Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
SAYAP PATAH
1
Suka
310
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Langit pagi itu terlihat kelam, awan-awan tebal menggantung rendah seolah menahan beban perang yang tak kunjung usai. Kapten Aira, seorang pilot wanita tangguh, duduk di kokpit pesawat tempurnya. Matanya menatap cakrawala, sementara jarinya memainkan tuas kontrol dengan cekatan. Pesawatnya melesat cepat, meninggalkan jejak asap putih di udara. Tugasnya hari ini adalah misi pengintaian di wilayah musuh. Namun, di balik seragam militernya yang tegas, ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.

Aira adalah salah satu pilot terbaik di angkatan udaranya. Sejak kecil, ia bercita-cita terbang bebas di langit, namun perang mengubah segalanya. Kini, ia harus terbang bukan untuk mengejar mimpi, melainkan untuk membela negara. Setiap kali ia mengudara, bayangan kematian dan kehancuran selalu menghantuinya. Tapi, ia tak punya pilihan. Perang telah mengambil terlalu banyak hal darinya—keluarga, sahabat, dan masa kecilnya. Ayahnya tewas dalam serangan udara, sementara ibunya meninggal karena sakit hati setelah kehilangan suaminya. Aira tumbuh dengan luka yang dalam, dan satu-satunya cara ia merasa berarti adalah dengan terbang. Terbang membuatnya merasa dekat ke langit. Langit tempat ibunya berada. Dalam awan-awan putih seakan senyum ibu menemaninya terbang. Betapa Aira merindukan pelukan hangat ibunya. Namun saat terjaga, situasi yang terjadi jauh dari pelukan hangat. Yang ada adalah perang yang dingin dan kasar.

Misi hari ini berjalan lancar. Aira berhasil mengumpulkan data intelijen yang dibutuhkan. Namun, saat hendak kembali ke pangkalan, radar pesawatnya mendeteksi adanya pesawat musuh yang mendekat. Aira segera mengambil tindakan evasif, tapi pesawat musuh itu terlalu cepat. Sebuah tembakan melesat, mengenai sayap pesawatnya. Aira berusaha mempertahankan kendali, tapi pesawatnya mulai kehilangan ketinggian.

Dengan cepat, ia memutuskan untuk melakukan pendaratan darurat di sebuah hutan di wilayah musuh. Pesawatnya mendarat kasar, dan Aira terlempar dari kokpit. Ketika ia sadar, tubuhnya terasa sakit, tapi ia berusaha bangkit. Ia tahu, berada di wilayah musuh berarti ia dalam bahaya besar. Namun, sebelum ia sempat melarikan diri, sekelompok tentara musuh sudah mengepungnya.

Aira ditangkap dan dibawa ke sebuah kamp tahanan. Tangannya diikat dengan tambang yang erat. Di sana, ia diperlakukan dengan kasar. Para penjaga memandangnya dengan kebencian, menganggapnya sebagai ancaman. Mereka mendorongnya, terkadang menendangnya. Namun, ada satu orang yang berbeda—seorang perwira muda bernama Kael. Kael adalah seorang kapten dari pihak musuh, dan dialah yang bertanggung jawab menginterogasi Aira.

Pertemuan pertama mereka penuh ketegangan. Aira menatap Kael dengan tatapan penuh kebencian, sementara Kael mencoba tetap profesional. Namun, seiring waktu, interaksi mereka mulai berubah. Kael memperlakukan Aira dengan hormat, tidak seperti yang lain. Ia bahkan diam-diam memberikan Aira makanan dan selimut ketika malam terasa dingin.

Suatu malam, Kael datang ke sel Aira dengan wajah yang terlihat lelah. Dipandangnya gadis itu lekat-lekat. Mata indahnya. Rambut panjang yang terikat ke belakang dan tatapannya yang sayu. Wanita ini seperti menyimpan luka. "Kau tidak seperti yang lain," katanya, memecah keheningan. "Kau kuat, tapi aku bisa melihat ada luka di matamu."

Aira terkejut mendengar kata-kata itu. Ia tidak menyangka ada orang dari pihak musuh yang bisa melihat kelemahannya. Aira menatap lelaki itu. Dia sangat tampan dan lembut. "Apa yang kau tahu tentangku?" tanyanya dengan suara dingin.

"Tidak banyak," jawab Kael. "Tapi aku tahu perang ini telah mengambil banyak hal dari kita semua."

Percakapan itu menjadi awal dari sebuah ikatan yang tak terduga. Entah mengapa dalam situasi perang yang dahsyat, penuh dengan dentuman meriam dan suara senapan, Kael menemukan kedamaian dari kelembutam wanita itu. Setiap malam, Kael datang ke sel Aira, dan mereka berbicara tentang banyak hal—tentang mimpi, tentang keluarga, tentang kehidupan sebelum perang. Aira mulai melihat Kael bukan sebagai musuh, melainkan sebagai manusia yang juga terjebak dalam konflik yang tak mereka inginkan. Mereka sama-sama menyadari bahwa perang, tak membuat hati mereka mengeras.

Kael bercerita tentang masa kecilnya di sebuah desa kecil, di mana ia bermimpi menjadi seorang guru. Namun, perang memaksanya untuk mengambil senjata dan berperang. "Aku tidak pernah ingin ini," katanya suatu malam. "Tapi seperti kau, aku tidak punya pilihan."

Aira mengangguk, memahami perasaan Kael. "Kadang aku bertanya-tanya, apakah semua ini sia-sia. Berapa banyak lagi nyawa yang harus hilang sebelum kita menyadari bahwa perang tidak menyelesaikan apa pun? Aku benci peperangan. Ayahku meninggal karena perang. Ibuku meninggal karena tak kuat menahan sakit ditinggal papa. Perang membuatku sepi. Aku kesepian."

Hati Aira mulai goyah. Ia tahu, mencintai seseorang dari pihak musuh adalah pengkhianatan. Tapi, perasaannya terhadap Kael semakin kuat. Kael juga merasakan hal yang sama. Ia tahu, perasaannya terhadap Aira bisa membuatnya dihukum mati, tapi ia tak bisa menahan diri. Mereka sama-sama menyadari betapa berat situasi mereka. Mencintai pihak musuh.

Suatu malam, Kael membuka pintu sel Aira. "Aku akan membebaskanmu," katanya dengan suara tegas. "Tapi kau harus pergi sekarang. Jika mereka tahu, kita berdua akan mati."

Aira terkejut. "Kenapa kau melakukan ini? Kau tahu ini berbahaya."

"Karena aku mencintaimu," jawab Kael tanpa ragu. "Dan aku tidak ingin melihatmu terluka lagi."

Aira bingung. Di satu sisi, ia ingin melarikan diri, kembali ke negaranya, dan melanjutkan perjuangan. Tapi di sisi lain, hatinya tertambat pada Kael. Ia tidak ingin meninggalkannya.

"Kau harus memilih," kata Kael, memecah kebingungan Aira. "Negaramu atau aku."

Aira menatap Kael, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak tahu," bisiknya. "Aku bingung."

Kael mengangguk, memahami pergolakan dalam hati Aira. "Aku tidak akan memaksamu. Tapi apapun yang kau pilih, aku akan menghormatinya."

Akhirnya, Aira memutuskan untuk pergi. Ia tahu, ia tidak bisa mengkhianati negaranya. Tapi, sebelum ia pergi, ia mencium Kael dengan penuh perasaan. "Aku mencintaimu," katanya. "Tapi aku harus pergi."

Kael mengangguk, matanya juga berkaca-kaca. "Aku mengerti. Pergilah, dan jangan pernah menoleh ke belakang."

Aira melarikan diri dari kamp tahanan, kembali ke negaranya. Tapi, hatinya tetap terbelah. Setiap kali ia terbang, bayangan Kael selalu menghantuinya. Ia mencoba fokus pada tugasnya, tapi perasaannya terhadap Kael tak pernah pudar.

Perang terus berlanjut, dan Aira semakin tertekan. Ia tahu, suatu hari nanti, ia mungkin harus berhadapan dengan Kael di medan perang. Dan ketika hari itu tiba, ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya.

Suatu malam, Aira berdiri di tepi landasan pacu, menatap langit yang dipenuhi bintang. Ia merenungkan pilihannya, mencoba mencari jawaban yang tak pernah ia temukan. Di hatinya, ada dua hal yang saling bertarung—cinta dan kewajiban. Dan sampai saat ini, ia masih bingung, mana yang harus dipilih.

---

**Zeventina**

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
SAYAP PATAH
Zeventina Octaviani B
Novel
Bronze
Spill the Tea?
Ralali Sinaw
Novel
Pilar
Dwi Kurnialis
Novel
25
Imajiner
Novel
Layang-Layang Tak Kunjung Terbang
Hendra Wiguna
Skrip Film
Little Man
M. Faizal Armandika
Skrip Film
Perempuan mendekati usia 30 tahun
Shofiyuddin
Flash
Bronze
Jejak Berbulu
Deeta Pratiwi
Flash
Pelukis Malam hari
Dava Satya
Flash
Bronze
Jam Tangan
AndikaP
Novel
PENGHARAPAN
Estiana
Novel
Bronze
3 tahun yang berbeda
Yuwo
Skrip Film
Gajah Oling
Teguh Santoso
Flash
Bronze
LDR PROBLEM
Maldalias
Flash
Rupawan Monster Selalu Menyerupai Mangsanya
Fadel Ramadan
Rekomendasi
Cerpen
SAYAP PATAH
Zeventina Octaviani B