Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Seberkas Asa dalam Kisah
0
Suka
2,742
Dibaca

Semua mata media kini tertuju kepada seorang lelaki berpangkat bintang empat. Empat bintang tersebut bersanding gagah di atas pundaknya, lengkap dengan sejumlah brevet penghargaan, dan lencana penghargaan di dada kiri dan kanannya. Brevet dengan bermacam bentuk itu tersusun rapi memenuhi seragam lelaki tersebut. Menambah kewibawaan dan kegagahan lelaki tersebut.

 

Dia adalah Muhammad Fatanindra. Orang-orang kerap menyapanya dengan Jendral Indra, seorang jendral polisi yang terkenal akan perilakunya yang tegas namun tidak pernah bertindak kasar dalam menegakkan keadilan. Tuturnya ramah, tindakannya sangat humanis. Sehingga disegani oleh kawan maupun lawannya.

 

Malam ini sosoknya disorot oleh media. Seluruh kamera tertuju kepadanya. Mata-mata mengarah kepadanya, menyaksikan sosoknya. Setiap tanya akan terjawab hari ini.

 

***

 

Seorang pria dan wanita telah duduk di kursi yang telah dipersiapkan. Sang pria mengenakan mengenakan tuksedo berwarna abu-abu dengan celana dan kemeja berwarna senada. Sang wanita mengenakan outfit yang selaras dan menawan. Keduanya adalah presenter profesional dan ditunjuk untuk menjadi pembawa acara pada sebuah program televisi. Acara tersebut disiarkan secara langsung dalam wawancara khusus. Adapun narasumber istimewa pada malam ini adalah seorang perwira polisi, seorang jendral yang berkarisma. Dia adalah Jendral Muhammad Fatanindra.

 

"Selamat malam pemirsa. Malam ini merupakan malam istimewa pada acara yang selalu kita nantikan dalam 60 MENIT BERSAMA. Tamu kita pada malam ini adalah tamu yang istimewa. Dia adalah seorang jendral muda bintang empat yang namanya sedang naik daun, diperbincangkan oleh banyak kalangan, dan digadang sebagai sosok pemimpin masa depan yang visioner. Dia adalah Jendral Muhammad Fatanindra. Selamat malam, Jendral." Sang pembawa acara wanita membuka acara. Lalu kamera menyorot sosok sang jendral yang duduk di kursi yang terpisah di samping pembawa acara tersebut.

 

"Selamat malam, Mbak Seli dan Mas Angga." Sang Jendral membalasi sapaan sang pembawa acara.

 

"Sebelumnya kami ucapkan terima kasih karena telah berkenan hadir pada acara malam ini. Kami merasa terhormat menerima kehadiran Jendral di sini. Di sela-sela kesibukan yang luar biasa, Jendral bersedia meluangkan waktu untuk menjadi tamu istimewa pada malam hari ini." Sang pembawa acara pria menyambung. Sang Jendral mengangguk pelan dan senyumnya tersungging tipis.

 

Sang pembawa acara membacakan riwayat hidup Sang Jendral, memperkenalkan data dan riwayat Sang Jendral. Sang Jendral hanya menyimak dengan raut muka datar. Sesekali tampak senyumnya tersungging tipis.

 

"Jendral, mengawali wawancara kita malam ini satu pertanyaan yang barangkali akan mewakili banyak orang. Mohon maaf, Pak Jendral. Media menyorot Anda, yang menunjukkan sikap yang dinilai sangat humanis, bahwa Anda seringkali mengunjungi lapas-lapas dan membiarkan awak media meliput apa yang Anda lakukan saat melakukan kunjungan tersebut. Awak media mendapati Anda melakukan pendekatan dan tampak begitu akrab dengan para narapidana di lapas-lapas yang Anda kunjungi. Apa yang Anda lakukan bersama dengan para narapidana saat Anda berkunjung membentuk semacam pencitraan positif, bahwa sosok seorang jendral bintang empat sangat memanusiakan orang lain. Dan justru menjauhkan rumor tentang lapas sebagai tempat yang sangat tidak manusiawi. Mengapa Anda melakukan pendekatan semacam itu kepada para narapidana?" Pembawa acara tampak rileks setelah mengucapkan paragraf panjang tersebut. Sang Jendral memandang dengan raut muka datar. Sesekali tampak senyumnya tersungging tipis

 

"Terima kasih atas pertanyaannya, Mbak Seli. Narapidana adalah manusia seperti kita. Setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan secara baik. Saya yakin dan percaya, apabila kita memperlakukan orang lain dengan baik, maka balasan yang kita peroleh adalah kebaikan. Demikian juga sebaliknya. Jadi, di sini, saya mewakili lembaga kepolisian hendak menyampaikan sebuah pesan kemanusiaan. Bahwa, dengan menunjukkan sikap humanis, maka kita bisa mewujudkan sebuah kondisi interaksi yang ideal untuk kondisi kehidupan yang lebih baik berdasarkan asas perikemanusiaan." Jendral Indra menjeda kalimatnya, menghela napas sejenak.

 

"Lembaga kepolisian negara kita kini hendak berupaya menciptakan atmosfer baru sebagai sebuah lembaga penegak hukum yang tegas sekaligus memiliki sisi humanis kepada semua lapisan masyarakat, termasuk kepada warga binaan di lembaga pemasyarakatan.

 

"Termasuk juga, saya sering mengimbau seluruh lapisan masyarakat agar tidak main hakim sendiri kepada para pelaku tindak kejahatan. Negara kita adalah negara hukum. Ketika menjumpai tindakan melanggar hukum, seperti tindak kriminal, serahkan kepada para penegak hukum yang sah di negeri ini. Jika ada di antara sekelompok masyarakat memergoki pelaku kejahatan tengah melakukan aksinya, kami mohon, jangan main hakim sendiri. Karena tindakan main hakim sendiri sangat bertentangan dengan asas kemanusiaan. Meskipun mereka adalah pelaku kejahatan, tidak berarti kita bebas main hakim sendiri hingga tak jarang ada nyawa yang hilang karenanya." Jendral Indra memaparkan dengan bersemangat.

 

"Itulah alasan mengapa Anda menggaungkan di media agar masyarakat tidak main hakim sendiri dalam menindak para pelaku tindak kejahatan?" Sang Presenter pria menegaskan.

 

"Benar sekali, karena tindakan anarki main hakim sendiri bertentangan dengan asas kemanusiaan, juga bertentangan dengan hukum yang berlaku di negara kita." Sang Jendral menegaskan kembali ucapannya.

 

"Mas Angga dan Mbak Seli, izinkan saya menyampaikan sebuah kisah nyata, kisah hidup saya pribadi."

 

"Silakan, Jendral." Sang presenter pria mempersilakan.

 

"Sekitar 30 tahun yang lalu saat saya berusia 13 tahun. Ketika itu ayah saya menjadi korban pemutusan hubungan kerja. Negara sedang mengalami krisis. Banyak sekali yang menjadi korban PHK, yang menyebabkan angka pengangguran meningkat pesat.Ayah saya adalah salah satunya. Perusahaan sedang pailit, terpaksa mengurangi jumlah karyawan. Gaji ayah dan uang pesangon PHK waktu itu menjadi sumber uang yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Saya masih ingat, waktu itu kehidupan keluarga kami benar-benar dalam keadaan sulit. Setelah itu, ayah saya berusaha melamar kerja ke sana kemari namun hasilnya nihil.

 

"Akhirnya ayah memutuskan untuk bekerja apa saja, serabutan. Terkadang dalam satu hari ayah saya membawa pulang uang. Namun seringkali pulang dengan tangan hampa. Lama kelamaan uang pesangon perusahaan yang tidak seberapa besar itu menipis. Ibu saya akhirnya memutuskan untuk bekerja juga, membantu perekonomian keluarga. Saat itu orangtua saya melarang saya untuk ikut membantu. Pesan orangtua saya, bahwa saya harus tetap bersekolah, belajar dengan giat, agar suatu saat saya bisa menggapai cita-cita saya, dan bisa mengangkat harkat dan martabat keluarga. Sekalipun dalam kondisi susah, saya tetap harus bersekolah. Urusan nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, biarlah ayah dan ibu yang mengusahakannya. Begitulah kata orangtua saya ketika itu." Sang Jendral menjeda kalimatnya lagi, menghela napas panjang.

 

"Sampai pada kondisi ketika keluarga kami tak memiliki sepeserpun uang untuk memenuhi kebutuhan kami. Kami terpaksa berutang untuk sekadar memenuhi kebutuhan makan dan minum seadanya. Ayah dan ibu ketika itu seringkali berpuasa, menahan lapar karena tak ada makanan yang bisa dimakan. Uang yang diperoleh hanya cukup untuk kami gunakan membayar sewa rumah, agar kami masih punya tempat untuk bernaung. Hanya sedikit yang tersisa. Itulah untuk makan sehari-hari. Adapun ayah dan ibu saya merelakan diri untuk tidak makan demi saya agar bisa bersantap makanan hari itu. Ketika malam menjelang, barulah mereka makan dengan makanan seadanya." Sang Jendral menghela napas panjang lagi. Suasana studio televisi menjadi senyap. Dua pembawa acara tampak serius menyimak kisah yang dituturkan.

 

"Setiap hari ayah dan ibu keluar rumah mencari peruntungan, mengadu nasib, berharap agar ada sedikit uang yang bisa dibawa pulang. Saya juga berkali-kali memohon kepada kedua orangtua saya agar diizinkan membantu bekerja. Saya anak laki-laki satu-satunya, merasa terpanggil untuk bekerja, meskipun usia saya masih 13 tahun. Namun setiap saya memohon, setiap itu juga ayah dan ibu saya memarahi saya. Mereka berkali-kali menegaskan bahwa saya adalah harapan keluarga di masa depan. Dan untuk mempersiapkan itu, saya harus belajar dengan giat dan gigih.

 

"Suatu hari ayah saya tidak pulang, Mas Angga. Saat itu sarana komunikasi tidak mudah didapatkan. Tidak ada kabar apapun. Biasanya ayah sudah pulang pada sore hari. Tapi hari itu hingga malam menjelang, ayah tak kunjung pulang. Saya ingat sekali, waktu itu ibu saya sangat cemas, khawatir terjadi apa-apa pada ayah. Saya juga cemas. Tapi waktu itu ibu saya menenangkan saya dengan mengatakan bahwa ayah mungkin mendapat pekerjaan yang membuatnya pulang terlambat. Malam itu kami berdua menunggu di rumah. Hingga saya akhirnya tertidur.

 

"Keesokan hari, ayah sebenarnya tak kunjung pulang. Namun ibu ketika itu terpaksa berbohong dengan mengatakan kalau ayah telah pulang ketika saya sudah terlelap, melarang ayah membangunkan saya. Kemudian ayah sudah berangkat sebelum saya bangun. Hari itu saya tetap bersekolah, meskipun hati saya tidak tenang. Namun ibu saya pagi itu berpesan bahwa apapun yang terjadi pada keluarga kami merupakan takdir Allah. Kami hanya perlu menjalaninya dengan kesabaran dan terus berusaha sebaik mungkin. Dan ibu juga berpesan agar saya tetap fokus belajar, tidak usah khawatir."

 

"Jadi apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah Anda?" Sang pembawa acara wanita bertanya penasaran, sembari memperbaiki posisi duduknya.

 

"Siang itu, dua orang petugas mendatangi rumah kami, menanyakan beberapa pertanyaan, memastikan sesuatu. Kedatangan dua orang petugas itu tentu saja membuat saya takut, sekaligus membuat saya bertanya-tanya, ada apa?"

 

"Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?"

 

"Saat itu kedua petugas tersebut memerintahkan kami mengikuti mereka. Ibu meyakinkan saya bahwa tidak perlu takut karena kami tidak berbuat salah. Akhirnya kami bersikap kooperatif, mengikuti kedua petugas tersebut. Kami diajak menaiki kendaraan dinas kepolisian.

 

"Di dalam mobil, salah seorang petugas memberitahukan bahwa ayah meninggal dunia kemarin sore saat dilarikan ke rumah sakit akibat luka yang dialaminya. Sore itu ayah diamuk massa. Orang-orang menduga ayah adalah pelaku penjambretan."

 

"Jadi apakah ayah Anda melakukan penjambretan tersebut?"

 

"Saat itu polisi belum mengusut peristiwa itu. Kami tiba di rumah sakit, menyaksikan jenazah ayah. Hati saya hancur melihat jasad ayah lebam di beberapa bagian, ibu juga demikian. Semua urusan belum terlihat titik terangnya saat itu. Hingga sore menjelang seorang wanita paruh baya tiba di rumah sakit, didampingi seorang petugas kepolisian.

 

"Sang ibu bercerita, sore itu dia menjadi korban penjambretan. Sang ibu berteriak meminta tolong dan mengatakan kalau dia adalah korban penjambretan. Saat itu ayah adalah orang pertama yang mengetahui peristiwa tersebut, dan berada di dekatnya. Tanpa ragu ayah mengejar sang penjambret. Sang penjambret berlari tunggang-langgang lalu melemparkan dompet sang wanita itu. Ayah lalu mengambil dompet tersebut, hendak mengembalikannya kepada pemiliknya.

 

"Malang tak dapat ditolak, orang-orang yang datang belakangan telah kalap menyongsong ayah lantas menghajar ayah karena mereka mengira bahwa ayah adalah pelaku penjambretan. Sore itu mereka menghakimi ayah tanpa mengusut peristiwa yang sebenarnya terjadi."

 

Seisi studio seakan larut dengan penuturan Sang Jendral. Mereka tak menyangka jika seorang tokoh besar pada institusi penegakan hukum di negeri ini memiliki kisah masa lalu yang pilu.

 

"Lalu, apakah pelakunya telah ditangkap?"

 

"Pelakunya tidak pernah tertangkap. Tapi kami telah mengikhlaskan, juga memafkan pelakunya."

 

Semua orang merasa terhenyak mendengar pernyataan Sang Jendral.

 

"Dan kisah itu tidak berakhir sampai di situ. Pertemuan kami dengan sang ibu itu justru menjadi awal babak baru kehidupan kami. Sang ibu mengucapkan terima kasih atas bantuan ayah. Dan ibu itu juga turut berduka cita atas kejadian yang menimpa kami.

 

"Selain berbela sungkawa, beliau juga melakukan hal yang tak pernah kami duga. Beliau menyatakan bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi. Beliau menyatakan akan membantu memenuhi kebutuhan saya dan ibu saya. Beliau juga menyatakan kesiapannya untuk menyokong saya, menyokong pendidikan saya, dan cita-cita saya, hingga saya bisa menjadi sosok yang sekarang berdiri di hadapan Anda semua."

 

Sontak tepuk tangan membahana, memenuhi studio.

 

"Dan beliau sekarang hadir di tengah-tengah kita. Beliau adalah Ibu Rahmawati." Sang Jendral menunjuk ke arah penonton. Di antara penonton, seorang wanita berusia senja berdiri anggun, melambaikan tangan. Senyumnya tersungging lebar menampakkan giginya yang putih. Sang jendral melambaikan tangan, membalasi lambaian tangan sang ibu. Tepuk tangan kembali membahana, meriah sekali.

 

"Jendral, apa yang Anda ingat dari sosok ayah?"

 

"Ayah adalah contoh terbaik. Darinya saya belajar kelembutan dalam bertutur kata. Darinya saya belajar tentang kerja keras. Darinya saya belajar tentang kejujuran. Darinya saya belajar tentang tanggung jawab. Darinya saya belajar tentang pengorbanan. Darinya saya belajar tentang saling membantu. Hingga akhir hayatnya, saya melihat ayah sebagai sosok manusia yang patut diteladani. Sosoknya telah membentuk kepribadian saya saat ini. Walaupun tidak sepenuhnya sama, tapi saya menjadikan sosok ayah sebagai panutan sepanjang hayat."

 

Tepuk tangan membahana sekali lagi, membuncah di langit-langit studio. Malam itu banyak orang berdecak kagum, mengenal lebih dekat sosok Jendral Indra. Di mana, sosok Jenderal Indra menjadi tokoh idola dan panutan tidak hanya di jajaran kepolisian saja, melainkan di kalangan masyarakat. Sosoknya merupakan pribadi yang jujur, humanis, berani, tegas, sederhana, mampu mengambil keputusan dengan baik, dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan.

 

Acara berjalan lancar. Enam puluh menit tak terasa mengalir dengan lembut. Seusai acara, Sang Jendral tampak bersalaman dengan kedua pembawa acara, lalu melambaikan kepada para pemirsa, kemudian meninggalkan studio. Tempat itu memang lengang, namun malam ini atmosfer kebaikan mengisi tiap relung hati orang-orang yang mengambil pelajaran.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Flash
Bronze
Siapa yang Mandul?
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Seberkas Asa dalam Kisah
Aqil Azizi
Novel
MEI & JUNI
Vina Amelia Rosida
Novel
Bronze
CINTA TAK SEMALANG ITU
Ranika Mayang Sari
Novel
Aku Tidak Sedang Menulis Cerita Ini Saat Ia Tertembak Kepalanya
Restu Ashari Putra
Novel
Gold
KKPK Kupetik Bintang
Mizan Publishing
Flash
Bronze
Demi
Alfian N. Budiarto
Flash
Jojo dan Jeje
Hary Silvia
Flash
Dora dan emon
Mahmud
Cerpen
Bronze
CEWEK RAGIL
Flora Darma Xu
Novel
Tough Woman
Anggi faizta
Novel
Bronze
DURHAKA (KUTUK dan SENGSARA)
KUMARA
Novel
Kode Prosa Aisha
Dhimas Ardhio
Novel
Untuk Kamu
Sucayono
Novel
Rekata Laila
FAKIHA
Rekomendasi
Cerpen
Seberkas Asa dalam Kisah
Aqil Azizi
Cerpen
Aku, Si Anak Petani
Aqil Azizi
Cerpen
Sembilan Belas
Aqil Azizi
Cerpen
Lentera
Aqil Azizi
Cerpen
Surau Kami Roboh
Aqil Azizi
Cerpen
Bronze
Sahabat Kemanusiaan
Aqil Azizi