Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Refan menahan nafas, membaur dengan keheningan disekelilingnya ketika semua mata tertuju pada tangan Dr. Fadly yang menarik pintu peti es no 8. Suara decit aluminium menggema di seluruh ruangan. Hawa dingin seketika menghambur keluar dari peti, menyergap semua yang ada disana untuk kemudian bergidik ngeri. Setidaknya bagi Refan. Karena nyatanya Dr. Fadly dan para pengunjung lainnya tampak tenang, memperhatikan seonggok tubuh kaku yang menghuni lemari pendingin itu. Sang dokter lalu membuka retsleting kantong mayat tersebut dengan hati-hati. Dan Rongga dada Refan pun seketika membuncah.
Pemandangan ini seharusnya sudah ia prediksi. Ia datang ke kamar mayat RSUD Jakarta Selatan pagi ini jelas-jelas bukan untuk bertamasya atau melihat-lihat lukisan indah. Tugas pertamanya sebagai jurnalis baru bidang kriminal GalaxyTV, langsung menghantamnya dengan realita bahwa hidupnya setelah ini tidak akan se-datar dulu lagi. Ya tidak datar. Dan penuh kemuraman.
“Oke akan saya jelaskan profil jenazah. Nama : Agustina Ningsih alias AN. Wanita. Umur 25 tahun. Perkiraan waktu kematian : kemaren malam, lebih tepatnya Minggu 6 April 2025, pukul 21.35 – 21.45 WIB. Perkiraan penyebab kematian : tusukan benda tajam di leher.” Dr. Fadly yang juga merupakan Kepala Tim Forensik RSUD itu kemudian memberikan gambaran umum tentang profil jenazah.
“Bisa saya tambahkan, korban ditemukan tidak bernyawa di dalam kamar tidurnya saat akan berganti pakaian. Korban AN diketahui baru saja melangsungkan resepsi pernikahan di rumahnya, mulai dari pukul 10.00 pagi sampai lebih kurang pukul 20.30 malam. Pukul 21.30 korban memasuki kamar dengan diantar oleh seorang Make Up Artist. Pukul 21.40 MUA tersebut keluar kamar untuk mengambil air hangat yang akan digunakan untuk membersihkan make up. Korban ditinggal sendirian di kamar. Pada saat itu lah pembunuhan diperkirakan terjadi.”
Tambahan penjelasan dari Kasat Reskrim AKBP Ardino membuat kening Refan berkerut. Sebuah pertanyaan seketika merangsek ke ujung lidahnya. Ia lalu bersitatap dengan Singgih, senior pembimbingnya yang seperti memberi kode untuk ia berani mengajukan pertanyaan itu. Bukan karena pertanyaan itu begitu jenius, karena jelas semua yang ada disana pasti berpikir hal yang sama, tapi karena Singgih ingin juniornya itu berani dan membiasakan diri dengan atmosfir seperti ini. Dan Refan yang tentunya ingin membuktikan diri, dengan sigap bertanya sebelum yang lain bersuara.
“Ya, MUA yang bersangkutan telah langsung kami periksa. Dan dia mempunyai alibi yang sangat kuat, bahwa pada saat semua orang mendengar teriakan korban, MUA tersebut sedang berada di dapur bersama lima orang lainnya yang merupakan kerabat korban. Artinya saat MUA tersebut keluar dari kamar, kondisi korban masih hidup,” terang AKBP Ardino menjawab pertanyaan Refan.
“Kondisi kamar rapih. Tidak ada barang berharga yang hilang. Tidak ada sidik jari lain di tubuh korban selain sidik jari korban sendiri dan MUA-nya. Tidak ada tanda-tanda perkelahian maupun perlawanan dari korban. Tidak ada tanda-tanda penyebab kematian lain kecuali luka tikaman benda tajam di leher korban ini,” tambah Kasat Reskrim itu sembari menunjuk ke bekas luka memar di leher jenazah.
Refan kembali mengernyitkan dahi. Bekas luka itu berbentuk bintang. Pisau apa yg ujungnya berbentuk bintang? Atau mungkinkah itu bukan pisau? Lalu apa? Pertanyaan yang bahkan pihak polisi pun belum bisa menyimpulkannya itu terus menggelayut di benak Refan. Jepretan demi jepretan foto diambilnya sebagai dokumentasi dan data dukung. Hingga sampai sesi wawancara itu berakhir, otak Refan masih belum mampu memberi ide tentang senjata yang mungkin telah membunuh pengantin baru bernama Agustina Ningsih itu.
Selesai misi wawancara dengan pihak polisi dan rumah sakit, Refan dan Singgih menyempatkan diri mampir di sebuah restoran untuk makan siang. Makan siang yang tak terlalu menarik bagi Refan karena pikirannya masih tertuju pada misteri kematian pengantin baru itu. Dan info-info yang dia dapat dari Singgih cukup membuatnya ternganga.
“Sering? Kasus seperti ini sering terjadi? Maksudnya gimana mas?” tanya Refan menghentikan aktifitasnya memperhatikan foto-foto korban dalam ponselnya.
“Iya, kasus ini sudah aku dengar sejak masih kecil di Surabaya. Tapi ya waktu itu aku hanya diberitahu bahwa itu mitos. Tentang dukun yang suka ngadu ilmu di pernikahan orang,” jawab Singgih sambal terus menyantap sop buntutnya.
“Ngadu ilmu?”
“Iya, dukun sama dukun saling serang. Bisa karena pihak pengantin punya musuh yang mendendam, atau mantan yang cemburu, atau dukun iseng yang cuma ingin mempraktekkan ilmu hitamnya yang baru. Nah tempat pernikahan suka jadi sasaran empuk mereka. Karena memang rumah calon pengantin menjadi tempat berkumpulnya berbagai jenis jin yang tidak senang dengan pernikahan dan berupaya menggagalkannya dengan berbagai cara.”
Refan termangu. Bergidik membayangkan cerita dibalik mewahnya suatu pernikahan bisa se-mengerikan itu.
“Aku tak pernah dengar mitos seperti itu,” gumamnya tak percaya.
“Kau lahir dan tinggal di Jakarta Fan. Di kota besar seperti ini ya mana ada yang ngomongin soal itu sih. Kalau aku besar di Jawa Timur. Mitos-mitos seperti itu sering kudengar sejak kecil. Bahkan sampai sekarang pun masih ada,” terang Singgih lagi.
“Hanya saja aku tidak menyangka kasus ini sampai juga ke Jakarta,” tambahnya dengan dahi berkerut.
Dahi Refan pun berkerut. Bagaimana bisa kasus ini sampai ke Jakarta kalau selama ini semua itu hanya mitos di Jawa Timur? Apa mungkin dukun-dukun itu yang mengirim ilmu hitam super dahsyat yang mampu melintasi provinsi? Atau …
“Apa mungkin ini sebenarnya pembunuhan berantai mas? Korban punya musuh dari kampung halamannya di Jawa Timur?”
“Tidak menutup kemungkinan. Meskipun dari data yang terkumpul keluarga korban adalah asli dari Bandung, bisa saja ia atau suaminya punya musuh di Jawa Timur.”
“Atau … pelakunya adalah kerabat meraka sendiri. Karena tak ada tanda-tanda perlawanan dari korban.”
“Itu juga sangat mungkin. Dan memang semua orang yang ada di TKP sudah masuk BAP oleh polisi.”
Refan kembali terdiam dengan seribu pertanyaan di benaknya. Termasuk soal senjata berbentuk bintang yang membingungkan.
“Sudah, tidak usah terlalu jauh memikirkannya. Jangan sampai tulisanmu nanti berisi pendapat pribadi. Segala penyelidikan itu adalah tugas polisi. Kita hanya berhak menulis berita berdasarkan fakta dan informasi resmi dari kepolisian, bukan asumsi,” ingat Singgih.
Refan mengangguk cepat.
“Siap mas!”
***
“Weehh … udah rapih nih persiapannya mbak. Emang besok mereka datang jam berapa?”
Refan yang sampai dirumahnya selepas isya, takjub melihat dekorasi cantik penuh bunga bernuansa pink ungu dan putih di ruang tamunya. Balon alfabet warna emas bertuliskan Rena Love Jordy tersemat indah di dinding.
“Ya sekitar jam 10 pagi lah. Awas ya lu kalau ada kerjaan besok. Tolak aja! Tega banget bos lu tiap sabtu masih nyuruh lembur, mentang-mentang wartawan baru,” cerocos Rena mengingatkan kebiasaan lembur adiknya itu akhir-akhir ini. Refan tergelak tak bisa membantah.
“Siap bos! Demi acara lamaran kakakku besok aku nggak akan berangkat kerja jam 10. Paling jam 10.10 lah,” jawab Refan konyol yang langsung dibalas dengan lemparan sekuntum bunga pink dari kakaknya.
“Maaf mbak Rena, sepertinya semua sudah selesai, kami pulang dulu ya. Terimakasih makanannya. Lusa kami kembali untuk membersihkan dekorasinya.” Suara lembut seorang gadis menghentikan candaan kakak beradik itu. Refan menoleh dan seketika tertegun melihat wajah cantik sang penata dekorasi.
“Oh iya mba, terimakasih ya,” jawab Rena sebelum menoleh kearah Refan. “Fan kasihin bunganya.”
Refan yang masih tertegun seketika tersadar dan segera menyerahkan sisa bunga tak terpakai di tangannya kepada gadis itu. Gadis itu menerimanya sembari tersenyum. Dan Refan baru mengutuk dirinya sendiri yang tak cepat tanggap untuk berkenalan, setelah gadis itu pergi. Lusa, ia bertekad untuk tetap ada dirumah ketika tim dekorasi itu kembali.
***
Acara lamaran berlangsung lancar. Tanggal pernikahan pun langsung ditetapkan. Tiga bulan dari sakarang, Rena dan Jordy akan mengikat janji dalam akad dan bersanding di pelaminan. Refan tentu saja ikut bahagia. Meski bayangan akan kakaknya yang kelak menjadi pengantin samar-samar mengingatkan Refan pada kasus Agustina Ningsih, ia segera menepisnya. Tidak ada alasan untuk merasa khawatir dan paranoid. Kebahagiaan kakaknya dan kesakralan acara itu adalah yang utama.
Paginya Refan mendapati sang kakak tengah mengumpulkan vas dan kuntum-kuntum bunga yang berserakan. Senyum seketika tersungging di bibirnya.
“Jam berapa orang dekor datang mbak?” tanyanya bersemangat.
“Halah … sok nanyain orang dekor, bilang aja lu mau nungguin Delia,” jawab Rena setelah sebelumnya mendengus menggoda adik semata wayangnya itu. Tidak peduli pada godaan kakaknya, Refan lebih tertarik pada info yang baru saja diberikan Rena.
“O … namanya Delia. Kenal dimana mba?”
“Kenal disini kemaren. Teman gue yang kenal pemilik vendornya, Delia kerja sama dia.”
“O gitu, boleh lah kenalin sama gue nanti ya,” pinta Refan dengan alis yang naik turun menyebalkan, mengundang cibiran Rena. Namun begitu Rena tetap menyetujuinya. Maka saat Delia datang, Rena benar-benar memperkenalkannya pada Refan. Dan seolah telah tersihir oleh pesona sang gadis bunga, Refan setia menemani dan membantu teman barunya itu membereskan dekorasi acara.
“Oh ya, boleh minta nomor telpon kamu? Siapa tau kalau teman-teman atau kantor aku mau ngadain acara yang butuh dekorasi, aku bisa hubungi kamu,” tanya Refan penuh percaya diri saat tim Delia selesai dengan pekerjaannya dan bersiap-siap akan pergi. Delia yang sedikit terkejut tak kuasa menahan senyum simpulnya. Ia tahu pasti bahwa jika memang Refan perlu dekorasi, ia bisa minta nomor telpon bos-nya langsung pada Rena. Namun rasa sukanya pada Refan yang tampan dan bersahabat, membuatnya setuju tanpa berpikir panjang.
***
“Gini mas, oke nggak? Masih ngambang ya, belum ada closure,” Refan menggeser laptopnya menghadap Singgih, membiarkan seniornya itu menilai hasil tulisannya. Singgih segera membacanya dengan seksama.
“Emang masih jauh dari closure Fan. Semua suspect dan saksi yang tersangkut paut dengan korban dan keluarganya sudah di periksa. Semua punya alibi. Senjata berbentuk bintang masih menjadi misteri. Penyelidikan masih mentok,” jawab Singgih sembari mengangkat bahu.
“Yang jelas kita beritain rilis terbaru dari polisi aja untuk berita jam 7 malam ini,” tambahnya.
Refan kembali mengangguk meskipun dengan sejuta sesal memberati hatinya. Ingin rasanya ia ikut melakukan penyelidikan. Siapa tahu dia bisa membantu, memberikan masukan yang mungkin luput dari fokus polisi. Tapi apa yang kira-kira bisa ia berikan yang belum dimiliki oleh tim se-profesional pihak kepolisian?
‘Drrrtt … drrrtt ….’
Getar ponselnya mengejutkan Refan yang seketika tersenyum melihat pesan dari Delia. Gadis itu menginformasikan bahwa ia sudah selesai dengan pekerjaannya. Dan sesuai janji mereka semalam, Refan akan menjemputnya untuk kemudian mereka menikmati malam minggu bersama.
Sejak pertemuan mereka di acara lamaran Rena sebulan yang lalu, 2 insan kasmaran itu nyaris selalu bersama. Tempat kerja mereka yang tak terlalu jauh berjarak, membuat segalanya menjadi mudah bagi Refan untuk semakin mengenal gadis itu. Mempererat hubungan mereka. Hingga memantapkan hati untuk menjalin hubungan asmara.
***
Berita tentang kasus kematian Agustina Ningsih berikut mitos-mitos yang menyertainya lama kelamaan terdengar juga oleh telinga orang tua Refan. Tak pelak lagi mereka merasa resah, mengingat anak gadisnya yang akan menikah 2 bulan lagi.
“Udah nggak usah dipikirin ma, itu kan cuma mitos. Apa yang terjadi pada Ningsih itu murni kejahatan, dan aku rasa tidak ada hubungannya dengan dia sebagai pengantin,” ucap Rena menenangkan mamanya malam itu saat mereka berkumpul untuk makan malam. Jordy dan Delia yang ada disana pun ikut menegaskan bahwa mereka tidak percaya mitos tersebut. Hanya Refan yang terdiam. Ia tidak yakin apa dia percaya mitos itu atau tidak, tapi yang jelas misteri kematian pengantin itu memang masih terus mengganggunya.
Dan Refan semakin tidak bisa menepis rasa was-wasnya ketika malam itu ia terbangun oleh pekikan Rena dari kamar mandi.
“Di … di cermin ma, aku lihat bayangan perempuan, pakai … baju pengantin, cuma sekilas, tapi tadi ada …!” ceracau Rena saat semua orang menghampirinya. Semua menoleh kearah cermin yang tentu saja sekarang tampak normal itu. Papa dan mama segera menenangkan Rena. Meyakinkannya bahwa mungkin Rena hanya terbawa pikiran oleh cerita mereka saat makan malam tadi.
Mungkin memang benar. Tapi Refan tahu kakaknya bukan orang yang penakut. Maka ketika kejadian serupa terulang lagi beberapa hari kemudian dan kemudiannya lagi, ia semakin tak bisa tinggal diam. Begitu juga dengan orang tuanya. Maka setelah ke tiga kalinya Rena diganggu oleh penampakan yang semakin membuatnya histeris, mereka pun segera memanggil seorang Ustadz untuk mendoakan dan ‘membersihkan’ rumah.
Usaha mereka berhasil. Sejak mereka mengadakan doa bersama Ustadz bernama Malik tersebut, Rena sudah tak pernah mengalami gangguan apapun lagi. Meskipun tetap bisa terlihat kegelisahan dalam raut wajahnya, namun setidaknya kini ia lebih tenang. Terlebih ketika siang itu Delia datang setelah cukup lama tidak mengunjungi rumah Refan.
“Del, temani gue nge-mall yuk, makan atau nonton. Gue mau refreshing nih,” ajak Rena menghentikan obrolan Refan dan Delia. Refan kontan setuju. Kakaknya itu memang perlu refreshing setelah murung dan mengurung diri selama 2 minggu ini.
Sepeninggal Rena dan Delia, Refan kembali meneruskan penelusurannya di dunia maya. Apa yang menimpa Rena membuatnya ingin berbuat lebih dari sekedar menunggu laporan polisi. Ia ingin mencari tahu lebih banyak tentang mitos yang semakin mengganggunya itu.
“Serem amat mitosnya, untung di daerah aku nggak pernah dengar.”
“Setiap daerah beda-beda emang, daerah aku juga nggak ada mitos kayak gini.”
“Polisi jangan terganggu oleh mitos aneh-aneh, fokus aja ke kasusnya. Ini tuh jelas-jelas pembunuhan.”
“Iya, jangan sampai kasusnya hilang karena desas desus yang nggak ada bukti.”
“Yang nggak percaya sini ke kotaku, kasus pembunuhan pengantin malam pertama udah terjadi sejak lama. Nggak pernah ada jejak pembunuhnya. Ini jelas-jelas bukan kerjaan manusia.”
Refan memfokuskan mata pada satu komentar menarik yang ditemuinya di postingan Instagram Galaxy TV. Dan setelah melihat akun yang sama membalas beberapa komentar lain yang tak percaya pada mitos tersebut, Refan pun memantapkan hati untuk menghubungi akun bernama Sindu Putra itu melalui Direct Message, dan memperkenalkan diri sebagai wartawan.
“Iya mas sudah lama terjadi disini. Salah satunya tetangga saya sendiri lima tahun lalu. Padahal dulu tahun 1999 dukun-dukun santetnya sudah banyak yang dihabisi oleh warga, tapi kasus serupa tetap ada. Makanya mitos itu nggak pernah hilang.”
Refan tertegun membaca DM Sindu. Pembantaian Dukun Santet di salah satu kota di Jawa Timur itu memang pernah dibacanya. Namun mitos pengantin yang ternyata jadi salah satu penyebabnya itu luput dari literasinya.
***
Delia dan Singgih saling berpandangan saat Refan mengutarakan maksudnya pada mereka siang itu di café Galaxy TV. Mereka tidak menyangka Refan benar-benar serius ingin menyelidiki kasus ini sendiri. Terlebih lagi sejak ia intens bertukar informasi dengan Sindu beberapa hari ini, Refan semakin yakin untuk datang langsung ke kota Sindu di Jawa Timur untuk memperdalam penyelidikannya.
“Tenang mas, aku melakukan ini cuma untuk diriku sendiri. Memperjelas keingin tahuanku. Apalagi kakakku yang beberapa hari ini kembali gelisah karena merasa mendengar suara-suara aneh. Aku benar-benar nggak bisa tinggal diam mas,” terang Refan saat Singgih menyuarakan keberatannya. Meyakinkan seniornya tersebut bahwa kode etik-nya sebagai jurnalis tidak akan ia lupakan. Dan bahkan mungkin hasil penyelidikannya di kota itu bisa ia gunakan untuk membantu polisi.
Singgih hanya bisa terdiam sembari menghela nafas panjang. Meski belum lama berkerja dengan Refan, ia sudah mulai paham karakter juniornya itu yang jika sudah punya tekad, sulit untuk dihentikan. Begitu pun dengan Delia. Walau berat hati ia akhirnya setuju juga dengan rencana Refan, dan bahkan menawarkan diri untuk ikut ke tempat Sindu demi membantu Refan. Keputusan yang membuat Refan semakin bersemangat menjalankan misinya.
***
Sindu yang hanya tinggal bertiga dengan istri dan anaknya di rumah besar peninggalan orang tuanya, dengan ramah mempersilahkan Refan dan Delia untuk menempati kamar-kamar tamu dirumah tersebut. Pria 40 tahunan yang berprofesi sebagai pengusaha kuliner itu juga bersemangat menceritakan apa yang pernah ia baca dan dengar tentang berbagai mitos turun temurun di kotanya kepada mereka. Bahkan selama tiga hari ini, Sindu ikut menemani ke dua tamunya itu mengunjungi beberapa desa di pinggiran kota yang dulu terdampak cukup parah saat pembantaian dukun santet 25 tahun yang lalu. Namun tampaknya tabir itu tidak mudah disingkap. Dari tiga desa yang mereka datangi, belum ada satupun yang benar-benar bisa memberi kejelasan. Kepala desa serta sebagian warga yang sempat mereka tanyakan mengaku tak tahu tentang praktek perdukunan puluhan tahun yang lalu itu.
Namun Refan tak mudah menyerah. Meskipun Delia sudah mulai membujuk dan memintanya kembali ke Jakarta, Refan masih ingin bertahan dan berencana mengunjungi desa ke empat pagi ini. Yaitu Desa Sukotani.
Pak Kepala Desa menyambut mereka dengan tangan terbuka. Ia dengan ramah menceritakan apa yang ia ketahui tentang praktek perdukunan yang pernah terjadi di daerahnya, yang ia dapat dari orang tua dan kakek neneknya yang merupakan warga asli kampung tersebut. Dari sekian banyak cerita menarik yang tersaji dari mulut pak Kades, ada satu informasi yang langsung menggelitik naluri Refan.
“Cukup aneh melihat kehidupan keluarga besar mereka yang serba kecukupan bahkan mewah, padahal setahu saya, mereka tidak punya pekerjaan tetap. Hanya kerja serabutan dan tanah pertanian yang tidak terlalu luas,” cerita pak Kades dengan kening berkerut. “Mbah Darmo sendiri sejak peristiwa berdarah tahun 99 itu tidak pernah diketahui lagi keberadaannya. Ada yang bilang ia ikut terbunuh, namun jasadnya tak pernah ditemukan. Ada yang bilang ia kabur ke hutan namun akhirnya terbunuh. Ada yang bilang sampai saat ini dia masih bersembunyi di hutan dan melakukan praktek pesugihan dari sana bersama anaknya yang sering terlihat keluar masuk hutan. Tapi yang jelas warga kampung sini tidak berani mengusik keluarga itu. Bahkan untuk membicarakannya pun mereka tak berani. Takut di santet,” tambah pak Kades dengan suara yang mengecil di ujung kalimat.
Informasi itu tidak disia-siakan oleh Refan. Setelah berpamitan dengan pak Kades, ia langsung mengajak Delia dan Sindu untuk mengintai rumah yang dimaksud dari warung nasi di depannya. Dan setelah menunggu cukup lama, akhirnya seorang pria yang tampaknya seusia dengan Sindu muncul dari rumah dan berjalan kearah hutan. Tanpa pikir panjang mereka bertiga segera mengikutinya. Namun tentu tak mudah mengikuti orang di hutan tanpa ketahuan. Maka Sindu pun mengusulkan agar Refan dan Delia menunggu di bawah sebuah pohon besar, sementara ia akan mengikuti pria yang mereka ketahui bernama Dayat itu seorang diri. Tak lama kemudian Sindu kembali untuk menjemput Refan dan Delia. Dan mereka bertiga akhirnya tiba di sebuah rumah kayu sederhana, tepat sebelum matahari tenggelam.
Dayat muncul dari balik pintu dengan wajah cemberut menahan kesal, jelas sekali tidak mengharapkan kedatangan tamu siapapun. Namun beruntung Sindu ternyata orang yang cukup berani. Dengan sigap ia menahan pintu yang sudah akan ditutup lagi oleh pria itu.
“Maaf mengganggu, kami hanya ingin bicara baik-baik. Jika memang Mbah Darmo ada di dalam, ijinkan saya bicara dengannya,” pinta Refan dengan sopan. Namun sikap Dayat yang tak kooperatif membuat Refan terpaksa mengeluarkan jurus pamungkasnya.
“Tolong mas, jika anda tidak mengijinkan kami masuk, terpaksa saya panggil polisi kesini untuk menyelidiki praktek apa yang terjadi dirumah ini.”
“Dan warga juga akan saya suruh datang kemari,” tambah Sindu membuat raut wajah Dayat semakin merah yang kali ini mengisyaratkan ketakutan. Dengan berat hati ia pun mempersilahkan tiga tamu tak diundang itu masuk. Delia yang awalnya tak ingin masuk karena takut bertemu dukun santet, akhirnya menurut juga setelah Refan membujuknya.
“Maaf mbah, mereka mengancam akan panggil polisi dan warga jika tak diijinkan masuk,” rintih Dayat dalam Bahasa Jawa sesampainya mereka di kamar Mbah Darmo. Dan penampakan dukun tua itu sungguh berbeda dari apa yang Refan bayangkan. Meskipun aura kelam masih membalutnya, namun tubuh 80 tahunnya yang ringkih serta penglihatannya yang sudah kabur membuatnya tampak tak berdaya.
Mbah Darmo mengangkat tangannya menghentikan ocehan Dayat, meyakinkan anaknya itu bahwa ia sudah mendapat firasat akan kedatangan mereka. Kakek itu lalu menyapukan pandangannya kearah mereka bertiga, seiring dengan aura mistis yang mulai menyelimuti ruangan. Ditambah lagi dengan tatapan tajam Dayat kearah dua tamu prianya dan tatapan sinis meremehkan kearah Delia. Refan segera menggenggam tangan dingin Delia yang semakin terlihat gelisah.
Tidak ingin terus merasa tercekam, Refan segera mengutarakan maksud kedatangan mereka. Dengan bahasa yang lembut agar tak menyinggung tuan rumah, Refan menceritakan apa yang telah terjadi diluar sana selama bertahun-tahun ini. Sindu juga ikut menambahkan meski dengan bahasa yang tidak cukup lembut. Membuat Dayat kembali melotot kearahnya. Namun Refan segera menenangkan ayah dan anak itu dan mencoba menyentil rasa kemanusiaan mereka, jika masih tersisa.
“Oleh karena itu, saya mohon sekali jika mbah mengetahui alasan dibalik ini semua, tolong ceritakan kepada kami. Apa yang sebenarnya terjadi?” harap Refan yang semakin percaya diri demi melihat raut wajah mbah Darmo yang semakin sendu selama mendengar ceritanya. Dan meski matanya jelas tak normal, namun Refan cukup yakin ada penyesalan yang samar disana. Berbeda dengan ekspresi Dayat yang jelas-jelas marah dan tak sabar ingin menendang mereka bertiga keluar dari rumah itu. Namun sebelum Dayat benar-benar meradang, Mbah Darmo kembali mengangkat tangannya. Lalu suara paraunya kembali terdengar dalam bahasa Jawa sederhana yang cukup dimengerti Refan.
“Aku akan ceritakan semuanya. Tapi kalian harus janji, jangan sekalipun lapor polisi atau warga. Jangan ada yang mengusik keluarga besarku!”
***
Kampung Sukotani, 1995
Keringat dingin membanjiri sekujur tubuh Darmo. Ia yakin. Ia bisa merasakan kehadirannya yang semakin kuat. Tuannya. Sang Penguasa Kegelapan. Yang telah dinantinya selama 7 hari 7 malam, dalam pertapaan di kegelapan goa terpencil Hutan Sukotani.
Bayangan Sekarwati yang menangis histeris karena berkali-kali merasakan sakit yang tak terjelaskan di sekujur tubuhnya, tak pernah meninggalkan benaknya. Ia yakin, pihak keluarga Arum lah penyebabnya. Mereka murka karena menganggap Sekarwati telah menggoda Mursid dan merebut laki-laki itu dari Arum. Hingga menjelang pernikahan Sekarwati dan Mursid, gangguan demi gangguan terus terjadi pada anak bungsu kesayangan Darmo itu. Maka dengan kemuakan yang mendalam, dukun santet penuh ilmu hitam turun temurun itu segera melancarkan aksinya meminta bantuan Sang Penguasa Kegelapan.
“Teko’o … poro Jin soko lawange langit!”
“Rungokno aku!”
“Genggemen ati ku!”
“Payonono sekabehe!”
“Teko’o Hei Bendoroku …!”
Mantra-mantra sakti terus mengalir dari mulutnya. Tak ada makanan yang disentuhnya. Hanya air hujan yang menetes dari langit-langit goa yang mengisi perutnya. Namun ia tak merasa lelah, siap mengabdikan diri pada iblis yang mau menerima panggilannya. Hingga pada malam ke tujuh seruannya pun terjawabkan. Petir menggelegar memecah kesunyian hutan. Cahaya jingga berpendar menyilaukan dari batu besar dihadapannya. Pria itu menahan nafas, menanti jawaban atas permintaannya. Dan begitu cahaya jingga itu mulai meredup, sebuah keris sakti berbentuk bintang tergeletak perkasa diatas batu.
Dengan tawa yang menggelegar Darmo segera memungutnya. Ia mengerti. Ia tahu apa tugasnya. Demi terus mengabdikan diri dan membawa sebanyak-banyaknya pengikut bagi Sang Tuan Kegelapan.
***
‘Mbah Darmo benar-benar ‘sakit’!’
Refan menelan ludah. Jantungnya berdetak kencang. Rasa takut semakin menyergapnya. Namun ia bertahan. Ia harus tahu semuanya sebelum meninggalkan tempat laknat itu.
“Lalu kenapa mbah terus meminta keris itu pada iblis jika tujuannya hanya untuk menghidupkan Sekarwati kembali?” tanyanya diantara kengerian dan kemarahan.
“Kau tahu sifat manusia kan. Jika mereka bisa punya kesempatan untuk hidup kembali, berapapun biayanya dan apapun syaratnya akan mereka penuhi. Orang-orang yang datang padaku untuk meminta penangkal santet, aku tawarkan keris itu dengan harga tinggi dan syarat yang tak mudah. Mereka menyanggupinya. Maka semakin banyak keris bintang gaib yang beredar turun temurun mencari korban, akan semakin banyak pula pengikut Sang Penguasa Kegelapan,” jawab Mbah Darmo dengan suara yang semakin parau.
“Namun begitu, ia hanya memberiku tujuh. Tujuh keris itulah yang kini terus berpindah tangan mencari tumbal,” tambahnya sebelum memejamkan mata dan menarik nafas panjang.
“Lalu kenapa pengantin? Kenapa kau mengambil kebahagian orang yang baru saja menikah?!”
“Karena putriku juga dibunuh saat ia baru saja menikah!” jawab Mbah Darmo dengan suara menggelegar, teringat kejadian 30 tahun yang lalu itu. “Maka dari itu, Tuanku Penguasa Kegelapan membuat perjanjian dengannya. Jika ia ingin hidup sekali lagi, maka ia harus mencari tumbal pengantin yang belum tersentuh suaminya. Keris gaib itu lah yang akan membantunya,” tambahnya.
“Maksudmu, semua perempuan yang mati dengan keris bintang itu akan menjadi arwah penasaran dan mencari korban berikutnya?”
“Tidak. Perjanjian akan dibuat sebelum mereka benar-benar pergi ke alam kematian untuk selamanya. Hanya mereka yang serakah, yang tidak ingin melepaskan nafsu dunia yang rela menjadi budak iblis itu demi bisa hidup satu kali lagi. Meskipun dengan tanda bintang yang tak kan pernah hilang di leher mereka. ”
Dunia di sekeliling Refan terasa semakin gelap. Kepalanya pusing, perutnya mual. Namun ia tak ingin tersungkur, ia harus bisa membuat perjanjian dengan dukun tua itu untuk menghentikan semuanya.
***
Tujuh hari sejak kedatangan tamu dari kota itu, Mbah Darmo terus mengurung diri di kamarnya. Merenung. Memikirkan semua yang sudah terjadi akibat ulahnya. Ia tidak menyesal. Namun pada akhirnya kelelahan jiwa dan raga tak sanggup lagi ditanggung oleh tubuh rentanya. Kesehatannya memburuk. Dan di sisa-sisa tenaganya ia pun mengambil keputusan besar. Melakukan Pemanggilan dan Perjanjian sekali lagi.
“Mbah, tolong jangan lakukan itu. Jangan dengarkan mereka. Mereka tidak akan berani berbuat bodoh. Toh mereka sudah berjanji untuk tidak mengganggu kita demi mendengar cerita yang sebenarnya. Dan itu cukup mbah. Kau tidak perlu memutus pengabdianmu padanya!” Dayat tetap pada pendiriannya yang tidak ingin lepas dari iblis majikannya yang telah memberikan kemakmuran turun temurun pada keluarga besarnya. Persetan dengan tamu-tamu pengusik itu! Persetan dengan pengantin-pengantin itu!
“Aku sudah tua Dayat. Aku letih. Sakit-sakitan. Aku tidak ingin melakukan apapun lagi sekarang. Sudah cukup aku hidup dalam dunia penuh kegelapan ini! Sekarang tolong. Siapkan saja semua yang aku butuhkan!” jawab Mbah Darmo tegas, membiarkan Dayat tanpa pilihan selain menuruti kehendaknya.
“Toh, laki-laki itu sendiri yang pada akhirnya akan menyadari akibat dari apa yang dimintanya padaku,” tambah Mbah Darmo lirih.
“Soal itu, kenapa mbah tidak memberitahunya langsung saat itu?”
“Bukan urusanku.”
***
Pesta pernikahan Rena dan Jordy berlangsung meriah hingga malam hari. Senda gurau dan tawa bersahut-sahutan diantara kerabat serta tamu undangan. Refan mencoba berbaur. Meredam kegelisahan yang sulit ditepisnya. Percakapan dengan Mbah Darmo masih terus terngiang. Entah apa yang dilakukan dukun tua itu sekarang. Apakah ia akan tergugah pada permohonannya untuk berhenti? Entahlah. Tapi yang jelas ia tak mau mengandalkan seorang dukun santet. Ia dan keluarga meminta kehadiran Ustadz Malik sekali lagi untuk berjaga-jaga atas keselamatan Rena.
“Fan, aku masuk duluan ya, udah malam. Kak Rena juga udah masuk kamar,” suara lembut Delia mengagetkannya.
“Oh iya Del, tolong temani kak Rena sampai suaminya masuk ya. Jangan pernah biarkan dia sendirian malam ini,” pinta Refan pada kekasihnya. Delia tersenyum dan mengangguk sebelum beranjak meninggalkan Refan.
Dan tiba-tiba secara slow motion, semuanya menghantam benak Refan. Delia, dalam kebaya modernnya yang tanpa kerah. Make up yang luntur di sekitar lehernya. Tanda bintang yang memerah!
Petir menggelegar di telinga Refan. Terpaku di tempat duduknya. Mencoba mencerna semuanya. Sebelum akhirnya tersadar pada apa yang sebenarnya terjadi. Secepat kilat ia berteriak memanggil Ustadz Malik sebelum berlalu mengejar kekasihnya itu. Dan tepat ketika Delia berhasil masuk ke kamar Rena dengan keris bintang digenggamannya, Refan tiba disana dan mencengkram tangannya.
Delia terkejut. Tatapan mata horornya menikam langsung ke mata Refan. Mata horor yang seketika meluapkan air mata, sadar bahwa kedoknya terbuka kini. Refan pun tak kuasa menahan air matanya. Menyadari bahwa ia akan kehilangan gadis yang sungguh ia cintai.
“Tolong Fan, tolong! Aku cuma ingin bisa hidup sama kamu, demi kamu, tolong aku Fan …!” rintihan Delia yang terdengar menyeramkan semakin menghancurkan hati Refan. Namun ia mencoba tegar. Ini bukan gadis yang ia cintai. Ini iblis! Dengan kekuatan penuh ia mencengkram kedua tangan Delia yang tersungkur ke lantai. Arwah sesat itu semakin melemah. Seiring dengan semakin lantangnya untaian ayat-ayat suci Al Quran yang dibaca Ustadz Malik sembari memegangi kepala Delia.
Sementara itu jauh di ujung Jawa Timur, suara parau Mbah Darmo terus mencoba memanggil tuan-nya sejak berminggu-minggu yang lalu.
“Jupuken aku … Hei Bendoroku!”
“Mandegno sekabehe!”
“Jupuken ati lan rogoku …!”
Hingga akhirnya malam ini, sang majikan pun datang. Petir dan kilat menyambar di atas goa. Kemarahan yang tak bisa ditawar. Menguras semua energi mbah Darmo. Hingga akhirnya pria tua itu tersungkur tak bernafas di lantai goa. Terbang ke neraka bersama semua arwah penasaran yang tengah mencari mangsa. Bersama keris bintang laknat mereka.
***
Malam mencekam di atas hutan Sukotani.
“Teko’o … poro Jin soko lawange langit!”
“Rungokno aku!”
“Genggemen ati ku!”
“Payonono sekabehe!”
“Teko’o Hei Bendoroku …!”
Keringat dingin bercucuran. Suara semakin parau. Perut kosong dan tenggorokan kering. Namun Dayat tak peduli. Ia harus bisa memanggil Tuan Kegelapan itu kembali.
TAMAT