Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Aku bosan, Ben. Benar-benar bosan."
Dion (28 tahun), seorang akuntan di sebuah perusahaan swasta, menjatuhkan kepalanya di meja kafe yang ramai. Bunyi denting sendok dan hiruk pikuk percakapan sore hari seakan menenggelamkan keluhannya. Di depannya, Ben, sahabatnya sejak SMP, yang kini menjadi manajer digital marketing, hanya tersenyum maklum sambil menyeruput kopi latte miliknya.
"Bosan bagaimana, Yon? Gajimu lumayan, pekerjaanmu stabil. Bahkan kau baru saja lunas mencicil mobil sedan itu. Banyak yang menginginkan posisimu," balas Ben, menunjuk sekilas pada jam tangan mahal Dion.
Dion mendongak dengan tatapan kosong, mencengkeram cangkir kopinya hingga buku-buku jarinya memutih. "Stabil, tapi monoton. Setiap hari melihat angka yang sama, aroma kertas laporan keuangan yang memuakkan, menghadapi bos yang sama, pulang larut hanya untuk melihat bayangan diriku sendiri di apartemen yang dingin. Rasanya hidupku hanya putaran tak berujung seperti roller coaster yang berjalan di jalur lurus. Aku lelah."
"Lalu, apa maumu?"
"Aku ingin hidup santai. Tanpa tekanan kerja yang mencekik. Aku ingin mengulangi hidupku, kembali ke masa-masa santai itu. Masa remaja di mana masalah terberat hanyalah mencari ide untuk kencan pertama dan bukan mencari solusi untuk defisit anggaran. Jika saja aku bisa kembali, aku akan lakukan segalanya dengan berbeda. Aku akan pastikan aku kaya, sangat kaya, agar tidak perlu lagi terjebak di bilik kantor membosankan ini," keluh Dion dengan nada yang sangat putus asa.
Ben hanya menggeleng pelan, meletakkan cangkirnya. "Kekayaan tidak selalu berarti kebahagiaan, Yon. Mungkin kau hanya butuh cuti panjang."
Saat Ben hendak meraih ponsel, kepala Dion terasa sangat pusing. Suara bising kafe tiba-tiba meredup dan bergema aneh. Matanya berkunang-kunang, dan ia merasakan tubuhnya limbung, seolah ditarik ke dalam pusaran air dingin. Pandangannya terakhir kali menangkap ekspresi terkejut Ben.
Deg!
Dion membuka mata. Bau kapur barus, debu, dan campuran aroma parfum murahan yang khas remaja menyeruak. Ia merasakan tekstur seprai katun kasar yang sudah usang di bawah tangannya. Ia berada di kamarnya. Bukan apartemennya yang dingin, melainkan kamar remajanya yang berantakan, dengan poster band pudar dan tumpukan komik di sudut. Ia melihat kalender meja berbentuk robot. Tahunnya mundur sepuluh tahun. Ia kembali ke masa SMA, di mana handphone masih berbentuk flip.
"Ini... ini sungguhan?" Dion mencubit lengannya kuat-kuat. Rasa sakitnya nyata.
Pintu terbuka. Masuklah Ben, namun versi 18 tahun, dengan seragam sekolah yang sedikit kebesaran, rambut acak-acakan, dan earphone yang melingkari lehernya.
"Yon, kenapa melamun? Cepat! Kita sudah janji mau mampir ke warung Bu Siti sebelum sekolah. Ayo!" seru Ben muda, melempar tas sekolah ke lantai.
Dion terperangah. Keinginannya terkabul. Sebuah reset total!
"Tidak akan aku sia-siakan," bisik Dion pada dirinya sendiri, tatapannya berubah tajam. "Aku akan ubah takdirku. Aku tidak akan lagi menjadi Dion yang membosankan, terjebak dalam gaji bulanan. Aku akan jadi raksasa finansial."
Sejak hari itu, Dion berubah drastis. Ia bukan lagi remaja yang malas belajar dan gemar bermain gim. Ia menjelma menjadi mesin penghasil uang dan nilai. Ia menghabiskan waktu luang bukan di lapangan basket, melainkan di perpustakaan, membaca buku tentang investasi early stage dan mempelajari pasar saham.
Waktu berlalu cepat. Dion menolak ajakan Ben dan teman-teman lain untuk sekadar nongkrong di malam minggu, menyebutnya "pemborosan waktu produktif". Panggilan telepon dari ibunya yang mengajaknya makan malam selalu dibalas dengan alasan sedang mengikuti kursus online atau menganalisis trend pasar. Ia tak peduli. Suara tawa dan kehangatan keluarga terasa seperti gangguan terhadap tujuan utamanya.
Suatu sore, Ben menghampirinya di perpustakaan kampus. Dion sedang sibuk dengan tiga layar laptop di hadapannya.
"Yon," sapa Ben. Nada suaranya lelah. "Kau sudah menolak ajakan kami tiga kali untuk pesta ulang tahun Rina. Sudah dua bulan kita tidak bicara santai. Hidupmu hanya tentang uang dan kesibukan. Wajahmu terlihat sama lelahnya seperti saat kau mengeluh soal laporan keuangan di masa depan."
Dion hanya menghela napas tanpa melihat Ben, matanya terpaku pada grafik. "Ben, kau tidak mengerti. Aku tahu masa depanku. Aku tidak mau berakhir jadi karyawan yang membosankan. Aku harus bekerja keras sekarang agar bisa bersantai nanti. Fokusku saat ini adalah mengubah hidup, membangun kekayaan yang tak tergoyahkan."
"Mengubah hidup? Tapi, apa gunanya jika kau mengubahnya menjadi sendirian? Dulu kau mengeluh karena kesepian di kantor, sekarang kau kesepian di tengah tumpukan uang. Kau menjauh dari semua yang pernah membuatmu tertawa. Keluarga, teman, aku. Jika kau terus begini, kau tetap tidak akan menemukan kebahagiaan, Yon. Hanya kesepian yang dibalut kemewahan, seperti hantu di istana emas," tegas Ben, suaranya sarat kekecewaan.
Dion merasa terganggu. Ia menekan tombol mute di salah satu laptopnya. "Terserah, Ben. Kau terlalu idealis. Pergi saja. Aku sibuk. Aku tidak mau membuang kesempatan kedua ini hanya untuk duduk-duduk tanpa hasil."
Ben menatap Dion untuk beberapa saat, tatapan yang penuh kepedihan. Ia tidak lagi mencoba membujuk. Ia hanya mengangguk pelan, seolah menerima kekalahan. "Baiklah. Aku harap kau benar-benar tahu apa yang kau kejar." Ben pun berbalik dan meninggalkan Dion, langkahnya terdengar sangat berat.
Sepuluh tahun kemudian. Dion berhasil. Ia adalah seorang pengusaha sukses di usia 28 tahun. Ia memiliki aset di mana-mana: vila mewah berarsitektur minimalis di puncak bukit, mobil sport koleksi terbatas, saham yang melimpah. Rekening banknya adalah angka tujuh digit yang memukau.
Namun, di sebuah malam, Dion duduk sendirian di sofa kulit mahal di ruang tamu vilanya. Perapian elektrik memberikan sedikit kehangatan, tetapi hatinya terasa beku. Ia memandangi panorama lampu kota yang berkilauan di bawah. Kehidupan yang santai, bebas dari kantor, sudah di genggamannya.
Ia meraih ponselnya, tetapi tidak ada notifikasi selain laporan pasar saham. Ia tidak punya siapa-siapa untuk berbagi. Tidak ada Ben yang bisa diajak beradu argumen konyol. Tidak ada tawa renyah saat makan malam bersama keluarga.
"Aku... tidak bahagia," gumam Dion. Air mata menetes, membasahi jas sutra mahalnya. Keheningan di vila itu begitu pekat hingga ia bisa mendengar detak jam dinding yang mahal, menghitung detik-detik kesendiriannya.
Ia menyadari, bukan kekayaan yang ia butuhkan untuk bahagia, melainkan pandangan hidup yang berbeda. Di kehidupan sebelumnya, ia melihat kesedihan di balik kestabilan. Di kehidupan kedua ini, ia melihat kehampaan di balik kemewahan. Kedua kehidupan itu, sama-sama membuatnya menderita karena ia hanya berfokus pada apa yang tidak ia miliki.
Penyesalan mencengkeramnya. Ia merindukan kehidupannya yang lama, kebosanan yang diselingi canda tawa dan kehangatan Ben. "Andai saja aku bisa kembali lagi... aku akan bersyukur atas segalanya," erangnya.
Tiba-tiba, pandangannya kembali gelap, dan rasa pusing hebat kembali datang, seperti sensasi jatuh dari ketinggian tanpa henti.
Ketika Dion membuka mata, aroma yang familiar menyeruak—bau antiseptik dan karbol. Ia berada di kamar rumah sakit. Cahaya putih dan tirai tipis.
"Yon? Kau sudah sadar?"
Di sampingnya, duduklah Ben, dengan wajah cemas dan kemeja kantor yang kusut, menggenggam cangkir kopi karton. Ben yang berusia 28 tahun.
"Ben...?"
"Syukurlah. Kau pingsan mendadak di kafe saat sedang curhat tentang betapa bosannya hidupmu. Detak jantungmu mendadak tidak stabil. Dokter bilang kau hanya kelelahan ekstrem. Kau sering begadang akhir-akhir ini," jelas Ben.
Dion menatap wajah sahabatnya. Ia menyentuh tangan Ben. Hangat dan nyata. Semua—perjalanan waktu, kekayaan, penyesalan—hanyalah mimpi yang sangat panjang.
"Aku... aku sangat bersyukur," bisik Dion, suaranya serak.
"Bersyukur untuk apa? Karena tidak jadi bayar tagihan kafe?" canda Ben, mencoba mencairkan suasana.
Dion tersenyum tulus, air matanya menetes bukan karena kesedihan, melainkan kelegaan. “Bersyukur memiliki sahabat sepertimu. Dan… bersyukur aku masih punya waktu. Waktu untuk menjalani hidup ini, apa pun bentuknya, dengan hati yang penuh rasa syukur. Aku tidak butuh kesempatan kedua untuk kaya; aku butuh kesempatan kedua untuk menghargai apa yang sudah ada.”
Ia mengangkat pergelangan tangannya. Jam tangan mahal yang ia kenakan—penanda kedisiplinan dan rutinitas yang membuatnya jenuh—kini terasa berbeda.
“Mimpi itu memberiku sebuah alarm, Ben,” kata Dion, menatap lekat Ben. “Bukan alarm jam yang berbunyi untuk bangun dan bekerja, melainkan alarm batin yang menyadarkanku bahwa hidup bukan diukur dari aset atau kecepatan, tetapi dari kualitas koneksi dan rasa syukur.”
“Aku janji, Ben. Aku akan menjalaninya dengan penuh syukur. Besok, kita libur saja. Aku traktir kopi, dan kita habiskan waktu bersama. Tanpa bicara kantor, tanpa bicara uang. Hanya kita. Aku janji.”
Ben tersenyum, lega. “Itu baru Dion yang kukenal. Cepat sembuh, Yon. Kita punya waktu hidup untuk dinikmati.”
Di usianya yang ke-28, Dion akhirnya menemukan apa yang ia cari. Ia tak lagi melihat jam tangannya sebagai pengingat kewajiban yang membosankan, melainkan sebagai pengingat bahwa setiap detik adalah anugerah. Ia menemukan kebahagiaannya bukan di masa lalu atau di kekayaan masa depan, melainkan di saat ini, di samping sahabatnya, dan dalam janji untuk selalu melihat keindahan di balik kebosanan.