Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Sebentar
0
Suka
2,485
Dibaca

huufth !!! sedikit kuhela nafas sebelum mulai bercerita.

Kira-kira sudah sepuluh tahun berlalu, aku mengenal seorang yang lukanya mirip denganku, kemudian entah bagaimana kami mulai saling menyembuhkan, menjadikan masing-masing tempat pulang atau sekedar pelarian. Aku masih sangat muda ketika itu, begitupun dirinya. Dia kukenal melalui mantan pacarku di SMA, mereka mahasiswa di satu universitas yang sama, sementara aku mulai beradaptasi dengan dunia orang dewasa pada pekerjaan pertamaku. Namanya awan.

Mengenalnya dari sebelas digit nomor ponsel membuat pertemuan pertama kami benar-benar sebuah kejutan, kami sepakat untuk tidak saling mengintip profile facebook sampai kami bertemu. Dan pertemuan pertama kami di Bandung, di alun-alun Bandung sebelum dipercantik pak Ridwan Kamil saat menjabat sebagi wali kota. Tempat yang masih berantakan, gelap, bahkan cenderung kotor. Sebagai gadis rumahan, aku tidak memiliki banyak referensi tempat untuk pertemuan semacam ini, selain itu awan yang baru saja tinggal di Bandung sebagai mahasiswa rantau juga belum benar-benar mengenal kota parahyangan ini. Namun tempat yang tidak begitu cantik itu, tersimpan dengan indah dalam kenang masa mudaku. Itu juga kali pertamaku, menemui seseorang yang kukenal hanya lewat bayang-bayang. Aku bukan orang yang senang melakukan hal semacam itu, tapi entah, dia mampu membuatku mau. Walau kami sangat akrab di telepon, kupikir pertemuan pertama itu akan sangat canggung, tapi tidak, dia tetap sama menyenangkannya dari jauh maupun di depan mata. Kami sempat berdebat sebelum saling menemukan, hanya karena posisi pintu masuk, aku bahkan masih mengingatnya dengan jelas seakan baru terjadi minggu lalu. Aku masuk melalui pintu terminal yang ada di utara sehingga itu yang kusebut pintu masuk, sementara awan masuk dari selatan dan menyebutnya pintu masuk juga. Kami saling mencari hingga emosi karena sama-sama mengatakan berada didekat pintu masuk. Setelah menyadari kebodohan itu aku memutuskan untuk melangkah kearahnya dan meminta dia tetap diam. Telepon kami tetap tersambung selagi aku menuju kepadanya. Aku sudah dekat dengan pintu selatan, tapi cahaya yang tidak cukup baik itu membuat aku fokus mendengarkan arahan awan di telepon daripada memerhatikan sekitar. Bukan awan namanya kalu tidak sempat jahil, dia membuat aku berputar-putar bahkan melewatinya dua kali sebelum akhirnya benar-benar menyambutku. 'ccheeeryyyy' teriaknya memanggilku dengan lambaian tangan dan sedikit melompat kehadapanku. 'tadi aku udah kesini' kataku dengan polos,

'masaaa ?!' katanya lagi, seolah dia juga bingung.

'emang kamu tadi gak liat aku jalan kesini?'

'liat, kan aku yang suruh. pas kamu lewat akunya diem (hahaha)'

Refleks aku mendorongnya pelan walaupun agak kesal. Sebenarnya aku memang terlambat, sebab itu alih-alih dia aku yang menghampirinya.

'mau makan dulu atau ngobrol dulu ?' tanyanya lagi,

'makan sambil ngobrol'

'gak bisa, riweuh'

'masa riweuh, yaa jangan pas mulut penuh terus kamu ngomong'

'gak mau pokonya riweuh. pilih mau apa dulu'

'kamu mau apa dulu?'

'aku mau ngobrol dulu, soalnya tadi udah makan pas nungguin kamu (hahahaha)'

Tawanya terdengar lebih kencang, dan lagi aku juga mendorongnya pelan dengan sedikit kesal. Begitu saja kami melanjutkan interaksi ditempat duduk dalam taman alun-alun itu. Tidak pernah ada ikrar atau komitmen apapun dari hari-hari yang kami jalani sejauh ini. Aku tidak benar-benar ingat apa yang kami bicarakan saat itu, tapi rasanya kami begitu menikmatinya. Yang kuingat, aku tidak berhenti tertawa sejak awal tiba. Oh iya, penampilannya cukup lumayan, dan agak aneh rasanya jika dia mau bersamaku yang bahkan tidak bisa berdandan. Aku tidak terlalu percaya diri, jadi kukira itu akan jadi pertemuan pertama dan terakhir bagi kami. Malam itu sepertinya waktu berlalu lebih cepat dari biasanya, karena tiba-tiba awan mengajakku pulang saat menunjukan jam di ponselnya 21.35.

'mau makan atau langsung pulang ?'

'hah?!? serius udah semalem ini ?' 

coba liat punya kamu, kayaknya hp aku mah waktunya jam arab'

'langsung pulang aja kali, kamu udah makan kan ?'

'kamu belum'

'aku makan di kosan aja'

'tapi aku udah lapar lagi'

'yaaang beneeer ?!'

iyaa capek abisnya dari tadi ngelawak, lagian tadi aku makannya cilok'

Dengan mimik yang berubah murung dia menggodaku untuk makan sebelum pulang, walau ragu aku mengajaknya memilih makan,

'yaudah, ayo nyari. masih pada buka emang?'

'kaaan nyari. mau makan apa?'

'yang ada aja deh'

'yang deket ajalah yaa. itu ada nasgor mau gak ?'

'enggak'

'kenapa?'

'gak suka'

'jadi apa doong?'

'itu tukang apa yang kosong?'

Awan meraih tanganku dan berjalan menuju gerobak batagor di pinggir jalan yang sebelumnya kutunjuk, 'mau?' tanyanya singkat sebelum kami memasuki warung itu, aku hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyum kecil. Ketika sedang asyik menyantap batagor, tiba-tiba awan kembali membuka tawa bahkan mamang batagor ikut tertawa karenanya, begini katanya,

'anjir anti mainstream yaah kita, kencan pertama dipinggir jalan, jajan batagor lagi hahaha'

'beriisiik, malu, cepet makan'

'biiariiin, emang kenapa!?. 'mang mang, kita kencan pertama tau mang' (hahaha)'

si mamang yang diajaknya bicarapun merespon dengan tawa,

'maenya kencan pertama jajan batagor' 

'hahahaha'

Kami bertiga tertawa dengan kompak, sebelum awan kembali mengundang tawa,

'si emang mah ih, hayang teu dibayar'

'aii teu era mah. buru gera balik, mamawa budak batur'

'haha enya mang bade, meni galak mang'

Apapun yang dia ucapkan rasanya selalu berhasil membunyikan tawaku. Setelah selesai makan kami segera pulang.

'nuhun mang'

Katanya lagi seraya berpamitan pada mamang batagor yang juga baru kami temui itu,

'kade anterkeun nepi ka imahna eta si neng'

'ah anteupkeun wee da ges gede'

'eeeeeh'

'hahaha enya maaang'

Kami lalu benar-benar meninggalkan gerobak si emang.

Ini adalah bagian yang sulit hilang dalam ingatanku, fasilitasnya sebagai mahasiswa tingkat 1 saat itu cukup terbatas, keadaanku juga belum cukup baik, jadi pertemuan pertama itu kami pergi dan pulang menggunakan angkutan umum, (hahaha) iya angkot. Setelah meninggalkan warung batagor tadi kami berjalan cukup lama, untuk berpisah dititik angkot yang berbeda. Aku agak bingung bersikap kala itu, sebab awan tidak melepaskan genggam nya selama kami berjalan. 'sorry yaah, aku gak keren' katanya tiba-tiba. Aku cukup tau diri, sesuai dugaan dan mengira itu adalah kalimat perpisahan, cara dia menolakku dengan sopan. Aku mencoba untuk tetap bersikap biasa saat menjawabnya, 'aku happy ketemu kamu, thank you.. eh itu angkot kamu'

'nanti nunggu kamu dulu, aku mau balik lagi ke si mamang batagor'

'nahaaa?' suaraku cukup tinggi saat bertanya 'iya soalnya aku tadi bohong bilang 'iya' mau nganterin kamu sampe rumah'

' geuleuh (hahahaha). kan aku pulangnya juga ke kosan gak ke rumah'

'oh iyayaah, jadi bukan salah aku yaah. da kamu nya gak pulang ke rumah'

sambil tersenyum dan menggelengkan kepala aku menjawabnya singkat 'iyaaaaa'

'mau ketemu aku lagi gak ?' dan lagi, pertanyaan awan seperti serangan yang membuatku bingung.

'kamu emang mau ketemu sama aku lagi ?'

'mau'

'kapan?'

'besok'

'gelo'

'hahaha.. kamu gak kapok jalan sama aku, masa dating make angkot'

'emang kita nge-date?'

Wajahnya yang bingung dan terlihat sedikit malu berhasil menghiburku. Aku agak kaget dengan respon awan yang dengan jelas mengatakan 'mau' bertemu lagi, juga kata 'nge-date' nya, maka aku berusaha mengamankan sikapku dengan balik menyerangnya.

' sanaa balik, tuh angkot kamu udah ada'

Dia bertahan dengan baik bersama kalimat itu. Aku kembali tertawa keras dihadapannya sebelum kemudian naik angkot yang dia tunjuk, 'jalan yaaa' pamitku padanya sambil melepaskan genggam, dia mengangguk dan tersenyum namun kembali menarik tanganku yang membuat aku tersungkur dan menabrak tubuhnya, dia tertawa kecil sementara aku merasa cukup malu. 'telpon udah nyampe' ucapnya lagi pelan bersama isyarat.

Begitulah pertemuan pertama kami, aku tetap tersenyum saat mengingat atau menceritakannya bahkan saat ini, setelah 10 tahun berlalu.

Merasa sukses dengan pertemuan pertama itu, aku memberi kabar pada adi, orang yang mengenalkan aku dengan awan, iya dia si mantan di SMA. Aku mengabarinya lewat pesan singkat sehari setelah malam itu,

adiiiiii, tengkiyu yaah .. kemaren aku udah ketemu sama awan, aku happy banget dii hahaha tengkiyu pokoknya ...

hah?!? serius beneran ketemu dong !!!! baiklaah semoga lancaar.

Sesederhana itu jawaban adi. Dan aku, masih terus gugup di hari-hari setelahnya sampai kami (awan dan aku) benar-benar kembali bertemu.

***

Tanpa kusadari awan menjadi kisah klasik yang paling sering kuceritakan sampai saat ini. Mungkin karena dengannya hari-hariku selalu penuh dengan tawa, walaupun aku sering sekali membuatnya jengkel. Biasanya hanya karena dia lama membalas sms dan tidak mengangkat telponku, tapi dia tidak pernah meluapkan kekesalannya dengan amarah, pada akhirnya hanya lawak versi dia itulah yang selalu berhasil membuatku terbahak. Seperti hari itu saat kami berencana untuk bertemu yang kesekian kali. Aku lupa sudah berapa lama sejak kami bersama-sama, memang buat kami agak susah mengatur waktu untuk bertemu, dengan kesibukan yang sangat berbeda. Hari itu aku libur dan awan hanya memiliki 1 kelas pagi. Aku rasa kami tidak terlalu tua untuk menceritakan teknologi yang masih belum secanggih saat ini, maksudku pada saat itu video call belum semudah sekarang, aplikasi chatting juga masih belum banyak, jadi aku akan membuat ponselnya sangat berisik dengan dering telpon dariku saat dia menghilang terlalu lama.

'aku beres kelas jam 10-an yah. klo gak ada apa-apa aku langsung jalan, paling telat jam 11-an'

Pesannya yang kubaca pagi hari saat aku membuka mata. Jujur saja aku sangat gembira dan tidak sabar ingin bertemu. Tapi hanya itu pesannya yang kuterima, setelah aku membalasnya, bahkan pesan-pesan lain setelahnya, aku tidak mendapatkan respon apa-apa lagi. Aku kemudian mulai menerornya dengan beberapa panggilan telepon dan sms yang menumpuk. Dia baru menghubungi aku sekitar setengah 11 siang itu, aku mengangkat teleponnya dengan mood yang berantakan, ketika dia mengatakan 'yaaang' aku hanya diam. Awan tahu aku sedang kesal tapi dia bisa menahan diri untuk tidak balik menyerangku dengan kekesalan yang sama. 'halloo, kok gada suaranya siih' katanya lagi, dan aku tetap diam. Masih ada suara-suara ramai di belakangnya, sepertinya dia masih bersama teman-temannya. Dia pintar sekali memancing untuk aku mau bicara, tiba-tiba dengan jelas dia bilang pada salah satu temannya 'gua ikut aja deh', 'katanya lu mau pergi' timpal temannya yang kudengar samar, lalu dia menjawab lagi, 'gak jadi kayaknya, ini telpon nya aja salah sambung', walau berucap begitu, dia tetap tidak menutup teleponku, aku langsung menyambarnya dengan nada kesal memanggil namanya 'awaaan' 'apaa yaang apaa.'eh nyambung deng, gak jadi ikut gue (hahaha)' setelah menjawabku dia langsung bicara lagi pada temannya yang juga mulai kesal, 'gak jelas lu, jadi enggak?' 'enggak, gue mau ngedate hahaha' backsound nya sudah mulai sunyi dan awan kembali menyapaku, 'kamu dimana yaang ?, aku masih di kampus mau balik kosan sebentar abis itu langsung jalan'

'kenapa gak bales-bales dari tadi?'

 'ini kan aku nelpon'

 'tadi kemana?'

 'aku masih di kelas tadi.kamu udah jalan ?'

 'belum'

 'mau jalan?'

 'gak tau'

 'jangan gak tau dong.masa nanti aku pergi kamunya enggak, aku jemput yaah?!'

 'gak usah'

 'yaudah, aku ngagaya heula atuh.kan mau pacaran, kamu emang moal ngagaya?'

 'yaudah cepetan, aku tinggal berangkat ini'

 'iyaa iyaa, see you yooong'

Ada panggilan gemas 'ayang-iyong' yang kami gunakan saat itu, tapi tidak jelas juga siapa ayang siapa iyong, kami memanggil sesuka kami saja (hahaha). Sekali lagi tolong jangan tertawakan kami dengan tempat-tempat kami bertemu, aku sungguh bukan remaja gaul yang tahu banyak tempat hist remaja saat itu, sementara awan mengandalkan aku karena aku orang Bandung. Jadi kami janji bertemu sekitar kepatihan lagi dan berakhir di timezone kings. Tentu saja sebelum bangunannya terbakar dan menjadi sebagus saat ini. Sepertinya kami tidak pernah berpikir siapa kami saat itu, entah kami yang beranjak dewasa atau ababil alias ABG labil, atau mungkin lebih terlihat seperti kanak-kanak. Kami menghabiskan cukup banyak energi sejak awal di timezone sampai rasanya tenggorokanku kering sekali. Aku lalu mengajak awan untuk berhenti dan mengisi ulang amunisi, 'yaaaang iiiih, laparrr.hayu makan dulu'

'kamu maaah lapar waeee ahhh'

'capek taauuuu dari tadi ih'

'yaudah hayu makan dulu'

Sambil berjalan keluar area permainan kami diskusi mau makan apa, tapi ditengah obrolan, topik awan berubah, 

'yang gausah jadi nonton yaah?!'

'naha ? duit kamu abis yah ? (hahaha)'

Aku menggodanya dengan senyum dan tatapan tanpa kedip kearahnya,

'huuuuu sotooooy, loba keneh taaaaaah'

jawab awan sambil memamerkan dompetnya,

'terus kenapa gak jadi?'

'males aah, ramean gerak-gerak gini.lagian gak ada yang spesifik kita mau nonton apa'

'abis makan mau kesini lagi ?, embung ah'

'kemana dong?'

'pulang aja deeh?'

'embung ah masih siang'

'kemana dong?'

'yauda makan dulu aja.yaaang itu tukang apa?'

Tidak jauh di depan area timezone ada stand tahu brintik yang cukup favorit waktu itu, kami menghentikan langkah karena awan kekeuh ingin beli walaupun cukup antri

'yang aku pegel iih' ocehnya lagi,

'sana cari tempat duduk, aku aja yg nunggu'

'pada penuuh'

'nyaariii laaaah, manjaa ah gak suka'

'gak ada yaaaang, jongkok aja yaa disini'

'enggak enggak, awaan iiih malu'

'iyaa attuh iyaaa'

Sekedip mata dia yang tadi merengek di sampingku sudah hilang, aku melihat kanan dan kiriku tapi tidak menemukannya. Lalu antrianku tiba, saat sedang menunggu pesanan, aku merasa ada yang menarik-narik tasku dari bawah, aku menoreh memeriksanya dan ternyata awan benar-benar jongkok di sampingku, 'yaaang yaaang' katanya sambil tersenyum dan masih menarik tas yang menjuntai dari sebelah bahuku. Aku kesal dan rasanya malu karena dilihat banyak orang,

'awaan bangun iih malu ahh gak mau gak mau'

'pegel yaaang'

'gak tau aah gak kenal gak kenal'

Dia masih haha hehe dibawah sana sampai aku bilang pesanannya sudah selesai. Wajahnya benar-benar polos, tidak ada mimik malu sama sekali dan dia menikmati tahu brintik itu setelah kami duduk sebentar sebelum kemudian memutuskan menu makan siang yang terlambat itu. Walaupun waktu itu rasanya sangat kesal, sekarang mengingatnya membuatku penuh tawa, bahkan kenangan lama yang menjengkelkanpun berhasil ia buat cerita lucu untukku dimasa depan atau saat ini.

Kami masih belum tau mau kemana lagi bahkan setelah selesai makan. Lalu awan memamerkan sebuah kunci menggoyangkan nya dihadapanku sambil memanggilku 'yaaaang', aku hanya meresponnya dengan tatapan bingung tanpa kata-kata, dia paham sekali tatapan itu tanda kalimat tanya,

'aku bawa motor si adi' lanjutnya

'kenapa bawa motor dia?'

'dia yang ngasih, akumah gak minjem'

'dia tau kita mau ketemu?'

'tadi pas aku nelpon kan ada dia, orang aku masih di kampus'

'katanya mereka ada acara juga?'

'dia gak ikut. terus nyuruh aku bawa motornya. aku udah nolak tadi tapi dianya maksa, yaudah deh aku bawa. gak suka yaah?'

'gak maslah siih, asalkan gak kamu yang maksain. aku gak apa-apa beneran kalo kamu ngangkot'

'yaudah momotoran weh yu ah'

'hayu'

Meninggalkan daerah kepatihan tanpa tujuan membuat kami lebih bersemangat. Kalau tidak salah mengingat, dari kepatihan kami ke atas, melewati Gasibu-DU- lalu turun lagi ke Merdeka dan berakhir di gramedia. Waktu disekitaran DU dia menunjukan beberapa tempat yang biasa dia datangi untuk nongkrong dengan teman-temannya, menunjukan jalan arah ke kosannya dan penjual kupat tahu langganannya untuk sarapan. Aku menemukan hal lain yang membuatku senang bersama dengannya, toko buku !!!. Sudah senja menjelang malam ketika kami masuk ke gramedia, begitu di dalam kami terpisah pada minat masing-masing, sama-sama tidak sadar sejak kapan saling menjauh sampai dia meneleponku,

'kamu dimana ?'

'di novel'

'oh yaudah, aku di hukum ya'

'hah, emang kamu ngapain ?'

'aku di koridor buku hukum sayaaang'

'haha oh oke, bye'

Begitu saja kami berkabar dan tetap asyik sendiri-sendiri. Setelah bosan di novel karena tidak menemukan buku yang cocok, aku mendatangi awan yang katanya ada di koridor buku hukum.dia sudah tidak disana waktu aku sampai, giliran aku yang meneleponnya sekarang,

'kenapa yaang?' sapanya ramah dibalik telpon,

'dimana sekarang?'

'di psikologi, hehe'

'oke aku kesitu yah'

'hmmm'

Setelah menemukannya, awan hanya sedang sibuk melihat judul-judul buku. Lalu aku mengajaknya pulang dan dia langsung setuju.

'aku bayar dulu yaah' ucapnya saat kami berjalan,

'oh kamu ada yang dibeli, aku tunggu dibawah ya'   

'okee'

Tidak lama, awan menyusulku, kemudian kami langsung berjalan pulang, iya kali ini awan mengantarku sampai kosan. Gerimis menemani perjalanan kami, awan ingin menunggu hingga reda tapi aku memaksa untuk pulang saat itu juga. Walaupun gerimis kecil ternyata kami cukup kuyup saat sampai di kosan. Aku mengajaknya masuk untuk menunggu hujan dan mengganti jaketnya dengan punyaku tapi dia bilang tidak usah, biar sekalian basah katanya. Aku tidak bisa memaksanya lagi, sebelum pergi dia memberikan kantong kecil gramedia, isinya 2 buku dan satu tali rambut berwarna biru. 'baca yah' katanya singkat. Aku hanya tersenyum dan mengangguk dengan ucapan terima kasih. Padahal hari itu rambutku sengaja ku-gerai, aku ingin terlihat lebih manis dihadapannya ternyata dia tidak tergoda hahaha. Dia sempat bertanya waktu siang kenapa rambutku begitu, aku hanya bicara asal kalau tali rambutku hilang. Dia pamit dengan cepat saat itu dan kembali bermain gerimis dalam perjalanan. Sampai hari ini aku masih menyimpan kedua buku yang dia beri waktu itu, walaupun warna disampulnya mulai pudar. Satu buku bersampul biru dengan judul Pengorbanan Seekor Kupu-Kupu karya Azizah Hefni dan satu buku berwarna merah muda dengan judul Wedding Book karya Erika Yuliartika.

Kira-kira jam 9 di malam yang sama, aku menerima panggilan awan lagi, setelah bicara hal-hal biasa aku kemudian bertanya alasannya memberiku kedua buku itu,

'kenapa ngebeliin yang kaya gitu?'

'naon? tali rambut? kan katanya hilang, rariweuh rambut kamu kaya gitu, aku sukanya kuncir kaya biasa'

'bukunya?'

'lagi diskon aja, kan kamu yang ajarin aku jadi pemburu diskon'

'nu baleg yaaang ditanya teeh'

'baleg eta ge yaaang'

Aku terdiam sesaat memberinya tanda bahwa pertanyaanku serius, dia kemudian melanjutkan bicaranya,

'aku pengen baca, tapi takut gak sempet kan sibuk. jadi tolong kamu baca nanti kasih tau aku apa isinya'

Belum sempat menjawabnya, kudengar seorang memanggilnya di seberang telepon, seperti suara yang ku kenal. Samar-samar yang kudengar dia mencari sesuatu dan bertanya pada awan, setelah itu topiknya berganti 'hayu makan', suaranya lebih jelas dari sebelumnya.

'duluan aja. nyusul nyusul, lagi nelpon dlu'

'telponan jeung saha sihh?'

'biasaaa'

'anjiir, bukannya seharian bareng-bareng?'

'anak muda meeen, ges kaditu engke urang nyusul'

Iya itu adi, suara adi yang masih sangat kukenal. Selain satu kampus mereka juga tinggal di kosan yang sama tapi tidak sekamar. 'yaaaang' sapa awan lagi 'hmmm'

'si adii barusan, ngajak makan'

'yaudah sana makan dulu'

'kela aah, masih kangen'

Aku tidak lagi membahas buku yang dia beli setelah itu, dan memintanya untuk ikut makan dengan adii dan teman lainnya, tapi dia memperpanjang topik obrolan.

'yaaaang, boleh gak kalo aku lama gak bales sms atau gak angkat telpon, kamunya nunggu dulu, aku pasti jawab kok, kalo enggak juga aku pasti balik telpon.jangan kaya tadi, yaaah'

'yaaa abiis kamunya gak jawab-jawaab'

'yaaah kan akunya di kelas.kamu juga kalo lagi kerja gak selalu pegang hp kan?, pokoknya gak mungkin gak bales'

'iyaaaa, maap'

'gak usaah minta maap daa acan lebaran yaaang'

'udaaah sana makan dulu, aku ngantuk'

'gak apa-apa kan aku ngomong kaya gitu?'

'iyaa gak apa-apa, akunya aja rese'

'iya emang, sok sana tidur biar gak rese lagi'

'fuck you awan'

'fuck you too cherry (hahaha)

Begitulah kami menutup malam ini, walaupun diakhiri dengan 'fuck u', perasaan kami lebih dari sekedar nyaman dan senang, kami memang pasangan anti mainstream.

***

Kemarin awan pamit padaku untuk pulang ke Sukabumi, katanya dia akan seminggu disana, padahal libur smesternya hampir dua bulan. 'kamu jangan kangen yaa, aku ke luar kota seminggu'

'emang kalo kamu di Bandung, kita sering ketemu?' aku langsung membuat serangan padat, 

'tapi aku bakal lebih sibuk kalo pulang, bakal lebih jarang pegang hp'

'iyaa gak apa-apa, enjoy disana'

Singkatnya dia berangkat ke Sukabumi dan entah kenapa aku juga tidak mau mengganggu hari-harinya dirumah. Oh iya, aku sudah pindah pekerjaan saat itu, naik ke daerah Cihampelas. Ini malam ketiganya disana, sama persis seperti dua hari sebelumnya dia menghubungiku jam 8 malam, bedanya kali ini dengan backsound yang cukup ramai.

'yaaang aku mau barbeque-an'

 'pantesan rame.yaudah telponnya nanti lagi aja'

 'enggak aah, aku sengaja nelpon ngabibita kamu'

 'jail banget sih hidup kamu yaang'

 'kalo gak gitu kita gak happy (hahaha)' 

 'ada siapa aja yaang?'

 'adaa banyaak niih, ada si juned, si maman, si ula (si maman saha ai aa ?) teuing maman we pokoknamah'

Suara dibelakanng awan bertanya bingung siapa yang awan sebutkan dan awanpun menjawab seenaknya, ternyata awan memang menyebutkan sembarang nama kecuali ulla.

'siapa yaaang?'

'itu .. selingkuhan aku'

'oh, kenalin dong sini'

'ngambek dong yaang pura-pura nya teeh'

'enggak aah, aku mau ngikutin selingkuh aja'

'enggak deeng bukan, akunya juga gak mau si ulla mah tara mandi tau yaaang' 

Suara pukulan yang kudengar samar menghantam tubuhnya membuatku ikut tertawa, ternyata ulla adalah adik sepupunya. Selain suara pukulan aku juga mendengar suara ulla yang balik menyerang awan dan sedikit berteriak memanggilku,

'aa tah nu tara mandi makana hideung. teeeh jangan mau teeh si a awan mah mandina ge tayamum'

Aku masih terkekeh mendengar keributan persepupuan itu, bahkan dibelakang mereka masih ada suara ramai lainnya lagi. Kemudian aku mendengar awan bicara pada orang lain lagi 'enya kela kela', lalu awan memberikan teleponnya pada ulla, 'ulla yeuh ajak ngobrol heula - yaaang ngobrol dulu sama si ulla yaah' 

'ngobrol naon aa iiih' 

'naon wee da sagala apal si eta mah'

Aku bahkan belum menjawab apa-apa saat dia memintaku bicara dengan ulla, tapi dia sudah berlalu. Aku dan ulla benar-benar ngobrol menunggu awan kembali, 'hallooo' sapa ulla dengan ragu, 'halo ulla' jawabku ramah.

'si aa nya lagi disuruh dulu sama emak teh' emak adalah panggilan mereka pada neneknya,

'iya ulla gak apa-apa'

'teteh orang Bandung?'

'iyaa'

'sini atuh main ke Sukabumi'

'iyaa nanti kalo diajak sama awan'

'teteh aja yang ngajak'

'malu ah masa teteh yang ajak'

'ih gak apa-apa, nanti gera yah ulla bilangin. tuh teh si aa nya dateng'

'nyambung keneh teu?'

'nyambung, yeuh'

'ngobrol naon ulla? ngomongkeun aa nya?'

'a si teteh hayang kadieu ceunah'

'sok araneh ulla - emaang iyaa yaaang pengen kesini?'

'mau ngajak gak kamu nya?'

'hayu atuuh aii kamu wani mah'

'katanya mau barbeque-an, udah besok lagi sama akunya'

'ullaa naha jadi embungeun ngobrol jeung aa'

'teuing ai aa iih, haha boseneun meren'

'yaang kenapaa iih?'

'gak apa-apa yaang, bisi riweuh sambil telponan maah'

'meni tumben soleha si sayang'

Setelah beberapa saat masih mengajakku bercanda akhirnya kami menutup percakapan malam itu.

***

Hari ini aku bekerja shift pagi, mulai dari jam 10 dan selesai jam 6 sore. Sudah empat hari sejak awan pulang. Seperti biasa aku break jam 13.30, ada 3 missed calls dan 1 pesan dari awan ketika aku membuka ponsel. Sebelum membuka pesannya aku merasa agak heran karena awan tidak biasanya begini, dia tidak pernah menelpon lebih dari satu kali bila aku tidak mengangkatnya. Isi pesannya membuatku semakin bingun dan sedikit cemas

'yaaaang kamu dimana?, aku otw Bandung, satu jam lagi nyampe'

Aku langsung balik menelponnya, walau tetap lembut suaranya tidak terdengar seperti biasa, seakan dia sedang menahan amarahnya. Dia hanya bilang ingin bertemu denganku, aku mempersilakannya datang ke tempatku bekerja dan menunggu sampai jam kerjaku selesai. Saat itu aku bekerja di sebuah kafe. Hanya itu yang kami bicarakan di telepon. Aku menunggunya dengan harap-harap cemas sampai dia datang kira-kira jam 4 sore itu. Seperti yang kukira, keadaannya tidak baik-baik saja, aku memberinya segelas mojito lychee untuk mendinginkan suhunya, suhu tubuh, suhu hati bahkan emosinya, walaupun yang menyambut dia datang bukan aku.

'minum dulu yaah, aku beres jam 6'

kataku sambil memberinya password wifi agar dia bebas mengakses internet dengan laptopnya.

'iyaa, kamu santai aja kerja, anggap aku gak ada'

Tidak seperti biasanya yang langsung menyambar canda, aku hanya tersenyum dengan sedikit anggukan sambil melangkah jauh darinya. Tidak mungkin aku tidak penasaran dengan apa yang sedang dia hadapi, tapi keberanianku untuk bertanya lebih kecil daripada rasa cemas yang terus mengangguku. Setelah selesai jam kerja dan berganti pakaian aku kemudian menghampirinya, mengajaknya keluar. Perlahan dia mulai bicara apa yang membuatnya kembali lebih cepat, juga emosi yang sepanjang hari menemaninya. Ini tentang luka kami yang kubilang mirip, saat itu kami tumbuh dan bertahan tanpa pendampingan seorang ibu. Awan memiliki seorang adik perempuan yang baru berusia 8 tahun, namanya bulan. Ayah yang semula menjadi sosok yang amat ia percaya memilih hidup dengan orang baru setelah kepergian ibunya dan mengacaukan semua kepercayaan awan terhadapnya. Awan memilih tinggal dengan kakek dan neneknya daripada ayah dan istri barunya. Ini mungkin salah satu hal yang membuat kami merasa saling menemukan, pengertian tentang rasa kesepian meski di tengah keramaian. Kami tidak pernah saling bertanya penyebab kepergian ibu kami, tapi saat merasa rindu, kami selalu berbagi kehangatan untuk saling memulihkan. Aku yang saat itu baru ditinggalkan mama selama satu tahun, mungkin belum merasakan luka yang terlalu besar seperti awan yang sudah menjalani hari-hari penuh tangis itu sejak 5 tahun terakhir. Sekarang aku merasakan apa yang dulu awan ceritakan, ketika dia bilang,

'tidak ada yang membela saat kita disalahkan, tidak ada yang tulus menghibur saat kita dalam kesedihan, juga tidak ada yang membanggakan saat kita meraih kemenangan, tidak ada yang benar-benar peduli. semuanya terasa datar dan hampa'

Hal yang paling dan selalu awan khawatirkan adalah bulan, terlebih karena saat itu awan sudah tinggal di Bandung. Hubungan dengan ibu sambung mereka tidak sesederhana orang lain, hanya rasa menakutkan dan kebencian yang awan ingat dari ibu sambung mereka. Ada pertengkaran cukup hebat yang terjadi antara awan dan ayahnya, awan menahan diri dan berusaha tetap percaya pada ayahnya, namun perdebatan ayah dan anak itu tidak bisa dihindari ketika ternyata pihak ketiga terlibat dengan ingkarnya janji sang ayah, iya ibu sambungnya. Aku paham bagaimana perasaan awan, bagian paling menyakitkan adalah ketika alasan dan perasaan kita tidak didengarkan. Tidak banyak yang bisa aku lakukan untuk membantunya tenang, kata demi kata yang terucap, aku susun dengan sangat hati-hati.

Awan lanjut bercerita bagaimana kemudian dia marah kepada ayahnya, sampai satu tamparan lepas kepadanya dihadapan bulan. Pembicaraan mereka berhenti disitu, awan segera meraih bulan, menggendongnya dan diajak pulang ke rumah emak. Bulan tinggal dengan ayahnya setelah awan pindah ke Bandung, tapi bulan sering kali kabur ke rumah emak dan mengadu ingin tinggal dengan awan saja. Semula mereka sama-sama tinggal dengan emak dan abah. Aku berusaha membantu awan tenang sebisaku, dengan hanya mendengarkannya dan tidak mendebat apapun yang dia katakan. Matanya mulai sedikit memerah ketika mengungkit kebersamaan dengan ibunya. Kepedihan yang tidak pernah bisa terlukis.

'aku mau mulai kerja part time yaang'

'emang waktunya cukup? kelas kamu kan padet banget'

'bisalah diatur.aku cari yang gak ganggu kelas'

'aku kemaren dapet tawaran dari temen sebenernya'

'tapi jangan maksain yaah'

'iya'

Aku tidak ingat persis bagaimana kami menyelesaikan hari itu dengan perasaan awan yang beragam, tapi awan memulih dengan cepat. Besoknya dia sudah bisa bercanda lagi di telepon denganku tanpa pembahasan soal kekesalannya lagi.

***

Dua minggu berlalu, awan benar-benar mengajakku ke Sukabumi, tanpa alasan, benar-benar ajakan untuk pergi main jauh saja. Aku tidak berpikir panjang atau memikirkan hal-hal lain, benar-benar murni untuk main jauh dengannya.

'tapi kamu harus izin sama nenek kamu'

'kalo gak dibolehin?'

'yaa pokoknya bilang aja dulu'

'gak bakal dikasih yaaaang kalo aku bilang'

'kamu emang beneran mau ikut?'

'kamu beneran gak sih ngajaknya?'

'yaa beneraaan'

'yaaaudaaah'

'yaaa tapi masa gak bilang?, nanti aku dikira nyulik kamu'

'iyaaa nanti aku bilang'

Aku meminta izin pada nenek saat itu hanya akan menginap di rumah teman, tidak bilang temanku laki-laki dan rumahnya di Sukabumi (hahaha).

Kami berangkat hari rabu jam 9 pagi dan sampai di rumahnya sekitar jam 1 siang. Terminal bus yang kami tumpangi masih memakan jarak hingga sampai ke rumah awan. Ternyata awan sudah meminta sepupunya menjemput kami. Ulla dan arif masing-masing membawa motor, setelah kami tiba ulla beralih ke motor arif dan motor yang dibawanya diambil alih awan yang membawaku. Aku tidak tahu aku akan disambut seperti itu saat tiba di rumah neneknya. Ada emak, abah dan bi lilis yang sudah menyiapkan makan siang buat kami. Bi lilis adalah ibunya ulla, adik perempuan mendiang ibunya awan. Kemarin awan sudah memberi tahu mereka bahwa aku akan berkunjung katanya. Keramahan mereka membuat aku tidak merasa seperti orang asing diawal kedatanganku itu. Setelah cukup istirahat awan mengajakku keluar lewat waktu ashar, dia mengajakku ke lapangan di kampungnya itu untuk menerbangkan layang-layang, sungguh aku tidak bisa menebak apa yang ada dipikirannya, tingkah-tingkah konyolnya dan segala ucapannya yang selalu menyenangkan. Dengan awan, aku tidak pernah mengenal kata ja'im, aku berbaur bersama orang-orang yang tidak aku kenal itu untuk menerbangkan layang-layang dan bertarung dengan layangan lainnya diatas sana. Itu padahal bukan hal baru buatku, tapi waktu bersamanya benar-benar membuatku begitu gembira. Aku seperti kembali pada kebiasaan masa kecilku hari itu.

Katanya malam ini rumah emak lebih ramai dari biasanya, bukan karena kehadiranku, tapi karena memang mereka sudah lama tidak bertemu dengan awan. Aku tidak memiliki memiliki pengaruh apapun, semuanya merindukan awan. Bi lilis bercerita beberapa hal padaku tentang awan, rasa khawatirnya akan awan sedikit berkurang saat tahu awan memiliki teman sedekat aku.

Aku tidur di kamar awan malam ini, dan dia tidur di ruang tamu dengan arif, aldi dan rizal, orang-orang yang tadi sore juga bermain layangan bersama kami. Aku langsung terlelap ketika menemukan bantal dan selimut diatas tempat tidur awan, tidak peduli suara berisik diluar sana. Aku sungguh tidur dengan nyenyak, padahal biasanya aku kesulitan tidur di tempat asing. Ini agak memalukan sebenarnya, tapi tak apa biar kuceritakan. Aku yang biasa shalat subuh setengah 6 atau kadang jam 6 dibangunkan setengah 5 pagi bahkan ketika adzan subuh masih berkumandang, aku mendengar awan mengetuk pintu dan memanggil namaku,

 'cheeryyyy, cheeeer subuh cheer',

Tapi sungguh udara pagi yang dingin disana membuat aku tidak ingin beranjak atau bahkan hanya bersuara. Setelah aku biarkan, suara awan menghilang dan aku seperti kembali terlelap. Aku kira dia benar-benar pergi, tapi kemudian dia memanggil sambil menepuk bahuku, saat mata terbuka aku kaget sekaligus malu, emak ada disampingnya menemani dia membangunkan aku. Aku segera beranjak duduk, wajah emak yang penuh senyum mengajakku untuk segera shalat subuh. Awan yang melihat aku terkejut dan malu, tertawa dengan puasnya disampingku yang masih duduk ditempat tidurnya. Aku tidak tahu emak menghilang kemana setelah aku selesai shalat subuh, jadi aku kembali ke tempat tidur awan berniat meneruskan mimpi indah seperti biasanya. Ternyata awan mengikutiku lalu menjewer telingaku sambil bertanya,

'eeeh mau kemana lagi?'

'bentaar yaang dingin'

'pake jaket, pake jaket cepet'

'kemana iih ?'

'itu ditungguin bii lilis, buru iih'

'kemana yaang masih subuh gini?'

'iya justru emang harus masih subuh, ayo cepet. niih pake jaket aku aja biar gede'

Dan aku sungguh pergi ke pasar saat masih pagi buta, dengannya, dengan bi lilis. terlalu banyak kejutan yang aku dapatkan sejak berbagi waktu bersamanya, dan entah bagaimana aku bisa begitu riang berkeliling di pasar tradisional pagi itu.

Kami akan pulang siang ini, dan sebelum kembali ke Bandung bi lilis meminta awan menemui ayahnya entah bersamaku ataupun tidak. Tadinya awan menolak dengan tegas tapi kemudian dia mengalah dan mengajakku bertemu bulan di rumah ayahnya. Seperti yang kami sepakati aku dikenalkan sebagai teman, ayah dan ibu sambungnya menyambutku dengan senyum. Tidak banyak yang kami bicarakan selain hanya berpamitan untuk pulang.

Kurang lebih 4 jam perjalanan akan kami tempuh sampai kembali ke Bandung. Ada nasihat-nasihat yang disampaikan emak, abah juga bi lilis padaku. Rasanya dibalik kalimat-kalimat bi lilis, seperti perasaan menitipkan awan padaku, padahal kami benar-benar masih sangat muda. Kami berangkat lebih cepat dari rencana awal, jam 11 siang itu bus yang membawa kami kembali ke Bandung sudah melaju. Berbeda dengan saat berangkat, kali ini aku banyak tertidur selama perjalanan hingga tiba-tiba awan membangunkan aku karena sudah tiba di Bandung. Sebelum aku pulang ke Cimahi awan mengajakku mampir ke kosannya, ada beberapa teman awan yang aku temui termasuk adi. Seperti remaja kebanyakan mereka menggoda kami yang baru saja tiba, begini cara awan memperkenalkan aku ketika temannya bertanya

'siapa waan ?'

'ini? eehm... penyerang, gua pemain bertahan'

Enam orang temannya yang sedang berkumpul didepan salah satu kamar itu tertawa dengan kompak, aku hanya tersenyum dengan sedikit anggukan tanda salam. Adi yang mengenalku sejak SMA tentu aneh melihat sikapku yang kalem seperti itu, kemudian dia menertawakan aku secara personal. Adi bangkit dari duduknya dan menghampiriku sambil mengulurkan tangan, kami memang sudah cukup lama tidak bertemu. Basa basi kami berhenti saat awan sudah membuka kamarnya dan mempersilakan aku masuk, tapi setelah itu awan mengajak adi bergabung dikamarnya dengan kami, meski awalnya menolak adi akhirnya bergabung setelah awan bilang,

'bisi aya setan duaan mah, mun tiluan kan maneh setanna'

Tidak banyak yang kami lakukan selain berbincang, bercanda lalu aku pulang. Walau awalnya awan yang akan mengantarku pulang ke Cimahi, pada akhirnya aku pulang dengan adi karena adi juga akan pulang ke rumahnya, tentu saja itu kesepakatan kami bertiga, maksudku awan tidak keberatan dengan itu. Dalam perjalanan adi sedikit menyebalkan, dia banyak bertanya tentang hubunganku dan awan, pendapatku tentang awan juga tentang perbedaan awan dan dirinya. Itu bukan obrolan serius, aku yakin adi hanya mencari topik obrolan agar kami tidak seperti penumpang dan tukang ojek, dia benci suasana begitu sejak dulu.

Hari-hari lelah yang menyenangkan itu kututup dengan ucapan terima kasih dan lambaian tangan pada adi karena sudah mengantarku pulang dan mengenalkan aku pada awan.

***

Hari ini kami berencana untuk nonton twilight-breaking dawn, film yang sedang sangat populer. Awan hari ini hanya mengisi dua mata kuliah, sedangkan aku kerja pagi dan pulang lebih awal. Ketika awan memberi kabar bahwa dia akan selesai dari kampus jam 2 kupikir aku bisa ke Cimahi dulu baru kemudian ke BIP sesuai janji, karena aku punya satu jam lebih awal daripada awan. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak ketika aku harus memaksa pulang ke Cimahi waktu itu. Siapa yang tahu keadaan akan sangat kacau ketika aku kembali dalam perjalanan dari Cimahi menuju Bandung, total macet sepanjang perjalananku. Aku terjebak dalam kemacetan yang mau tidak mau hanya bisa menunggu. Awan sudah menungguku selama 30 menit ketika aku terjebak dalam kemacetan yang sampai setengah perjalananpun bahkan belum. Dia lalu menyarankan agar membatalkan janji temu kami hari itu meski dia sudah sampai disana saat aku bilang terjebak macet parah, tapi aku tidak mau membatalkannya, karena akan sulit mencari waktu lain lagi. Aku meyakinkan awan akan tiba lebih cepat tanpa tahu kalau macetnya total dari Cimahi ke Bandung. Aku terus berkata 'sebentar lagi-udah deket' setiap kali awan bertanya 'dimana?', hingga akhirnya membuat awan naik pitam. Tidak mungkin tidak, dia menungguku sejak jam setengah dua siang dan aku baru muncul jam 4 sore. Meski sudah bilang aku terjebak macet, terlambatnya memang tidak bisa ditoleransi, dia menunggu aku berjam-jam. Saat aku sampai wastu kencana awan sudah sangat marah, dia mengirim pesan begini 'kalo emang gak bisa ketemu bilang dari awal' dia bahkan tidak mau mengangkat telepon dariku, sudah tidak peduli lagi dengan alasan macet yang aku berikan padahal itu sebenar-benarnya keadaan.

Kemarahannya terus meningkat, katanya jika dalam 10 menit aku masih belum datang dia akan pulang, hal itu membuatku turun di pasar bunga wastu kencana dan berlari ke BEC, tempat dia menungguku. Selain itu dia juga bilang sudah tidak ada mood untuk nonton apalagi jalan denganku, dia haya memberikan aku waktu 15 menit untuk bertemu. Aku iyakan semua kata-katanya daripada mendebat yang mungkin akan membuatnya lebih marah dari ini. Itu kali pertama awan menunjukan kemarahannya padaku, aku tidak tahu bagaimana cara untuk menanganinya. Sampai didepan BEC aku mencoba menelponnya tapi masih terus dia reject, saat aku mengirimnya pesan 'aku udah di BEC' dia baru mau menerima teleponku,

'kamu dimananya yaang?'

'di pinggir jalan!'

'iyaa sebelah mana, ini aku juga dipinggir jalan'

'cari aja pasti ketemu, keliatan kok, orang aku gede!'

Setelah berjalan beberapa langkah lagi akhirnya aku menemukan dia. Duduk di depan salah satu warung kopi dengan wajah yang benar-benar terlihat sangat kesal, aku menghampirinya dengan nafas yang terengah-engah dan sedikit banyak berkeringat serta merayunya dengan senyum termanis yang aku miliki.

'maap, aku bener-bener gak tau bakal macet setotal itu'

'yaudah sekarang mau apa udah ketemu'

dia bahkan bicara tanpa melihat ke arahku,

'kok gitu sih?, kan mau nonton'

Aku masih berharap marahnya mereda dengan sisa-sisa nafasku setelah berlari tadi,

'kan aku bilang aku udah gak pengen, waktu kamu 10 menit lagi'

'beneran niih cuma 15 menit ketemunya?'

'iyaa beneran, waktunya udah berkurang terus, cepetan mau apa?'

'gak mau maapin gitu?'

'sebenernya kamu dari mana sih!?'

'aku tadi ke Cimahi dulu ada perlu, pas berangkat lancar-lancar aja, pas balik Bandung bener-bener macet total dari Cimahi sampe kesini, aku turun di pasar bunga, lari sampe kesini'

'aku dua setengah jam nungguin kamu kaya orang bego!'

Kalimatnya menunjukan dia tidak ingin kalah, dia ingin diakui bahwa dia juga berkorban,

'iya maap, kalo pas berangkat udah macet gitu juga aku gak bakal ke Cimahi dulu yaaang'

Awan masih mempertahankan wajah judes dan galaknya meski sudah mendengar penjelasanku. Sampai hari ini aku bahkan tidak pernah tahu kemacetan yang membuat kencan kami berantakan itu apa penyebabnya.

Lagi-lagi awan mengalah untukku, dia bangkit dari duduknya dan pamit pada mamang jualan yang dia tongkrongi warungnya, mamangnya menjawab dengan sopan, 'ooh iyeu nu ditungguan teh?' awan tersenyum dan mengangguk. Aku mengira itu temannya, kemudian aku tersenyum kecil ke arah si mamang itu, si mamangnya lalu bicara padaku 'tadi ngobrol, lagi nungguin teteh katanya udah kesel, udah pindah 3 warung hehe' ucapan si mamang sedikit membantuku, aku bisa mulai menggoda awan perlahan dengan apa yang disampaikan si mamang, aku agak heran mulutnya selemes itu, bisa-bisanya dia bercerita pada mamang jualan kalau dia sedang menungguku. Tapi godaanku dengan bersikap manja tidak membuatnya luluh begitu saja meski dia mengalah dengan mau melanjutkan kencan. Meski begitu, dia tidak mau berjalan sejajar denganku yang biasanya tidak pernah dia lepaskan genggamnya ketika berjalan bersama. Saat aku menyusulnya, dia berjalan lebih lambat, dan bila aku yang melambat dia melangkah lebih cepat, begitu terus yang dilakukannya sampai pandanganku teralih pada kemeja-kemeja yang berjejer di banyak stand mall itu. Dia tahu pandanganku sudah tidak fokus, aku ingin mengajaknya berhenti untuk melihat-lihat tapi tidak berani karena kekesalannya belum reda. Aku hampir menabrak seseorang kalau tidak awan tahan dengan tangannya, kupikir dia benar-benar mengabaikanku ternyata matanya tetap mengutamakan keberadaanku. Setelah itu dia tidak lagi melepasakan genggamannya meski bukan genggaman seperti biasanya, jemarinya mengepal dipergelangan tanganku seperti bapak yang sedang menuntun anaknya, dengan nada kesal kemudian dia mulai kembali bicara padaku, 'bisa gak sih kalo liat kemeja tuh matanya biasa aja?' 'hehe. iya maap'

Gaya pakaianku saat itu benar-benar simple, hanya jeans + kaos ditambah outer kemeja atau jaket, ataaau kemeja tanpa kaos. Selalu begitu setiap kali aku bertemu dengannya, awan tidak pernah komplain tentang itu, tidak lupa rambut ekor kuda yang dia suka dan aku juga suka. Sampai di XXI, twilight hanya tersisa tayang jam 7 malam karena tiket jam 5 sudah terjual habis. hal itu kemudian membuat wajah awan kembali terlihat suram.

'mau nunggu jam 7 atau nonton yang lain yaang ?'

'yang lain aja laah'

'apa soook ?'

'Garuda di dadaku'

'kan udah gak tayang'

Sekarang giliran tatapan mataku yang berubah judes melihatnya. Sempat ingin batal menonton lagi-lagi akhirnya awan mengalah untukku dan mau menunggu jam 7. Kami lalu menunggu di foodcourt agar tidak terlalu jauh. Dulu masih ada sofa bagus di foodcourt BIP, aku masih ingat bantalan sofanya warna merah, dia memilih duduk dihadapanku alih-alih disampingku seperti biasanya. Aku lupa apa yang kemudian bisa membuatnya kembali tersenyum saat di foodcourt. Setelah suasana hatinya mereda dengan obrolan-obrolan ringan kami, tiba-tiba dia menatapku dengan manja, tersenyum dan menopang dagunya dengan kedua tangannya, lalu dia menyanyikan lagu beautiful milik cherrybelle yang cukup hits saat itu, walaupun bernyanyi tidak beraturan, hal itu cukup membuatku jatuh cinta lagi padanya dengan segala kekonyolan yang dia miliki, begini yang dia nyanyikan,

'dont cry, dont be shy, you are beautiful beautiful beautiful .. kamu cantik cantikk apa adanya'

Dia mengulang-ulang menyanyikan kalimat itu, meski awalnya hanya aku yang mendengar, suaranya yang cukup lantang mengundang perhatian banyak orang, mereka menatap dan memberikan senyum kepada kami, entah senyum senang atau jijik, ada juga yang tertawa lebar dengan terus melihat awan, dan hal itu sama sekali tidak mempengaruhi awan bernyanyi sampai aku menendang-nendang kakinya dari bawah mejapun dia terus begitu. Dia kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pindah ke sampingku lalu mengusap kepalaku karena tahu aku sudah malu dilihat banyak orang. Kalau hal itu terjadi saat ini, mungkin kami sudah trending no 1 di tiktok atau media sosial lainnya, semua orang bisa merekam apa yang awan lakukan. untung saja, di masa muda kami dunia masih penuh kedamaian. Orang masih boleh memilih tentang hidupnya yang privasi atau publikasi.

Ada cerita konyol lain setelah kami selesai menonton, di dalam film ada adegan saat bella dan edward berciuman di bawah air terjun, awan menutup mataku dengan tangannya ketika itu. Aku tidak bereaksi, hanya saja setelah keluar dari studio aku bertanya padanya,

'waktu tadi kamu nutup mata aku, kamu merem gak?'

'yaa enggaklah, aku nonton (hahaha)'

Lagi-lagi aku hanya bisa mendorongnya saat sikap tengilnya muncul.

Ini mungkin satu cerita lagi tentang awan yang masih kuingat dan senang kuceritakan. walau sudah menunggu berjam-jam kemarahannya tidak bisa mengalahkan kebersamaan kami.

***

Saat ini aku sedang mempersiapkan pernikahanku, jadi jangan salah paham bahwa aku menulis tentang awan dan masa laluku karena aku belum merelakannya. Aku memang tidak bisa melupakannya dan tidak berniat untuk melupakannya, tapi tidak lagi kukenang dengan perasaan yang sama, saat aku dan dia masih saling membutuhkan. Sama seperti ketika awan mengatakan bahwa kisah kami sudah selesai, bagiku juga sudah selesai. Pada awalnya aku juga tidak bisa menerima akhir cerita kami, terlalu mengejutkan, mendadak, tanpa aba-aba. Kali pertama awan membuat aku menangis, berhari-hari menunggu dengan harapan marahnya bisa reda, menunggu dia datang, tapi tidak pernah kembali. Semuanya baik-baik saja selama 7 bulan kami bersama-sama. Seperti yang aku ceritakan, hari-hari kami hanya penuh dengan tawa. Tidak pernah ada masalah serius, pertengkaran hebat, sampai keadaan ternyata bisa berbalik 180° hanya karena satu kalimat.

Hari itu tiba-tiba awan mengabaikan aku, tidak membalas pesan ataupun mengangkat teleponku. Walaupun sudah merasa gelisah aku terus menahan diri karena sudah berjanji tidak akan berlebihan bila dia tidak bisa dihubungi. Mungkin ada lebih dari 5 pesan yang kukirim tapi hanya dengan 2 missed calls. Setelah sepanjang hari menunggu akhirnya datang sms dari awan yang membuat aku semakin tidak mengerti yang sedang terjadi. Awan mengirim kembali beberapa pesan lamaku dengan kata-kata sayang, sms terakhir yang dia kirim begini kalimatnya,

'aku balikin semua sayang kamu, aku balikin semua perasaan happy yang aku punya selama sama kamu, aku balikin semuanya!'

Aku menjawabnya dengan pertanyaan 'kenapa?', 'ada apa?' dan kata lain semacam itu, juga 3 kali panggilan telepon tapi dia sama sekali tidak meresponku lagi.

Satu hari, dua hari, dan hari ketiga akhirnya dia mau bersuara, itupun tidak menjelaskan apa yang membuatnya bersikap begitu, dia hanya memintaku mencari tahu kesalahanku sendiri, saat aku mengajaknya bertemu, begini jawabannya, 

'kesini aja, aku sibuk gak bisa kemana-mana'

Aneh, tentu saja sangat aneh, awan tidak pernah membolehkan aku mendatanginya, apalagi ke kosannya. Selain saat kami pulang dari Sukabumi tempo hari. Aku bingung, bukan main sangat bingung,

'udah yaa aku banyak yang harus dikerjain'

Awan menutup teleponnya begitu saja, tidak ada jawaban yang aku dapat dari panggilan yang kurang dari 5 menit itu. Tanda tanya besar tinggal dipikiranku yang membuat aku tidak fokus. Tanpa berpikir panjang aku menghubungi adi dan menanyakan keberadaannya.

'tumben banget, kenapa?'

'aku harus ketemu awan, tapi dia lagi rese banget, takut aku kesana dianya gak ada'

'aku jemput aja, kamu dimana?'

'aku pergi sendiri aja, nanti jemput di gang yaa biar aku gak malu sendirian ke kosannya'

'oke, kabarin aja'

Adi menjemputku di depan gang sekitar jam 5 sore, sedikit canggung rasanya tapi kurasa hanya itu yang bisa aku lakukan untuk meminta penjelasan awan.

'emang beres kelas jam berapa tadi dii ?'

'kosong, seharian pada ngebangke di kosan'

'serius !!?'

'iyaa, belum ada yang keluar dari pagi. emang si awan bilang nya ada kelas ?'

'iyaa, sibuk cenah banyak yang harus dikerjain'

'dikadalin luu'

'gak apa-apa kan dii aku ke kosan?'

'ke kosan siapa? ke kosan adi mah yaa gak apa-apa'

'yaa ngapain ke kosan kamu'

'kenapa gak nelpon dia langsung?, ribut ?'

'teuing, salah obat jigana si eta'

Kami sudah sampai di kosan mereka, berbeda dengan kali pertamaku datang, sore itu koridor tampak sepi, adi melepaskan aku disitu dengan kata 'jug' aku yang masih ragu akan diterima awan meminta adi untuk tetap menemaniku sampai ke depan kamar awan. Dia terlihat sedang serius dihadapan laptopnya saat itu, dan adi membuyarkan fokusnya saat menyapa

'waaan, ada yang ngasih surprise nih'

 sambil menunjuk kearahku. Jelas awan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya, namun dia menutupinya dengan tawa,

 'waaaaw terkejut aku'

'udah yaa guys, saya tunduh. moal aya setan kan wan ?'

'siaaaap amaaan. nuhun bro'

Awan tidak bersuara setelah adi meninggalkan kami, dia bahkan tidak melihat ke arahku, aku hanya menatapnya tanpa berani bicara apapun. Setelah beberapa waktu, awan menutup laptopnya dan beranjak keluar, masih tidak bicara padaku. Aku rasa aku benar-benar kewalahan menghadapi awan dengan kemarahannya. Sekitar 15 menit kemudian dia kembali dengan jus mangga favoritku dan jus sirsak yang dia suka seperti kami biasa jajan. Dia memberikan jus mangga padaku masih tidak bicara, duduk jauh dariku dan asyik dengan ponselnya. Aku sudah tidak tahan lagi untuk bersabar menunggunya bicara, akhirnya aku yang pertama bersuara, 

'ada orang loooh disini'

'ya emang ada'

'please dong, aku kesini beneran ngumpulin nyali banget'

'gak ada yang maksa nyuruh dateng'

Walau mulutnya sudah bicara, pandangannya tidak teralih dari ponsel yang dia genggam,

'lagi apa sih sama hp nya?'

'harus tau emang kamu, aku ngapain sama hp aku? aku aja gak tau kamu ngapain aja sama hp kamu'

'aku gak ngerti sumpah. tiba-tiba banget tau kamu begini'

'instrospeksi neng'

'yaa apaa, aku salahnya apa, aku gak nemu, udah berhari-hari nyari, mikirin juga aku gak nemu yang salahnya dimana?'

'nyaa teuing atuh! kalo kamu sendiri aja gak tau apalagi aku'

Aku terdiam cukup lama, tidak tahu harus bicara apa lagi. Lalu awan kembali bicara dengan nada ketusnya,

'tuh tanya ke si adi. kesini juga yang dikabarin dia kan, bukan aku ?!'

'akunya bingung ngadepin kamu, makanya minta tolong dia'

'iyaaa, emang yang bisa nolongin kamu mah cuman dia kan!'

'ini apasiih yaang sebenernya?'

'gak usah manggil-manggil aku kayak gitu lagi deh'

'jadi terus kita gimana?'

Sambil mengangkat kedua tanganku, suaraku sudah terdengar sangat putus asa.

'aku gak nyangka aja aku percaya sama orang yang dari awal udah bohong sama aku!'

'bohong apaaa!?'

'gua tuh ngerasa dibegoin banget tau gak !, yaa elu, yaa temen gue !'

'bisa gak sih to the point aja?!?'

Suaraku sudah lebih tinggi dari sebelumnya, dan awan melakukan hal yang sama,

'kenapa gak pernah bilang kalo kamu sama si adi pernah pacaran ?!!!!'

'hheh?!'

Aku ternganga, dengan mata yang menatap bingung juga kaget, aku kehabisan kata-kata. Awan lalu mengusap wajahnya dengan tangan seraya meredakan amarahnya. Aku tidak tahu harus berbuat apa, selain hanya menutup mata dan mengatur nafas agar keadaan tidak semakin kacau.

'ngerasa gak salah, udah nipu aku selama ini?'

'enggak nipu yaaang, ak'

'gausah manggil aku kaya gitu!'

'aku kira dari awal adi bilang. yaa aku pikir juga bukan hal yang penting buat dibahas sama kamu. udah lama juga itu'

'gimana bisa gak penting cher ?!, gua yaah, cerita ini itu sama dia, gua bilang sama dia gimana happy nya gua bareng sama elu, dia ngasih saran ini itu, terus tiba-tiba elu mantan nya dia ?! gilaaaa gak gua!?'

'yaa enggak tiba-tiba mantan, udah lama banget jadi mantan'

'iyaa, dan yang gak tau cuman gua!'

'jadi aku harus gimana sekarang?'

'yaa gak harus gimana-gimana'

'yaa biar kamunya gak marah lagi'

'aku marah sama diri sendiri kok'

'apasih, maksudnya kamu malu macarain mantannya temen?'

'yaa kamu pikir aja!, kamu bangga macarin temennya mantan ?!'

'yang penting tuh aku sama kamu atau kamu sama adi sih?'

.....

'kamu sama adi keliatannya baik-baik aja, kok sama aku kaya gini?'

'aku harus apa sama dia!?'

Kami masih terus beradu argumen, awan yang terus menyalahkan aku dan aku yang tetap merasa tidak bersalah, menjadikan pertemuan ini sia-sia.

'aku gak macarin kalian berdua!!, aku sama adi udah 2 tahun lalu, itu juga gak lama. kita cuma kebawa suasana, selebihnya hubungan kita better temenan'

'itu versi kamu!, pernah tanya, dia gimana ke kamu?!, kamu pernah denger dia nyaman temenan sama kamu!?'

'awaaan please, dia punya pacar!'

'yaa kalo enggak, mungkin kamu masih sama dia. gak bakal dikenalin sama aku!, ngerti gak sih kamu, kalo dia ngenalin kita tuh biar bisa tetep deket sama kamu!'

'yaa itu urusan dia, kenapa marah sama aku!'

'kalian tuh manfaatin aku biar bisa tetep deket kan!?'

'iih, parah banget pikiran kamu!'

'terus apa!?'

'aku tulus tau sama kamu. gilaa yaa sepele banget ternyata dimata kamu'

'kamu pikir lagi yaaa, siapa yang paling kecewa disini? gua!!!, kalian nyimpen sesuatu yang gua gak tau sendiri'

'sekarang kan udah tau'

'cara tau nya amaze banget anjir!'

'teuing ah, aku udah gak ngerti lagi harus ngomong apa'

'yaudah gak usah ngomong apa-apa'

'aku balik yah. mau temenin ke depan gak?, nanti kalo kamu udah bisa diajak ngomong kita ketemu lagi'

'sana minta anter aja sama mantan kamu, kesini juga sama dia kan!?'

Aku menghela nafas panjang,

'ya udah aku mau bangunin adi dulu'

'cherry, kita gak usah ketemu lagi yah'

Aku menggit bibir dan memejamkan mataku sesaat.

'okee, sampe kamu tenang aku gak bakal ganggu kamu'

'kita gak usah ketemu lagi seterusnya. aku, kamu, kita selesai hari ini yaa'

'jangan egois awan. yang ngerasa kamu dimanfaatin tuh kamu sendiri'

'terserah. tapi aku gak mau deket-deket kalian lagi'

'aku balik yaah'

'kamu ngobrol deh sama adi. abis itu baru bikin kesimpulan wajar gak sikap aku'

'udahlah. udah selesai kan kamu bilang'

Aku melangkah keluar dari kamar awan. Di dadaku seperti ada sesuatu yang ingin kuledakkan, aku hampir tidak bisa membendung air mataku. Awan mengikuti langkahku, kemudian menarik tanganku ketika melewati kamar adi. Dia mengetuk pintu sambil memanggil adi, setelah dari dalam adi menyahut 'hmmmmm' awan membuka pintunya. Adi terlihat masih menikmati tidurnya, setelah duduk dia begong sesaat melihat aku dan awan didepan kamarnya, dia mengedipkan mata beberapa kali dan menggelengkan kepalanya.

'cherry mau balik'

'ooh, he'emh'

Jawab adi dengan anggukan bego sambil menggaruk kepalanya dan kembali sesaat terpejam. Aku sama sekali tidak berniat meminta adi mengantarku pulang, tapi karena awan memancing, akhirnya aku segaja membuat keadaan semakin panas dan kacau.

'anter balik dii'

Aku menyela mereka. Adi langsung membuka matanya lebar, melirik ke arah awan lalu bergantian ke arahku seakan bertanya, awan hanya menjawabnya dengan ekspresi dan sedikit anggukan. 'awan sibuk' aku menambahkan.

'sekarang?'

'sekarang banget'

'kamu udah makan?'

Adi bertanya sambil beranjak dan meraih jaketnya,

'langsung?'

'katanya sekarang banget'

'yaa cuci muka dulu kek diii, jigong tah'

Walaupun terlihat enggan tapi awan memberikan sedikit senyumnya di hadapan adi lalu berpamitan,

'gua duluan yah, udah ditungguin'

'kemaaanaaa?'

'biasaa bisnis. nuhuun bro'

Aku tidak mau lagi melihat wajahnya, aku hanya mengangguk tanpa memperhatikan awan lagi dan awan benar-benar berlalu. Aku mulai hilang kendali, degup jantung yang semakin kencang membuat aku semakin gemetar. Air mata juga perlahan terus berjatuhan, aku sudah tidak bisa menahan diri. Saat adi kembali dengan wajah yang basah, tentu saja dia terkejut melihat keadaanku yang berubah, tapi adi tidak membuat suasana semakin suram, 'kamu cuci muka juga?' tanyanya dengan tawa berusaha mengalihkan situasi. Entah kenapa dihadapan adi tangisku bisa semakin kencang, aku tidak ragu menangis dan menunjukan betapa sedihnya aku saat itu. Adi bersikap seolah tidak peduli, dia lanjut bersiap untuk mengantarku pulang, setelah itu duduk disampingku tanpa bicara. Masiih dalam tangisan aku memanggilnya, 

'adiiiiiiii'

'mau ditungguin apa disamperin?'

'adiiiiiii'

'samperin aja yuk biar kamunya plong'

'gak maauuu. aaaadiii, adiiiii'

'aaapaaaa?, udah dooong, jeleeek'

Aku masih terus menangis hingga lebih dari 10 menit.

'berisik iih, dikira orang kamu aku apain lagi'

'hayu balik'

'tapi berhenti'

'iya'

Setelah adi memberiku segelas air putih, kami lalu meninggalkan kamar adi, meninggalkan kosan, meninggalkan DU, meninggalkan awan dan semua cerita kami. Kami melewati awan yang sedang duduk didepan warung dengan santai. Sebenarnya awan juga terlihat cukup kacau, adi memberi salam dengan membunyikam klakson motornya sementara aku membuang wajahku ketika dia terlihat lebih dekat.

'mau makan dulu gak?'

'gak usah, langsung pulang aja'

'kamu belum makan ih'

'gak laper'

'adi lapar banget. Mcd simpang yaah kan searah pulang'

Aku tidak menjawab adi lagi karena sibuk dengan tangisan bodohku. Adi terus bicara hal-hal konyol selama dia makan yang membuatku akhirnya ikut menyantap beef burger yang dia pesan.

***

Sampai di kosan adi tidak langsung pulang, dia memarkir motor kemudian duduk di kursi teras depan kosan.

'mau ngobrol atau mau ketemu lagi?' tanya adi to the point,

'ngobrol apa?'

'emang gak ada yang mau kamu omongin ke adi?, tapi jangan nangis kaya tadi'

'kesel siih sebenernya sama kamu juga. tapi karena udah nganterin balik dan ngasih makan jadi gak berani maki-maki'

'maki aja lagii, biasanya juga gitu kan kalo marah ?!'

'naha rese siih dii?'

'apanya?'

'kenapa bilang kita mantan?'

'kan emang iya?!, sebentar juga tetep mantan'

'ngomongnya gimana siih?'

'ribut gara-gara itu?'

'putus!'

'emang jadian? (hahaha)'

'teuing, da si awan yang bilang putus'

Tawa adi menular padaku.

'putus gara-gara adi dong!?'

'yaa eeluuu ngacaa adiiiii'

Adi mungkin merasa bersalah walau aku bicara dengan canda, tapi tidak banyak juga yang bisa dia lakukan selain mencoba menghibur dan menenangkan aku.

'marahnya edan yaah?'

'parah anjir. pertama kali dia segini jahatnya sama aku dii, sampe beneran nangis sedih aku'

'padahal salah adi dimana yaah?'

'emang kamu ngomong apa sih?'

'yaa ngomong gitu'

'yaa gitu gimana?'

'kan dia lagi nyerita, 'si cherry tuh gini gini', gitu kan. terus adi respon, 'iya waktu sama adi juga gitu'. udah adi ngomong gitu doang'

'gini, giini gitu teh naon?'

'yaa pokonya gini gitu lah, adi sama si awan yang tau'

'aku mau tau'

'ya pokonya gitu, pujian kok pujian, gak ngejelekin. abis itu si awan nanya 'emang pernah bareng?', 'iya waktu SMA sebentar' gitu jawab adi, udah we'

'aaah waaduul'

Adi mengeluarkan senyum kecil khas miliknya saat dia memyembunyikan sesuatu,

'eeeeeeh, sok tanya si awan. adi telpon yaah'

'si awan nyuruh aku nanya sama kamu, masa nanya deui ka si awan. buru terus ngomong apa lagi?'

'iyaa terus nanya aja gitu, kenapa putus, kenapa dikenalin sama dia, udah gitu aja'

'kamu jawab apa?'

'yaa jawab apa adanya'

'ya naon apa adanya teh, aku kan gak tau adanya apa'

'yaa adi bilang pernah ngajak balikan tapi ditolak'

'kapaaan ?? anjiir bohong banget?'

Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi denganku, sebelumnya aku menangis begitu sedih merasa sangat kehilangan, tapi bicara dengan adi seperti ini membuat aku seperti lupa dengan kesedihan sebenarnya yang sedang aku miliki, aku bahkan bisa tertawa saat mengucapkan kalimat itu.

 'santaai ajaa siih, gak usah kaya yang beneran pengen balikan'

'iih bangke banget siih adii sumpah yaah. ngarang lu ngarang'

'pernaaaah. waktu adi bilang sama si erdi, kan kamu bilang gak mau'

'yaaa itu kan kamu bilangnya sama erdiiiii bukan aku!'

Bicaraku sudah mulai kutekan karena kesal.

'yaa pkoknya pernah. kan adi nyari dulu sinyal. terus si erdi bilang gitu'

'enggak, enggak. gak gitu. elu terus jadian sama si fenti anjir'

'belum, itukan pas abis udah lama kita double date sama si angel'

'enggak. itu lebih lama lagi. sebelum kamu bilang ke si erdi mau balik sama aku'

'ngaco .. enggaklah. pas udah kamu tolak itu baru aku ngejar si fenti'

'masaa siih?, jangan coba nyuci otak gue yaah!'

'hahaha, eeeh beneran. adi kan sakit waktu kamu tolak itu, jadi terkenang jelas'

'tai kucing lu adiii. terus gimana lagi?'

'udaaaah. gimana apanya lagi?'

'itu terus ke si awan kamu jawab apa lagi?'

'eeeh balik deui kadinya. yaa jawab kamu pikasebeleun jadi putus. terus setiap chat sama adi kamu minta cowok terus jadi adi kenalin sama dia, eh gak nyangka bakal cocok. udah we dia juga gak ngomong lagi'

Obrolan kami terjeda ketika ponsel adi berdering, adi menerima panggilan dari rio yang menanyakan keberadaannya. Tidak lama setelah menutup panggilan rio, ada panggilan masuk dari fenti tapi adi mengabaikannya. Aku dan fenti saling kenal, dan saat itu hubungan kami juga cukup dekat. Fenti bahkan tau aku dengan awan.

'angkat iih, cari masalah aja'

'engak ah, nanti kamu sakit hati adi ngobrol sama fenti'

Aku menjambak rambutnya cukup kuat saat dia bilang begitu, tapi dia malah semakin menggodaku,

'adiii apasiiih lu yaaah'

'adi angkat yaah, tapi jangan nagis .. jangan deng, kalo nangis lagi susah nanti berhentinya'

....

'adi soalnya suka sakit hati kalo liat si awan lagi telponan sama kamu'

'seeebeeel'

'serius. adi kira adi beneran happy liat kalian happy. tapi adi egois, adi masih punya perasaan 'kenapa sih gak sama adi kamu se-happy itu, kenapa sih malah adi kenalin ke awan, gitu-gitu laah'

Mendadak suasana kami menjadi serius.

'jadi nyesel ngenalin aku sama awan?'

'sedikit'

'sekarang seneng aku sama awan berantakan gini?'

'sedikit'

'gak tau harus ngomong apa lagi adii ah. sana pulang'

'bentar lagi. si awan masih care tuh. kejar lagi aja kalo kamu juga masih betah sama dia'

'lupa ?? aku pulang aja disuruh minta anter kamu'

'barusan kan nyariin, nelpon'

'si rio?'

'gak jelas banget si rio nelpon nyariin adi. pasti awan lah yang kepo, makanya sengaja adi bilang masih sama kamu'

'kamu kan gak bilang lagi sama aku'

'kan adi bilang di cihampelas, emang mau apa, dagang jeans adi disini?'

'adi, jangan bikin hubungan aku sama fenti jadi gak enak dong'

'tiba-tiba fenti sih ?!, gak enak gimana?'

'yaa gak usah ganjen-ganjen sama aku, bisi akunya kegoda. bisi aku kepedean ngerasa kamu masih suka sama aku'

'kan emang'

'bajingan mah emang bajingan aja yaah, susah berubah'

'yaa adi juga suka sama fenti, tapi masih belum bisa lupa sama kamu, adi gak tau kalo obrolan adi ke awan bakal bikin kalian jadi gini. nanti adi bantu damai lagi yaa'

'gak usah!, biarin aja'

'boleh peluk gak ?'

'jangan ngomong gitu iiih, aku lagi rapuh banget sekarang, pasti mau aja dipeluk, tapi jangan kamu'

'(haha) ...'

Drama pun dimulai, adi merangkulku dan kemudian mendekapku, aku kembali menangis dipelukannya. Untuk beberapa saat kami tidak bicara, menyadari tangisanku semakin kencang adi lalu kembali menenangkanku,

'kalo kamu masih nangis adi gak bakal lepasin'

Dalam tangis yang masih tersedu itu aku menjawabnya,

'adi aku gak enak sama fenti?'

'kenapa? kan gak selingkuh'

'kamu gak ngangkat telpon dia dari tadi'

'dia taunya aku lagi tidur. besok juga kita ketemu, nanti aku bilangin aku abis meluk kamu'

Aku mendorong dia dan memukul dadanya seraya melepaskan diri dari dekapannya. Aku tidak tahu saat itu adi tulus atau modus tapi aku berterima kasih dengan kehadirannya hari itu yang membantu aku untuk tetap bisa tertawa.

***

Besoknya aku pulang ke Cimahi, meski tidak ada yang bisa aku lakukan atau aku ajak bicara, setidaknya dimanjakan nenek menjadi obat tersendiri untuk setiap kesedihanku. Sejak pagi datang aku tidak banyak bicara seperti biasanya, aku hanya terus telungkup diatas tempat tidur, menyembunyikan wajah, tangis dan semua kesedihanku. Entah bagaimana nenek tahu kalau aku menangis karena hubunganku yang kacau dengan awan, tiba-tiba nenek nyeletuk 'rugi banget nagisin cowok, kaya yang gak ada lagi', aku mengabaikannya, hanya menjawab dalam hati 'yang kaya awan gak ada lagi nek'.

Setelah lama menangis aku tertidur begitu saja, dan terbangun sore harinya karena merasa kepalaku sakit sekali, lalu aku juga muntah. Omelan nenek semakin menjadi-jadi karena itu, aku memilih pulang ke kosan untuk menenangkan diri. Aku terus melirik ponsel menunggu awan, entah itu telepon atau sekedar sms seperti biasanya, tapi tidak ada yang datang. Hingga rasa sedihku kembali memuncak setelah aku membaca kembali pesan-pesan lama dari awan. Tanpa berpikir panjang, aku melakukan hal yang sama dengan awan, aku mengirim balik semua sms awan dengan ungkapan sayang, lebih banyak dari yang sebelumnya awan kembalikan padaku. Setelah 5 sms terkirim awan membalas 'kamu ngapain?' tidak aku pedulikan pertanyaannya aku hanya terus mengirim balik pesan-pesan lamanya, entah sudah berapa banyak yang kukirim awan membalas lagi, 

'STOP !!!, udaaah, berhenti aku capek'

'aku juga balikin semua sayang kamu'

Awan lalu menelponku, aku mengabaikan panggilan pertamanya, setelah awan mengirim pesan 'angkat cher'

Aku menerimanya setelah panggilan ke 3,

'kamu gak capek?, udah dong. kemaren aja aku udah kewalahan banget, udah istirahat dulu'

'kan kamu yang bilang udah selesai. aku juga mau selesai hari ini, aku juga capek, biar sekalian sedihnya sekalian capeknya sekalian sakitnya'

'udaaah yaa. gak usah sedih gak usah sakit, capek aja kita udah kewalahan, udah'

Aku tidak ingat pesis bagaimana kami mengakhiri pembicaraan kami hari itu. Kami menahan diri untuk tidak saling menghubungi, meski rasanya masih tidak menyenangkan, aku terus menguatkan diri bahwa aku akan baik-baik saja tanpa awan. Ternyata tidak, aku tidak baik-baik saja saat itu. Berpisah dengan awan memberi luka sendiri untukku yang kadung tergantung pada awan.

to be continue ..

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Sebentar
eSHa
Cerpen
(Serasa) Ngga Punya Tetangga
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Bronze
Masakan Ibu
Noveria Retno Widyaningrum
Cerpen
Goodbye, My Cats
May Marisa
Cerpen
Esok Masih Akan Terus Berjalan
Rein Senja
Cerpen
Cinta yang Tersisa
SURIYANA
Cerpen
Diari Raka
zain zuha
Cerpen
Bronze
KE MANA SI MBAK?
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Guru Anganmu Luas, Loyalitasmu Tanpa Batas
Sistiani Wahyuningdiyah
Cerpen
Bronze
Senja
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Bronze
Kerja, Kerja, Dikerjain
spacekantor
Cerpen
TIRED
Nanar
Cerpen
SIAPKAH KAU TUK JATUH CINTA?
Permadi Adi Bakhtiar
Cerpen
Bronze
NURAGA
SIONE
Cerpen
climate[Pg 4] improved. It has been made habitable. The soil, which bore formerly only a coarse vegetation, is covered to-day with rich harvests. The rock-walls in the valleys are laid out in terraces and covered with vines. The wild plants, which yielded
Miftahudin
Rekomendasi
Cerpen
Sebentar
eSHa
Novel
Sebentar
eSHa
Cerpen
Bronze
Sebentar (Continued)
eSHa
Novel
Bapak
eSHa
Novel
Hotelier
eSHa