Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Sebelum Dupa Padam
2
Suka
286
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku membuka mata. Matahari belum benar-benar tenggelam, tapi langit sudah memerah seperti luka yang mengering perlahan. Kami duduk di dek samping kapal feri yang berlayar dari Padang Bai menuju Lembar. Angin laut membawa asin yang menggantung di kulit dan rasa kantuk yang baru saja kualami, lenyap bersama suara itu.

Ia berdiri dekat pagar kapal, memegang ponsel dengan tangan terangkat setengah. Rambutnya tergerai pelan ditiup angin. Bukan gaya yang dibuat-buat. Dan—Senyum itu seperti kebiasaan lama—bukan usaha.

“Boleh tolong fotoin gak?”

Aku mengambil ponselnya. Klik. Satu foto. Lalu dua.

sunsetnya bagus banget dari sini,” katanya, lebih pada dirinya sendiri daripadaku.

“Rendra,” ujarnya sambil menerima kembali ponselnya.

“Saras.”

Ia memilih duduk tidak jauh dariku. Tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat jarak itu bicara.

Kami bertukar omongan ringan, seperti dua orang yang saling tahu takkan bertemu lagi. Tentang senja yang katanya mirip lukisan tua, tentang berapa lama kapal ini berlayar, tentang angin yang menyelip di antara jemari.

Lalu, tiba-tiba ia bertanya, “ngapain ke Bali?”

Aku menoleh, lalu menjawab pelan, “lagi ada odalan[1] di sanggah[2] karangasem. Kalau kamu?”

“Loh, sama dong. Aku juga baru habis odalan di merajan[3]. Aku ke Bali sama Ajik[4]. Tapi balik ke lomboknya duluan.”

Kalimatnya ringan, tapi terasa seperti kerikil kecil yang masuk ke dalam sepatu—kecil, tapi mengganggu. Aku tersenyum tipis, lalu memalingkan pandangan ke laut. Di kejauhan, garis horizon tampak terlalu lurus untuk dunia yang penuh belokan.

***

Siapa sangka, satu klik kamera itu berhasil membawa ribuan percakapan. Aku, yang dulu menertawakan ide jatuh cinta pada pandangan pertama, mulai menunggu setiap notifikasi pesan dari seseorang yang pernah kutemui di atas laut.

Rendra tak banyak bicara, tapi sekali ia bicara, nadanya seperti gerimis di sore hari. Tidak mendinginkan dunia, tapi cukup menenangkan pikiran. Ia tak pernah memotong ucapanku, bahkan saat aku terjebak dalam kalimat-kalimat gugup. Senyumnya tidak mencoba menyenangkan siapa-siapa. Hanya cukup untuk membuat dunia terasa tidak terlalu berat.

Kulitnya sawo matang, rambutnya hitam dan lurus, selalu rapi tanpa berlebihan. Tubuhnya tinggi, tapi tak pernah merasa harus menunduk untuk merasa rendah hati. Ia membungkuk sedikit setiap kali menyapa orang tua, dan jika dia diam, itu karena ia benar-benar mendengarkan—bukan menunggu giliran bicara.

Tapi, bersamanya, aku harus selalu mengingat satu hal. Sesuatu yang tak pernah disebut, tapi selalu ada seperti garis tipis di antara peta yang tak pernah kami gambar.

“Kenapa kamu yakin banget sama semua ini?” tanyaku diantara kepulan uap mie ayam siang itu.

Uap itu mengepul pelan, tapi tak lagi membawa wangi yang membuat lapar. Sendokku berputar-putar di mangkuk, membelah kuah menjadi pusaran kecil yang cepat hilang. Kami duduk berhadapan, tapi rasanya seperti terpisah oleh meja yang lebih panjang dari biasanya.

Rendra hanya diam, matanya menatap mangkuk seperti sedang mencoba membaca nasib dari kuah yang mulai dingin.

Ia menghela napas, ringan, seperti seseorang yang hendak menyeberang jembatan kayu yang rapuh.

“Apakah keyakinan seseorang harus dipertanyakan, Saras?” Ia bicara pelan, seperti memilih tiap kata agar tak melukai.

Aku menunduk. Potongan sawi terlihat layu. Kuah yang tadi hangat, kini hanya jejak rasa di mangkuk. Tapi, yang dingin bukan mie itu. Yang dingin adalah dadaku.

“Aku takut, Rendra… Takut lupa siapa aku.”

Ia tidak langsung menjawab. Sendoknya bergerak, memindahkan potongan kecil bakso dari sisi ke sisi. Gerak yang tak perlu, tapi menenangkan.

“Emangnya kamu pernah lupa? Nggak kan?”

Aku menatapnya. Ia tidak tersenyum, tidak pula menuntut jawaban. Tapi matanya... matanya seperti mengatakan “aku bersamamu, bahkan jika kau tak yakin aku akan bertahan.”

“Nggak usah takut. Aku di sini, selalu, buat kamu. Kamu nggak harus liat jawabannya sekarang sar…”

Tangan kiriku gemetar sedikit saat meletakkan sendok. Bahuku turun satu inci—seolah beban yang tak terlihat akhirnya mengendur.

“Kita usahain rumah itu, ya? Pelan-pelan. Nggak usah ngelawan. Kita jalan aja terus.”

Kalimat itu bukan pelukan. Bukan juga janji. Tapi seperti kain tipis yang disentuhkan ke dahi saat demam—sederhana, tapi menenangkan.

Dan untuk pertama kalinya hari itu, aku menyendok mie ayamku. Tidak untuk menghabiskannya. Hanya untuk tahu bahwa aku belum sepenuhnya kehilangan rasa.

***

“Kita gak bakal pernah bisa sejajar sama mereka Luh[5]. Kamu harus terima itu.”

Kalimat itu tidak diucapkan dengan nada tinggi. Meme[6] mengucapkannya seperti biasa. Tenang, lurus, dan dingin. Tapi justru ketenangan itulah yang menakutkan—seperti pintu yang ditutup pelan tapi dikunci dari dalam.

Aku menatap uap teh yang naik perlahan dari cangkir di atas meja. Tanganku gemetar sedikit saat menyentuh gagangnya, seolah air panas itu bisa membakar sesuatu yang jauh di dalam dadaku.

“Tapi me, Sang Hyang Widhi[7] gak pernah nanya kita dari mana sebelum kita mebakti[8] di sanggah!”

Meme mendongak. Tidak cepat, tapi pasti.

“Ndak usah ngelawan meme Saras! Meme jauh lebih tahu siapa dan bagaimana mereka, dibanding kamu yang baru jatuh hati.”

Aku mengepalkan jemariku di bawah meja.

“Tapi meme ndak tau Rendra… Dia beda, me...”

Tatapan meme berubah. Mata yang semula tenang kini mengeras, seperti batu yang telah lama disimpan dalam air, lalu tiba-tiba dipanaskan.

“Beda??” Suaranya hampir tak terdengar. “dia pernah gak bilang, kalo dia bakal tetep maturan[9] di sanggah kita pas rainan[10] nanti? Pernah? Hah?”

Aku tercekat. Ada sesuatu yang menahan di tenggorokan—seperti benang tipis yang kusut, mengganjal, tidak bisa kutelan, tetapi tidak bisa kutarik keluar. Lidahku kaku, tapi dalam kepalaku ribuan kata berserakan.

“Kamu pikir meme ngomong gini karena meme benci? Kamu tau? waktu niang[11] meninggal, meme gak boleh nyentuh layonnya[12]. Gak. Boleh. Luh….”

Meme mengucap tiga kata itu satu-satu, dengan jeda yang menyayat.

Meme Cuma bisa berdiri di bucu bale[13], melihat tubuh Ibu kandung sendiri dibungkus kain putih, dan meme cuma diem aja Luh... Bahkan, nyentuh kakinya aja nggak boleh! Karena di mata mereka, meme bukan lagi siapa-siapa.”

Suasana ruangan itu hening sebentar. Tapi telingaku menangkap banyak suara dari dadaku.

Iluh juga mau gitu nanti? Waktu meme mati, mesaput[14] kain putih, iluh cuma bisa jadi penonton?”

Ruangan itu terasa lebih kecil dari sebelumnya. Dindingnya tidak bergerak, tapi seperti mendekat. Jendela terbuka, tirai melambai, tapi angin tak masuk. Udara seperti menolak hadir di antara kami.

Aku ingin berkata sesuatu. Apa pun. Tapi tenggorokanku seperti disumpal debu yang tak bisa ditelan. Suara tak keluar, dan perutku terasa seperti dikerat dari dalam.

Meme kemudian duduk di sebelahku. Tangannya menyentuh rambutku, mengusapnya pelan—seperti saat aku kecil dan sakit panas. Tapi kali ini, sentuhan itu tak menenangkan. Ia seperti simpul tali yang perlahan mengikat.

Meme gak mau kamu ngerasain, apa yang udah meme rasain Luh... Meme takut kehilangan kamu Luh… bukan karena kamu pergi, tapi karena kamu gak bisa kembali lagi.”

Aku masih diam. Tapi pikiranku gaduh.

Kenapa aku tidak bisa bicara? Kenapa suaraku tertinggal di dada?

Aku ingin memberitahunya bahwa aku juga takut. Tapi bukan pada perbedaan itu—aku takut menjadi diriku yang tak pernah penuh. Takut terus berputar di lingkar yang tidak aku inginkan. Takut, bahwa jika aku tidak melangkah sekarang, aku akan menyesal seumur hidup karena tidak pernah mencoba berdiri.

Tapi bagaimana bisa aku bicara, ketika setiap kata terasa seperti pisau yang mungkin menggores hatinya? Bagaimana bisa aku melawan, ketika lawanku adalah sosok yang sudah lebih dulu merawatku bahkan sebelum aku tahu cara menyebut namanya?

Aku tidak menjawab. Mataku tak menangis, tapi ada tekanan aneh di pelipis, seperti air yang menunggu untuk runtuh.

Aku ingin pergi, tapi tidak bisa berdiri.

Aku ingin melawan, tapi tidak tahu cara melukai seseorang yang begitu kucintai.

Dan dalam ruang sesempit itu, aku sadar—kadang, menjadi anak perempuan berarti belajar menyimpan luka dengan senyap.

Dan mencintai berarti siap kehilangan siapapun, termasuk meme.

***

Hari itu, kali pertama aku menginjakkan kaki di griya[15] Rendra. Aku datang untuk memenuhi undangan Rendra. Saat itu keponakannya sedang melaksanakan upacara metatah[16].

Begitu langkahku menyentuh pelataran griya, udara berubah—lebih tebal, lebih hangat. Asap dupa melayang seperti kabut tipis, menyusup ke sela-sela rambut dan pakaian. Wangi cendana menyentuh hidungku pertama kali—lembut dan manis. Lalu menyan[17] datang perlahan, lebih dalam, getir, dan misterius, seperti suara dari masa lalu yang belum selesai berbicara.

Aku menghirupnya dalam-dalam. Rasanya seperti air hangat yang mengalir di dada, meredakan ketegangan yang sempat menggumpal di tengkuk. Napasku jadi lambat, tubuhku sedikit mengendur, dan sejenak... aku lupa bahwa aku datang ke tempat yang mungkin tak menerima keberadaanku. Harum itu bukan sekadar bau. Ia seperti pelukan tak bersentuhan—menenangkan, namun juga mengingatkan bahwa aku adalah tamu.

Aku melihat orang-orang mengenakan kamen endek[18] dengan motif rumit, benang emas menyembul halus di lipatan bawah. Kebaya putih mereka mengkilap di bawah matahari.

Sedangkan Aku, hadir dengan dengan kebaya putih tanpa motif dan kamen polos. Tidak kumal, tapi tidak berkilau. Tak ada bros emas di dadaku, tak ada selendang songket[19] yang melilit di pinggang.

Seseorang kemudian menyapaku. Suaranya tak tinggi, tapi tajam—terlalu tajam untuk disebut ramah.

Tugek[20], dari griya mana?”

Kalimat itu meluncur ringan, tapi bagiku seperti batu yang dijatuhkan dari ketinggian, menghantam ulu hati tanpa ampun. Seketika udara di sekitarku terasa lebih padat. Jantungku memukul-mukul rusuk, bukan karena gugup, tapi karena tersinggung yang tak bisa dijelaskan.

Tubuhku masih berdiri, tapi rasanya kaki kehilangan tulang. Pandanganku buram sesaat, seperti habis disiram air es. Lidahku kaku. Tak satu kata pun bisa keluar, meski bibirku sudah membuka sedikit. Orang itu menatapku dengan tenang, menunggu jawaban, seolah pertanyaannya hanyalah formalitas kecil. Tapi bagiku, itu bukan pertanyaan. Itu vonis. Dan aku tak siap mendengarnya.

“Tiang—dari griya Karangasem ibu.” Dustaku ini bukan tertuju untuk keselamatanku, tapi—keselamatan Rendra.

Saat upacara metatah berlangsung, aku berdiri di sudut griya. Tak ada yang menyuruhku duduk. Dan aku terlalu sadar diri untuk memaksa bertanya. Suara kidung[21] menggema pelan, berpadu dengan tabuh gamelan[22] yang mengambang di udara. Rendra duduk bersila di antara keluarga besarnya. Wajahnya tenang, tapi matanya sesekali mencari mataku. Saat tatapan kami bertemu, ia mengangguk sedikit. Seolah ingin berkata, “tunggu”.

Setelah para tamu pulang, dan dupa tinggal asap tipis yang melayang perlahan, Rendra menghampiriku. “Mau ya, ketemu Ajik dan Biang[23] bentar.” Tangannya menggenggamku, ringan tapi pasti.

Aku sempat menolak, tapi tatapannya memohon—dan entah bagaimana aku mengangguk.

Kami melangkah ke ruang dalam. Lantainya bersih seperti tempat sembahyang. Di ujung ruangan, duduk tiga orang. Pria paruh baya, seorang perempuan setengah baya, dan perempuan tua dengan rambut keperakan yang disanggul rapi.

Mereka menoleh bersamaan.

Ajik, Biang, perkenalkan ini Saras,” kata Rendra, tenang.

Tidak ada sambutan. Tidak ada senyum. Hanya mata yang menilai, tanpa aba-aba.

“Dari griya mana tugus[24]?” tanya perempuan tua itu. Suaranya tidak tinggi, tapi mengandung waktu dan aturan yang tidak bisa dibantah.

Ampura[25], Saras bukan dari griya, Niang,” jawab Rendra.

Hening. Sunyi yang tak alami. Ruangan itu seperti menahan napas.

“Tidak usah dilanjutkan, Rendra!” Kalimat itu terdengar seperti gamelan yang dipukul terlalu keras.

Griya ini kita tidak pernah mengambil orang dari luar garis.”

“Memangnya bisa pawiwahan[26] tanpa dasar yang jelas?”

Aku tetap berdiri. Tak ada yang menyilakan duduk. Dan kini, aku paham itu bukan kelupaan.

Rendra menggenggam tanganku lebih kuat. Matanya menatap Ajiknya dengan tajam, marah, takut, sekaligus putus asa.

“Aku tidak peduli pada garis. Saras bersamaku. Dan aku siap menanggung apa pun yang datang.”

“Jangan besar kepala, Rendra!” potong ibunya, kali ini lebih keras. “Ini bukan tentangmu saja!”

“Kalau bukan tentang Rendra, lalu tentang apa? Tentang siapa?” Rendra nyaris meninggikan suaranya.

“Tentang siapa yang boleh masuk dan siapa yang cukup tahu diri untuk tetap di luar!”

Rendra tak berkata apa-apa. Tapi genggamannya pelan-pelan melemah.

Aku membungkuk. Tidak dalam. Tidak sopan. Tapi cukup untuk mengatakan “aku tahu aku tak seharusnya di sini.”

Di ambang pintu aku berpapasan dengan seorang gadis—rambutnya disanggul, kebayanya berenda emas, kamennya serasi dengan mereka yang ada di ruangan itu. Mata kami bertemu. Dan mata itu sudah cukup menjelaskan banyak hal.

Di halaman, sudah tidak ada lagi wangi cendana, dupa, dan menyan yang memelukku erat. Hanya bunga jepun[27] yang kalah oleh angin. Halaman itu sunyi dan dingin.

Aku pulang. Tapi langkahku terasa seperti milik orang lain. Dan di dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan tumbuh seperti gulma—liar, tak bisa dibasmi, dan entah kapan akan mati.

***

Kami bertemu terakhir kali di pantai. Sunset itu terlalu indah, seolah tahu bahwa ini kali terakhir ia memantulkan cahaya di wajah kami berdua. Angin laut mencium pipi, pasir dingin mengendap di telapak kaki kami yang tak lagi selaras.

Aku menatap ombak, lalu menatapnya. “Jadi, cuma sampe sini??”

Rendra menggenggam tanganku yang dingin. Tapi genggamannya terasa kosong.

Ajik dan Biang udah jodohin aku sama Ida Ayu[28] dari griya keluarga di Singaraja. Bahkan acara pawiwahan kita udah disiapin sama Ajik.” bisiknya.

“Jadi, kita kalah?” tanyaku.

“Bukan kalah. Kita cuma gak ikut tanding aja. Karena dari awal, aturan itu udah ditulis tanpa nanya sama kita.”

Aku tidak menangis. Aku tertawa pelan. “Lucu ya, ternyata yang disebut 'jodoh' kadang cuma urusan purusa dan pradhana[29] di silsilah keluarga.”

“Aku minta maaf, Saras.”

“Maafmu gak nyembuhin apa-apa. Tapi aku haragain itu,” jawabku.

Kami diam cukup lama. Lalu aku bicara,

“Kamu tau gak? Di dunia yang ideal, mungkin kita itu cuman dua manusia yang saling jatuh hati. Tapi di dunia ini, kita itu label. Kamu griya, aku rumah. Kamu Ajik, aku Bapak. Kamu boleh gak peduli, tapi dunia akan selalu ngingetin itu.”

Rendra menunduk.

“Seandainya aja...” katanya.

“Seandainya apa? Seandainya garis bisa dipilih kaya kain yang ada di pasar?”

Kami tertawa—bukan karena lucu, tapi karena tidak ada yang bisa dikatakan lagi.

Matahari tenggelam tepat saat kami melepas genggaman. Tak ada pelukan. Tak ada janji. Hanya jejak kaki di pasir yang tak akan abadi.

Aku tidak pernah menyesali perjalanan ini. Sebab sebelum dupa itu padam, kami pernah menjadi asapnya. Membumbung, berusaha mencapai langit, meski akhirnya harus lenyap.

Kami kalah bukan karena lemah. Kami kalah karena dunia belum siap melihat kami menang.

Dan sejak saat itu, aku tahu, dalam doa-doa yang melambung bersama dupa, ada satu nama yang tak pernah disebutkan. Namanya: kami.

[1] Odalan: Sering juga disebut Piodalan. Upacara untuk memperingati hari lahir tempat suci. Dilaksanakan setiap 210 hari sekali, berdasarkan perhitungan kalender Bali.

[2] Sanggah: Tempat suci keluarga di lingkungan rumah, tempat dilangsungkannya sembahyang dan upacara keagamaan.

[3] Merajan: Sebutan lain untuk tempat suci keluarga di lingkungan rumah, tempat dilangsungkannya sembahyang dan upacara keagamaan.

[4] Ajik: Sapaan untuk Ayah/Bapak dalam bahasa Bali.

[5] Luh: Kata sapaan atau kata ganti untuk memanggil anak perempuan dalam bahasa Bali. Luh diambil dari kata Iluh.

[6] Meme: Kata sapaan untuk Ibu dalam bahasa Bali.

[7] Sang Hyang Widhi: Nama tuhan dalam agama hindu.

[8] Mebakti: Melakukan persembahyangan atau memuja Sang Hyang Widhi dengan tulus ikhlas.

[9] Maturan: Istilah yang digunakan oleh umat Hindu Bali untuk menyebut tindakan persembahan kepada Sang Hyang Widhi.

[10] Rainan: Hari-hari suci atau hari raya yang diperingati dan dirayakan oleh umat Hindu Bali.

[11] Niang: Panggilan untuk nenek dalam bahasa Bali

[12] Layon: Kata untuk menyebut mayat/jenazah dalam bahasa Bali

[13] Bucu bale: Sudut rumah

[14] Mesaput: Berselimut

[15] Griya: Istilah untuk menyebut rumah dalam bahasa Bali.

[16] Metatah: Upacara potong gigi yang dilakukan oleh setiap anak yang sudah remaja dalam tradisi Hindu Bali.

[17] Menyan: Jenis dupa yang digunakan dalam berbagai upacara ritual keagamaan. Memiliki aroma yang harum dan dianggap memiliki kekuatan yang dapat menghadirkan suasana suci dan tenang dalam upacara. 

[18] Kamen endek: kain tenun khas Bali yang memiliki berbagai fungsi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara keagamaan Hindu Bali. Dililitkan pada bagian bawah tubuh

[19] Selendang songket: Kait yang dililitkan pada pinggang (biasanya perempuan). Terbuat dari kain songket, yaitu kain tenun yang dihiasi dengan benang emas atau perak.

[20] Tugek: Panggilan atau sapaan untuk seorang remaja perempuan di Bali, yang umumnya berasal dari keturunan Brahmana (pendeta)

[21] Kidung: Nyanyian atau tembang suci yang digunakan dalam upacara keagamaan.

[22] Tabuh gamelan: Suara dari perangkat gamelan yang dipukul bersamaan oleh orang-orang terlatih.

[23] Biang: Sapaan untuk Ibu dalam budaya Bali.

[24] Tugus: Panggilan atau sapaan untuk seorang remaja laki-laki di Bali, yang umumnya berasal dari keturunan Brahmana (pendeta).

[25] Ampura: Maaf

[26] Pawiwahan: Upacara pernikahan dalam agama Hindu Bali

[27] Jepun: Sebutan untuk bunga kamboja. Pohon jepun biasanya selalu ada di setiap rumah Bali karena mudah tumbuh.

[28] Ida Ayu: Perempuan dengan gelar atau kasta paling tinggi dalam budaya Hindu Bali.

[29] Purusa dan pradhana: Konsep laki-laki dan perempuan dalam struktur kekerabatan atau spiritual Bali.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Half of Me!
lede.K
Cerpen
Sebelum Dupa Padam
Ni Nyoman Sri Ayu Devi
Novel
BISAKAH? (Telah Terbit)
Meyalda Jasmine Shayna
Novel
Bronze
Tetangga Manisku
Aspasya
Flash
SELF
lidia afrianti
Novel
Mine
Syarah Amalia
Novel
Runtuhnya Pesona Dewa Yunani
Lail Arrubiya
Cerpen
Bronze
Diam-diam Menyukai Tante'nya Sendiri
Putut Dwiffalupi Sukmadewa
Novel
Fear Under Spotlight
Nilakandi Lazuardi
Flash
Bronze
Microwife
Andriyana
Cerpen
Bronze
JUTAAN WAKTUKU MENUNGGUMU
Rian Widagdo
Flash
Aku, Kamu, dan Waktu
Mar Kumbang
Flash
MAHLIGAI CINTA
Kimijuliaaa
Flash
Hati, Jangan Lemah!
Safania Elda
Novel
The Beast & Four Knights
Nunahsana
Rekomendasi
Cerpen
Sebelum Dupa Padam
Ni Nyoman Sri Ayu Devi