Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
SBDM-MCFP
0
Suka
32
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Jakarta, dini hari, gemuruh hujan menghantam jendela gedung pencakar langit, menutupi kebisingan kota yang tak pernah tidur. Di sebuah laboratorium kecil di lantai 25, Aruna Cendekia duduk sendirian, ditemani lampu neon yang dingin dan lembar-lembar jurnal penuh coretan. Di tangannya, sehelai serabut kelapa yang baru saja melewati uji coba terakhir bukti dari tiga tahun kerja keras tanpa henti.

Dia memandangnya dengan bangga. Serat itu tak hanya melambangkan inovasi, tetapi juga sebuah janji janji bahwa dunia bisa lebih baik, bahwa mimpi kecil bisa menjadi nyata.

Namun, di sudut lain kota, sebuah pertemuan rahasia berlangsung. Dirga Mahendra, CEO ambisius BioCocoTech, menatap layar laptop dengan ekspresi dingin. Di sana terpampang proposal teknologi Aruna, di bawah namanya sendiri.

“Teknologi ini akan menjadi milik kita,” katanya.

“Dan milik dunia... di bawah nama saya.”

Di balik setiap mimpi besar, selalu ada bayangan yang siap menghancurkannya. Dan malam itu, perang untuk mempertahankan mimpi Aruna baru saja dimulai.

Di ruang rapat kecil di sisi lain gedung, Dirga Mahendra, CEO BioCocoTech, menatap laporan hasil uji coba sambil tersenyum penuh arti. Laporan itu menunjukkan bahwa teknologi SBDM-MCFP akan menjadi game-changer di industri tekstil global. Namun, di matanya, angka-angka itu bukan sekadar data; mereka adalah peluang untuk keuntungan besar.

Dirga menoleh ke Clara Wijaya, pengacara hukum perusahaannya, yang duduk dengan ekspresi tenang.

“Aruna terlalu naif,” katanya.

“Kita harus memastikan teknologi ini menjadi milik perusahaan, bukan miliknya.”

Clara mengangguk sambil mencatat sesuatu di tablet. “Kontrak kerja Aruna cukup kuat, tapi kita perlu langkah tambahan untuk mengamankan paten. Saya akan mulai mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan.”

Di luar pintu kaca yang sedikit terbuka, seorang teknisi laboratorium tak sengaja mendengar percakapan itu. Wajahnya berubah pucat sebelum dia bergegas pergi, mencoba mencari keberanian untuk memperingatkan Aruna.

Sore itu, Aruna kembali ke ruangannya yang sederhana di sudut laboratorium. Meja kerjanya penuh dengan jurnal penelitian, diagram alur proses, dan cangkir kopi yang sudah dingin. Dia mendengar pintu diketuk pelan.

“Masuk,” katanya tanpa menoleh.

Bayu, teknisi laboratorium muda yang sering membantu uji coba, masuk dengan wajah gelisah. “Mbak Aruna, saya perlu bicara,” katanya pelan.

Aruna akhirnya mengangkat wajahnya. Melihat raut serius Bayu, dia segera tahu ada sesuatu yang tidak beres. “Apa yang terjadi?”

“Saya dengar Pak Dirga dan Bu Clara sedang berencana mengambil alih paten metode SBDM-MCFP,” jawab Bayu sambil menatap lantai.

Aruna terdiam sejenak, berusaha mencerna informasi itu. Dia tahu bahwa posisinya rentan, terutama karena dia telah menolak menandatangani kontrak yang memberikan hak eksklusif kepada perusahaan. Namun, dia tidak menyangka Dirga akan bertindak secepat ini.

“Terima kasih sudah memberi tahu,” kata Aruna akhirnya. “Tapi saya harus melihat buktinya sebelum mengambil tindakan.”

Bayu mengangguk, lalu mengeluarkan flash drive dari sakunya. “Saya merekam percakapan mereka. Ini buktinya.”

Malam itu, Aruna duduk di depan laptopnya, mendengarkan rekaman yang diberikan Bayu. Suara Dirga yang dingin dan terencana membuat darahnya mendidih. Namun, dia tahu bahwa marah saja tidak akan menyelesaikan masalah.

Dia membuka emailnya dan menulis pesan kepada Pak Wisnu, dosen sekaligus mentor yang dulu membimbingnya selama S2. Pak Wisnu kini menjadi salah satu konsultan hukum terkemuka di bidang IP.

Subject: Urgent - Legal Advice Needed

Pak Wisnu,

Saya butuh bantuan Anda terkait potensi pelanggaran hak paten. Mohon beri waktu untuk bertemu minggu ini.

- Aruna

Aruna menekan tombol "Send" dan merebahkan tubuhnya di kursi. Di luar jendela, lampu-lampu kota Jakarta berkelap-kelip seperti bintang di tengah malam, mengingatkannya bahwa perjuangan ini baru saja dimulai.

Keesokan harinya, Aruna dipanggil ke ruang rapat Dirga. Dengan nada penuh kepalsuan, Dirga memuji hasil kerja kerasnya dan menyebut teknologi SBDM-MCFP sebagai “tonggak sejarah baru untuk BioCocoTech.”

“Kita perlu mematenkan ini secepatnya, Aruna,” katanya. “Kamu tidak keberatan kan, kalau perusahaan yang mengurus semuanya?”

Aruna tersenyum tipis, menyembunyikan amarah yang membara di dadanya. “Saya akan memikirkan usulan Bapak. Tapi, saya juga punya beberapa pertimbangan yang perlu didiskusikan.”

Dirga terdiam sejenak, tetapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. “Tentu saja, kita bisa bahas lebih lanjut. Saya hanya ingin memastikan bahwa kita semua di sini memiliki visi yang sama.”

Setelah keluar dari ruangan, Aruna berjalan cepat menuju laboratorium. Dia tahu waktunya tidak banyak. Dengan bantuan Bayu, dia mulai mengumpulkan semua dokumen dan data penelitian yang akan dia butuhkan untuk melindungi karyanya.

Di luar gedung, seorang pria asing berdiri di trotoar, mengamati gerakan Aruna dari jauh. Dengan jas rapi dan aura percaya diri, pria itu adalah Han Ji-Hoon, CEO muda dari JH Industries. Tanpa diketahui Aruna, Ji-Hoon sudah mulai menyusun rencananya sendiri.

Han Ji-Hoon berdiri di depan jendela kamar hotelnya, memandangi hiruk-pikuk Jakarta dari lantai 30. Kopi hitam di tangannya hampir dingin, tetapi pikirannya terus bekerja. Laporan riset yang baru saja dibacanya menunjukkan potensi besar dari teknologi SBDM-MCFP.

“Ini lebih dari sekadar teknologi ramah lingkungan,” pikirnya. “Ini adalah masa depan industri tekstil global.”

Ji-Hoon memutuskan bahwa langkah pertamanya adalah mendekati Aruna secara langsung. Dia tahu bahwa Dirga, dengan reputasinya yang buruk, bukan lawan yang sulit untuk dijatuhkan. Namun, memenangkan kepercayaan Aruna adalah cerita yang berbeda.

Sementara itu, Aruna menerima undangan untuk menjadi pembicara dalam konferensi teknologi hijau di Jakarta, Global GreenTech Summit. Tema tahun ini adalah “Masa Depan Berkelanjutan dalam Industri Tekstil.” Meski awalnya ragu, Aruna memutuskan untuk menerima undangan itu. Dia berharap ini menjadi kesempatan untuk membangun jaringan dan mencari sekutu yang bisa membantu melindungi hak patennya.

Di hari konferensi, Aruna mengenakan blazer hitam sederhana dan mengikat rambutnya dengan rapi. Meski gugup, dia merasa percaya diri. Ini adalah panggung yang dia butuhkan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa inovasinya tidak hanya penting bagi BioCocoTech, tetapi juga bagi masa depan lingkungan.

Di sisi lain ruangan, Ji-Hoon duduk di barisan depan, mengenakan setelan jas abu-abu yang sempurna. Ketika Aruna mulai berbicara, dia memperhatikan dengan seksama, mencatat setiap detail tentang teknologi yang dia sebutkan.

“Wanita ini tidak hanya pintar, tapi juga berani,” pikir Ji-Hoon.

Setelah sesi presentasi, Ji-Hoon melihat kesempatan untuk mendekati Aruna. Saat Aruna sedang mengambil segelas air mineral di meja prasmanan, Ji-Hoon berjalan menghampirinya dengan senyum ramah.

“Presentasi yang sangat mengesankan, Bu Aruna,” katanya, menyodorkan kartu namanya. “Han Ji-Hoon, dari JH Industries.”

Aruna menatapnya dengan alis terangkat. Nama JH Industries tidak asing baginya. Perusahaan itu dikenal sebagai raksasa teknologi global yang sering terlibat dalam akuisisi perusahaan kecil.

“Terima kasih, Tuan Han,” jawab Aruna sambil menerima kartu nama itu dengan hati-hati. “Bagaimana menurut Anda tentang inovasi kami?”

“Luar biasa,” Ji-Hoon berkata dengan nada penuh keyakinan. “Saya percaya teknologi Anda dapat mengubah permainan, tidak hanya di Asia, tetapi di seluruh dunia.”

Aruna tersenyum kecil, tetapi dia tetap waspada. “Tentu saja, kami masih dalam tahap pengembangan. Ada banyak tantangan yang harus kami atasi.”

“Kalau begitu, mungkin kita bisa mendiskusikannya lebih lanjut,” Ji-Hoon menawarkan. “Makan malam malam ini? Saya ingin mendengar lebih banyak tentang visi Anda.”

Aruna terdiam sejenak. Dia tidak ingin terlihat terlalu mudah didekati, tetapi undangan ini juga bisa menjadi kesempatan untuk memahami niat Ji-Hoon.

“Baiklah,” jawabnya akhirnya. “Kirimkan saja detailnya.”

Di restoran mewah di pusat Jakarta, Ji-Hoon dan Aruna duduk di meja yang sedikit terpisah dari keramaian. Hidangan modern dengan sentuhan lokal tersaji di hadapan mereka, tetapi percakapan mereka jauh lebih menarik daripada makanan yang disajikan.

“Anda pasti tahu bahwa BioCocoTech sedang dalam masalah hukum,” kata Ji-Hoon langsung pada intinya.

Aruna mendongak, terkejut tetapi tidak menunjukkan rasa panik. “Saya tidak yakin apa yang Anda maksud.”

“Dirga Mahendra bukan tipe orang yang bisa dipercaya,” lanjut Ji-Hoon sambil menatap Aruna dengan tajam. “Dia tidak peduli pada visi Anda. Dia hanya peduli pada keuntungan cepat. Jika Anda ingin teknologi Anda bertahan, Anda perlu sekutu yang lebih kuat.”

Aruna meletakkan garpunya dan menyilangkan tangan di meja. “Dan Anda pikir saya harus mempercayai Anda?”

Ji-Hoon tersenyum tipis. “Saya tidak meminta Anda untuk mempercayai saya sekarang. Tapi saya bisa menawarkan sesuatu yang Dirga tidak bisa: perlindungan dan akses ke pasar global.”

“Dengan imbalan apa?” tanya Aruna langsung.

“Kerja sama eksklusif,” jawab Ji-Hoon tanpa ragu. “Anda tetap menjadi pemilik paten, tetapi kami akan membantu Anda memproduksi dan mendistribusikan teknologi Anda di bawah bendera JH Industries.”

Aruna tahu bahwa tawaran ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, tetapi dia juga tahu bahwa dia sedang kehabisan waktu.

Sepulang dari makan malam, Aruna duduk di kamar apartemennya, memandangi kartu nama Ji-Hoon yang masih dia pegang. Tawaran itu menggiurkan, tetapi dia tidak yakin apakah Ji-Hoon benar-benar berniat membantunya atau hanya ingin mengambil keuntungan.

Dia mengambil ponselnya dan menelepon Pak Wisnu.

“Pak Wisnu, saya perlu saran Anda. Saya baru saja menerima tawaran dari seorang CEO besar. Tapi saya merasa ada sesuatu yang tidak beres.”

Di sisi lain telepon, Pak Wisnu menghela napas. “Aruna, dalam dunia bisnis, kepercayaan adalah barang langka. Tapi terkadang, kita harus mengambil risiko untuk melindungi apa yang kita miliki. Saya akan membantu Anda menilai tawaran itu.”

Di ruang rapat BioCocoTech, suasana tenang berubah menjadi tegang ketika Dirga Mahendra menyodorkan dokumen baru kepada tim legal perusahaan. Dokumen itu adalah formulir pendaftaran paten teknologi SBDM-MCFP, lengkap dengan nama perusahaan sebagai pemegang hak penuh.

“Kita tidak bisa menunggu lebih lama,” ujar Dirga dengan nada dingin. “Jika Aruna menolak, kita tetap maju. Dia bekerja di sini, dan teknologi itu milik kita.”

Clara Wijaya hanya mengangguk. Dia tahu permainan ini tidak sepenuhnya bersih, tetapi tugasnya adalah melindungi kepentingan perusahaan. Dalam hitungan hari, pendaftaran paten itu masuk ke sistem dan menjadi awal dari perang yang akan mengguncang dunia bisnis teknologi hijau.

Di laboratoriumnya, Aruna duduk dengan kepala penuh pikiran. Dia sedang memeriksa data hasil uji coba terakhir ketika notifikasi email masuk ke laptopnya. Email itu berasal dari Kantor Paten Indonesia.

“Pendaftaran paten berhasil diproses atas nama BioCocoTech.”

Jantung Aruna berdetak kencang. Dengan cepat, dia membuka dokumen lampiran. Matanya membelalak ketika melihat nama perusahaan tercantum sebagai pemegang hak eksklusif atas teknologi yang dia kembangkan.

“Ini tidak mungkin!” serunya.

Aruna segera berlari ke kantor Dirga, membawa salinan dokumen itu. Dia tidak peduli dengan protokol atau formalitas. Dia mengetuk pintu keras-keras sebelum membukanya tanpa menunggu jawaban.

“Apa arti semua ini, Pak Dirga?” tanya Aruna dengan nada marah, menunjukkan dokumen tersebut.

Dirga tersenyum tipis, seolah sudah mempersiapkan jawabannya. “Tenang, Aruna. Ini hanya langkah formal untuk melindungi teknologi kita dari pihak luar.”

“Teknologi saya,” kata Aruna dengan tegas. “Ini adalah hasil kerja keras saya, bukan milik perusahaan.”

“Kamu bekerja di sini, Aruna,” balas Dirga dingin. “Dan apa pun yang kamu ciptakan selama waktu kerja adalah milik perusahaan. Itu tertulis jelas di kontrak.”

Aruna terdiam. Dia ingat menolak menandatangani perjanjian itu, tetapi Dirga mungkin telah menemukan celah hukum yang cukup untuk membuatnya tidak berdaya.

Malam itu, Aruna kembali menghubungi Pak Wisnu. Dia menceritakan situasinya dengan suara penuh emosi.

“Mereka mendaftarkan paten tanpa persetujuan saya, Pak. Apa yang bisa saya lakukan?”

Pak Wisnu berpikir sejenak sebelum menjawab. “Kamu harus membuktikan bahwa kamu adalah pencipta asli teknologi itu. Kamu punya semua jurnal penelitian dan data, bukan?”

“Ya, saya punya semuanya,” jawab Aruna.

“Bagus,” kata Pak Wisnu. “Kita akan memulai proses pembatalan paten. Tapi kamu harus siap, Aruna. Proses ini bisa panjang dan mahal.”

Aruna menggenggam telepon erat-erat. Dia tahu ini tidak akan mudah, tetapi dia tidak akan menyerah tanpa perlawanan.

Di tengah kekacauan ini, Ji-Hoon kembali menghubungi Aruna. Kali ini, dia meminta pertemuan pribadi di sebuah kafe kecil di pusat kota.

“Saya dengar BioCocoTech sudah mendaftarkan paten tanpa persetujuan Anda,” kata Ji-Hoon setelah mereka memesan minuman.

Aruna memandangnya dengan curiga. “Bagaimana Anda tahu?”

“Saya punya sumber,” Ji-Hoon menjawab sambil tersenyum tipis. “Dan saya punya solusi untuk Anda.”

Aruna mengangkat alis. “Apa itu?”

“Tim hukum saya bisa membantu Anda membatalkan paten itu. Kami punya pengalaman dalam kasus seperti ini, bahkan di tingkat internasional.”

Aruna merasa tawaran itu terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. “Dan imbalannya?”

Ji-Hoon menatapnya dengan mata tajam. “Hak eksklusif untuk memproduksi teknologi Anda. Anda tetap pemilik paten, tetapi kami yang akan menangani produksi dan distribusi. Ini akan menjadi kolaborasi yang saling menguntungkan.”

Aruna terdiam. Tawaran itu menggiurkan, terutama karena dia tahu bahwa dia tidak punya sumber daya untuk melawan BioCocoTech sendirian. Tetapi dia juga tahu bahwa bekerja sama dengan Ji-Hoon berarti kehilangan sebagian kendali atas teknologi yang dia ciptakan.

Hari-hari berikutnya semakin berat bagi Aruna. Biaya hukum untuk memulai proses pembatalan paten terus meningkat, dan gajinya di BioCocoTech tidak cukup untuk menutupi semuanya. Dia bahkan mulai mempertimbangkan untuk menjual sebagian aset pribadinya demi melanjutkan perjuangan ini.

Bayu, teknisi laboratorium yang selalu setia membantunya, menawarkan dukungan. “Kalau Mbak butuh sesuatu, saya siap bantu. Saya juga percaya sama visi Mbak Aruna.”

Aruna tersenyum, meski hatinya terasa berat. Dia tidak ingin melibatkan Bayu lebih jauh karena risiko yang terlalu besar.

Di malam yang sunyi, Aruna duduk di balkon apartemennya, memandangi lampu kota Jakarta. Di tangannya ada dua dokumen: kontrak kerja sama dari Ji-Hoon dan surat gugatan pembatalan paten yang membutuhkan tanda tangannya untuk diajukan.

Dia tahu bahwa memilih salah satu berarti meninggalkan yang lain. Jika dia menerima tawaran Ji-Hoon, dia mungkin bisa menyelamatkan teknologinya, tetapi dengan harga yang mahal. Jika dia melanjutkan gugatan sendiri, dia berisiko kehilangan segalanya.

Aruna akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran Ji-Hoon dengan perjanjian bahwa dia tetap memegang kendali atas teknologi SBDM-MCFP. Dengan dukungan tim hukum Ji-Hoon, proses pembatalan paten mulai berjalan. Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, Aruna merasakan secercah harapan.

Namun, seperti api kecil yang mulai menyala, angin yang salah dapat memadamkannya dalam sekejap. Di sisi lain kota, Clara Wijaya duduk di ruangannya, membaca berita tentang gugatan Aruna yang mulai menarik perhatian publik. Dengan senyum penuh perhitungan, dia menyusun rencana untuk merusak reputasi Aruna sebelum semuanya terlalu jauh.

“Jika kita tidak bisa mengalahkannya secara hukum, kita hancurkan dia di depan umum,” pikir Clara.

Keesokan paginya, berita tentang Aruna mulai muncul di berbagai media online. Artikel-artikel itu menuduh bahwa teknologi SBDM-MCFP adalah hasil plagiarisme dari penelitian sebelumnya di Eropa. Beberapa artikel bahkan menyebutkan bahwa proses pengolahannya tidak ramah lingkungan, bertentangan dengan klaim Aruna.

Di media sosial, hashtag seperti #SBDMScam dan #FakeEcoTech mulai trending. Aruna yang biasanya tidak terlalu aktif di media sosial, terkejut melihat namanya diserang dari berbagai arah.

“Ini pasti kerjaan Clara,” kata Aruna dengan nada geram saat dia menunjukkan artikel-artikel itu kepada Ji-Hoon.

Ji-Hoon mengangguk sambil memandangi layar laptopnya. “Kami akan mengurus ini. Tim media saya akan membuat pernyataan resmi untuk membantah rumor ini.”

“Tapi dampaknya sudah terasa,” kata Aruna. “Rekan-rekan saya di BioCocoTech mulai mempertanyakan kredibilitas saya. Bahkan beberapa kolega dari universitas tempat saya dulu bekerja menghubungi saya untuk menanyakan hal ini.”

Sementara tim media Ji-Hoon bekerja untuk mengendalikan kerusakan, Ji-Hoon memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh. Dia meminta salah satu bawahannya, Seo Min-Ho, seorang mantan jurnalis investigasi, untuk menyelidiki Dirga dan Clara.

“Saya butuh sesuatu yang bisa menjatuhkan mereka,” kata Ji-Hoon dalam pertemuan pribadi di kantornya. “Temukan apa pun transaksi mencurigakan, pelanggaran etika, apa saja.”

Min-Ho segera mulai menggali data, dari laporan keuangan BioCocoTech hingga aktivitas online Clara. Dia menemukan bahwa Dirga telah menerima pembayaran besar dari sebuah perusahaan tekstil asing beberapa bulan lalu, kemungkinan sebagai imbalan untuk menjual teknologi SBDM-MCFP.

Di tengah kekacauan ini, Aruna mulai merasakan tekanan yang luar biasa. Dia menghadiri rapat tim hukum di kantor Ji-Hoon, tetapi pikirannya terus melayang. Setiap notifikasi di ponselnya membuatnya cemas, takut ada berita baru yang semakin merusak reputasinya.

Setelah rapat, Ji-Hoon menemukannya duduk di lorong, memandang kosong ke dinding.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Ji-Hoon, duduk di sampingnya.

Aruna menggeleng pelan. “Aku merasa seperti semuanya sudah berakhir. Bahkan jika kita menang di pengadilan, nama baikku sudah hancur.”

Ji-Hoon menatapnya dengan serius. “Kita belum kalah, Aruna. Saya tidak akan membiarkan mereka menang begitu saja.”

Aruna menatap Ji-Hoon dengan mata berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, dia merasa ada seseorang yang benar-benar di sisinya.

Hasil investigasi Min-Ho akhirnya tiba. Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa Dirga tidak hanya menjual teknologi SBDM-MCFP, tetapi juga menggunakan dana perusahaan untuk membayar media agar mempublikasikan rumor negatif tentang Aruna.

“Ini bukti yang kita butuhkan,” kata Ji-Hoon kepada Aruna. “Dengan ini, kita bisa membawa Dirga ke pengadilan bahkan sebelum kasus paten selesai.”

Namun, Aruna ragu. “Jika kita mengungkap ini sekarang, mereka akan melawan dengan cara yang lebih kotor. Kita perlu strategi.”

“Saya setuju,” kata Ji-Hoon. “Kita gunakan ini sebagai ancaman untuk menghentikan mereka. Tapi, kita juga harus mempersiapkan langkah jika mereka menyerang balik.”

Clara tidak tinggal diam. Dia mengadakan konferensi pers untuk memperkuat narasi bahwa Aruna adalah penipu. Dalam pidatonya, Clara menyebut bahwa teknologi SBDM-MCFP tidak sepenuhnya baru dan bahwa BioCocoTech telah bekerja keras untuk menyempurnakannya.

“Kita harus melindungi inovasi ini dari klaim individu yang tidak bertanggung jawab,” kata Clara di hadapan kamera.

Konferensi pers itu memperburuk situasi, tetapi Ji-Hoon memanfaatkan momen ini untuk merespons secara langsung. Dia mengeluarkan pernyataan resmi, lengkap dengan bukti-bukti dari investigasi Min-Ho.

“Kami memiliki dokumen yang menunjukkan bahwa BioCocoTech tidak hanya mencuri teknologi ini, tetapi juga mencoba menghancurkan reputasi penemunya. Kami akan membawa kasus ini ke pengadilan, dan kebenaran akan terungkap.”

Clara dan Dirga menyadari bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar. Bukti yang dimiliki Ji-Hoon cukup untuk menghancurkan mereka, tetapi mereka memutuskan untuk melawan dengan cara lain: mencari celah hukum untuk menunda proses pembatalan paten dan menggiring opini publik bahwa Ji-Hoon hanya ingin memonopoli teknologi Aruna.

Di sisi lain, Aruna mulai belajar bahwa dunia bisnis tidak hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang strategi dan keberanian untuk bertahan. Dengan dukungan Ji-Hoon, dia bersumpah untuk melanjutkan perjuangannya sampai akhir.

Langit Jakarta dipenuhi awan kelabu, seperti mencerminkan suasana hati Aruna. Hubungan profesionalnya dengan Ji-Hoon mulai berubah. Mereka tidak hanya berbicara tentang strategi hukum atau rencana bisnis, tetapi juga saling berbagi kisah pribadi di tengah malam panjang yang penuh tekanan.

Namun, dalam hubungan yang tumbuh ini, sebuah rahasia tersimpan. Di balik senyum hangat dan dukungan Ji-Hoon, ada niat awal yang bisa menghancurkan segalanya.

Aruna dan Ji-Hoon menghabiskan lebih banyak waktu bersama, baik di ruang rapat maupun di luar jam kerja. Ji-Hoon menunjukkan sisi yang lebih lembut, berbagi kisahnya tentang bagaimana dia mewarisi perusahaan di usia muda setelah kematian mendadak ayahnya.

“Saya selalu diajari bahwa bisnis adalah perang,” kata Ji-Hoon suatu malam. “Tapi bertemu denganmu mengingatkan saya bahwa ada hal lain yang lebih penting.”

Aruna, yang biasanya berhati-hati, mulai membuka diri. Dia menceritakan tentang perjuangannya membangun teknologi SBDM-MCFP, tentang bagaimana dia kehilangan ibunya karena kanker, yang menjadi motivasinya untuk menciptakan sesuatu yang ramah lingkungan.

“Saya hanya ingin membuat dunia sedikit lebih baik,” katanya.

Ji-Hoon menatapnya dalam. “Dan kamu berhasil. Saya akan memastikan dunia tahu itu.”

Beberapa minggu kemudian, saat mencari berkas di kantor Ji-Hoon, Aruna menemukan folder dengan label "SBDM-MCFP - Exclusive Rights Plan" di meja asisten Ji-Hoon. Rasa penasaran mendorongnya untuk membuka folder itu.

Di dalamnya, dia menemukan dokumen yang merinci rencana awal Ji-Hoon untuk memonopoli teknologi SBDM-MCFP. Dokumen itu menyebutkan bagaimana JH Industries akan membeli hak eksklusif teknologi tersebut, menghilangkan nama Aruna dari proses produksi, dan mengintegrasikan teknologi ke dalam portofolio perusahaan mereka sepenuhnya.

Aruna merasakan tubuhnya membeku. Semua dukungan dan kata-kata manis Ji-Hoon kini terasa seperti tipu daya belaka.

Aruna menunggu Ji-Hoon kembali dari rapat. Saat Ji-Hoon masuk ke ruangannya, Aruna langsung berdiri dan melempar dokumen itu ke mejanya.

“Apa ini, Ji-Hoon?” suaranya bergetar, campuran antara marah dan terluka.

Ji-Hoon terkejut melihat dokumen itu. Dia menghela napas panjang sebelum menjawab. “Itu rencana awal saya, sebelum kita benar-benar bertemu.”

“Rencana awal?” tanya Aruna dengan nada tinggi. “Jadi, semua ini bohong? Dukunganmu, perhatianmu itu semua hanya bagian dari rencanamu?”

Ji-Hoon berjalan mendekat, tetapi Aruna mundur. “Aruna, dengar. Ketika saya pertama kali mendengar tentang teknologi ini, saya melihatnya sebagai peluang bisnis. Tapi setelah mengenalmu, segalanya berubah. Saya tidak ingin mencuri ini darimu. Saya ingin melindungimu.”

“Lindungi aku?” Aruna tertawa sinis. “Kamu berencana menghapus namaku dari semua ini, Ji-Hoon. Bagaimana itu melindungiku?”

Ji-Hoon menunduk, tampak bersalah. “Saya tahu ini sulit dipercaya, tapi niat saya telah berubah. Saya ingin bekerja sama denganmu, bukan melawanmu.”

Setelah konfrontasi itu, Aruna kembali ke apartemennya dengan hati yang penuh keraguan. Dia tidak bisa memutuskan apakah Ji-Hoon benar-benar tulus atau hanya mencoba menyelamatkan dirinya sendiri.

Bayu, teknisi laboratorium yang selalu setia, datang berkunjung untuk mengembalikan beberapa dokumen. Melihat Aruna yang tampak murung, Bayu bertanya, “Mbak, ada apa? Ada yang bisa saya bantu?”

Aruna menceritakan semuanya kepada Bayu. Setelah mendengarkan, Bayu berkata, “Mbak, saya tidak tahu siapa yang benar, tapi saya tahu satu hal. Teknologi ini adalah milik Mbak, dan hanya Mbak yang bisa memutuskan apa yang terbaik untuk itu.”

Untuk mencari kejelasan, Aruna memutuskan pergi ke desa tempat dia pertama kali mendapatkan ide untuk teknologi SBDM-MCFP. Di sana, dia bertemu kembali dengan Pak Wiryo, seorang pengrajin serabut kelapa tua yang memberinya inspirasi untuk menciptakan metode ini.

“Apa yang terjadi, Nak?” tanya Pak Wiryo sambil menyeruput teh hangat.

Aruna menceritakan semuanya. Pak Wiryo mendengarkan dengan sabar sebelum berkata, “Kadang, kita harus kehilangan sesuatu untuk melihat apa yang benar-benar penting. Jangan biarkan orang lain menentukan nilai dari apa yang kamu ciptakan.”

Kata-kata itu memberi Aruna kekuatan baru. Dia menyadari bahwa, meskipun dia merasa dikhianati, dia harus tetap berjuang untuk apa yang dia yakini.

Kembali ke Jakarta, Aruna memutuskan untuk menghadapi Ji-Hoon lagi, kali ini dengan kepala dingin.

“Ji-Hoon, saya tidak tahu apakah saya bisa mempercayaimu lagi,” katanya. “Tapi saya juga tahu bahwa kita punya musuh yang lebih besar. Jika kamu benar-benar ingin membantu, buktikan itu. Jangan hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan.”

Ji-Hoon menatap Aruna dengan penuh kesungguhan. “Saya akan membuktikannya, Aruna. Apa pun yang diperlukan.”

Di sebuah hotel mewah di Singapura, Dirga Mahendra duduk di ruang pertemuan eksklusif bersama perwakilan dari perusahaan multinasional, GlobalTex Corp.. Di tangannya terdapat dokumen hak paten teknologi SBDM-MCFP yang siap dijual.

“Ini adalah peluang yang tidak boleh dilewatkan,” ujar Dirga penuh percaya diri. “Teknologi ini akan mengubah pasar tekstil global. Dengan ini, Anda akan menjadi pemimpin industri.”

Perwakilan GlobalTex Corp., seorang pria berkacamata dengan sikap skeptis, memeriksa dokumen itu. “Tapi kami mendengar ada gugatan hukum terkait paten ini,” katanya.

Dirga tersenyum tipis. “Percayalah, itu hanya masalah kecil. Kami memiliki semua bukti untuk mendukung klaim kami.”

Namun, apa yang tidak diketahui Dirga adalah bahwa langkah terakhirnya ini akan membuka jalan bagi kehancurannya sendiri.

Di Jakarta, Ji-Hoon menerima kabar dari jaringan intelijennya bahwa Dirga sedang dalam proses menjual paten ke GlobalTex Corp. Informasi itu sampai ke tangannya melalui Seo Min-Ho, yang diam-diam menyusup ke salah satu pertemuan di Singapura.

“Ini akan menjadi bencana jika mereka berhasil menjualnya,” ujar Ji-Hoon kepada Aruna. “Jika GlobalTex membeli paten itu, mereka punya sumber daya untuk menahan kita di pengadilan selama bertahun-tahun.”

Aruna mengangguk dengan wajah tegang. “Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi. Apa langkah kita selanjutnya?”

“Kita harus memblokir kontrak itu di pengadilan,” jawab Ji-Hoon. “Tapi kita butuh bukti kuat bahwa Dirga memalsukan data untuk mendapatkan paten.”

Aruna dan Ji-Hoon mulai mengumpulkan bukti untuk kasus mereka. Dalam prosesnya, mereka menemukan bahwa Dirga telah menghapus sebagian besar catatan asli dari server BioCocoTech untuk menutupi kebohongannya. Namun, Bayu, teknisi setia Aruna, memberikan harapan baru.

“Mbak, saya sempat mencadangkan beberapa file lama sebelum semua data dihapus,” kata Bayu sambil menunjukkan hard drive yang dia simpan.

File tersebut berisi dokumen asli yang menunjukkan bahwa Aruna adalah pencipta teknologi SBDM-MCFP dan bahwa Dirga telah memalsukan data untuk mengklaimnya sebagai milik perusahaan.

Dengan bukti di tangan, Aruna dan Ji-Hoon mengajukan gugatan darurat ke Pengadilan Paten Internasional di Den Haag untuk memblokir penjualan hak paten ke GlobalTex. Sidang berlangsung dengan intensitas tinggi, dipenuhi dengan argumen hukum dan data teknis yang kompleks.

Di ruang sidang yang penuh sesak, Clara Wijaya, yang mewakili BioCocoTech, mencoba membantah bukti Aruna.

“Hak paten ini telah diverifikasi secara legal,” kata Clara. “Tuduhan bahwa dokumen ini dipalsukan tidak berdasar.”

Namun, Aruna maju dengan tenang, membawa bukti dari hard drive Bayu. Dia menunjukkan bahwa data asli telah diubah, dan tanda tangan elektronik di dokumen paten Dirga tidak sesuai dengan catatan waktu asli.

“Ini bukan hanya pelanggaran hukum,” kata Aruna dengan suara tegas. “Ini adalah penghinaan terhadap semua peneliti yang bekerja keras untuk menciptakan sesuatu yang berarti.”

Saat sidang berlanjut, tekanan mulai memengaruhi Clara. Dia menyadari bahwa bukti melawan BioCocoTech terlalu kuat. Dalam momen yang mengejutkan, dia akhirnya mengakui bahwa Dirga memerintahkannya untuk memalsukan dokumen.

“Saya hanya menjalankan perintah,” katanya dengan suara bergetar. “Tapi saya tidak bisa terus berbohong. Teknologi ini adalah milik Aruna.”

Pengakuan Clara menjadi pukulan telak bagi Dirga. Wajahnya memucat, dan dia hanya bisa terdiam saat hakim memutuskan untuk membatalkan paten BioCocoTech dan memblokir penjualan ke GlobalTex.

Setelah sidang berakhir, Aruna dan Ji-Hoon berdiri di luar gedung pengadilan. Meski mereka menang, Aruna tidak sepenuhnya merasa lega.

“Kita menang, tapi apa yang hilang tidak akan pernah kembali,” kata Aruna sambil memandang langit kelabu.

Ji-Hoon menatapnya dengan ekspresi penuh pengertian. “Kamu masih memiliki teknologi ini, Aruna. Dan kamu bisa memulai lagi. Dengan dukungan yang benar, kali ini kamu akan membuat perubahan yang lebih besar.”

Aruna tersenyum tipis. “Aku harap begitu. Terima kasih, Ji-Hoon, untuk semuanya.”

Dirga yang menghadapi penyelidikan hukum atas tindakannya, sementara Clara memutuskan untuk meninggalkan BioCocoTech dan memulai hidup baru. Aruna kembali ke Indonesia dengan tekad baru untuk memulai perusahaan teknologi hijau independennya, sementara Ji-Hoon kembali ke Korea dengan harapan bahwa hubungan mereka bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kerja sama.

Di ruang rapat gelap di kantor BioCocoTech, Dirga Mahendra duduk berhadapan dengan Clara Wijaya. Suasana tegang, dan ketukan jarinya di meja menunjukkan kegelisahan.

“Kita tidak bisa berhenti di sini,” kata Dirga dengan nada tajam. “Mereka punya bukti kuat, tapi ini belum berakhir. Selalu ada celah hukum untuk memutarbalikkan keadaan.”

Clara, yang sudah mulai meragukan keputusannya bekerja untuk Dirga, mengangguk pelan. “Apa rencana Anda?”

“Kita serang Ji-Hoon,” jawab Dirga dengan dingin. “Kita buat dunia percaya bahwa dia hanya menggunakan Aruna untuk memonopoli teknologi ini.”

Clara terdiam, tapi dia tahu bahwa tidak ada pilihan lain selain mengikuti rencana Dirga, meski itu berarti melibatkan manipulasi media dan strategi yang tidak etis.

Beberapa hari kemudian, media mulai dipenuhi berita baru. Artikel-artikel dan wawancara anonim muncul, menyatakan bahwa Ji-Hoon dan JH Industries adalah perusahaan predator yang berusaha mengambil alih teknologi SBDM-MCFP untuk keuntungan pribadi.

“Ji-Hoon bukan pahlawan yang kamu kira,” bunyi salah satu artikel viral di media sosial. “Dia hanya ingin menguasai pasar global dengan memanfaatkan Aruna.”

Aruna, yang awalnya percaya bahwa situasi sudah terkendali, mulai menerima pesan-pesan kebencian di media sosial. Beberapa teman dekat dan mantan koleganya bahkan mempertanyakan pilihannya untuk bekerja sama dengan Ji-Hoon.

“Apa ini benar?” tanya Bayu suatu malam, menunjukkan artikel itu kepada Aruna.

Aruna memandang artikel itu dengan ekspresi marah. “Ini semua fitnah. Tapi jika kita tidak segera merespons, orang-orang akan mulai mempercayainya.”

Di Korea, Ji-Hoon menerima laporan dari tim medianya tentang kampanye negatif ini. Dengan tenang, dia menghubungi Aruna melalui video call.

“Kita tidak bisa membiarkan mereka mengendalikan narasi,” katanya. “Kita harus membuat langkah besar untuk menunjukkan transparansi dan meluruskan fakta.”

Aruna mengangguk. “Apa yang kamu rencanakan?”

“Kita adakan konferensi pers bersama,” jawab Ji-Hoon. “Kita ceritakan semuanya dari awal bagaimana teknologi ini diciptakan, bagaimana BioCocoTech mencoba mencurinya, dan apa yang sebenarnya ingin kita capai.”

Meski merasa gugup, Aruna setuju. Dia tahu bahwa satu-satunya cara untuk melawan kebohongan adalah dengan mengungkap kebenaran di depan publik.

Di sisi lain, Clara mulai merasa semakin bersalah atas keterlibatannya dalam rencana Dirga. Dia tahu bahwa jika situasi ini terus berlanjut, kariernya akan hancur, dan reputasinya tidak akan pernah pulih.

Suatu malam, Clara bertemu dengan mantan rekannya, seorang pengacara etika bernama Dewi Pranoto, yang selalu mendukung transparansi dalam hukum bisnis.

“Clara, kamu tahu ini tidak benar,” kata Dewi sambil menatapnya tajam. “Kamu punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Jangan biarkan Dirga menghancurkan hidupmu juga.”

Kata-kata Dewi membuat Clara semakin ragu. Dia mulai mempertimbangkan untuk berbalik melawan Dirga dan membantu Aruna mengungkap kebenaran.

Hari konferensi pers tiba. Aruna dan Ji-Hoon berdiri berdampingan di depan puluhan kamera dan wartawan dari berbagai media internasional.

Ji-Hoon membuka acara dengan pernyataan tegas. “Kami di sini bukan untuk menyerang siapa pun, tetapi untuk mengungkap fakta. Teknologi SBDM-MCFP adalah milik Aruna, dan JH Industries hanya ingin mendukung pengembangannya.”

Aruna melanjutkan dengan suara yang sedikit bergetar tetapi penuh keberanian. “Saya adalah pencipta teknologi ini, dan semua klaim yang mengatakan bahwa Ji-Hoon mencoba mencurinya adalah kebohongan. Apa yang kami lakukan adalah melawan pihak-pihak yang berusaha mencuri karya saya untuk keuntungan mereka sendiri.”

Konferensi pers itu disiarkan langsung dan mulai menarik perhatian publik. Dukungan untuk Aruna dan Ji-Hoon perlahan-lahan kembali muncul di media sosial, meski masih ada segelintir pihak yang meragukan mereka.

Namun, Dirga tidak tinggal diam. Dia menggunakan koneksinya untuk meluncurkan tuntutan hukum baru terhadap Aruna, mengklaim bahwa dia melanggar perjanjian kerja dengan BioCocoTech. Dengan langkah ini, Dirga berharap dapat menunda proses pengadilan yang sedang berlangsung.

“Kita harus menghancurkan mereka dari dalam,” ujar Dirga kepada timnya. “Jika mereka terus maju, kita tidak akan punya apa-apa lagi.”

Di tengah tekanan yang terus meningkat, Aruna mulai memahami bahwa dunia bisnis tidak hanya tentang inovasi, tetapi juga tentang keberanian untuk menghadapi kenyataan pahit.

“Ini bukan hanya tentang teknologi lagi,” kata Aruna kepada Ji-Hoon. “Ini tentang mempertahankan hak dan prinsip saya. Dan saya tidak akan menyerah.”

Ji-Hoon menatapnya dengan bangga. “Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira, Aruna. Dan saya akan ada di sini untuk membantumu sampai akhir.”

Lima tahun kemudian, dunia mengenang Aruna Cendekia sebagai nama besar di bidang inovasi ramah lingkungan. Teknologi SBDM-MCFP telah mengubah industri tekstil global, membawa dampak luar biasa bagi ekonomi dan lingkungan. Namun, di balik kesuksesan itu, ada cerita yang jarang diceritakan.

Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, seorang lelaki tua berjalan melewati ladang kelapa yang rindang. Pak Wiryo, mentor pertama Aruna, membawa sebuah potongan surat kabar usang. Di halaman depannya, wajah Aruna tersenyum cerah.

“Dia berhasil,” gumam Pak Wiryo, matanya berkaca-kaca.

Namun, dunia tidak tahu harga yang telah dibayar Aruna untuk kesuksesannya. Saat gugatan terakhir selesai dan Dirga akhirnya dijatuhkan, Aruna telah kehilangan segalanya. Hubungan dengan Ji-Hoon hancur karena ketidakpercayaan yang tak bisa diperbaiki. Perusahaan yang dia bangun menjadi terlalu besar untuk dikendalikan.

Dan Aruna? Dia memilih meninggalkan dunia ini dengan cara yang sunyi, membawa pergi mimpi dan luka yang tak bisa disembuhkan.

Di hari pemakamannya, Ji-Hoon berdiri di antara kerumunan, membawa bunga putih yang sederhana. Dia memandangi batu nisan dengan namanya yang terukir:

“Aruna Cendekia: Dia yang Memberi Harapan.”

Saat hujan turun, Ji-Hoon berbisik pelan, “Aku janji, aku akan melanjutkan impianmu. Apa pun risikonya.”

Dan dalam keheningan malam itu, di tengah bayang-bayang dunia bisnis yang kejam, mimpi Aruna tetap hidup bukan melalui dirinya, tetapi melalui mereka yang mencintainya dan apa yang telah dia tinggalkan.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
SBDM-MCFP
Tourtaleslights
Novel
Gold
Angels and Demons (Republish)
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Mencari Kucing Dio
Nur Afriyanti
Novel
Cinta Bersemi di Kolong Jembatan Miring
AndikaP
Cerpen
TENTANG GRAVITASI YANG HILANG DI DESA KAMI
Rian Widagdo
Novel
Bronze
Dua Sejiwa
hyu
Novel
Bronze
SURAT DARI BENGAWAN
Magnific Studio
Novel
Bronze
Budak Cacing
Omius
Novel
Ame
Haifa Artanti
Novel
Bronze
Aku, Dia & Kami
Joannes Rhino
Novel
RUMAH TANPA RUANG
Lia Seplia
Novel
21 RASA BAKSO PAK BOWO
tuhu
Novel
The Thread
Anna Onymus
Novel
Bronze
Kinara
Ainun
Novel
F[R]IKSI
Mas AldMan113
Rekomendasi
Cerpen
SBDM-MCFP
Tourtaleslights
Cerpen
17 Tahun Budak Cinta
Tourtaleslights
Novel
Keluarga Jamur
Tourtaleslights
Flash
Bronze
Jembatan Negeri Rasa
Tourtaleslights
Novel
Warisan Tanah Keluarga
Tourtaleslights
Novel
17 Tahun BUCIN
Tourtaleslights
Cerpen
Bronze
Airdrops Bingo
Tourtaleslights
Flash
Bronze
#3. Rasa Takdir dan Kebebasan
Tourtaleslights
Flash
Bronze
#1. Aroma Sakura di Tengah Kekacauan
Tourtaleslights
Cerpen
Bronze
Pilihan Nion
Tourtaleslights
Flash
Bronze
#2. Langit Berbintang dan Rasa Takdir
Tourtaleslights
Cerpen
Bronze
Negri Sonooharu
Tourtaleslights
Cerpen
Bronze
Akar Tumbuh
Tourtaleslights
Cerpen
Bronze
The Famtrip Flores
Tourtaleslights
Cerpen
Bronze
Macaronion
Tourtaleslights