Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari itu, Nina pulang agak lebih lambat dari biasanya. Guru bahasa Indonesia-nya, Pak Herman, memberikan soal-soal latihan yang cukup sulit dan berjumlah banyak, yang membuat Nina pusing tujuh keliling. Belum lagi dia harus piket bersama teman satu regu yang sudah jelas tidak mau membantunya.
Usai piket, Nina bergegas lari ke luar gerbang sekolah. Dia berdiri di bawah halte kecil, menunggu angkot datang. Lima menit dia menunggu di situ, hujan turun. Deras pula.
Komplit sudah, pikirnya kesal. Dengan adanya hujan, angkot pasti datang lebih lambat.
Nina menunggu di bawah kanopi halte tersebut. Matanya bolak-balik melirik jam yang terpasang melingkar di pergelangan tangannya. Terakhir dilihatnya, jarum jam menunjukkan pukul 15:20.
Nina menoleh ke kanan-kiri. Kendaraan berseliweran di mana-mana. Namun, tak tampak sebuah angkot. Nina makin frustrasi. Dia ingin cepat-cepat sampai ke rumah dan beristirahat. Hujan telah membuat semuanya sirna bagaikan debu.
Dia duduk di bangku, mengeluarkan kotak bekal, dan melahap sisa martabak dan roti kering yang dibelinya di kantin. Sayangnya, botol minumnya sudah kosong, padahal Nina butuh air. Dia tergoda untuk meminum air hujan, tetapi tidak jadi karena menurutnya itu menjijikkan.
Nina menunggu terus. Hatinya berdebar cemas. Kalau aku pulang telat, Bunda pasti khawatir. Terus bisa jadi pekerjaan rumahku terganggu gara-gara hujan sialan ini, batinnya sambil menatap titik-titik air hujan yang semakin banyak.
Sepuluh menit berlalu. Sudah jam setengah empat sore. Angkot belum muncul juga. Nina berdiri, memakai tasnya, lalu melangkah pelan ke luar halte. Dia bertekad untuk pulang sendiri, berjalan kaki, meskipun hujan membasahi tubuhnya.
Nina berjalan pelan menembus rintik-rintik air. Sekettika, rambutnya basah kuyup, termasuk seragamnya. Dia tidak peduli. Lebih baik basah di tengah jalan daripada tidak pulang ke rumah.
Setelah keluar dari kompleks sekolahnya, Nina berbelok ke jalan besar. Berjalan di atas trotoar. Matanya menyipit, menolak air yang masuk ke dalamnya.
Tak lama kemudian, sampailah dia di rumahnya sendiri. Rupanya, sang bunda berdiri di depan pagar, memegangi payung, mukanya tampak cemas dan menoleh ke kanan-kiri.
“Bunda!” panggil Nina sambil menghampiri beliau.
“Lho, Nina?” Bunda terkejut dan buru-buru memayungi anaknya. “Kamu pulang sendiri? Tidak naik angkot?”
“Tidak, Bun. Angkotnya datang terlambat gara-gara hujan,” sahut Nina sambil menggigil.
“Oooh… kamu pasti pulang telat gara-gara piket juga, ya? Ya, sudah, ayo masuk. Lain kali jangan nekat hujan-hujanan, ya, Nak. Bisa pilek nanti!” Bunda menggiring sang anak masuk ke dalam rumah.
Nina segera mengeluarkan buku-bukunya dan meletakkannya di kamar. Lalu dia sendiri berganti baju, mandi, dan mengeringkan seragam serta tasnya.
“Tuh, ada teh panas. Ambil saja di teko. Biar badanmu hangat,” ucap Bunda sambil menunjuk teko di dapur.
Nina menurutinya. Sambil menenggak teh panas, dia menatap hujan dengan senyum kemenangan.
Aku berhasil lolos dari kamu, hujan, pikirnya. Jangan bikin aku sakit dengan hawa dinginmu!
***
Esok harinya adalah hari libur. Namun, kelas Nina kebagian tugas untuk menjadi pasukan pengibar bendera. Nina terpaksa harus hadir untuk latihan hari ini, menjadi pemimpin pasukan kelas tiga.
“Aku berangkat dulu, ya, Bunda. Dadah!” Nina buru-buru keluar sesudah memakai kaos kaki dan sepatu, serta membawa botol minumnya.
“Lho, tidak bawa payung, Sayang? Nanti kehujanan lagi, lho!” seru Bunda sambil mengejar putri tunggalnya.
Nina terlanjur jauh dari teriakan bundanya. Dia mencegat angkot, lalu meminta sang sopir mengantarkannya ke sekolah. Setibanya di sana, dia segera berbaur dengan teman-teman yang kebagian tugas, dan mulai latihan.
“Capek, ya?” Nina bertanya pada Endang dan Siti.
“Iya. Untung aku bawa air minum. Kalau tidak, bisa kepanasan di sini,” jawab Siti sambil menutup botol minumnya.
“Halah, kamu, kan, jadi pembaca UUD, Sit. Berada di tempat teduh pula. Masa begitu saja kepanasan?” tanya Endang yang menjadi pemimpin pasukan kelas enam.
“Memang benar. Tapi kakiku, kan, pegal menahan tubuhku yang berat ini. Ah, untung latihan sudah selesai. Aku jadi bisa duduk tenang.” Siti mengempaskan pantatnya ke bangku di lapangan.
“Mumpung ada di sini, bagaimana kalau kalian ke rumahku dulu? Kita main bersama,” ajak Endang.
Tanpa ragu-ragu, Nina dan Siti setuju. Mereka berjalan ke rumah Endang, yang memang berdekatan dengan sekolah.
Di sana, mereka bermain tebak-tebakan, jajan bersama, baca-baca majalah langganan Endang, dan menikmati bolu buatan ibunya. Namun, kegembiraan tak berlangsung lama. Awan gelap menggelayut di langit. Samar-samar, terdengar suara rintik hujan turun dan bau tanah basah.
“Wah, hujan. Kita harus segera pulang,” ujar Siti.
“Mau kuantar?” tawar Endang sambil membuang bungkus macaroni pedas.
“Tidak usah. Aku pulang sendiri. Lagi pula, aku bawa payung, kok.”
“Kalau kamu, Nina?”
“Aku juga sama. Pulang sendiri.”
“Lho, rumah kamu, kan, agak jauh dari sini. Nanti kehujanan di sana, apa lagi kalau tidak bawa payung atau jas hujan.”
“Sudahlah, Dang, tidak apa-apa. Lagian, aku naik angkot, kok. Pasti tidak basah.”
Siti dan Nina pamit pulang. Payung Siti langsung meneduhi kepalanya, sementara Nina terpaksa harus basah sedikit karena hujan.
“Lebih baik kamu pulang sama aku. Daripada menunggu angkot, pasti lama. Atau jalan kaki, malah kehujanan,” bujuk Siti yang tidak tega sahabatnya basah kuyup.
“Tidak usah, Sit. Lebih baik kamu pulang duluan. Dicari mamamu, lho, nanti.”
Siti meninggalkan Nina di halte dengan enggan. Nina menunggu, sambil duduk.
“Kenapa, sih, hujan melulu? Kenapa hujan tidak mau mendengarkan curhatanku? Kenapa dia selalu muncul di saat aku tidak ingin dia muncul?” gumam Nina dengan kesal, sambil mengayunkan kakinya dan memandangi langit kelabu.
Nina terdiam sebentar, lalu melanjutkan. “Seandainya hujan tahu apa keinginanku, dia pasti bakal langsung mengabulkan. Nyatanya, dia tidak tahu apa-apa. Dia hanyalah benda mati, yang bergerak begitu diperintahkan Tuhan.”
Seolah menjawab curhatan Nina, angin kencang bertiup. Membuat air hujan tampak semakin miring dan deras.
“Dia memberontak, karena tahu aku tidak menjadikannya bermanfaat,” kata Nina pada diri sendiri. “Hujan memang egois, selalu ingin dirinya dikagumi orang lain. Seandainya saja dia tahu isi hatiku…”
Namun ketika dia hendak melanjutkan, angin menerjang kanopi dan air hujan merembes masuk. Rok panjang Nina basah kena cipratan air hujan.
Dia berdiri dengan murkanya, lalu berjalan ke luar halte. Kepalanya menengadah ke langit, tangannya mengepal. Mukanya basah oleh air hujan, namun dia tidak peduli.
“Seandainya kamu tahu apa keinginanku,” teriaknya, “kamu pasti langsung menghentikan semua ini. Aku memang tidak suka musim panas, tetapi setidaknya, jangan biarkan kesenanganku terganggu dengan air mata ini!”
Setelah selesai mengucapkan kata-kata itu, Nina berjalan menerobos hujan. Seperti kemarin. Dia tidak takut dengan angin kencang itu lagi. Matanya berusaha menantang air hujan yang miring.
Dan ajaibnya, hujan perlahan-lahan mereda. Seperti tahu dirinya takkan dibutuhkan lagi.