Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh hamparan sawah hijau, hiduplah dua sahabat karib, Rina dan Dika. Mereka sudah bersahabat sejak kecil, berbagi tawa, air mata, dan mimpi-mimpi yang tak terhitung jumlahnya. Rina adalah gadis yang ceria, selalu optimis dan penuh semangat. Sementara Dika, meskipun juga ceria, memiliki sifat yang lebih realistis dan kadang-kadang pesimis.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk di tepi sungai, Rina mengungkapkan impiannya untuk melanjutkan pendidikan ke kota besar. "Dika, aku ingin sekali kuliah di universitas ternama. Aku ingin menjadi seorang arsitek dan merancang gedung-gedung yang indah," kata Rina dengan mata berbinar.
Dika tersenyum, tetapi ada keraguan di wajahnya. "Itu impian yang bagus, Rina. Tapi, apakah kamu yakin bisa? Biaya kuliah di kota besar sangat mahal, dan kita tidak punya banyak uang."
Rina menghela napas. "Aku tahu, Dika. Tapi aku percaya, jika kita berusaha keras, pasti ada jalan. Kita bisa mencari beasiswa atau pekerjaan paruh waktu."
Dika mengangguk, tetapi hatinya masih dipenuhi keraguan. "Aku hanya ingin kamu tahu, tidak semua orang bisa mencapai impian mereka. Kadang-kadang, kenyataan tidak seindah harapan."
Mendengar kata-kata Dika, Rina merasa sedikit kecewa. Namun, ia tidak ingin menyerah. "Aku akan berusaha, Dika. Aku tidak ingin hidup hanya dengan mimpi. Aku ingin mewujudkannya."
Waktu berlalu, dan Rina mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk melanjutkan pendidikan. Ia belajar dengan giat, mengikuti berbagai kursus, dan mencari informasi tentang beasiswa. Sementara itu, Dika tetap di desa, membantu orang tuanya bertani. Ia merasa nyaman dengan kehidupannya yang sederhana, tetapi di dalam hatinya, ia juga merindukan sesuatu yang lebih.
Suatu malam, Rina datang ke rumah Dika dengan wajah ceria. "Dika! Aku dapat beasiswa! Aku diterima di universitas impianku!" teriak Rina dengan penuh semangat.
Dika tersenyum, tetapi hatinya terasa berat. "Selamat, Rina. Aku senang untukmu. Tapi, bagaimana dengan kita? Apa yang akan terjadi pada persahabatan kita?"
Rina menggelengkan kepala. "Kita akan tetap berteman, Dika. Jarak tidak akan memisahkan kita. Aku akan selalu kembali ke desa ini."
Namun, seiring berjalannya waktu, Rina semakin sibuk dengan kuliah dan aktivitas di kota. Ia jarang pulang ke desa, dan komunikasi mereka pun mulai berkurang. Dika merasa kesepian, tetapi ia tidak ingin mengganggu Rina yang sedang mengejar impiannya.
Suatu hari, Rina pulang ke desa untuk mengunjungi Dika. Ia membawa kabar baik tentang prestasinya di universitas. "Dika, aku baru saja memenangkan lomba desain arsitektur! Ini adalah langkah pertamaku menuju impian," kata Rina dengan bangga.
Dika tersenyum, tetapi hatinya terasa hampa. "Aku senang mendengarnya, Rina. Tapi, aku merasa kita semakin jauh. Kamu sudah berubah."
Rina terkejut. "Aku tidak berubah, Dika. Aku hanya berusaha mengejar impianku. Kenapa kamu tidak mendukungku?"
Dika menghela napas. "Aku mendukungmu, Rina. Tapi aku juga merasa kehilangan. Kita tidak lagi berbagi cerita seperti dulu."
Rina terdiam. Ia menyadari bahwa meskipun mereka seamin dalam hal impian, kenyataannya mereka tidak seiman dalam perjalanan hidup. Rina berjuang untuk mencapai cita-citanya, sementara Dika terjebak dalam rutinitas yang sama.
Setelah pertemuan itu, Rina kembali ke kota dan Dika kembali ke desa. Mereka berdua merasa kesepian, tetapi tidak tahu bagaimana cara menjembatani jarak yang semakin jauh. Rina terus berjuang, sementara Dika mulai meragukan pilihannya untuk tetap tinggal di desa.
Beberapa bulan kemudian, Rina mendapatkan tawaran kerja di sebuah perusahaan arsitektur ternama. Ia sangat senang, tetapi juga merasa bersalah karena tidak bisa kembali ke desa untuk memberi tahu Dika secara langsung. Ia mengirim pesan kepada Dika, tetapi tidak mendapatkan balasan.
Dika merasa terlupakan. Ia melihat Rina yang semakin sukses, sementara hidupnya di desa terasa stagnan. Ia mulai berpikir untuk pergi ke kota, mencari pekerjaan, dan mencoba mengejar impiannya sendiri.