Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di antara tumpukan notifikasi yang berisik, tenggat tugas kuliah yang menumpuk, dan algoritma yang tak pernah lelah menggulung waktu, Eva menemukan satu pesan yang menahan napasnya sejenak. Bukan dari marketplace yang tiap hari memohon perhatian dengan promo semu, bukan dari dosen pembimbing yang menagih revisi, bukan pula dari grup magang yang tak pernah sepi. Bahkan bukan dari ibunya yang, seperti biasa, mengirim pesan berulang kali demi memastikan anaknya baik-baik saja.
Nama itu muncul perlahan di layar ponsel—menyelinap di antara notifikasi lain—seperti hantu lembut dari masa lalu yang tiba-tiba menemukan jalan pulang. Seketika udara di sekeliling Eva menipis seolah mencekik lehernya. Ia merasa masa lalu yang telah dikubur dalam-dalam, kini bangkit lagi.
Calvin. Satu kata yang terasa lebih berat dari notifikasi mana pun, satu nama yang masih bisa menggetarkan bahkan setelah bertahun-tahun ia berusaha melupakannya.
Pesan pertamanya singkat : “Masih suka menikmati hujan di sore hari?” Hanya tujuh kata, tapi cukup untuk membuka kembali ratusan kenangan yang selama ini sudah ia hapus dari galeri, dari Google Drive, tapi ternyata tak pernah benar-benar hilang dari ingatan.
Eva menatap layar lama sekali, jari-jarinya mengetik, menghapus, mengetik lagi.
Sampai akhirnya ia menyerah pada kerinduan yang samar-samar terasa seperti nostalgia dan luka.
“Calvin ya? Apa kabar?”
Pesan itu terkirim pukul 23.11, waktu yang selalu ia benci karena terlalu jujur untuk rindu, tapi terlalu larut untuk logika.
Balasan datang kilat.
“Lagi nyusun skripsi. Tapi yang lebih susah: nyusun keberanian buat minta maaf.”
Eva menarik napas panjang. Jantungnya berdetak cepat seperti dulu, ketika mereka duduk berdua di halte kampus, berbagi earphone, mendengarkan lagu lama dari The 1975 yang Calvin bilang, “Kayak kita. Mellow tapi hangat.”
Dulu mereka seperti playlist yang tak selesai: saling mengisi, lalu berhenti di tengah lagu, seperti jeda. Lalu Calvin pergi begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa ucapan perpisahan. Hanya status WA yang tiba-tiba berubah jadi “offline selamanya.”
Eva sempat menunggu, lalu menyerah. Tapi kini, notifikasi itu datang lagi—bukan sekadar pesan, tapi seperti unread chapter yang tiba-tiba terbuka kembali. Ia tidak bisa membayangkan seperti apa cerita di chapter ini akan ditulis.
Mereka akhirnya bertemu di kafe mungil tapi estetik di pinggiran kota. Tempat yang dulu sering mereka datangi sepulang kuliah—tempat di mana teh tarik dan tawa bisa menenangkan badai kecil dalam kepala masing-masing.
Hujan turun di luar, lembut tapi pasti. Seperti takdir yang menunda tapi tak pernah lupa alamat.
Calvin datang membawa buku catatan. Ia membukanya pelan, memperlihatkan tulisan di halaman pertama.
“Kalau kamu mau, aku ingin jadi bab baru. Bukan pengulangan. Aku ingin menghapus kesalahan terbodoh yang pernah aku lakuin dalam hidup.”
Eva terdiam. Di matanya, Calvin masih sama—senyumnya masih punya jeda lembut di ujung, sorot matanya masih seperti seseorang yang ingin dimengerti tapi takut disalahpahami.
Tapi Eva bukan lagi gadis yang dulu menulis puisi di bio Instagram tentang kehilangan. Kini, Ia kokoh seperti karang tak tergoyahkan. Ia sudah belajar: beberapa luka tidak perlu dihapus, cukup dijadikan pembatas halaman agar tak lupa di mana kita berhenti tumbuh.
“Aku nggak mau jadi sangkar,” katanya pelan.
“Aku cuma ingin jadi rumah—tempat yang nyaman buat tinggal, bukan tempat pelarian.”
Calvin menatapnya lama, lalu tersenyum.
“Rumah itu yang aku cari, Eva. Tapi kali ini aku datang bukan buat ngontrak apalagi numpang, tapi buat tinggal kalau kamu mau membuka pintu.”
Mereka berbincang lama—tentang tesis, lagu baru Pamungkas, dan betapa absurdnya hidup di usia dua puluhan: terlalu dewasa untuk pura-pura lupa, tapi terlalu muda untuk tahu pasti arah pulang.
Di antara tawa dan hening, Eva tahu sesuatu telah berubah. Ia tidak lagi menunggu notifikasi.
Ketika hujan reda, mereka berjalan keluar. Calvin menatap langit yang masih menyisakan gerimis, lalu berkata pelan,
“Hujan selalu jadi alasan aku inget kamu.”
Eva tersenyum, lalu membuka payung.
Setelah pertemuan itu, Calvin terus mengiriminya pesan.
----
Di layar ponselnya, satu notifikasi baru muncul:
“Pesan dari Calvin — Terakhir aktif 1 menit yang lalu.”
Tapi kali ini, Eva tak buru-buru membacanya.
Ia tahu, beberapa pesan tidak butuh balasan segera.
Karena yang terpenting, mereka akhirnya saling menunggu—di dunia nyata, bukan di layar.
Usaha Calvin tak berhenti di satu pertemuan. Ia mengirim pesan-pesan kecil nyaris saban malam, kadang hanya tautan lagu, kadang foto langit sore yang katanya mirip warna mata Eva saat marah. Ia tak lagi bicara soal cinta, tapi tentang keberanian untuk hadir sepenuhnya.
Eva membalas sesekali, singkat. Ia tidak lagi mudah luluh oleh nostalgia. Ia tahu, luka yang dulu ditinggalkan Calvin bukan sekadar kehilangan, tapi juga pertanyaan yang tak pernah dijawab.
Di pertemuan ketiga mereka.
“Kamu tahu nggak, Cal,” ucap Eva, suaranya nyaris bergetar.
“Malam itu aku duduk di halte sampai jam dua pagi. Aku bawa earphone kita. Aku putar lagu The 1975 yang kamu bilang ‘kayak kita’. Aku nunggu. Aku nunggu kamu datang. Tapi yang datang cuma hujan.”
Eva menunduk sebentar, lalu menatap Calvin tajam, lalu berkata :
“Jika kau dapat menjelaskan dengan jernih dan jelas kenapa kau tiba-tiba menghilang, maka aku akan bisa menerima kemunculanmu yang tak kalah dramatis. Sesederhana itu.”
Calvin terdiam. Ia menunduk, seperti mencari kata-kata di sela-sela napasnya sendiri. Lalu ia membuka halaman lain dari buku catatan lusuhnya. Di sana tertulis:
Aku pergi bukan karena tak cinta, tapi karena aku takut jadi beban. Waktu itu, aku merasa hancur, dan aku tak ingin kamu melihat aku dalam versi yang bahkan aku sendiri tak sanggup pahami.
Eva membaca pelan. Tangannya gemetar, tapi matanya tetap tenang.
“Kenapa kamu nggak bilang?” tanyanya.
“Aku nggak tahu cara bilang. Aku pikir, mengasingkan diri lebih mudah daripada menjelaskan luka yang bahkan aku sendiri belum selesai merawatnya.”
Eva mengangguk pelan. Di dalam dirinya, ada badai kecil yang mulai reda. Ia tahu, penjelasan itu tidak mampu menyembuhkan luka, tapi setidaknya memberi ruang untuk memahami.
“Kalau kamu datang waktu itu, meski hancur, aku mungkin akan tetap duduk di sebelahmu,” kata Eva. “Karena cinta bukan soal versi terbaik, tapi soal keberanian untuk tetap tinggal meski semuanya berantakan.”
Eva berdiri dari kursinya. Ia mengambil tasnya, bersiap berlalu. Tapi sebelum melangkah, ia menoleh dan berkata pelan, “Aku nggak tahu apakah hatiku masih ada ruang untuk percaya.”
Calvin menatapnya, lalu mengeluarkan selembar tisu kusam dari saku buku catatannya. Di sana tertulis puisi milik Eva—yang dulu ia tulis di kafe itu.
“Aku simpan ini,” kata Calvin.
Eva terdiam. Tangannya gemetar. Ia duduk kembali, pelan. “Kenapa kamu simpan?”
“Karena itu satu-satunya hal yang bikin aku merasa masih punya harapan,” jawab Calvin.
“Itu tidak mengubah banyak hal, hanya kejujuran yang murni yang mampu,” balas Eva.
Calvin menatap Eva, matanya berkaca-kaca. Di bawah cahaya lampu kafe yang temaram, sorot matanya seperti halaman yang belum selesai ditulis—penuh jeda, penuh makna yang belum sempat diucapkan.
“Aku tahu,” katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan yang menari di kaca jendela. “Tapi aku baru belajar itu sekarang, bersama tumbuhnya kedewasaan. Aku akui, aku pengecut saat itu. Sekarang, aku datang bukan untuk memperbaiki masa lalu, tapi untuk jujur tentang semua yang pernah salah.”
Eva tersenyum tipis—senyum yang menggantung di antara harapan dan kehati-hatian. Bukan penerimaan, tapi juga bukan penolakan. Ia belum memutuskan apa-apa. Namun malam itu, ia membiarkan Calvin berjalan di sisinya, tanpa payung, di bawah gerimis yang jatuh perlahan seperti bisikan langit yang merindukan bumi.
Setiap bulir gerimis menyentuh kulitnya seperti kenangan yang nyelonong tanpa izin, tapi tahu jalan menuju hati. Ada kehangatan yang aneh di balik dinginnya udara, seolah semesta sedang menata ulang rasa yang pernah berserakan.
Langkah mereka menyusuri trotoar yang basah, diapit aroma tanah yang baru tersentuh hujan—aroma yang mengingatkan Eva pada sore-sore penuh diam dan puisi yang tak pernah ia kirimkan. Lampu jalan memantul di genangan air, membentuk bayangan yang bergerak pelan seperti fragmen masa lalu yang tak ingin hilang, tapi juga tak ingin mengganggu.
Di antara gerimis dan langkah yang tak tergesa, Eva merasa tenang. Bukan karena jawaban telah ditemukan, tapi karena ia tahu: beberapa perjalanan tidak dimulai dengan kepastian, melainkan dengan keberanian untuk terus berjalan meski hati masih ragu.
“Penjelasanmu belum masuk akal bagiku,” ucap Eva akhirnya, suaranya tenang namun diselimuti ketegasan. “Dan belum cukup meyakinkanku. Kenapa tiba-tiba kamu muncul sekarang?”
Calvin berhenti. Di hadapan mereka, pohon flamboyan menggugurkan kelopak merahnya satu per satu, seperti musim yang tahu kapan harus melepaskan.
“Aku nggak punya jawaban yang sempurna. Takkan pernah,” katanya pelan.
“Tapi aku punya rasa bersalah yang nggak pernah tidur—ia bersemayam di dalam dadaku,
membuat setiap napas terasa berat. Dan keberanian ini baru tumbuh setelah sekian lama aku belajar berdamai dengan diriku sendiri.”
Eva menatap langit. Gerimis masih turun, tapi tak lagi terasa dingin. Ingatan menyeruak seperti film dokumenter lama yang diputar ulang: malam-malam ketika ia menunggu pesan yang tak kunjung datang, saat ia menulis puisi tentang kehilangan yang tak punya alamat, dan setiap kata terasa seperti serpihan dirinya sendiri yang berjatuhan ke layar ponsel.
Ia masih bisa merasakan bagaimana hatinya dulu pecah— bukan dalam satu ledakan besar, melainkan retak kecil yang menjalar perlahan, hingga dirinya tercerai-berai seperti bulir pasir yang beterbangan diterpa angin. Bertahun-tahun ia memunguti bulir-bulir itu, menyatukannya dengan doa, waktu, dan sunyi yang panjang.
Dan kini, orang yang dulu membuatnya hancur datang tiba-tiba, menatap dengan mata yang basah, meminta maaf seolah waktu bisa dilipat begitu saja.
“Kamu tahu, Cal,” katanya pelan, “dulu aku berharap kamu kembali. Tapi sekarang, aku lebih butuh kejelasan daripada kehadiran. Karena yang menyakitkan bukan kamu pergi, tapi alasan kenapa kamu pergi.”
Calvin mengangguk, pelan. “Aku pergi karena aku takut. Takut kamu lihat aku hancur. Takut kamu ikut terseret. Tapi aku salah. Karena ternyata, dengan pergi, aku justru menggores luka yang lebih dalam. Kamu tahu Eva? Aku telah berjuang setiap detik untuk melupakanmu sejak saat itu tapi aku selalu gagal. Bahkan ketika aku lupa siapa diriku, hatiku akan selalu mengingatmu….”
Angin malam menyapu pelan rambut Eva. Ia menatap Calvin lama, lalu berkata:
“Kalau kamu benar-benar ingin menulis bab baru, kamu harus berani menuliskan bab lama dengan jujur. Tanpa sensor. Tanpa edit.”
Calvin tersenyum, kali ini lebih tenang. “Aku siap. Kalau kamu masih mau baca.”
Mereka berjalan lagi, pelan. Di antara suara langkah dan gerimis, ada ruang yang mulai terbuka—bukan untuk kembali seperti dulu, tapi untuk memahami ulang apa yang pernah terjadi.
Dan malam itu, Eva belajar satu hal:
Bahwa cinta yang dewasa bukan tentang siapa yang paling cepat kembali, tapi siapa yang paling berani menjelaskan kenapa dulu sempat pergi.
Karena beberapa cinta memang tak berakhir, hanya berubah wujud.
Dari luka menjadi pelajaran.
Dari kehilangan melahirkan nyali.
Dari notifikasi menjadi percakapan.
Dan dari percakapan melahirkan kemungkinan.
Blora, November 2025