Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Iko’q sudah melakukan tiga kesalahan besar, Arai. Dan yang terakhir itu tidak bisa dimaafkan, baik oleh para leluhur maupun Amai Tingai,” ujar Damang Agau selaku Ketua Adat, dengan suara berat. “Ake’q tak bisa bantu, kecuali ….”
“Kecuali apa, Damang? Ake’q akan melakukan apa saja asal lelehur dan Amai Tingai memaafkan ake’q.” Arai duduk berlutut sembari menyembah-nyembah di hadapan Ketua Adat, dan Dayung Djatta sebagai pemimpin spiritual di dusun mereka.
Damang Agau melirik Dayung Djatta yang dibalas dengan anggukan sesepuh yang sengaja berkumpul di Rumah Lamin itu. Kalau mereka sudah berkumpul di rumah panjang, pastilah ada hal serius yang harus diselesaikan, misalnya sidang hukum adat sebagai pengadilan bagi yang sudah melanggar adat.
“Kamu harus Tabeq ke Hutan Gunung Eno untuk upacara Pakant Talunt, yaitu memberi makan hutan. Bawa sesajian untuk roh leluhur dan Tuhan Amai Tingai, lalu mohon ampun.”
“Hanya itu, Damang, Dayung? Hutan Gunung Eno tak seberapa jauh dari sini.” Arai mulai berani menegakkan kepala. Suaranya terdengar bergetar diiringi binar bahagia di kedua bola matanya. Namun, ketika Damang Agau melanjutkan ucapannya, sorot mata itu kembali meredup.
“Tidak hanya itu. Kesalahanmu ada tiga. Tidak adil bagi alam semesta bila hanya itu hukumanmu. Tanpa kamu sadari, sejak kamu memenggal kepala orang Madura yang tak berdosa, padahal ngayau sudah tidak dibolehkan, kamu sudah tak punya kekuatan apa-apa. Kekuatanmu hilang!”
Pemuda Dayak Bahau itu terkejut hingga tersungkur lemah di papan ulin tempat ia bersimpuh di hadapan para tetua adat. Bagaimana tidak, kemampuan istimewa yang ia miliki sejak kecil adalah titisan Panglima Kumbang dan Panglima Sumpit yang ia terima sewaktu Perang Sampit. Ilmu kanuragan, kebal senjata, dan keahliannya menggunakan senjata Mandau Kumbang dan Sumpit Sakti, mendadak hilang begitu saja. Padahal, selama ini Arai menggunakan kesaktiannya hanya untuk menolong serta membela orang-orang yang lemah dan teraniaya.
“Tak adakah sedikit keringanan? Aku sudah berbuat banyak dalam menolong orang. Ini sungguh tidak adil! Aku akan cari Panglima Kumbang untuk mengadu!” protes Arai langsung naik banding.
“Jangan khawatir! Semesta masih memberimu kesempatan karena kamu sudah banyak berbuat baik. Kesaktian iko’q bisa kembali asalkan bertemu dengan Bungas Bakumpai dari tepian Sungai Barito. Dia yang akan menyelamatkanmu. Carilah gadis itu! Kalau tidak, kamu harus mencari Panglima Naga yang tak diketahui keberadaannya hingga kini. Apa kita harus menunggu kemunculannya yang seribu tahun sekali untuk memohon pengampunan? Kamu keburu mati!”
*
Sepulang dari Hutan Gunung Eno untuk melakukan upacara adat Pakant Talunt, Arai melanjutkan perjalanannya. Teringat ucapan Damang Agau tentang kesaktiannya yang hilang akibat kecerobohan, ia membenarkan. Baru saja berjalan beberapa kilometer, tubuhnya terasa lunglai. Biasanya, ia sanggup berlari naik turun bukit, bahkan berenang menyusuri Sungai Mahakam hingga ke hulu. Kini, duri ilalang yang menggores betisnya saja terasa perih dan berdarah-darah.
Seandainya ia tak ceroboh dalam melakukan aksi menolong sesama, mungkin nasibnya tak seperti ini. Tetapi kali ini memang patal. Kesalahan pertama, ia telah salah menolong orang yang hampur dimangsa buaya. Padahal, orang itu sedang menjalani hukuman kepuhunan, yaitu hukum alam akibat kesombongan dan tak mau menghargai orang lain. Pasalnya, kata Ketua Adat, orang itu menolak ditawari kopi dan wadai ketan, lantas mengolok-olok, menghina, bahkan menantang akibat yang akan terjadi, saat diperingatkan. Ia pendatang, namun tidak bisa memahami peribahasa “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Sialnya, Arai yang kebetulan sedang mencari ikan, melihat seekor buaya siap memangsa si pendatang itu. Arai berhasil menyelamatkannya dari terkaman buaya yang terkena anak sumpit beracunnya hingga mati. Seharusnya, ia membiarkan hal itu terjadi karena ulah orang itu sendiri. Artinya, Arai bersalah karena ikut melawan hukum alam. Tanpa disadari, justru ialah yang kini sedang kepuhunan.
Kesalahan kedua, ia tak sengaja mencabut mandau dari sangkarnya saat sedang membersihkan senjata tajam itu dari debu. Pedang khas Dayak itu tak pernah ia gunakan lagi semenjak peristiwa Sampit usai. Mandau itu telah menelan puluhan korban orang Madura. Arai tak mampu mengendalikan gerak senjata itu yang melayang sendiri, lalu menebas batang leher korbannya. Bahkan, pedang sakti pemberian Panglima Kumbang itu bisa mencium darah lawannya dari jarak ribuan meter. Menurut mitos, apabila mandau sudah keluar dari sangkarnya, ia tak akan bisa dimasukkan lagi sebelum menelan korban jiwa. Benar saja, hal itu terbukti di depan mata kepala Arai. Celakanya, yang menjadi korban adalah orang Madura yang tak berdosa. Usut punya usut, pengaruh mantra yang bisa mencium bau darah orang Madura, masih melekat di bilah pedang itu. Celakanya lagi, itu menjadi kesalahan ketiga yang sangat patal bagi Arai.
Teringat nama Bungas Bakumpai, spontan tubuhnya bergidik. Ia bertemu gadis kecil itu di tepian Sungai Mentaya, Sampit, di tengah gentingnya kerusuhan antar etnis di kota itu. Saat itu Arai berusia 9 tahun dan Bungas 7 tahun. Entah bagaimana caranya mereka bisa bertemu di tempat berbahaya itu. Seingat Arai, saat itu Bungas adalah gadis kecil yang sangat menyebalkan. Sudah bau ingus, cerewet, juga cengeng. Namun, Gadis Jawara Titisan Panglima Burung itu jago terbang dalam mengendalikan mandau yang diberikan Panglima Burung, juga lihai memainkan kibasan kipas bulu Bulai Enggang dalam menangkis serangan musuh. Bungas Bakumpai dan Arai Bagau adalah pendekar cilik yang masih menjadi misteri hingga saat ini. Sayangnya, tak ada yang istimewa yang bisa menjadi kenangan, atau kata-kata perpisahan yang menjanjikan pertemuan kembali di antara mereka. Kecuali, goresan rajah bergambar separuh tubuh beserta sayap Burung Enggang di punggung tangan mereka masing-masing, tanpa mereka pahami makna dari gambar tersebut. Lukisan abadi itu mereka dapatkan dari orang misterius suruhan Panglima Burung sebelum berpisah.
*
Tiba di Tepian Sungai Barito, tempat Bungas Bakumpai tinggal, Arai harus menelan kekecewaan. Menurut orang tua Bungas, gadis itu sedang berkelana menuju Sampit. Ia akan menemui Panglima Burung, sekadar meminta penjelasan tentang jodohnya yang susah didapat, padahal usianya sudah melewati batas lajang. Orang tua Bungas sudah mencoba mencegah putrinya menempuh perjalanan sia-sia. Namun, Bungas tetap pada pendiriannya. Ia menuntut tanggung jawab kepada Panglima sakti itu, karena menurut Bungas dialah penyebabnya. Kesaktian yang dimiliki, menjauhkan dirinya dari laki-laki.
Demi misi terpenting dalam hidupnya, mau tak mau Arai harus melanjutkan kembali perjalanannya. Ya, biasanya ia menolong atau menyelamatkan sesama makhluk hidup yang sedang dalam kesulitan. Namun kali ini, ia yang harus menyelamatkan dirinya sendiri.
Kali ini Arai menumpang perahu milik nelayan yang kebetulan satu tujuan. Dari Barito Kuala, ia harus menempuh jarak hingga satu hari satu malam. Tiba di Dermaga Susur Sungai Mentaya, Arai turun dan tak lupa memberi beberapa lembar uang sebagai tanda terima kasih kepada nelayan yang memberi tumpangan.
Lelaki bermata tajam itu berdiri sambil melayangkan pandangan jauh ke arus Sungai Mentaya yang tenang. Dulu, di bulan Februari 2001, ratusan mayat hanyut di sungai itu. Matanya mengerjap menahan cairan yang siap mengalir dari kedua sudut matanya. Helaan napasnya begitu berat menahan sesak dan pedih di ulu hatinya. Ia seakan menyesali mengapa peristiwa itu terjadi. Namun, di sisi lain, sebagai Putra Dayak, ia bangga telah turut mempertahankan harga diri dan martabat sukunya.
Angannya pun ikut melayang jauh ke sebuah tempat yang kini menjadi kenangan pahit bagi penduduk Bumi Borneo, khususnya Suku Dayak dan Madura. Kenangan yang sungguh membuka luka lama. Ia masih ingat, di usianya yang menginjak 9 tahun, di tengah lelapnya tidur setelah latihan bela diri, ia seakan melayang dibawa terbang oleh orang berjubah dan mengenakan ikat kepala bulu unggas. Arai kecil terbangun disambut oleh lelaki gagah bertato di seluruh tubuh dengan sorot mata tajam bak seekor kumbang. Dalam keadaan setengah sadar, ia diberi mandau yang menurutnya sangat berat dan panjang untuk ukuran tubuhnya yang kurus. Selain itu, lelaki berjubah yang membawanya terbang, memberi sebuah sumpit kayu ulin dengan anak sumpit terbuat dari lidi enau yang diberi racun getah pohon Ipuh yang terkenal mematikan. Yang paling membuatnya takjub, begitu berhadapan dengan orang Madura, mandau bergerak sendiri mencari mangsanya di luar kendali Arai. Sedangkan sumpit, ia gunakan untuk musuh yang tak begitu jauh darinya. Seperti dalam mimpi atau dongeng pendekar, itulah yang dirasakan Arai saat kejadian itu.
Namun, ia tak sendiri. Seorang gadis kecil terlihat begitu lincah menggerakkan mandau dan memainkan kibasan kipas bulu Bulai Enggang. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba dia sudah berada di tempat Arai melawan serangan lawan. Saat Arai kewalahan mengejar mandaunya yang juga sedang mengejar musuh, Bungas membantu mengendalikan mandau itu hingga kembali ke tangan Arai. Setelah perang usai, mereka saling tatap, namun tak saling bicara. Tak ada kata perpisahan maupun lambaian. Semua begitu cepat seperti kilat hilang dalam pandangan. Hanya sebilah mandau serta sebatang sumpit yang Arai miliki sebagai saksi keterlibatannya di peristiwa tragis itu. Selain itu, tato separuh Burung Enggang di punggung tangan, menjadi kenangan abadi. Tak ada yang tahu kisah itu, kecuali orang tuanya dan tetua adat, serta pemimpin spiritual di dusunnya yang mempunyai kepandaian khusus.
Yang lebih ia sesalkan saat ini adalah kesalahannya sendiri yang mengakibatkan nyawa orang Madura melayang. Kalau tak segera ia atasi, kemungkinan peristiwa lama berulang kembali. Itu yang sangat ia takutkan. Ia tak mau terjadi pertumpahan darah lagi. Maka dari itu, sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya, ia harus menghidupkan kembali orang itu sebelum tujuh hari, sesuai petunjuk Damang Agau dan Dayung Djatta.
“Berjalanlah ke arah barat. Tepat di Tugu Perdamaian, kamu akan menemukan yang dicari.”
Suara halus serupa bisikan, melesap ke gendang telinga Arai. Tak ada siapa-siapa. Hanya angin dari arah sungai menampar-nampar wajah tampannya yang tampak kebingungan. Sejenak Arai tertegun, lantas ia mengikuti arah yang diperintahkan suara bisikan tadi. Tak begitu jelas Arai menangkapnya, suara laki-laki atau perempuan. Tetapi ia mengerti bahwa itu adalah suatu petunjuk dari leleuhur.
Arai berjalan agak tergesa-gesa karena hari sudah di ujung senja. Setiba di tugu, ia tertegun karena mendengar petikan dawai sape yang sering ia dengar dari gadis Dayak. Suara merdu menyenandungkan liriknya terdengar lirih. Burung Enggang Merista. Sebuah lagu yang bercerita tentang betapa berat menahan kerinduan dalam menanti Sang Pujaan Hati yang diibaratkan Burung Enggang. Sungguh mencabik-cabik hati. Kaki Arai seperti terhipnotis, melangkah mendekati gadis itu. Ia langsung terpesona melihat kecantikan parasnya.
Sang gadis menghentikan petikan jari-jari lentiknya saat Arai berdiri di hadapannya. Ia menatap sosok tinggi tegap itu dari kaki hingga kepala seakan menyelidik. Saat melihat karya seni lukis di permukaan kulit punggung tangan kanannya, gadis berambut panjang teruarai itu tersentak.
“Ka-kamu?” ujarnya terbata-bata.
“Ya, ini aku. Meski aku tak tahu namamu, tapi aku yakin, kamu adalah gadis kecil sakti yang mendampingiku di masa itu. Namaku Arai, dari Mahakam Hulu,” jawab Arai sambil mengulurkan tangan kanannya.
Ketika gadis itu menerima uluran tangan Arai sambil menyebut namanya, Arai sempat melihat gambar yang persis di tangannya. Bedanya, tato itu berada di tangan kiri Bungas.
“Kita punya tato yang mirip. Apakah itu tanda yang diberikan Panglima Burung?” tanya Arai penuh rasa penasaran.
“Ya, ini kudapat setelah Perang Sampit. Lebih dari duapuluh tahun yang lalu.”
Gadis cantik berkulit putih itu menjawab dengan tertunduk malu, padahal hatinya sibuk mengendalikan denyut jantung yang berdegup kencang.
“Boleh aku lihat?” Arai mendekat, lantas memberanikan diri memegang lengan halus di sampingnya.
Si gadis tak menolak. Ia membiarkan tangan kirinya disentuh dengan sedikit gemetar. Ketika punggung tangan keduanya dirapatkan hingga gambar itu bersatu, seketika tempat di sekeliling mereka yang mulai gelap, mendadak tersinari cahaya dari tangan mereka. Tangan keduanya bergetar hebat seolah digerakkan oleh kepak sayap burung yang terlihat hidup.
Arai merasakan sesuatu merasuk dan mengalir di pembuluh darahnya. Ia telah mendapatkan kembali kekuatannya. Arai percaya bahwa ini berkat tatonya dan tato Bungas menyatu hingga terasuki roh leluhur.
“Kita harus segera pergi ke Mahakam Hulu. Aku harus menghidupkan orang yang tak sengaja kubunuh sebelum tujuh hari kematiannya,” ajak Aria kepada Bungas.
“Kita?” tanya Bungas keheranan.
“Ya, aku akan membawamu selamanya, karena aku tahu jodoh yang kamu cari selama ini adalah aku!”
Bergegas, mereka pergi menuju dermaga untuk menyewa perahu motor. Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai Mentaya, tangan bertato itu selalu rapat tak mau lepas diselingi saling lempar senyuman. Burung Enggang, lambang kedamaian dan keindahan untuk penghuni Tanah Dayak.
Setiba di Mahakam Hulu, sebelum fajar, Arai harus menghidupkan mayat yang disimpan di atas dahan pohon gaharu yang wangi dan memiliki bahan pengawet mayat. Tentu saja dengan kekuatan ilmu yang dimilikinya kembali, dibantu dengan minyak bintang sebagai penawarnya, serta roh para leluhur.
***
Iko’q = kamu
Ake’q = aku
Tabeq = memohon ampunan kepada roh leluhur
Ngayau/ kayau = memenggal kepala