuk redam, karena sebuah nama: Aira.

Aira, gadis dengan senyum sehangat mentari pagi, mata seindah rembulan malam, dan suara semerdu alunan gitar akustik. Dia adalah alasan kenapa aku semangat menjalani hari, kenapa aku rela begadang mengerjakan tugas, dan kenapa aku rela mengantri panjang demi mendapatkan tiket konser band favoritnya.

Tapi, itu dulu. Dulu, saat kami masih bersama. Sekarang, Aira hanyalah sebuah nama yang bersemayam di sudut hatiku yang paling sakit. Nama yang selalu berhasil membuatku meneteskan air mata, setiap kali kuingat.

Dua minggu lalu, Aira memutuskan hubungan kami. Alasannya sederhana, namun menghancurkan: "Aku merasa kita sudah tidak cocok lagi."

Klise, memang. Tapi, kata-kata itu mampu merobek hatiku menjadi jutaan keping. Aku mencoba mencari tahu apa yang salah. Apakah aku kurang perhatian? Apakah aku terlalu posesif? Atau apakah aku terlalu membosankan?

Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untuknya. Aku selalu berusaha membuatnya bahagia. Tapi, ternyata, semua usahaku sia-sia.

Sekarang, aku hanya bisa meratapi nasib di beranda kamar, ditemani rintik hujan yang semakin deras. Aku membuka laptopku dan mulai mengetik. Mencoba menuangkan segala kegalauan yang berkecamuk di dalam dada.

Catatan 1:

Hujan selalu mengingatkanku pada Aira. Dulu, saat masih bersamanya, kami sering menikmati hujan bersama. Berpayung satu, berjalan beriringan, sambil bercerita tentang segala hal. Sekarang, hujan hanya membuatku semakin merindukannya.

Catatan 2:

Aku mencoba menghubungi Aira, tapi tidak pernah diangkat. Aku mengirim pesan, tapi hanya dibaca tanpa balasan. Aku merasa seperti orang bodoh yang terus mengejar sesuatu yang sudah hilang. Mungkin, aku memang harus merelakannya pergi.

Catatan 3:

Aku mencoba mencari pelarian. Aku pergi ke tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi bersama. Taman kota, kedai kopi, bioskop. Tapi, semua itu hanya membuatku semakin sakit. Semua tempat itu dipenuhi dengan kenangan tentang Aira.

Catatan 4:

Aku bertemu dengan teman-temanku. Mereka mencoba menghiburku, memberikan semangat, dan menyuruhku untuk move on. Aku tahu mereka tulus, tapi rasanya sulit sekali untuk melupakan Aira. Dia sudah terlalu dalam tertanam di hatiku.

Catatan 5:

Aku mencoba melakukan hal-hal yang dulu aku sukai. Membaca buku, menonton film, bermain game. Tapi, semua itu terasa hambar tanpa Aira di sisiku. Aku kehilangan minat pada segala hal.

Catatan 6:

Aku bermimpi tentang Aira. Dalam mimpiku, kami masih bersama, bahagia seperti dulu. Aku terbangun dengan air mata yang membasahi pipi. Aku berharap mimpi itu bisa menjadi kenyataan.

Catatan 7:

Aku mulai menulis puisi. Menuangkan segala perasaan dan emosiku ke dalam kata-kata. Mungkin, dengan menulis, aku bisa sedikit meringankan beban di hatiku.

Catatan 8:

Aku menyadari, hidup tidak berhenti hanya karena Aira pergi. Aku masih punya keluarga, teman-teman, dan mimpi-mimpi yang harus ku kejar. Aku tidak boleh terus-terusan terpuruk dalam kesedihan.

Catatan 9:

Aku mulai menerima kenyataan. Bahwa Aira bukan lagi milikku. Bahwa kami tidak mungkin bersama lagi. Bahwa aku harus merelakannya pergi.

Catatan 10:

Aku mulai memaafkan Aira. Memaafkan dirinya sendiri, dan juga diriku sendiri. Aku percaya, semua yang terjadi pasti ada hikmahnya.

Catatan 11:

Aku mulai menatap masa depan. Dengan harapan baru, semangat baru, dan hati yang baru. Aku percaya, suatu saat nanti, aku akan menemukan cinta yang baru, yang lebih baik dari Aira.

Catatan 12:

Hujan masih turun. Tapi, kali ini, aku tidak lagi merasa sedih. Aku merasa tenang, damai, dan penuh harapan. Aku tahu, badai pasti akan berlalu. Dan setelah badai, akan ada pelangi yang indah.

Aku menutup laptopku. Hujan mulai reda. Mentari mulai menampakkan sinarnya. Aku tersenyum. Ya, aku harus bangkit. Aku harus melanjutkan hidupku. Aku harus mencari kebahagiaanku sendiri.

Mungkin, hujan di bulan Juni ini adalah berkah terselubung. Berkah yang mengajarkanku tentang arti cinta, patah hati, dan harapan. Berkah yang membuatku menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih menghargai hidup.

Aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju jendela. Aku menatap langit yang cerah. Aku menarik napas dalam-dalam dan berteriak sekuat tenaga: "Aku akan baik-baik saja!"

Dan ya, aku tahu, aku pasti akan baik-baik saja.

Beberapa minggu berlalu. Hari-hariku mulai terasa lebih ringan. Aku masih ingat Aira, tentu saja, tapi kenangan itu tidak lagi menyakitkan seperti dulu. Kini, kenangan tentangnya lebih terasa seperti nostalgia, sebuah babak dalam hidup yang telah selesai kutulis.

Aku mulai fokus pada kuliah. Aku mengejar ketertinggalanku, mengerjakan tugas-tugas yang sempat terbengkalai, dan aktif berdiskusi dengan teman-teman. Aku menyadari bahwa belajar bisa menjadi pelarian yang positif, mengalihkan perhatianku dari kesedihan dan mengisi waktuku dengan kegiatan yang bermanfaat.

Aku juga mulai kembali menekuni hobiku, bermain gitar. Dulu, Aira selalu menemaniku saat aku bermain gitar. Dia selalu memberikan semangat dan memuji permainanku. Sekarang, aku bermain gitar untuk diriku sendiri, untuk mengekspresikan perasaanku, dan untuk menghibur diriku sendiri.

Suatu sore, aku sedang bermain gitar di taman kota. Tanpa sengaja, aku bertemu dengan seorang gadis. Gadis itu duduk di bangku taman, mendengarkan permainanku dengan seksama. Setelah aku selesai bermain, gadis itu menghampiriku.

"Permainanmu bagus sekali," katanya dengan senyum ramah. "Aku suka sekali mendengarkanmu bermain gitar."

Aku tersenyum. "Terima kasih. Kamu siapa?"

"Namaku Risa," jawabnya. "Aku mahasiswa seni musik. Aku sering datang ke taman ini untuk mencari inspirasi."

Aku dan Risa mulai mengobrol. Ternyata, kami memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama suka musik, seni, dan buku. Kami juga sama-sama memiliki impian untuk menjadi musisi yang sukses.

Sejak saat itu, aku dan Risa menjadi teman dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, bermain musik, berdiskusi tentang seni, dan saling bertukar pikiran. Risa selalu memberikan semangat dan inspirasi kepadaku. Dia membuatku kembali bersemangat menjalani hidup.

Aku mulai menyadari, Risa memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Aira. Risa memiliki kecerdasan, kreativitas, dan semangat yang tinggi. Dia selalu positif dan optimis dalam menghadapi segala hal. Dia membuatku merasa nyaman dan bahagia berada di dekatnya.

Suatu malam, aku dan Risa sedang duduk di beranda rumahku. Kami sedang menikmati secangkir kopi dan memandangi bintang-bintang di langit.

"Seno," kata Risa tiba-tiba. "Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu."

Aku menatap Risa dengan tatapan bingung. "Apa itu, Risa?"

"Aku... aku menyukaimu," katanya dengan wajah memerah.

Aku terkejut mendengar pengakuan Risa. Aku tidak pernah menyangka bahwa Risa menyukaiku. Aku merasa bingung dan tidak tahu harus berkata apa.

"Risa," kataku akhirnya. "Aku... aku juga menyukaimu. Tapi, aku baru saja patah hati. Aku tidak yakin apakah aku sudah siap untuk menjalin hubungan yang baru."

Risa tersenyum. "Aku mengerti, Seno. Aku tidak memaksamu untuk langsung membalas perasaanku. Aku hanya ingin kamu tahu, aku menyukaimu. Aku akan sabar menunggumu. Aku akan selalu ada untukmu."

Aku terharu mendengar kata-kata Risa. Aku merasa sangat beruntung bisa bertemu dengannya. Aku tahu, Risa adalah orang yang tepat untukku.

Aku menggenggam tangan Risa dan menatapnya dengan tatapan penuh cinta. "Risa, aku juga menyukaimu. Aku ingin mencoba menjalin hubungan denganmu. Aku ingin melupakan masa laluku dan memulai lembaran baru bersamamu."

Risa tersenyum bahagia. Dia memelukku dengan erat. Aku membalas pelukannya dengan erat. Aku merasa bahagia dan penuh harapan.

Mungkin, hujan di bulan Juni memang membawa kesedihan. Tapi, setelah hujan, selalu ada pelangi yang indah. Dan pelangi itu, bagiku, adalah Risa. Dia adalah cinta yang baru, harapan yang baru, dan kebahagiaan yang baru dalam hidupku.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Puisi Terakhir
yoursweetcrush
Novel
Harapan Pada Bintang
Allindri S Dion
Cerpen
Bronze
Cinta pertama berakhir di satu pilihan
Chiavieth Annisa06
Cerpen
Bronze
Delution Memories
Adinda Amalia
Cerpen
Sebuah Catatan Galau
Lukitokarya
Novel
Bronze
You are my sirius
Nasyha
Novel
Bronze
Cinta Pertama Selalu Menyakitkan
Fitriya
Novel
SATU SATUNYA JALAN MENUJU DIRIMU
Haryani
Novel
G O A T
Rizky Brawijaya
Novel
Bukan Badboy Penyelamat Sekolah
Muhammad Azhar
Novel
Bronze
Awal Sebuah Hubungan Virtual
SastraItuIndah.c
Cerpen
Bronze
Wonder Blossom
Adinda Amalia
Novel
Bronze
Still With You
Arinaa
Novel
Gold
PHP
Bentang Pustaka
Novel
PERJANJIAN CINTA SUAMIKU
Neny yuliati
Rekomendasi
Cerpen
Sebuah Catatan Galau
Lukitokarya
Cerpen
Lukisan Senja di Balik Jendela
Lukitokarya
Cerpen
Senandung Patah Hati di Kedai Kopi Senja
Lukitokarya
Flash
Surat dari masa lalu
Lukitokarya
Cerpen
Harmoni di Balik Pagar
Lukitokarya
Cerpen
Lentera di Ujung Lorong
Lukitokarya