Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tanggal 1 Muharam dalam penanggalan kalender Hijriyah amat dinantikan umat Islam sejagat raya, yang mana jadi salah satu hari penting untuk diperingati. Banyak acara keagamaan dilaksanakan disertai tradisi yang memiliki makna tersendiri, tentunya lain tempat lain juga sambutannya. Begitu juga dengan kampung tempat tinggal Rima dan Silvi, kegiatan tasyakur dan pengajian diadakan sebagai sambutan tahun baru dan melepaskan tahun yang telah terlewat. Setelah usai, diteruskan dengan kirab obor, setiap orang membawa nyala api yang berkobar di atas permukaan sebilah bambu yang berukuran 30-40 cm.
Hampir seluruh penduduk kampung berduyun-duyun mengular mengelilingi jalan utama sekitar desa, diiringi tabuhan rebana dan selawatan sepanjang perjalanan. Tua, muda, hingga anak-anak pun turut serta, tak terkecuali dua sekawan bernama Rima dan Silvi.
Hingga belasan meter terlewati, tepat ketika sampai persimpangan jalan, Rima menyentuh lengan atas Silvi seraya berucap, “Vi, beli minuman seger dulu, yuk. Aus nih.” Rima mengusap-usap lehernya, merasakan dahaga yang kian mendesak kerongkongan.
“Yaudah, ayo!” timpal Silvi menyetujui.
Mereka pun berjalan bersisian menuju warung di seberang persimpangan. Lantas membeli dua botol minuman segar rasa jeruk, setelah membayarnya mereka duduk di bangku panjang yang terletak di depan warung.
Rima membuka tutup botol minuman itu, lantas meneguknya berkali-kali. Begitu pun hal serupa dilakukan oleh Silvi.
“Cape juga, ya,” kata Silvi setelah menghabiskan setengah botol.
“Jelas, lah. Rutenya beda sama tahun kemaren, Vi. Kamu gak nyadar emang?.”
“Lah iya, ya. Aku baru nyadar, dulu kan diintruksiin sama panitia melalui jalan pintas.”
“Nah itu, dia.”
Tiba-tiba Silvi menjentikkan jari, binar netranya mencerah. “Gimana kalo kita ambil jalan pintas, aja?” usulnya.
Kendati masih tak yakin, Rima tetap mengangguk seraya ragu-ragu menjawab, “Em ..., boleh juga.”
“Yaudah, yuk! Keburu ketinggalan jauh, tuh.”
“Santay, dong. Kita kan bakal misahin diri nanti. Tunggu sampe kita jadi barisan paling belakang, lah. Bisa-bisa dimarahin panitia kalo ketahuan.”
“Okelah kalau begitu!” Silvi pun menyetujui seraya mengangguk-angguk.
Hingga belasan menit berlalu antrean kirab obor itu tibalah di ujungnya, Rima dan Silvi segera beranjak. Namun, arah mereka beralih pada jalan setapak menuju jalan pintas. Kedua gadis itu berjalan beriringan seraya menggenggam obor masing-masing.
Derit jangkrik terdengar bersahutan, semilir sang bayu malam berembus pelan, hingga membuat bulu kuduk Rima meremang. “Kamu yakin, ini jalan pintasnya?”
“100% yakin, Rima.”
“Kok auranya serem gini, ya. Merinding aku, Vi.” Rima menyentuh pundak Silvi dengan sebelah tangannya.
“Wajarlah, orang ini udah malem, mana kamu nggak pake jaket lagi.”
Kendati rasa takut mulai menjalari hati Rima, tetapi perkataan Silvi memang masuk akal, kan? “Tapi jangan jauh-jauh dari aku, ya!” rajuk Rima seraya mengimbangi langkah Silvi yang cepat hingga masuk ke area hutan nan rimbun, suasana tampak gelap, hanya bersumber penerangan dari obor yang mereka pegang.
Derit pohon bambu terdengar diselingi gemeresak daun-daun kering yang terinjak kaki kedua gadis itu. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak yang masih belum tampak juga ujungnya.
“Vi, ini masih lama, ya? Kok gak nemu-nemu jalan raya, sih?” Rima bertanya seraya menggaruk-garuk tangan dan kakinya yang terasa gatal, “mana banyak nyamuk lagi!”
“Bisa diem, gak? Nanti juga bakalan sampe, kok. Berisik tahu!” Silvi mulai kesal mendengar rengekkan kawannya.
“Galak amat, sih!” Rima bergumam pelan seraya mengembungkan pipi tembamnya, lantas terus mengekori langkah Silvi.
Tiba-tiba terdengar suara desisan dari bali semak-semak yang mereka lewati, diiringi gemeresak daun kering di sekitarnya. Rima mengarahkan obor ke asal suara sembari berucap, “Apaan tuh, Vi?” Seketika tangannya memegang lengan atas Rima supaya menghentikan langkah.
Silvi pun menoleh, latas menimpali, “Mungkin kadal atau apaan gitu. Namanya juga hutan, kan?”
“Bukan, Vi. Itu panjang banget! Liat, Vi, Liat!” Rima menggerak-gerakkan tangan kawannya dengan rasa wawas yang semakin mendera. “Itu ular, Silvi!” pekik Rima saat telah melihat hewan melata nan panjang itu keluar dari semak-semak menuju arah mereka.
“LARI, Vi! Lari!”
Rima dan Silvi pun segera berlari untuk menghindari ular itu, hingga telah dirasa sudah jauh. Mereka pun berhenti di sebuah pohon besar dengan napas terengah-engah.
“Berenti dulu, Vi. Aku cape!” keluh Rima seraya menyandarkan punggung di batang pohon besar tersebut.
Rima pun turut berhenti tanpa menimpali dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Hingga beberapa saat kemudian mereka kembali meneruskan langkah dengan sisa-sisa harapan akan segera sampai ke jalan raya. Namun, hingga puluhan menit berlalu mereka tak juga bersua dengan keramaian. Pikiran-pikiran buruk mulai berkelebat di kepala Rima, pun Silvi mulai merasa ada yang janggal.
Tiba-tiba Rima menghentikan langkahnya seraya memikirkan sesuatu.
“Rim, kayaknya dari tadi kita Cuma muter-muter di tempat yang sama, deh.”
“Hah? Jangan bilang kita tersesat dan semalaman bakal tetep di sini! Aku gak mau, Vi. Gak mau!”
“Kita pasti bisa nemuin jalan keluar, Rim.” Silvi tampak berpikir mencari solusi, “hape! Buka google maps!”
Rima pun segera merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel, lantas menyalakan internet dan membuka aplikasi yang disebutkan Silvi. Tiba-tiba layar gawai malah menghitam.
“Argh! Abis batre lagi!” Rima menggerutu seraya menunjukkan layar ponsel pada Silvi, “hapemu mana?”
Silvi segera merogoh saku jaketnya, lantas meraba-raba saku sebelahnya lagi, hingga saku celana. “Sial!” umpatnya.
Rima mengernyit, “Kenapa?”
“Hapeku ketinggalan di rumah keknya.”
“Ya, Tuhan!” Rima menghela napas panjang, “terus kita gimana?”
Silvi mondar-mandir di tempatnya, mencari jalan keluar memang sulit apa lagi dalam keadaan gelap.
“Vi, oborku mati, gimana ini?” kata Rima lagi, dada gadis berpipi tembam itu semakin diselimuti perasaan takut.
“Kita harus bisa nemuin jalan keluar dari sini sebelum oborku juga mati.” Silvi kembali berpikir seraya memperhatikan tempat di sekelilingnya, “ambil dua ranting itu, Rim!” titahnya seraya menunjuk patahan ranting yang teronggok di samping kaki kiri Rima.
Rima pun menurut, seraya bertanya, “Buat apa?”
“Kita tandai setiap jalan yang sudah kita lewati dengan menggoreskan ranting itu ke tanah. Dengan begitu kita tahu mana jalan yang belum kita lewatin, kemungkinan itu jalan keluarnya.”
“Bisa juga, kan itu jalan lain yang malah bikin kita tambah tersesat, Vi?”
“Kita coba dulu, kalo nggak mana tahu bener atau salag. Lagian kita gak punya banyak waktu, bahan bakar obor ini makin berkurang, Rim!”
Rima pun mengalah, benar yang dikatakan Silvi. Mereka tak bisa membuang waktu lagi.
Langkah demi langkah terus diayunkan oleh kedua gadis itu, bulu kuduk yang semakin meremang berusaha tak dihiraukan Rima, pun Silvi semakin awas memperhatikan setiap tempat yang dilewati sembari memberi tanda dengan jelas. Derit bambu semakin terdengar keras seiring angin yang berembus semakin kencang. Suara burung hantu pun mulai terdengar menyambangi telinga.
Hingga tiba di persimpangan jalan setapak, akhirnya mereka melihat cahaya lampu jalan raya yang tampak samar-samar dari kejauhan.
“Vi, itu lampu jalan!” Seru Rima girang seraya menunjuk arah yang dimaksud olehnya.
“Syukurlah ....” Silvi menghela napas dengan lega.
Rima pun refleks memeluk Silvi dengan erat.
Tiba-tiba terdengar bunyi langkah kaki beruntun dan gemeresak daun yang bersahutan.
“Dari pada peluk-pelukan sesama cewek, mending sama kita-kita, Neng!” kata seorang pria bertampang slengean dengan mata yang memerah. Seketika bau alkohol pun menyeruak dari mulutnya.
“Yo’i! Dijamin mantap jiwa!” timpal seorang pria berwajah sangar sembari menatap Rima dan Silvi dengan seringai menjijikkan.
Seketika itu Rima dan Silvi bertukar pandang seraya menahan napas, dengan raut memancarkan ketakutan yang begitu kentara. Selanjutnya mereka mundur selangkah, lantas berbalik arah.
“LARI!” teriak kedua gadis itu serempak.
Karang Bala
Tasikmalaya, 20 Agustus 2020