Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sungguh. Beruntunglah anda yang bisa baca-tulis. Juga punya kesempatan membaca sebuah tulisan dan mengetahui bahwa Saya telah dijahati. Saya benar-benar telah difitnah.
Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya selalu muncul seperti itu. Saya dijadikan tokoh dengan berbagai macam profesi, jenis kelamin, klasifikasi umur, watak, kejadian, dan sebagainya.
Beberapa orang penulis menempatkan Saya sebagai tokoh dari berbagai tulisan; baik novel, cerpen, novelet, dan entah apa lagi macamnya; mulai dari cerita cinta yang romantis, detektif, misteri, horor, silat, perjuangan kaum tertindas, petualangan, pencarian, dan sebagainya.
Di antara penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia, penulis yang berperawakan kurus, berambut pendek yang ikal, berkulit kusam karena jarang mandi, berbola mata menonjol dengan sinar mata yang suram akibat kurang tidur dan jalan-jalan, namun yang menjadi khas fisiknya adalah tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi inilah yang selalu mengganggu keberadaan Saya dengan menjadikan Saya sebagai tokoh yang mengidap penyakit psikologis. Psikopatik. Narcissis, neurotik, oedipus complex, pengidap depresi dan lain-lain merupakan sesuatu yang tak asing bagi tokoh Saya.
Malam itu, seperti beberapa kesempatan sebelumnya, penulis itu kembali mengagetkan setelah dua hari Saya merasa nyaman.
“Yah!” bangkit dari rebahan sambil menyyungkurkan sebuah buku sekenanya katanya ke punggung kasur.
“Hei, bangun.”
“Ah, tuan penulis mengganggu saja.” Ia tersenyum.
“Bangunlah. Aku punya sesuatu untukmu,” katanya menyalakan komputer.
“Fitnah?! Pasti yang itu-itu saja.”
“Jangan berkomentar dulu. Yang ini lain dari yang lainnya,” janjinya.
“Sudah. Jangan mengusulkan!” menambahkan seraya meng-klik program Microsoft Word.
“Awas, kalau mengganggu! Akan kubunuh!” ancamnya dengan berlagak kepada Saya. Lalu ia menarikan jari-jari tangan pada hamparan tombol keyboard komputer.*
Cerpen yang ditulisnya itu menceritakan seorang anak laki-laki dua puluhan tahun yang melakukan mutilasi terhadap tubuh ayahnya. Dalam hal ini, si ayah merupakan ayah dan suami yang bejat bagi anak dan ibunya. Si ayah tak menghiraukan kehidupan keluarga. Kerap melakukan rendering terhadap istri dan anak laki-lakinya. Merampas uang hasil kerja istrinya untuk mabuk dan berjudi dan menikah dengan pelacur. Bahkan juga sering membawa pelacur di rumah. Hanya tampak satu perilaku baik dalam diri si ayah, bahwa ia memelihara anak yang masih kecil. Ia sering membawa oleh-oleh untuk anak-anak kapanpun itu ketika pulang.
Merasakan tingkah laku ayahnya, dalam pikiran anak laki-laki itu menyimpan keinginan untuk membunuh. Setelah beberapa lama, rencana itu selalu gagal dilaksanakan karena segala sesuatunya tidak mendukung. Di sisi lain, ia khawatir jangan-jangan ibu akan mengurangi kasih sayangnya padanya setelah tahu bahwa ia membunuh si ayah.
Pagi itu rumah tampak sepi. Hanya ada si anak laki-laki dan si ayah. Sementara ibu pergi ke pasar dan adik perempuannya pergi sekolah di taman kanak-kanak. Melihat ayahnya yang sedang tidur setelah semalam membawa pulang seorang pelacur dan dilanjutkan dengan mabuk, ia merasakan segala sesuatu mendukung dirinya untuk melancarkan rencana yang sudah menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya. Ia kemudian mengambil pisau besar dan menghujam dada ayahnya. Melihat ayahnya meronta, ia menambah intensitas tikaman pisau hingga maut melenggang pergi membawa nyawa ayahnya.
Ia menyeret tubuh ayahnya ke lantai. Kemudian mulai melunaskan apa yang selama ini sering dibayangkannya. Menginjak-injak wajah ayahnya. Menendang kepalanya seperti dalam sepak bola. Membanting kedua tangan dan menabrakkan kedua kakinya ke dinding yang kerap memukul dan menendang ibu dan dirinya sendiri. Mengodol-odol kedalaman yang membuatnya tidak peduli pada kehidupan keluarga. Memotong kemaluannya yang sering digunakan dengan pelacur. Meyakiti ibu.
Setelah isi dadanya dimuntahkan, plong, ia kemudian berusaha menghilangkan jejak-jejak perbuatannya. Ketika kembali setelah menguburkan potongan-potongan tubuh ayahnya yang dibungkusnya dengan karung, ia terkejut saat melihat ibunya telah duduk di kursi dalam kamar. Kepala si ibu bersandar pada lengan yang menyilang di atas sandaran kursi. Dan jari-jari tangannya memegang sobekan kaos dalam si ayah. Sementara darah mengotori sebagian bagian kamar.
Si Ibu berkata: “Apa yang terjadi? Kau dibunuh?” Ia tetap diam dan berjalan mendekat.
“Jadi benarkah kau membunuh?! Hei?!” si ibu menamparnya. Ia hanya diam sambil memandangi mata ibunya yang merahnya bertambah. Si ibu kemudian pergi.
Ia sedang menggulung seprei yang berlumuran darah ketika ibunya kembali dengan setimba air dan kain pel. Kemudian bersihkan lantai.
“Cepat. Sebelum adikmu tahu,” kata si ibu.
Segera ia membawa seprei ke belakang, kemudian kembali dengan setimba air bersih.
“Di mana jenazahnya?”
“Telah kusingkirkan.”
“Di mana?”
“Tempat yang aman. Ibu tak usah khawatir.”*
Sudah tiga hari si ayah tak terlihat. Si anak senang bahwa ayahnya mati di tangannya. Ia tak rela ayah mati dengan hormat, karena si ayah tak layak untuk itu. Maka, dia sendirilah yang harus membunuh. Menurutnya; bahwa mati oleh tangan darahdaging sendiri adalah jalan kematian paling hina. Ia yakin, dengan begitu, semua orang akan beranggapan bahwa ayahnya bejat. Ia senang dengan hal itu, karena ayahnya benar-benar bejat. Bajingan. Dan ia merasa telah merdeka dari duri dalam daging. Membebaskan ibu.
Sebelum peristiwa itu, si anak pernah menduga bahwa ibunya akan terkejut jika mengetahui bahwa dirinya telah membunuh ayahnya. Tak apa-apa. Memang perlu waktu, pikirnya. Kemudian si anak membayangkan ibunya menyambut gembira ketika ia membahasnya dengan kabar bahwa ia telah membunuh bajingan itu. Ibunya akan mengucapkan terima kasih ribuan terima kasih dan ribuan pujian. Seperti seorang putri yang diselamatkan oleh seorang ksatria berkuda putih yang gagah berani. Namun, yang terjadi kemudian adalah ibunya banyak diam dan tak menghiraukan dirinya.
Dalam keadaan seperti itu, si anak kerap memperhatikan ibunya ketika sedang melakukan pekerjaan. Pandangan mata ibu menerawang jauh dan kosong. Jika anak yakin bahwa ibunya memikirkan hal-hal yang tidak jauh dari peristiwa itu.
Suatu kali ia memperhatikan ibunya yang melamun ketika sedang mengiris bawang merah. Tanpa sadar ia mengiriskan jarinya sendiri.
“Ibu!” ingatnya. Si ibu tersentak melihat rahang berlumuran darah. Mata merah.
Si anak buru-buru memegang tangan ibunya untuk menghisap lumuran darah di kulkas. Si ibu mengibaskan tangannya lalu pergi. Memang butuh waktu untuk membuat ibu kembali dan lebih menyayangiku, pikirnya.
Sementara si adik perempuan sering menanyakan perihal ayah kepada ibunya. Namun, ibunya selalu mengatakan bahwa si ayah pergi karena urusan penting. Sebenarnya, jika anak laki-laki tidak setuju dengan jawaban ibunya yang cenderung kepada adiknya itu. Ia berharap ibunya akan berterus-terang bahwa bajingan itu telah mampu dengan sepantasnya.
Beberapa hari kemudian, anak tersebut ditangkap polisi atas laporan ibunya. Jenazah si ayah pun telah ditemukan dan tengah diperiksa tim forensik. Dalam keadaan seperti itu, dalam proses perdamaian, anak yakin bahwa palu hakim ada dalam penyelamatan. Namun jika sebaliknya, ia menganggap palu hakim telah semena-mena kepadanya. Karena dia merasa berbuat baik dengan membunuh bajingan itu. Si anak jadi membenci ibunya karena maju menjadi saksi dalam perpisahan. Menurutnya, seharusnya ibu lebih menjadi sayang padanya. Karena dia telah menyelamatkan ibunya. Si anak juga membenci para wartawan yang seenak-udel menuduhnya sebagai pembunuh berdarah dingin.
Hari itu palu hakim memutuskan apakah anak bersalah. Sehabis konferensi si ibu mengunjungi dirinya di penjara. Tidak seperti biasanya, saat itu ia bersedia menerima ibunya. Lantaran melihat kesedihan ibunya yang teramat dalam. Ia sangat menyayangi ibunya.
Sebelum pulang ibunya berkata: “Aku tak mau kau menjadi buronan dan hidup sengsara dalam pengungsi, Nak. Makanya aku melapor ke polisi. Aku berharap setelah keluar dari sini, kau bisa menjadi orang baik. Benar-benar sembuh. Aku menyayangimu, Nak.”
Si anak kecewa dan marah. Ia mengumpati mereka semua.
“Ah, bajingan. Mereka semua menganggapku sakit seperti anggapan dokter jiwa dan psikiater yang tidak sahih. Psikopat.”
“Ya, ya, baiklah. Tapi, aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua,” katanya tersenyum dengan harapan. {}*
“Yah. Selesai,” katanya kemudian memencet tombol Control dan S.
“Bagaimana?” menambahkan.
“Tuan penulis, saya bosan. Katanya, cerita lain dari yang lain.”
“Lho, memang lain.”
“Tapi, tetap saja dengan penyakit psikologis-psikopatik.”
“Ya, memang. Tapi, bagus khan. Apalagi penutupnya itu,” ia menatap ke layar komputer dan membaca dua baris terakhir: “Aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua.”
“Bisa kaubayangkan bagaimana seorang psikopat berkata seperti itu,” tambahnya sambil tersenyum. “Pembaca akan kaget.”
“Tapi, tuan penulis. Saya bosan menjadi tokoh psikopat. Bagaimana kalau sekali-kali Saya dijadikan sebagai seorang pria yang tampan, berkelakuan sopan, kaya…”
“Hem, kaya?! Kok enak?!”
“Iya, miskin juga nggak apa-apa, deh. Tapi yang rajin bekerja…”
“Profesinya apa?”
“Ehm, penulis saja. Seperti tuan.” Ia tersenyum.
“Kemudian Saya jatuh cinta dan menikah dengan seorang…”
“Pelakur?!”
“Bukan. Gadis yang sangat cantik. Dan kaya.”
“Hem, lelaki mana yang tak suka?!”
“Iya. Gambarannya seperti ini, jika seluruh perempuan cantik di dunia ini dikumpulkan, maka kecantikan perempuan tersebut adalah hasil dari kebersamaan seluruh perempuan cantik tadi. Sederhana saja, toh.”
“Wah. Aku jadi ingin tahu. Penasaran betapa cantiknya dia.”
“Pokoknya, tuan tulis saja seperti itu.” Ia mengiyakan kepala dengan tersenyum.
“Dan bagaimana dengan ceritanya, Saya percayakan kepada tuan. Tapi, harus yang romantis, heroik, dan happy ending.”
“Aku tidak mau,” katanya seraya melompat. “Itu akan membuat pembaca suka melamun. Mengkhayal.”
“Tapi, Saya ingin seperti itu. Dan Saya yakin, banyak pembaca yang akan menyukainya.”
“Pokoknya, aku tidak mau.” Dia diam sejenak. “Kau tahu karya sastra yang oleh para kritikus membedakan sastra serius, mainstreem dan sastra pop, kitch?” Saya hanya diam dan bergumam.
“Tidak usah kusebutkan bagaimana para kritikus membedakan ciri-ciri keduanya. Tapi, menurutku,… hei, dengarkan.”
“Iya. Saya tidak melakukannya.”
“Sudah. Cemberutnya berhenti…” ia mengambil rokok dan menyulutnya. Lihat, gayanya seperti penulis besar. Padahal, mutu karyanya masih kalah dengan karya-karya dari penulis yang jauh lebih muda darinya. Lihat, bagaimana dia menghisap rokok dan mengeluarkan asapnya. Hah, menyebalkan.
“Kau tahu?! Bagiku, karya yang membikin melamun dan mengkhayal itu yang dipecah dapurnya. Sementara yang berpikir dan berpikir itu termasuk arus utama.”
“Terserah tuan. Masalahnya, Saya bosan menjadi pengidap penyakit psikologis-psikoatik.”
“Hah, dikasih tahu kok.” Ia merokok rokoknya. Sana. Aku ingin membaca cerpen tadi. Barangkali ada yang perlu direvisi,” katanya kemudian menyalakan printer.
“Ehm, enaknya judul apa ya?!”
“Saya Bosan Sama Tuan, judul yang bagus.”
Diam. Awas, kubunuh kau?!” ancamnya.*
Seminggu sudah penulis itu tidak menyapa Saya. Maklumlah, ia akhir-akhir ini sering bepergian dengan vespa orang tuanya. Akan tetapi, seminggu tak menyapa Saya masih cukup sebentar dibandingkan beberapa waktu yang telah berlalu. Ia pernah tak menyapa Saya selama tiga bulanan. Meskipun demikian, ia sudah beberapa kali mencoba dan bertemu Saya. Saya tenang dengan keadaan Saya.
Sementara rumah kecil di sebuah perumahan yang dibelinya dengan kredit itu sering kosong. Ia belum beristri dan tinggal sendiri, meskipun menurut rencana dua bulan lagi ia akan menikah dengan teman kuliahnya dulu. Ia pun jarang berkunjung ke rumah orangtuanya di luar kota. Hanya lebaran saja.
Tiba-tiba pagi itu dia pulang dan mengagetkan Saya.
“Hei, bangun! Aku punya sesuatu,” katanya menghidupkan komputer.
“Apa tuan?!
“Lho, dasar pikun.”
“benarkah?!”
Kemudian ia memberkan idenya. Ceritanya tentang lelaki tampan dari Timur Tengah yang menjalin cinta dengan seorang gadis cantik dan kaya. Berprofesi sebagai novelis muda yang cukup terkenal. Ia seorang megalomania, yang melakukan bunuh diri hanya karena kecewa dengan karyanya. Ia menganggap karya-karyanya yang terakhir mengalami penurunan kualitas. Tidak sedahsyat karya-karyanya yang sebelumnya. Sementara kekasihnya, gadis cantik dan kaya itu masuk rumah jiwa sakit karena kenyataan itu.
Penulis itu tampak berpikir dan belum mulai menulis.
“Tuan penulis.”
“Hem, mengganggu saja. Apa?”
“Saya bosan. Saya ingin dijadikan contoh seperti apa adanya.”
“Gila apa?!” dengan melompat. “Itu sama saja bunuh diri.” Saya merinding.
“Kau tahu. Kalau aku menjadikan dirimu apa adanya, maka apa pun yang akan terjadi. Kau itu murni. Tidak ada apa-apanya jika tidak dijadikan sebagai yang lain. Makanya, harus difitnah agar menjadi ada,” katanya dengan mimik serius.
“Terserah tuan, deh. Saya pasrah. Memang sudah nasib Saya menjadi korban fitnah.”*
Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, miliaran, triliunan kali Saya dijadikan korban. Difitnah oleh para penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia. Akhirnya, Saya tahu. Dan langkah terbaik bagi Saya selanjutnya adalah masa bodoh.
Saya masa bodoh dengan apa yang akan ditulis oleh penulis dengan tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi itu. Terserah. Akan tetapi, sungguh Saya masih beruntung. Karena Anda bisa baca-tulis. Dengan demikian, Anda tentu saja bisa menjadi saksi bahwa Saya telah difitnah. Karena ngomong-ngomong, dua kakek dan dua nenek dari penulis yang tengah kita hadapi ini, tapi dalam bahasa Indonesia. Ia hanya bisa membaca huruf arab dan pegon saja.
Dan kertas-kertas yang menampung huruf-huruf dalam cerpen yang akan ditulis oleh penulis ini, akan membantu Saya. Begitu juga dengan buku-buku dan media massa. Menjadi bukti pada pengadilan nanti.
“Bagaimana tuan penulis?”
Diam! Sudah hidup bosan, ya. Minta dibunuh?! [*]