Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
---
> Arga selalu bilang, Lira itu kayak pohon mangga di halaman rumahnya.
Nggak pernah pergi, selalu ada, meskipun nggak pernah dia perhatikan.
Mereka tumbuh bersama di gang kecil yang sempit, tempat setiap anak saling mengenal, dan suara ibu-ibu memanggil dari dapur jadi lagu sore hari. Sejak kecil, Lira dan Arga tak terpisahkan. Mereka seperti bayangan satu sama lain—ke mana Arga pergi, Lira ikut. Ke mana Lira melangkah, Arga menyusul.
Tapi kedekatan yang terlalu biasa kadang malah jadi tidak terlihat.
Buat Arga, Lira adalah teman yang selalu ada. Titik. Bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih jauh.
“Gue putus lagi,” keluh Arga sore itu, melempar ranselnya ke sofa rumah Lira. Tangannya mengacak rambutnya sendiri dengan frustrasi. “Ternyata dia cuma butuh gue pas lagi berantem sama mantannya.”
Lira meletakkan dua gelas teh hangat di atas meja. Ia sudah menebak kalimat itu sejak Arga mengirim pesan: ‘Nanti gue ke rumah, butuh curhat.’ Kalimat yang sudah terlalu sering ia terima, tapi tetap ia tunggu-tunggu. Hanya agar bisa melihat wajah itu lagi. Hanya agar bisa duduk berdampingan, meski tahu hatinya selalu t...