Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Sayap di langit senja
0
Suka
70
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bagian 1: Awal Pertemuan

Sore itu berpendar lembut dengan warna jingga pucat, seolah-olah mentari terlalu letih untuk bersinar terang. Udara terasa tenang, seakan menahan napas, dan waktu seakan melambat di tengah hamparan sawah yang sunyi. Di atas sebuah batu besar di tepi sawah, Aksa duduk. Kakinya menggantung ringan, wajahnya mengarah ke cakrawala. Diam. Seperti biasa.

Aksa bukan anak yang ramai. Ia bukan tipe yang bersenda gurau di warung kopi pinggir jalan, atau ikut bermain sepak bola di lapangan desa. Ia lebih senang berjalan sendiri, menyusuri pematang sawah, mendengar suara angin dan desir ilalang. Sejak kecil, dunia baginya bukanlah ruang yang harus ditaklukkan, tapi sesuatu yang harus didengarkan.

Ibunya pernah berkata, "Aksa itu anak yang hidup di dalam pikirannya sendiri." Ayahnya hanya mengangguk, lalu kembali menebang bambu di belakang rumah.

Di sore yang tampak biasa itu, sesuatu yang tidak biasa muncul. Dari jauh, dari batas langit dan matahari yang sedang turun perlahan, seekor burung putih muncul. Bukan bangau, bukan elang, dan bukan jenis yang pernah dilihat Aksa sebelumnya. Ia melayang rendah, kepakan sayapnya nyaris tak bersuara. Tapi Aksa mendengarnya, dengan cara yang aneh, samar, seperti gema dari dalam dirinya sendiri.

Burung itu melayang di atas sawah, kemudian berputar, sekali, dua kali, ke kanan lalu ke kiri, dan seolah mengetahui bahwa Aksa memperhatikannya, ia melayang lebih dekat, cukup untuk terlihat jelas tapi tetap di luar jangkauan.

Aksa berdiri perlahan, menatapnya. Ia tak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang menggerakkan dadanya. Sebuah rasa yang ia tidak mengerti, campuran dari kagum, terkesima, dan sebuah kehilangan yang belum pernah terjadi.

Ia ingin berkata sesuatu. Tapi apa?

Lalu burung itu terbang lebih tinggi dan perlahan menghilang di langit yang kini mulai menggelap.

Aksa diam. Lama. Tak bergerak.

Lalu ia berkata dalam hati: "Aku akan kembali besok."

Dan ia kembali.

Setiap sore.

Bagian 2: Obsesi dan Pencarian

Hari-hari berlalu. Senja datang dan pergi, dan Aksa tetap setia di batu besar itu. Ia menunggu, dengan mata penuh harap dan napas yang menahan detak jantung. Kadang burung itu muncul, kadang tidak. Tapi saat ia datang, dunia seperti berubah. Sunyi terasa syahdu, waktu menjadi lambat, dan dunia terasa hanya milik mereka berdua.

Aksa mulai menyebut burung itu Lara, nama yang muncul begitu saja dari dalam benaknya, tanpa alasan, tanpa asal. Mungkin karena ada kesedihan yang samar dalam keindahan itu. Atau karena sejak kemunculan Lara, hatinya tak lagi tenang.

Ia mulai mencatat. Di buku kecil yang selalu ia bawa, ia menulis tanggal, waktu, dan gerakan Lara. Kadang disertai sketsa kasar tentang bentuk sayapnya, kadang hanya baris-baris puisi yang mengalir dari benaknya seperti air dari mata air sunyi:

Kau datang tanpa suara,

Meninggalkan ribuan tanya.

Apakah kau nyata?

Atau hanya bayangan dalam jiwaku yang gersang?

Lambat laun, kehidupan Aksa berubah. Ia menjadi lebih pendiam. Di rumah, ia jarang makan bersama. Di sekolah, ia kerap melamun. Di ladang, ia tak lagi membantu ayahnya. Ibunya mulai gelisah. "Kamu sakit, Nak?" tanyanya suatu malam. Tapi Aksa hanya menggeleng dan tersenyum kecil, “Tidak, Bu. Aku cuma… melihat sesuatu yang indah.”

Kekhawatiran ibunya tak berhenti di situ. Suatu sore, ia mengikuti Aksa dari jauh, dengan langkah hati-hati menyusuri pematang. Dan di sanalah ia melihat putranya duduk diam, menatap langit yang kosong. Tak ada burung, tak ada apa-apa. Hanya sunyi yang menggantung.

Tapi Aksa tetap menatap ke langit, seolah di sana ada dunia lain yang hanya bisa ia lihat.

Malam-malam Aksa mulai dipenuhi mimpi. Dalam tidurnya, ia melihat dirinya sendiri berlari di padang luas, mengejar bayangan putih yang melintas cepat di udara. Ia memanggil, tapi suaranya tenggelam oleh angin. Ia melompat, tapi tak pernah bisa menjangkau. Dan selalu, di akhir mimpinya, Lara menghilang, dan ia terbangun dengan dada sesak.

Rasa ingin memiliki itu tumbuh pelan-pelan. Halus, tapi kuat. Aksa tahu ia tak bisa menangkap Lara. Tapi ia ingin lebih dari sekadar melihat. Ia ingin tahu siapa Lara. Dari mana datangnya. Kenapa hanya muncul padanya. Apakah ia nyata, atau hanya khayalan yang datang dari kesepian?

Ia mulai bertanya-tanya:

Apakah burung itu milik seseorang?

Apakah ia terbang dari tempat yang jauh?

Apakah ia semacam pertanda?

Apa yang semesta coba katakan padaku?

Tak ada jawaban.

Dan semakin tak ada jawaban, semakin dalam Aksa masuk ke labirin pikirannya sendiri.

Suatu sore, Lara datang sangat dekat. Sayapnya mengepak pelan di atas kepala Aksa. Putihnya nyaris menyilaukan saat disinari mentari senja. Aksa berdiri perlahan. Ia mengangkat tangannya, perlahan… sangat perlahan. Jari-jarinya nyaris menyentuh ujung sayap itu. Tapi sebelum ia bisa benar-benar menyentuhnya, Lara berputar cepat dan terbang tinggi. Aksa terdiam, tangannya menggantung di udara. Matanya basah.

Sejak hari itu, Aksa tak pernah sama lagi. Ia tak hanya menunggu Lara, ia mulai mencarinya.

Ia menyusuri bukit, menembus hutan kecil di belakang desa, bahkan bertanya ke orang-orang tua tentang burung putih yang tak bersuara. Tapi tak ada yang tahu. “Burung putih tanpa suara? Mungkin angin saja yang mempermainkanmu,” kata seorang petani tua.

Tapi Aksa tahu itu bukan angin. Ia tahu betul apa yang ia lihat.

Suatu malam, ia menulis di puisinya:

Aku ingin memilikinya.

Bukan untuk kurengkuh dalam sangkar,

Tapi agar aku tahu dia nyata.

Agar aku tahu aku tidak sendiri.

Aksa kini berdiri di tepi batas,

antara kenyataan dan mimpi.

Antara penglihatan dan khayalan.

Antara cinta dan obsesi.

Sayap di Langit Senja

Bagian 3: Kesadaran dan Melepaskan

Musim mulai berubah. Langit tak lagi merah membara saat senja. Awan sering datang, menutup warna, menyembunyikan matahari lebih awal dari biasanya. Udara menjadi lembab, tanah mulai basah oleh hujan yang sering turun tiba-tiba. Tapi Aksa tetap kembali ke batu itu, meski pakaiannya basah, meski tubuhnya menggigil.

Hari-hari itu Lara tak lagi muncul.

Minggu berlalu. Aksa mulai mempertanyakan dirinya sendiri.

"Apakah aku hanya memandang angin yang membentuk bayangan?"

"Apakah aku mencintai sesuatu yang bahkan tak bisa membalas rasa itu?"

Tapi kenangan akan sayap putih yang mengepak perlahan di udara tetap hidup dalam dirinya. Terlalu nyata untuk disebut khayalan, terlalu dalam untuk dianggap mimpi.

Aksa menjadi kurus. Tubuhnya melemah, namun matanya justru semakin bersinar. Ada semacam keyakinan yang tumbuh, seperti akar yang tak terlihat tapi kuat mengikat. Ia mulai menulis lagi, bukan untuk mencari, tapi untuk mengerti.

Kau tidak harus menjadi milikku untuk aku cintai,

Karena yang terindah bukan selalu yang digenggam,

Melainkan yang bisa aku lepaskan,

Dengan tenang, dan tanpa pamrih.

Pada malam yang dingin, ketika hujan turun tipis, Aksa memutuskan berhenti mencari. Ia menutup bukunya, meletakkannya di sisi jendela kamarnya, dan tidur lebih awal.

Malam itu, ia bermimpi lagi. Tapi berbeda.

Dalam mimpi itu, ia tidak lagi mengejar Lara. Ia berdiri diam, sementara burung putih itu datang menghampirinya. Kali ini, Lara turun dan mendarat di bahunya. Hening. Tak ada suara. Tak ada angin. Hanya mereka berdua.

Lara menatapnya, sepasang mata kecil yang dalam dan tenang.

Kemudian burung itu mengepakkan sayapnya sekali, dan terbang ke langit. Tapi sebelum menghilang, ia meninggalkan satu helai bulu putih yang jatuh pelan ke tangan Aksa.

Aksa terbangun dengan air mata di sudut matanya. Ia menoleh ke jendela, dan di sana, di tepian kayu tua, ada sehelai bulu putih. Lembut. Ringan. Nyaris tak nyata.

Ia memegangnya dengan dua jari, tersenyum pelan.

Di sampul dalam buku, ada satu puisi yang ditulis dengan tangan Aksa sendiri:

Langkah kaki tak bersuara,

Hanya kepakan sayap yang terdengar oleh telinga.

Berputar ke kanan dan ke kiri,

Membelah luasnya udara.

Aku tak tahu dia punya siapa,

Dan siapa penciptanya.

Yang aku tahu dia indah,

Dan aku telah belajar…

Untuk mencintai tanpa memiliki.

Bagian 4: Masa Kecil, Ibu, dan Sunyi

Aksa dibesarkan dalam rumah sederhana di pinggir desa. Ayahnya meninggal saat ia baru berumur tujuh tahun. Sebuah kecelakaan, truk dari kota menabrak sepeda motornya saat ia hendak menjual hasil panen ke pasar. Sejak itu, rumah menjadi lebih sunyi dari biasanya.

Ibunya, Bu Sari, seorang wanita tangguh tapi lembut. Ia tidak pernah banyak bicara, tapi selalu hadir dalam diam yang penuh makna. Ia menenun tikar, menanam sayuran, dan menyulam doa dalam setiap masakan yang ia buat.

Dari ibunyalah Aksa mewarisi cinta akan keheningan. Mereka tidak sering berbicara, tapi memahami satu sama lain melalui tatapan dan isyarat. Ketika Aksa mulai lebih banyak menulis daripada bermain, ibunya tidak melarang. Ia hanya berkata, “Jika hatimu tenang saat menulis, teruskan.”

Tapi ketika Aksa mulai mencari Lara, mulai berlari ke arah yang tak bisa dijangkau ibunya, kekhawatiran tumbuh. Ia melihat mata anaknya kosong, penuh dengan dunia yang tak bisa ia pahami.

Suatu malam, Bu Sari menyusul Aksa ke tempat biasa. Ia tidak membawa amarah, hanya secangkir teh panas dalam termos kecil dan dua gelas plastik. Ia duduk di samping batu tempat anaknya biasa duduk, dan berkata pelan:

“Aku juga dulu suka menunggu sesuatu, Ksaa.”

Aksa menoleh. Ibunya jarang bercerita.

“Waktu ayahmu belum melamarku, aku suka duduk di bukit belakang rumah nenek. Menatap langit. Berharap ada burung putih yang terbang. Katanya, kalau kita melihat burung putih di senja, itu pertanda cinta akan datang.”

Aksa menunduk, bibirnya bergetar.

“Burung itu pernah datang?” tanyanya.

Bu Sari tersenyum tipis. “Datang. Tapi tidak setiap hari. Dan tidak untuk lama. Tapi cukup untuk membuatku percaya bahwa cinta kadang hanya perlu diam dan menunggu.”

Mereka diam. Angin meniupkan aroma padi yang belum dipanen.

“Aksa,” lanjut ibunya, “kau tak harus memiliki sesuatu untuk tahu bahwa itu mencintaimu juga. Kadang, yang datang dalam diam, justru yang paling mengerti.”

Aksa menahan air mata. Di balik sunyinya, ibunya seperti Lara juga, datang tanpa banyak suara, tapi selalu hadir ketika ia paling membutuhkan.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Aksa tidur dengan nyenyak.

Bagian 5: Simbol, Teman Baru, dan Jalan Pulang

Beberapa minggu setelah percakapan itu, Aksa mulai berubah. Ia tak lagi sepenuhnya larut dalam obsesi. Ia mulai membuka diri, kembali membantu ibunya di kebun kecil belakang rumah, bahkan sesekali ikut ke pasar menjual sayuran.

Di pasar itulah ia bertemu seseorang, Nala, seorang gadis pendatang yang menjual lukisan-lukisan kecil buatan tangannya. Saat Aksa melihat salah satu lukisannya, ia tertegun. Di dalam kanvas kecil itu, tergambar seekor burung putih terbang di langit jingga.

“Ini kau lukis sendiri?” tanyanya cepat.

Nala mengangguk, tersenyum lembut. “Aku pernah melihatnya. Di desa sebelah. Burung itu aneh. Tak bersuara. Tapi sangat indah. Sejak itu, aku selalu menggambarnya.”

Mata Aksa membesar. “Namanya Lara,” katanya nyaris berbisik.

Nala tertawa kecil. “Kau juga pernah melihatnya?”

Aksa mengangguk. Mereka berbicara lama. Tentang burung putih itu. Tentang rasa ingin tahu yang tak bisa dijelaskan. Tentang sunyi dan keindahan yang tak bisa digenggam. Aksa merasa, untuk pertama kalinya, ia tak sendirian dalam dunianya.

Sejak itu, mereka sering bertemu. Nala melukis, Aksa menulis. Mereka tidak selalu berbicara, tapi keheningan di antara mereka penuh makna. Lara menjadi simbol. Bukan sekadar burung, tapi cermin dari rasa yang tersembunyi, kerinduan, kehilangan, dan harapan.

Pada suatu senja yang cerah, mereka berdiri bersama di dekat batu besar. Langit bersih, matahari perlahan turun, dan angin membawa aroma tanah basah.

Dan di sana, di ujung cakrawala… seekor burung putih muncul. Lara. Masih seindah dulu.

Ia berputar sekali, mengepak pelan. Aksa dan Nala menatapnya, tak ingin menangkap, tak ingin memanggil, hanya mengagumi.

Lara melintas di atas mereka. Tidak turun, tidak mendekat. Tapi cukup rendah untuk mereka tahu: ia nyata. Dan ia bebas.

Aksa tersenyum. Ia tidak mengulurkan tangan. Ia hanya berdiri. Menerima. Melepaskan.

Lara pun terbang menjauh. Perlahan, anggun, dan sunyi.

Akhir:

Kini Aksa tak lagi duduk sendiri di atas batu.

Ia duduk bersama Nala. Kadang menulis, kadang hanya memandang langit. Kadang Lara datang, kadang tidak. Tapi itu tak lagi penting.

Yang penting adalah:

Ia telah menemukan makna dari keindahan.

Bahwa cinta bukan tentang menggenggam.

Tapi tentang hadir, memahami, dan membiarkan sesuatu tetap bebas dalam bentuk aslinya.

Dan di dalam rumah kecil di pinggir desa itu, di balik lemari kayu tua, masih tersimpan helai bulu putih.

Sebagai pengingat, bahwa di antara langit senja dan sunyi yang dalam,

Aksa pernah belajar cara mencintai… dengan ikhlas.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Sayap di langit senja
Erlangga Putra
Novel
Bronze
PERTAMA
Dunia Gerhana
Novel
I'm Sorry
Ang.Rose
Novel
Tic Toc, I Love You
Santy Diliana
Novel
Aku Yang Dahulu Bersamanya
hadyan Asidiqi
Novel
My Boss is My First Love
Sandra Devi Septianty
Flash
Bronze
Bukan Kamu
Leni Juliany
Novel
Bronze
Amika [Aku Mencintaimu Itu Karena Allah]
dari Lalu
Skrip Film
Skrip Sajak Cinta Terakhir
Widhi ibrahim
Novel
Sweet Lies
Shafa Maurrizka
Flash
Terima Kasih Cinta
Weny Olivia
Flash
Bronze
Hak Cipta
Ron Nee Soo
Novel
Affair
Heni Susilawati
Novel
HEART OF STONE
Fatkhiannisa Amalia Rahma
Novel
Leás
Giovani Alvar
Rekomendasi
Cerpen
Sayap di langit senja
Erlangga Putra
Cerpen
Bronze
Tafsir bayang yang terlindas
Erlangga Putra
Cerpen
Bronze
Lari
Erlangga Putra
Cerpen
Langkah tanpa nama
Erlangga Putra