Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Sebelas Duabelas
5
Suka
5,418
Dibaca

Pandangan mata Erwin menyapu etalase sepatu bola. Di dalam etalase kaca itu berderet bermacam-macam warna sepatu. Perlahan Erwin mendekati sepatu bola berwarna biru dengan garis berwarna kuning. Pul sepatu bola itu tampak demikian kokoh, begitu terlihat gagah sepatu itu di mata Erwin. Tapi mendadak hatinya ciut saat melihat harga sepatu bola itu. Harganya nyaris menyentuh 1 juta. Angka itu bukan nominal yang kecil bagi Erwin. Namun pemuda bertubuh cukup jangkung itu lantas tersenyum. 

“Aku akan mencoba menambah tabungan lagi ...” Gumamnya perlahan saat meninggalkan toko sepatu olahraga. 

Erwin berjalan pulang menuju Cintanagara dengan tekad bulat akan menambah tabungan. Sepatu bola tadi begitu menggoda, dirinya membayangkan merumput dengan sepatu gagah seperti itu. Harga sepatu itu memang mahal, bahkan sangat mahal bagi Erwin, tapi kalau ia memiliki tekad pasti terbeli. Toh sepatu bola itu bukan untuk sekadar bergaya, melainkan untuk menunjang keseriusannya dalam bermain sepak bola. Sejak usia 7 tahun Erwin sudah bercita-cita akan menjadi pemain sepak bola. Cita-cita itu selalu disemainya sampai saat ini, bahkan dia telah bergabung di klub Moeda Garuda.  

Langkah kaki Erwin melambat saat berjalan di dekat alun-alun. Angin sore bersiut, dibenahinya kerah jaket yang ia kenakan. Tiba-tiba Erwin ingat dengan Ibu. Apakah Ibu akan mengizinkan dia membeli sepatu dengan harga tinggi, mengingat lagi Erwin akan naik ke kelas 3 SMA. Kebutuhan sekolahnya tak kalah banyaknya, sedangkan Ibu seorang diri mencari penghidupan. Empat tahun lalu ayah Erwin berpulang, meninggalkan Ibu dan dirinya. Selepas kepergian kepala keluarga itu, Ibu hanya mengandalkan hidup sebagai penjahit pakaian. Erwin menghela napas, kemudian dia melangkah pulang. Dia harus segera pulang sebelum hari benar-benar menjadi gelap.

***

Di bawah sinar lampu neon, Ibu sedang sibuk di balik mesin jahit. Bunyi mesin jahit berselang-seling dengan suara jangkrik di luar. Sesekali suara kodok di balong juga terdengar. Erwin hanya mengamati Ibu di balik buku pelajaran. Beberapa kali dia menghela napas perlahan, dia harus mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan keinginan. 

“Bu ...” Erwin memanggil ibunya perlahan. Diletakkan buku pelajaran di meja. 

“Ya. Kamu lapar?” tanya Ibu tanpa menoleh, sedang tangannya sibuk memasang benang ke lubang jarum mesin jahit. 

“Tidak,” Erwin terdiam sebentar. “Ada yang ingin Erwin sampaikan, Bu.”

Kali ini Ibu berhenti bekerja, dia menoleh ke arah Erwin. Ditatapnya putra semata wayangnya itu dengan keheranan. 

“Ada apa?” Ibu bertanya seraya tersenyum. “Ada masalah di sekolah?”

Erwin menggeleng. Selama ini Erwin tak pernah punya masalah di sekolah. Ibu tentu tahu itu. Dirinya membesarkan Erwin dengan sangat baik. Erwin tak pernah membuatnya malu dengan kelakuan tak terpuji. 

“Jadi ada apa?” Ibu mendekati Erwin, dia duduk di kursi dekat Erwin.

Erwin menenangkan debar di dadanya terlebih dahulu. Kemudian dia menatap ibunya lekat-lekat. 

“Sepatu bola Erwin sudah usang, Bu. Bahkan satu pul di sepatu kanan pecah. Apa boleh Erwin beli sepatu baru?” 

Ibu tertawa perlahan mendengarnya. “Aduuuh, Win. Ibu kira ada masalah apa. Sepatu itu kan untukmu berlatih, nah, belilah! Kalau memang sepatumu rusak, ya beli saja. Ibu tidak masalah dan membolehkan kamu beli sepatu baru. Di mana kamu akan beli sepatu barunya?” 

“Di toko olahraga Garuda Angkasa, Bu,” 

“Ya beli saja. Cari yang lebih awet dari sepatu lamamu,” 

“Tadi siang Erwin sudah lihat-lihat di sana. Ada sepatu yang Erwin suka,” 

“Nah! Berarti apa masalahnya? Ibu punya uang 200 ribu, kamu hanya menambahi sedikit. Oh, berapa harganya?”

Kali ini Erwin tak bisa segera menjawab. Wajahnya terlihat bimbang. Uang di dalam celengan ayam miliknya tentu tak lebih dari 300 ribu. 

“Masalahnya di harganya itu, Bu. Harganya satu juta.” Suara Erwin perlahan. 

Senyum Ibu memudar. Ada kemurungan di mata wanita setengah baya itu. 

“Itu mahal sekali, Win. Apa tidak ada yang lebih murah?” 

Erwin menunduk. Bayangan sepatu berwarna biru dengan garis kuning itu melintas di kepalanya. 

“Ada, Bu. Tapi kualitasnya tak jauh dari sepatu lama Erwin. Memang sepatu bola yang bagus itu sebenarnya mahal, Bu.” 

Ibu meluruskan punggungnya, helaan napasnya terdengar. Uang satu juta bukan barang sedikit. Sebenarnya Ibu juga tahu kalau sepatu bagus pasti harganya juga tidak murah, tapi uang sebanyak itu. Melihat mendung di wajah ibunya, Erwin segera menghibur hati ibunya. Diraihnya tangan Ibu dengan lembut. 

“Ibu tidak perlu khawatir, Erwin akan menabung dulu untuk membeli sepatu itu. Untuk latihan besok, biar Erwin memakai sepatu lama sampai uang Erwin terkumpul. Tadi Erwin hanya ingin tanya, apa Ibu keberatan kalau Erwin membeli sepatu semahal itu,”

Ibu membalas meremas tangan Erwin dengan lembut. 

“Ibu tidak keberatan. Andai Ibu punya uang sebanyak itu, pasti sudah Ibu belikan. Tapi, kan, kamu tahu, Win. Kita hidup hanya mengandalkan jahitan. Ibu ada uang, tapi untuk menyambung hidup kita.”

“Ibu tidak perlu khawatir. Erwin akan membelinya nanti dengan tabungan Erwin sendiri.”

“Lalu sepatu lamamu kan sudah mulai rusak. Bagaimana itu?”

“Gampang. Erwin bisa lem dulu, sama dijahit ulang di tukang sol. Ibu tidak perlu khawatir.” 

***

Di balik jendela rumahnya yang sederhana, Ibu termenung-menung. Ibu Erwin duduk seorang diri di rumah. Hari mulai siang, Erwin sudah berangkat sekolah sejak tadi. Setelah menyelesaikan menggambar pola baju pesanan pelanggan, Ibu mengaso. Dia duduk sembari menyeruput teh hangat. Dibiarkannya angin sepoi membelai wajahnya. 

“Ah, Ceu Ida hari siang begini sudah bengong!” 

Sapaan itu mengagetkan lamunan Ibu. 

“Bi Rosnah ini! Mengagetkan saja!” Ibu segera menyambut Bi Rosnah, dibukanya pintu lebar-lebar agar tetangganya itu leluasa masuk ke dalam.

“Alah itu, kan, gara-gara Ceu Ida yang bengong saja. Dari tadi saya lihat, kok cuma bengong sendiri. Aya naon?” Bi Rosnah bertanya dengan rasa ingin tahu. 

“Teu nanaon. Cuma sedang mengaso saja.”

“Baguslah kalau tidak ada masalah. Ini mau ambil baju kerja Fahri. Sudah jadi? Besok hari Kamis sudah harus dipakai dinas.” 

“Sudah. Baju batik kan?” 

Ibu mengambil sebuah buntelan plastik berwarna hitam yang sudah disiapkan. Bi Rosnah mengeluarkan kemeja batik dari dalam buntelan. Kemeja dengan corak batik Mega Mendung berwarna biru putih. Bagus sekali batik itu. 

“Ah, cakep! Jahitan Ceu Ida memang tidak pernah mengecewakan.” Bi Rosnah tampak puas. Baju kerja anaknya itu jadi dengan hasil begitu bagusnya. 

Ibu mengamati Bi Rosnah dengan tersenyum. Wajah Bi Rosnah berbinar-binar. Fahri, anak Bi Rosnah menjadi pegawai negeri dan saat ini berkantor di pusat kota Garut. 

“Bi Rosnah beruntung sekali, Fahri jadi pegawai negeri ...” Tiba-tiba kalimat itu meluncur dari bibir Ibu. 

“Ini tekad anaknya yang gede. Untungnya Fahri punya semangat belajar dan mau bersusah-susah daftar pegawai negeri. Kalau sekarang dia bisa bekerja jadi pegawai negeri, ya karena tekad anaknya ...,” Bi Rosnah memasukkan kembali kemeja ke dalam plastik. “Ngomong-ngomong Erwin sekarang sudah kelas berapa? Habis ini mau meneruskan kuliah, kan?” 

Ibu mengangguk. “Harapan saya begitu. Erwin mau meneruskan kuliah, tapi dia sangat senang main bola.” 

Bi Rosnah mengangguk-angguk. “Anak-anak memang punya keinginan sendiri ya. Ceu Ida pasti ingat dulu Fahri suka sekali bermain voli kan? Dulu sama seperti Erwin, tapi kemudian dia tahu kalau kuliah itu penting. Akhirnya ya memilih kuliah ke Yogyakarta. Sekarang masih suka voli, tapi cuma selingan karena hobi.” 

Tak lama kemudian Bi Rosnah undur diri. Di muka pintu Ibu hanya melihat Bi Rosnah pergi. Sejak lama Ibu memang menginginkan Erwin meneruskan sekolah di bangku kuliah seperti Fahri. Erwin cukup pintar, nilainya tidak pernah di bawah rata-rata meski dia sering disibukkan berlatih sepak bola. Meski dirinya mendukung Erwin bermain bola selama ini, namun di sisi lain Ibu tak terlalu yakin dengan nasib Erwin ke depan kalau hanya mengandalkan menjadi seorang pemain bola. Ibu kemudian menggelengkan kepala, dienyahkannya pikiran-pikiran yang membuatnya gelisah. Masih ada satu tahun untuk Erwin menimbang-nimbang masalah melanjutkan sekolah di jenjang berikutnya. Masih ada waktu bagi Ibu membujuk Erwin agar mau melanjutkan sekolah kalau perlu masuk ke perguruan tinggi negeri yang baik di luar kota. 

***

Bola sepak berwarna hitam putih terlontar ke atas, melanting kemudian meluncur ke arah Erwin. Dengan sigap Erwin menangkap bola itu dengan kaki kanannya. Suara teriakan Dido terdengar dari arah samping kanan. Sayap kanan Moeda Garuda, tim sepak bola tempat Erwin bergabung itu memang selalu berapi-api. 

“Win! Oper sini!” Dido berteriak sambil berlari ke arah gawang lawang. 

Melihat peluang baik itu, Erwin menendang bola ke arah Dido. Cekatan Dido menggiring bola, namun dia tak tahu kalau dari belakang meluncur Sahab, musuhnya dalam permainan hari ini. Badan Sahab meluncur di atas rumput bagai roket ke arah Dido. Hanya sepersekian detik sesudahnya badan Dido terpelanting jatuh ke rumput sedangkan bola terlontar keluar lapangan. Peluit terdengar. 

“Pelanggaran!” teriak Dido kesal. 

“Tidak! Itu cuma tekel. Tidak ada cedera!” Sahab tak mau mengalah. 

Wasit menyatakan tak ada pelanggaran, hanya saja bola keluar. Semua strategi Dido memang berantakan gara-gara Sahab. Sampai pertandingan usai, Dido tampaknya masih sangat kesal. 

“Coba kalu dia tidak mengganggu bolaku, pasti sudah kucetak gol tadi!” Dido melepas sepatu bolanya dengan kesal. 

Erwin yang kebetulan duduk di samping Dido hanya tersenyum. 

“Namanya permainan, Do. Tugas dia untuk menghalangi gempuran kita!” Erwin turut melepas sepatunya, kemudian dia berganti menggunakan sandal. 

“Tapi coba tadi kamu lihat, dia nyaris membuatku cedera berat. Dia bermainnya tidak sehat!” Dido masih terlihat emosional.

Dido memang selalu emosional. Sering kali bahkan dia melebih-lebihkan apa saja yang dialaminya meski sebenarnya masih batas wajar. Semisal apa yang terjadi tadi di lapangan, Sahab sudah sesuai melakukan pertahanan. Sahab melakukan tekel untuk menghalau bola yang dianggap mengancam pertahanan gawangnya, itu pun dilakukan tanpa menyentuh kaki Dido. 

Dido ingin buka suara lagi, tapi diurungkan saat melihat sepatu milik Erwin. Dahi Dido berkerut. 

“Sepatumu itu masih bisa dipakai, Win?” tanyanya dengan keheranan. 

“Masih. Kan tadi aku pakai ini.” 

Dido mengamati sepatu Erwin dengan detail, bahkan diambilnya sepatu sebelah kanan, diperhatikan betul pul di sepatu itu. 

“Ih! Ini sih sudah remuk! Lihat pul ini? Mana bisa mencengkeram lapangan?! Bisa-bisa malah bikin cedera!” 

Erwin mengambil sepatu miliknya dari tangan Dido. 

“Masih bisa kupakai,” 

“Beli baru dong! Sepatu bola kan penting,”

“Sedang ngumpulin duit. Nanti kalau sudah cukup baru beli,” 

Dido mengangguk mengerti. Kemudian beringsut bangun untuk mandi. Ditinggalkannya Erwin yang masih tercenung mengamati pul sepatunya yang pecah. Kalau kemarin hanya retak di bagian satu pul, retakan itu hari ini menjalar ke bagian outsole. Sepatu miliknya memang mengkhawatirkan, tekad Erwin memiliki sepatu baru dengan kualitas bagus membara kembali. Dia harus semakin hemat agar lebih cepat mendapatkan sepatu incarannya. 

***

Di meja makan sederhana yang berada menjadi satu dengan ruang keluarga, Erwin dan Ibu makan malam tanpa banyak bicara. Mereka berdua seolah memiliki pemikiran sendiri. Erwin terlihat menyuapkan makan malamnya seakan tak ada beban, padahal sebenarnya pikirannya sedang dihantui retaknya outsole sepatu bola miliknya. 

“Tadi Bi Rosnah ambil jahitan.” Suara Ibu memecah hening.

Erwin mendongak, mengamati Ibu yang juga sedang masak. 

“Lalu?” tanya Erwin setelah tak mengerti harus menjawab apa.

Ibu meletakkan sendoknya. 

“Kamu tahu anak Bi Rosnah kan? Fahri. Ibu menjahit baju kerja milik Fahri. Fahri sekarang jadi pegawai negeri, dinas di Garut kota. Masa depannya bagus,” Ibu diam sebentar, diamatinya Erwin lekat-lekat. “Setelah lulus, teruskan kuliah ya, Win. Kalau perlu keluar kota, cari kampus yang bagus.”

Erwin berhenti menyuapkan nasi. “Kuliah keluar kota, Bu?”

“Ya. Fahri anak Bi Rosnah itu bahkan kuliah di Yogya.” 

Erwin gamang. Bukankah Ibu tahu sejak dulu cita-citanya hanya ingin menjadi pemain bola profesional. Impian Erwin satu hari nanti bisa masuk timnas. Untuk mengejar mimpinya itu, Erwin harus berlatih dengan sangat giat. Dia bahkan sudah memetakan rencana, setelah lulus sekolah nanti dia akan jauh lebih ketat berlatih bola. Waktunya akan dihabiskan untuk berlatih. Kelak satu hari nanti, Erwin menjadi pemuda pertama dari desa ini yang akan menjadi pemain bola profesional. Tak hanya bisa mencapai mimpinya sejak kecil, tapi dengan bermain bola itu Erwin berharap bisa membantu keuangan Ibu. Dia yakin, suatu hari nanti mimpinya pasti terwujud. Tapi tentu harus ada pengorbanan, salah satunya waktu. Sejak itu pula Erwin tak berpikir untuk meneruskan sekolah di jenjang lebih tinggi. Bangku kuliah bukan menjadi prioritas hidupnya. 

“Ibu kan sudah tahu, Erwin ingin menjadi pemain bola. Sejak dulu Erwin hanya ingin menjadi pemain bola, Bu. Rencana Erwin setelah lulus sekolah nanti ingin ikut masuk diklat sepak bola. Ingin lebih serius dalam berlatih.” 

Ada rona kecewa di wajah Ibu, tapi kemudian Ibu tersenyum seperti biasa. Ibu mengerti betul kalau Erwin memang sangat menggilai bola. Ibu juga tahu kalau Erwin memiliki mimpi besar untuk menjadi seorang pemain bola profesional. Sejak kecil Erwin selalu bermimpi merumput di stadion-stadion besar, beberapa waktu lalu bahkan mengatakan ingin menjadi salah satu pemain bola nasional. Meski tentu saja untuk mencapai semua itu tidak mudah. 

“Ibu selalu mendukungmu dalam masalah bola, Win. Ibu berpikir kalau berlatih bola bukan hal buruk. Memiliki cita-cita untuk menjadi pemain profesional pun bagus. Ibu tidak pernah keberatan dengan itu semua. Tapi, Ibu berpikir lagi. Ibu bahkan merenungi masa depanmu nanti. Hanya berlatih main bola saja Ibu rasa tidak bisa menjamin masa depanmu kelak. Pendidikan juga sangat penting, Win. Kamu bisa bermain bola sampai kapan pun, tapi seharusnya diiringi pendidikan yang baik ...” Ibu berbicara dengan perlahan namun ada ketegasan di suaranya. 

Erwin menghela napas. Dia belum pernah berpikir untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Ibu selama ini tak pernah memaksa Erwin untuk melakukan sesuatu yang kurang disukainya, barulah hari ini Ibu menyatakan perasaannya selama ini. 

“Nanti akan Erwin pikirkan, Bu.” Ucap Erwin perlahan. 

***

Di atas kasur Erwin berbaring, matanya menatap langit-langit kamar. Wajahnya terlihat sedikit muram. Permintaan Ibu tidak bisa diabaikan begitu saja. Tapi kuliah? Erwin belum memikirkannya. Lagi pula biaya kuliah tidak sedikit, Ibu tentu nantinya akan kesusahan membiayainya di bangku kuliah. Meski Erwin anak semata wayang, kehidupan ekonomi mereka jauh dari kata berkecukupan. Ibu selama bersikeras bekerja memenuhi kebutuhan meski sebatas menjadi penjahit. Tapi berapa pendapatan penjahit di desa? Tak banyak. Uang hasil menjahit dipakai Ibu untuk berbelanja dan memenuhi kebutuhan Erwin. Saat berbaring seorang diri begitu, ingatan Erwin kembali saat pertama kali dirinya bermimpi menjadi seorang pemain bola. 

Erwin kecil berlari di bawah guyuran hujan, sebuah bola sepak dengan permukaan kulit yang sudah mengelupas di beberapa bagian bergulir di tanah becek. Air berwarna cokelat pekat memercik ke segala arah. Suara riang anak-anak terdengar riuh. Tawa mereka berderai. Kaki kecil Erwin menendang bola, namun terasa cukup berat karena basah. Bola meluncur ke arah gawang, tapi ternyata meleset. Beberapa anak tertawa melihat bola yang ditendang Erwin melanting ke arah samping gawang. 

Permainan Erwin berhenti saat di pinggir lapangan desa Ibu berdiri dengan payung di tangannya. Suara Ibu terdengar memanggil-manggil nama Erwin seraya tangannya melambai-lambai ke arah Erwin. 

“Erwin! Pulang dulu! Hujan, nanti sakit!” wajah Ibu terlihat cemas. 

“Sebentaaar!” Erwin ogah beranjak dari tengah lapangan. 

“Pulaaang!” kali ini suara Ibu terdengar serius, wajahnya terlihat galak. 

Erwin melambaikan tangan ke arah teman-temannya, kemudian berlari ke arah ibunya. 

“Aduh! Lihat semuanya basah, bagaimana kalau demam?!” Ibu mengomel. 

Mereka berdua berjalan beriringan. Hujan memang tak lebat sangat, tapi semuanya basah. Balong-balong yang banyak di desa itu terlihat meluap. Sawah-sawah juga mulai terendam. Di kejauhan bukit-bukit terlihat abu-abu lantaran diselimuti kabut. 

“Erwin ingin jadi pemain bola, Bu. Besar nanti mau ke kota berlatih bola. Kata Paman Acin bisa jadi pemain bola kalau berlatih di kota, katanya juga nanti bisa jadi kaya. Banyak uang!” Erwin melompat-lompat kecil di samping ibunya.

“Bisa kaya?” gumam Ibu bertanya sambil lalu. 

“Iya. Bisa punya banyak uang. Ibu suka kan kalau Erwin punya banyak uang?” 

Ibu tersenyum simpul. “Suka, tapi sekarang harus mandi dulu. Lihat baju dan celanamu kotor begitu. Nanti gatal.”

“Jadi Erwin boleh main bola ya, Bu?” 

“Boleh. Asal Erwin tetap belajar dengan baik. Mau bermain bola sampai kapan pun tetap boleh. Tapi harus tetap rajin sekolah.” 

Mendengar jawaban ibunya, Erwin kegirangan. Di sepanjang jalan itu Erwin terus bercerita tentang cita-citanya pemain bola. Ibu dengan sabar mendengarkan celotehan Erwin, sesekali Ibu menyahut. Namun di banyak waktu Ibu hanya mendengarkan. 

“Bu, Erwin ingin bola sepak, deh. Boleh ya?” suara Erwin melunak. Mereka sudah hampir sampai rumah. 

Ibu masih terus berjalan. Sekali dia melihat ke arah Erwin. “Bola sepak seperti apa? Dari plastik mau? Banyak dijual di toko mainan. Kalau ke pasar nanti Ibu belikan.” 

“Ya, dari plastik pun boleh.” Erwin melompat karena senang. 

Bagi Erwin bola sepak dari plastik pun boleh juga, asal bentuknya bundar dan Erwin bisa memainkannya kapan saja. Esoknya Ibu betul-betul membelikan bola sepak dari plastik berwarna biru tua. Menurut Ibu, warna itu membuat bola tidak terlihat begitu kotor saat terkena tanah. Lain kalau warna putih, bisa terlihat sangat kotor. Ibu memang seperti itu, detail paling kecil pun sering kali juga dipikirkan saat membelikan sesuatu untuk Erwin. 

***

Erwin berjalan menuju ruang ganti dengan wajah sedikit lesu. Sepulang sekolah dia pergi melihat sepatu incarannya di toko sepatu olahraga, tapi ternyata sepatu itu sudah lenyap. Sepatu itu sudah tidak ada di dalam etalase. Saat Erwin menanyakan kepada penjaga toko ke mana perginya sepatu bola berwarna biru bergaris kuning itu, jawaban penjaga begitu terang, sepatu itu sudah dibeli oleh seseorang. 

Erwin gagal membeli sepatu impiannya padahal uang tabungannya sudah hampir mencukupi. Tapi Erwin mengingat-ingat lagi, kemungkinan besar sepatunya dibeli orang karena Erwin terlalu lama mengumpulkan uang. Hampir berselang enam bulan lalu dari waktu pertama kali Erwin melihat sepatu itu pertama kali. Hari ini pun sebenarnya uang Erwin belum cukup. Harapan Erwin tentunya sepatu itu bisa dibelinya tak lama lagi, sepatu impian yang diimpikannya beberapa kali saat tidur. Sayangnya nasib tak begitu baik. Erwin gagal mendapatkannya. 

“Ada apa lagi? Kok muka kusut begitu?” Dido, kawan karibnya itu menegur Erwin begitu bertemu. Tampang Erwin memang kusut hari ini, semangatnya kurang menyala tak seperti biasanya. 

“Sebenarnya aku ingin membeli sepatu, Do. Tapi gimana ya, sepatu yang kuincar sudah dibeli orang,” 

“Ya tinggal beli sepatu lain lagi dong! Susah amat. Coba lihat sepatumu, wah retaknya makin parah, bentar lagi hancur itu!” Dido melongok ke arah sepatu yang dikenakan Erwin. 

Erwin turut melihat ke arah sepatunya. Sebisa mungkin Erwin menjaga sepatu itu agar tetap bisa dipakai. Bagian yang sekiranya bisa diperbaiki, sudah diperbaiki Erwin di tukang sol agar sepatu tetap bisa dipakai. 

“Besok aku akan kembali ke toko sepatu lagi, mau beli sepatu.” Erwin membetulkan tali sepatunya. 

Dido berkacak pinggang di depannya.

“Terus kenapa enggak tadi aja belinya?” suaranya terdengar sedikit menghakimi. Ada waktu Dido jengkel dengan Erwin karena temannya itu cukup keras kepala. Bahkan masalah sepatu saja dia tidak kunjung beli, meski sepatu incarannya sudah dibeli orang, Erwin perlu membeli sepatu baru secepatnya. 

“Tadi aku sedang sedih, sepatu incaran dibeli orang. Besok aku akan beli sepatu baru. Jangan khawatir!” Erwin menepuk-nepuk bahu Dido.

Kemudian keduanya berlari-lari menuju tengah lapangan, di sana teman-teman yang lain sudah menunggu untuk berlatih. 

***

Tangan Ibu sibuk menggunting bahan kain untuk pola baju pesanan. Di samping mesin jahit ada meja tempat Ibu menaruh bahan-bahan kain bakal jahitan pesanan pelanggan. Setiap plastik sudah Ibu tempeli nama pelanggan, jangan sampai bahan-bahan itu tertukar. Tiba-tiba tangan Ibu berhenti bekerja, matanya menatap gunting di tangannya kemudian beralih ke arah kain di tangan kirinya. Tak lama matanya melihat ke arah kalender. Erwin sudah harus mempersiapkan diri untuk pendaftaran kuliah. Erwin boleh memilih meneruskan kuliah di Garut atau luar Garut. Harapan Ibu hanya agar Erwin mau meneruskan kuliah. Bagi Ibu melihat Erwin meneruskan kuliah adalah mimpinya saat ini. Masa depan Erwin harus lebih baik dari dirinya, sebisa mungkin dirinya akan mati-matian menjaga masa depan Erwin. 

Malamnya Ibu harus berbicara kembali dengan Erwin. Mereka berdua harus berbicara dari hati ke hati. Harapan Ibu bukan saja untuk kebaikannya, melainkan juga untuk kebaikan Erwin kelak. 

“Ibu ingin bicara, Win.” Ibu duduk di kursi ruang tengah. 

“Ya, Bu.” Erwin yang sedang mencoba sepatu bola baru di dalam kamar buru-buru membuka sepatunya dan berlari kecil ke arah Ibu. 

Erwin duduk di depan Ibu. Melihat wajah ibunya, Erwin tahu pasti ada hal penting yang harus disampaikan ibunya. 

“Jadi bagaimana, Win? Bagaimana persiapanmu untuk kuliah nanti?” 

Mendengar pertanyaan Ibu, Erwin tak segera menjawab. Dia hanya menunduk, kemudian menengadah melihat ke arah Ibu.

“Erwin tidak ingin berkuliah, Bu.” Suara Erwin terdengar mantap. 

Ibu menatap Erwin dengan gurat kecewa, meski dirinya sudah tahu pasti akan mendapat jawaban seperti itu. 

“Ibu tahu kamu ingin bermain bola, Win. Ibu tahu kamu serius ingin menjadi pemain bola yang sukses, tapi menurut Ibu sekolah pun juga penting, Win.” Sampai di sini suara Ibu menjadi sedikit meninggi. 

“Erwin sudah berpikir, Bu. Kalau Erwin kuliah, Erwin akan kesulitan menjadi pemain profesional. Erwin ingin masuk diklat di kota, lalu ikut seleksi untuk masuk ke tim sepak bola yang bagus ...” Erwin menghela napas perlahan. “Bu, apa Ibu tidak senang kalau nanti Erwin sukses. Erwin akan menjadi orang pertama yang menjadi pemain bola sukses dari desa ini, Bu. Setelah sukses, Erwin bisa menyenangkan Ibu dengan penghasilan Erwin dari bermain sepak bola.”

“Ibu tidak pernah melarang kamu bermain bola, Win. Ibu sangat mengerti tentang mimpimu. Tapi bagi Ibu, kita tidak bisa hanya mengandalkan mimpimu dalam bermain bola untuk masa depanmu nanti. Ibu khawatir kalau kemudian kariermu di dunia sepak bola tak selalu bagus. Lalu bagaimana nantinya kalau sudah begitu?” 

“Ibu tidak perlu khawatir. Erwin pasti bisa mendapat hal paling baik dalam dunia sepak bola ini, Bu.” 

Obrolan malam itu mendapat kebuntuan. Erwin bersikukuh ingin berkonsentrasi dalam dunia sepak bola, sedangkan Ibu ingin dia melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. 

“Menjadi sarjana pun juga membanggakan, Win. Harapan masa depan lebih baik jauh terbuka lebar saat kamu memiliki gelar itu.” Suara Ibu terdengar lagi. 

Erwin yang sudah hendak masuk ke dalam kamarnya berhenti berjalan, dia melihat Ibu sekali kemudian masuk ke dalam kamar dan tidak keluar lagi. Ibu hanya menghela napas. Namun dia tahu, dia tak boleh lelah membujuk Erwin agar mau meneruskan belajar di bangku kuliah. Karang di lautan bisa terkikis lantaran hantaman ombak, tentu saja hati Erwin pun bisa luluh kalau dia tak berhenti berusaha untuk membujuk anak semata wayangnya itu. 

***

Tekad Erwin untuk menjadi seorang pemain bola profesional semakin bulat. Banyak orang yang mendukungnya. Di sekolah banyak teman yang mengelu-elukan Erwin saat bermain bola, bahkan guru olahraga pun turut memberikan dukungan. Menurut orang-orang, karier atlet sekarang banyak yang bagus-bagus. Lain dengan nasib para atlet dulu, hidupnya kurang terjamin. Sekarang zaman telah berubah, banyak atlet hidupnya sangat terjamin bahkan kaya raya. 

“Sekarang kehidupan para atlet sangat terjamin. Kudengar sebagian atlet bahkan menjadi pegawai negeri,” ujar Dido saat mereka berdua makan siang. 

Dido memang satu sekolah dengan Erwin, mereka berada di tingkat yang sama namun beda kelas. Dido pula dulu yang memberi tahu Erwin untuk bergabung dengan tim mereka sekarang. Meski untuk bergabung saat itu, keduanya harus berjibaku dan berlatih dengan keras agar lolos kualifikasi. Tak hanya di tempat latihan, keduanya sering ketemu di sekolah. Satu sahabat Erwin memang hanya Dido. Di mana Erwin berada, di sana pula Dido berada. 

“Makanya, aku ingin menjadi pemain bola profesional, Do. Kan kamu tahu, peluang kita untuk mendapat tempat terbuka lebar. Tapi ibuku memintaku meneruskan kuliah,” 

“Ah, kuliah kan bisa nanti, Win! Tahu tidak? Tetanggaku saja baru berkuliah di usia 30 tahun kok. Dan enggak ada masalah, tuh!” Dido mengendikan bahu. 

“Nah, aku pikir juga seperti itu kan. Aku bisa kuliah nanti saja kalau sudah menjadi pemain bola profesional. Kesempatan untuk menjadi atlet kan ada batasan usia ya, Do ...” 

“Iya, pokoknya kita harus berlatih lebih keras, Win. Kita harus bisa ikut pelatihan pusat untuk seleksi ke timnas.”

Tak hanya Dido, orang-orang di tim Erwin berada saat ini sangat mendukung pilihan Erwin. Mereka meyakinkan apa yang dipilih Erwin tak keliru. Semakin mendapat dukungan dari lingkungannya, tekad Erwin semakin besar. Dia harus menjadi pemain bola profesional, dia akan berusaha jauh lebih keras untuk menjadi pemain bola terbaik di klub dan melenggang ke kancah nasional. Betapa membanggakan kalau impiannya menjadi kenyataan. Seorang anak muda dari sebuah desa kecil di Garut menjadi pemain bola sukses pertama. 

Di sela berlatih, Erwin juga mengikuti berita tentang dunia sepak bola. Tak ayal banyak hal yang dirinya ketahui mengenai dunia sepak bola sampai ke pemain-pemain dalam negeri dan luar negeri. Erwin juga tidak menutup diri mengenai kehidupan para atlet dari cabang olahraga lain. Kehidupan mereka saat ini jauh lebih terjamin dibanding beberapa tahun lalu. Jika Ibu menginginkan dirinya nanti bisa seperti Fahri menjadi seorang pegawai negeri, kelak Erwin pun bisa setelah menjadi pemain bola profesional. 

Erwin memutuskan tak ingin meneruskan kuliah selepas dari bangku SMA. Ibu awalnya tampak kecewa, namun dirinya mengerti keinginan anaknya. Ibu tak banyak menggugat, dia masih saja mendukung Erwin dalam bermain bola. Meski saat mengetahui nilai kelulusan Erwin, ada yang kosong di hati Ibu. 

***

Malam nyaris mencapai puncaknya, rembulan pucat perlahan mulai naik di atas kepala tanda tengah malam datang. Suara jangkrik terdengar bersahutan, ditingkahi suara-suara hewan malam. Di meja makan sederhana ruang tengah, Ibu duduk seorang diri. Di depannya terhantar hasil studi Erwin. Nilai-nilai Erwin begitu memuaskan. Andai Erwin mau menyempatkan diri ikut tes perguruan tinggi, pasti akan lolos. 

Ingatan Ibu kembali lagi saat dirinya datang ke sekolah mengambil hasil studi selepas kelulusan. Aula sekolah itu disesaki wali murid, sebagian dari mereka terlihat puas dengan hasil anak mereka selama tiga tahun belakangan, sebagian lagi terlihat memiliki gurat kecewa. Ibu hanya duduk diam-diam melihat beberapa wali murid sedang berbagi rasa mengenai anak-anak mereka. Ada dari mereka menyalahkan lingkungan karena anaknya ternyata mendapat nilai jelek dalam pelajaran dan kepribadian. Menurutnya kenakalan anaknya disebabkan lingkungan tak sehat, makanya remaja itu terlibat kekerasan sampai diskors, dan saat kelulusan nilainya tak memuaskan. Ada lagi yang mengeluhkan anaknya gila bermain gim sampai nyaris tak lulus. Ibu hanya terdiam, Erwin memang gila bola tapi tak pernah melupakan tugas sekolahnya. 

“Ibu Erwin ya?” tanya seorang ibu dengan rambut disasak agak tinggi.

“Betul, Bu.” Ibu menjawab sembari menjabat tangan.

“Bagaimana nilainya? Bagus-bagus ya, Bu?” Ibu itu melihat ke arah buku yang dibawa Ibu. 

“Alhamdulillah, Bu. Ya, lumayanlah nilai anak saya.” Ibu sedikit malu-malu, meski begitu diperlihatkan juga nilai Erwin kepada lawan bicaranya.

“Jadi nanti meneruskan di mana? Ini nilainya bagus-bagus, lho,” 

Ibu tak kunjung menjawab, dia hanya tersenyum tipis. 

“Kemungkinan tahun ini Erwin tidak berkuliah, Bu. Entah tahun depan,”

Ibu dengan rambut disasak itu mengernyit heran. “Aduh sayang banget, lho ya. Nilai begini bagus harusnya bisa mendaftar ke kampus-kampus!”

Ibu hanya mengangguk perlahan, disimpannya kesedihan di dalam hatinya. Sungguh dia sangat mendukung Erwin dalam meraih cita-citanya, Ibu juga selalu mendukung Erwin berlatih bola. Tapi ada yang mengganjal bagi Ibu, Erwin pada akhirnya benar-benar menolak untuk meneruskan ke perguruan tinggi. 

“Erwin tidak bisa, Bu. Erwin ingin fokus berlatih bola!” 

“Pikirkan sekali lagi, Win. Ibu mendukungmu bermain bola, tapi juga harus kuliah, Win. Masa depanmu tidak hanya bisa mengandalkan bermain bola.”

“Tapi tekad Erwin sudah bulat, Bu. Erwin tidak kuliah, dengan begitu kesempatan Erwin untuk ikut seleksi timnas jauh lebih terbuka lebar,” Erwin terdiam sebentar, kemudian meneruskan. “Lagi pula kalau Erwin kuliah, apa Ibu memiliki uang. Kuliah tidak murah, Bu. Erwin ingin mengejar mimpi, Bu. Kalau Erwin berhasil, keuangan dan masa depan pasti terjamin.”

“Kamu tanya apakah Ibu bisa membiayai kuliahmu? Ibu bisa membiayai kuliahmu, Win. Ibu akan mengusahakan apa pun itu untuk kebaikanmu dan jaminan masa depanmu.” Suara Ibu bergetar menahan tangis, hati Ibu terasa campur aduk, ada kecewa, gelisah, sedih, juga terharu atas perkataan Erwin. 

“Bu ...” Erwin menggenggam tangan ibunya. “Erwin yakin dengan pilihan Erwin.”

Sekarang Ibu hanya bisa melihat berkas-berkas nilai belajar Erwin di bangku sekolah. Entah mengapa, meski Ibu selalu mendukung Erwin tetap saja ada kegamangan di hatinya. Bagi Ibu, Erwin harus memiliki jaminan untuk masa depan. Ibu mengambil buku rapor bersampul biru tua yang sedari tadi terhantar di atas meja. Diusapnya perlahan rapor itu, malam semakin tinggi, suara jangkrik masih senantiasa terdengar di kejauhan.

***

Badan Erwin terpelanting, kemudian jatuh menghantam tanah. Badannya berguling beberapa kali. Erwin merasa pergelangan kaki kirinya terasa menyengat. Ia meringkuk, meringis menahan sakit. Benturan dengan pemain lainnya membuatnya cedera. Erwin harus dipapah ke pinggir lapangan, seseorang segera memberikan kompres di kakinya. Meski begitu, Erwin merasa nyeri masih menikam kakinya. Selama sisa pertandingan dia hanya duduk di bangku pemain tanpa bisa turun tanding. 

Tak jauh dari tempat Erwin duduk, seorang laki-laki mengamatinya baik-baik. Ini bukan kali pertama pria separuh baya datang melihat pertandingan. Beberapa kali lelaki itu terlihat mengobrol dengan pelatih klub tempat Erwin bernaung. 

Namun baru sore ini mereka mengobrol untuk pertama kali, saat Erwin hanya ditempatkan di bangku cadangan oleh pelatih. Sebenarnya Erwin ingin menyatakan keberatan dan ingin kembali turun ke lapangan saat dirasakan nyeri di kakinya sudah mulai mereda. Erwin merasa sudah sembuh, dia bisa kembali lagi merumput, namun pelatih bersikeras Erwin harus berada di bangku cadangan. Bagi pelatih, kondisi kaki Erwin masih rawan. Sebisa mungkin Erwin harus mematuhi keputusan pelatihnya, meski dia merasa bosan hanya duduk di bangku cadangan sampai pertandingan nanti selesai.

Saat Erwin duduk seorang diri lantaran tidak turut bertanding di pertandingan persahabatan itu, lelaki itu mendekat. Dia duduk di samping Erwin sedang matanya mengawasi ke mana saja bola sepak di tengah lapangan itu bergulir. 

“Kamu kesal?” tanya lelaki itu tiba-tiba. 

Erwin menoleh dengan keheranan. Dia tidak menyangka laki-laki paruh baya itu akan berbicara dengannya. 

“Sedikit, Pak,” jawab Erwin perlahan. 

“Ah, ya kenalan dulu. Darwindo.” 

“Saya Erwin, Pak.”

Darwindo mengangguk-angguk.

“Sering kali merasakan menjadi pemain cadangan itu perlu, untuk mengasah mental. Jangan terlalu dibawa pusing. Kamu masih sekolah?”

“Saya sudah lulus, Pak.”

“SMA?”

“Benar, Pak.”

Darwindo lagi-lagi mengangguk-angguk. “Saya sering melihatmu bermain. Cara bermainmu cukup baik, powermu juga bagus.”

Erwin menoleh, melihat ke arah Darwindo dengan heran.

“Bapak mengamati saya?”

“Bukan hanya kamu, tapi semua pemain muda. Tapi salah satu yang sangat saya perhatikan itu kamu,”

“Tapi saya masih harus berlatih, Pak.” Erwin tersipu. 

“Tentu saja! Banyak hal dalam permainan yang harus kamu pelajari. Semisal beberapa waktu lalu saat berlatih bersama klubmu, kamu passing bola menggunakan punggung kaki belum sempurna. Kamu belum bisa menghalau bola dengan cukup baik, tapi permainanmu sudah sangat bagus. Di usia remaja, setidaknya masih ada harapan untuk menjadi pemain yang bagus ke depannya.”

Erwin mengangguk perlahan, dia sebenarnya takjub dengan pengamatan Darwindo. Dia tidak menyangka kalau Darwindo akan mengamatinya bahkan sampai detail paling kecil. 

“Meneruskan kuliah?” tanya Darwindo lagi.

Erwin terdiam mendengar pertanyaan itu. 

“Tidak, Pak. Saya tidak berkuliah, saya ingin fokus bermain bola. Mimpi saya menjadi pemain bola profesional, Pak.”

Darwindo tertawa kecil mendengar jawaban Erwin. Dia menggelengkan kepalanya. 

“Apakah kamu tahu, Win. Bahwa kamu seharusnya berpikir ulang untuk meneruskan pendidikan terlebih dahulu. Aku ini mantan pelatih bola, jadi tahu persis apa yang seharusnya dilakukan para pemain bola tingkat daerah seperti kamu ini. Memang dunia olahraga sering kali menjanjikan, namun untuk sepak bola tak banyak orang yang benar-benar bertahan sampai tua, Win. Orang tuamu setuju kamu bermain bola?”

“Ibu mendukung saya berlatih bola, Pak. Tapi dia juga menginginkan saya untuk berkuliah, hanya saja saya pikir fokus berlatih dan menjadi pemain bola jauh lebih baik untuk saya saat ini, Pak ...”

Darwindo menghela napas. Matanya masih mengikuti ke mana saja perginya bola yang menggelinding ke segala arah.

“Ibumu tidak keliru, Win. Dia tentu memiliki pemikiran yang jauh lebih matang, masa depanmu tentu telah diperhitungkan. Mungkin kelak kamu memang memiliki karir di dunia sepak bola, tapi bukan berarti hal itu akan awet. Masa depanmu bisa terancam dan berantakan kalau kamu tidak mempersiapkannya dengan baik ...” Darwindo kali ini menoleh ke arah Erwin. “Aku telah menghabiskan tiga puluh lima tahun dalam dunia sepak bola. Sebagian dari mereka memang bertahan dengan baik, menjadi pemain bola dengan karier gemilang, tapi dibanding mereka yang berhasil dengan memuaskan, jauh lebih banyak yang hidupnya tak menentu. Kenapa begitu? Karena mereka tidak mempersiapkan masa depannya dengan baik.” 

Erwin termenung mendengar perkataan Darwindo. Erwin sendiri tak menyangkal, memang banyak sekali atlet bola yang kehidupannya kemudian sangat sederhana dan tak terjamin. 

“Aku selama mengamati kalian lantaran tahu ada bakat dalam diri kalian, meski begitu tak melulu bakat kalian akan selalu terpakai. Lihat, sekarang kamu duduk di bangku cadangan, posisimu digantikan temanmu berbadan gempal itu. Padahal kalau dilihat, kamu jauh lebih unggul dari temanmu itu, tapi yang berakhir di bangku cadangan malahan dirimu. Ini bukan masalah sekadar bangku cadangan, tapi juga memberikan gambaran, bahwa kemahiran sering kali tak bisa selalu dipakai. Menyoal masa depanmu sendiri, begitu juga. Ada baiknya kamu menimbang lagi permintaan ibumu. Berkuliah, lulus dari sarjana kelak akan jauh lebih menjamin masa depanmu. Bola itu bundar, Win. Dia bisa bergulir ke mana saja bahkan sering kali tak bisa kita prediksi.”

Erwin tercenung. Dia berbicara dengan bukan orang awam dalam dunia sepak bola. Saat melihat pelatihnya akrab dengan Darwindo, Erwin tahu bahwa Darwindo memang seseorang yang benar-benar mengerti dunia sepak bola karena setelahnya Erwin juga tahu bahwa pelatihnya yang muda itu dulu mantan pemain yang dilatih Darwindo. 

“Pelatih kenal baik dengan Pak Darwindo?” tanya Erwin saat bertemu pelatihnya di ruang ganti. 

“Tentu saja. Kamu tahu, Pak Darwindo itu sebenarnya pencari bibit baru untuk Persib, lho. Anak-anak yang masuk radar Pak Darwindo kelak bisa saja direkrut untuk klub kebanggaan Jabar itu. Dan ... tadi beliau bertanya tentangmu, Win. Kelihatannya Pak Windo suka dengan caramu bermain ...” Pelatih menepuk pundak Erwin dengan bangga. 

Erwin cukup terkejut dengan kabar itu, tak disangka seseorang yang mengamatinya dan memberikan nasihat kepadanya tadi seorang pencari bakat klub besar di Jabar. Sepanjang perjalanan pulang Erwin memikirkan nasihat Darwindo, dia mulai menimbang-nimbang lagi masa depannya nanti. 

***

Ibu sedang sibuk memotong kain sesuai pola. Tangan kanannya sibuk menggunting-gunting bahan. Terlalu sibuk sampai tak menyadari kalau Erwin sudah pulang. Diam-diam Erwin mengamati Ibu yang sedang sibuk bekerja. Sejak Erwin kecil Ibu tidak pernah menuntut macam-macam kepadanya. Ibu selalu mendukung apa saja yang dilakukan Erwin asal itu masih positif, begitu juga saat bermain bola. Ibu tak pernah menyesal mengapa Erwin begitu mencintai bola, Ibu hanya sedikit kecewa saat Erwin benar-benar memutuskan untuk tidak berkuliah. 

“Bu ...” Sapa Erwin. 

Ibu menoleh. “Sudah pulang, Win. Cepat mandi, nanti Ibu siapkan makan.”

“Bu, Erwin ingin meneruskan berkuliah.” 

Suara Erwin terdengar begitu sederhana, namun hal itu bisa membuat Ibu terkejut. Ibu tidak menyangka, Erwin menyampaikan kabar itu. 

“Kuliah?” Ibu bertanya lantaran tidak percaya.

“Ya, pendaftaran yang akan datang, Erwin akan kuliah, Bu. Di samping berkuliah, Erwin juga akan tetap bermain bola.” 

Setelah bertemu Darwindo, Erwin memikirkan apa saja yang dikatakan mantan pelatih itu. Entah mengapa setelahnya Erwin juga mengingat Ibu. Semua yang dilakukan Ibu selama untuknya, dan teka-teki mengenai masa depannya. Selama perjalanan pulang Erwin menimbang-nimbang, kemudian dia menemukan jawaban untuk meneruskan kuliah. Pendidikannya tidak bisa berhenti hanya sampai di bangku SMA, benar kata Ibu dan Pak Darwindo, dia harus memiliki jaminan masa depan yang lebih menjanjikan lewat pendidikan di jenjang lebih tinggi.

Ibu tersenyum mendengarnya, kemudian dia mengangguk. 

“Ya. Ibu akan sangat mendukungmu. Sekarang mandi dulu.”

Erwin turut tersenyum, kemudian dia menghilang di dalam bilik kamar mandi. Ibu menghentikan pekerjaannya, matanya menatap keluar di lembah kejauhan sana, harapannya kembali bersemi lagi.[]

Salatiga, 2024.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Telepon Yang Tak Pernah Berdering
Daffa Amrullah
Cerpen
Sebelas Duabelas
Artie Ahmad
Novel
Bronze
SYEMA WEGARI
Elisabeth Purba
Novel
Bronze
Fabricated Love
Liz Lavender
Novel
Gold
Super Bunda
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Suami
Zaki S. Piere
Novel
Tidak ada cerita
Ananda Sevma
Skrip Film
Bismahanta
Wirdatun Nafi'ah
Cerpen
Bronze
Selepas Badai
Ferry Herlambang
Flash
Fulan dan Bocah Bangkot di Tengah Hujan
Santama
Novel
Bronze
Secret Of Love
Sonya Mega Flourensia
Flash
Pangeran Matahari
Tazkia Irsyad
Cerpen
Bronze
Ratu di Tengah Kota
Baiq Desi Rindrawati
Novel
BUKU HARIAN BAPAK
Ragiel JP
Cerpen
RADEVA
Achi Suci
Rekomendasi
Cerpen
Sebelas Duabelas
Artie Ahmad
Flash
Cerita-Cerita Ketika Hujan Datang
Artie Ahmad
Novel
Jalan Beda Arah
Artie Ahmad
Skrip Film
Jomblo Getir
Artie Ahmad
Novel
Ibu, 150 Hari
Artie Ahmad