Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Satu Minggu
0
Suka
117
Dibaca

Hari Pertama

Langkahnya melunglai lemah seiring tangannya memegang kenop pintu, membuka ruang apartemennya pelan. Pakaiannya yang hitam berbaur lebur dalam kegelapan malam saat itu. Tiada satu pun pencahayaan yang menarik mata legam arangnya. Han Taesan kembali pulang, menemukan apartemennya sunyi senyap dengan tatapan kosongnya. Memilih untuk menunduk termangu. Tidak peduli dingin malam itu memenjarakan dirinya, ketegarannya sehari ini hanya untuk terjatuh pasrah bersandar pada badan pintu dengan telapak tangan yang berusaha menutupi wajahnya, bertopangkan dengkul. Semuanya berantakan, batinnya marah. Tidak ada yang bisa ia salahkan di sini, kecuali pengalur takdir, yakni dirinya sendiri. Mungkin.

Tidak tahu kepada siapa dirinya merengek meminta apa yang ia inginkan untuk dapat dimiliki kembali—jikalau masih bisa. Hidupnya telah kehilangan poros.

Berganti meremat kedua sisi rambutnya kuat-kuat. Mata memerah saking lelahnya tubuh hari itu. Dipaksa untuk menahan beban yang bahkan tidak pernah ia perkirakan akan terjadi padanya. Dibuat untuk mencerna saja tidak bisa. Melambat, tetapi tak memberi kesempatan untuknya rasional.

Paradigmanya yang berisik nyatanya mampu menyembunyikan langkahan kaki seseorang yang diam-diam telah menunggunya dengan sabar, seakan telah menulikan semua saraf pendengarannya. Jemari orang itu meraba gulita, menyalakan saklar lampu dengan perlahan—terkesan ragu—, hanya untuk ruang tengah, memberikan siluet seseorang yang paling ingin ia peluk hari itu.

"Selamat kembali, Taesan."

Suara itu .... Sambutan itu mengalun membuat Taesan terkejut setengah mati, mengangkat pandangannya bertemu tatap pada senyuman manis yang telah lama terabaikan. Ironi. Hangatnya senyum itu menguapkan segala lelah dan pikiran negatifnya. Kim Kaeri, kekasih hatinya di tiga tahun akhir ini menghampiri. Berjalan dan bersimpuh di depannya. Kaeri meletakkan tangannya di atas rambut tebal milik Taesan. Mengusapnya lembut, memberikan tempat ternyaman dan aman bagi Taesan.

Hal yang selalu Taesan lupakan.

Taesan meraih jemari lentik itu, menggenggamnya lembut dan membawanya perlahan ke dekat sudut bibirnya, mengecup lamat tangan itu. Aroma yang tak sadar telah ia rindukan di lubuk hatinya.

"Maaf."

Taesan menatapnya dengan penuh dosa, memohon dimaafkan tanpa hukuman. Taesan mengunci pandangannya pada hazel milik kekasihnya. Setelah berdiri tegap di atas rasa sakitnya, kini Taesan menemukan binar itu kembali. Kaeri tersenyum tenang, tidak ada lagi amarah baginya kini. Taesan akan selalu mempunyai tempat untuk pulang lagi mulai sekarang, yaitu dirinya.

"Selamat kembali, Han Taesan." Kaeri berbisik lirih mengusap air mata yang turun pada sisi kiri pipi Taesan yang entah mengapa cepat sekali tirus dilihatnya. Legam arang itu bergetar merespons sambutan hangat Kaeri. Menarik cepat tubuh Kaeri yang mungil, mendekapnya erat seakan tidak akan ada kesempatan baginya lagi esok hari. Menyembunyikan tangis pilu pada bahu sang kekasih hati.

Aku akan melakukan lebih baik lagi. Terima kasih, Kaeri. Terima kasih sudah menungguku.

—o0o—

Hari Kedua

Taesan menyibukkan diri di singgasana milik Kaeri. Berganti kegiatan sejenak, dirinya sedang menyiapkan belut panggang resep rahasia keluarganya yang menurun dari sang ayah kepada dirinya. Memilih menu tersebut untuk makan malam mereka nanti. Setiap tangannya yang bergerak meracik, senyuman bahagia selalu membuncah jelas di wajahnya. Keputusan yang bagus untuknya kini—setelah berbulan-bulan mengabaikan keadaan.

Saat pulang tadi, Taesan memang sempat tidak langsung menemukan Kaeri di apartemen. Hanya memindai dari daun pintu tanpa berpikir panjang mengenai seluruh sudut apartemennya yang masih bisa terjangkau—kalau tidak terburu gelagap. Hal itu jelas membuatnya kepalang panik, membuka sepatu dengan tergesa-gesa hampir tersandung oleh lantai, tetapi perasaan takut itu langsung terselimuti kelegaan lantaran menemukan Kaeri yang ternyata sedang berada di kamar. Tidur lelap dengan selimut tebal yang membalutnya. Taesan gemas, tetapi tidak ingin mengganggu. Jadi, dirinya hanya memandang hangat kekasihnya dari depan pintu.

Setengah jam bergulir tak terasa, mungkin karena pikirannya senantiasa berputar semata-mata kepada Kaeri membuatnya tak sadar bahwa hanya perlu langkah terakhir: menata semua makanannya ke meja makan dan selesai. Merasa puas, dirinya berhasil membuat makanan lezat untuk kekasihnya.

Kaeri keluar dari balik kamar dengan hoodie kebesaran milik Taesan berpadu celana tidur bermotif beruang, waktu yang bersamaan dengan Taesan yang selesai menata belut panggang itu di meja makan. Kaeri menyunggingkan senyum, menghampiri kekasihnya yang sepertinya belum sadar akan kehadirannya.

"Aromanya harum sekali."

Sempat berjengit sedikit, tetapi raut wajah Taesan langsung berganti: tersenyum manis dan mengarahkan jarinya mencubit pipi Kaeri yang terlihat sedikit pucat.

"Pipimu dingin sekali, sebaiknya kau memakai pakaian yang lebih hangat lagi."

Taesan merangkap kedua bahu Kaeri yang hanya menatapnya diam. Ingin mendekap tubuh mungil yang tak terlihat seberapa jika dibandingkan tinggi tubuhnya. Namun, rasa bersalah mulai menggerogoti palung hatinya lagi—seharusnya ia bisa lebih memperhatikan Kaeri. Seharusnya dari dulu ia melakukan ini.

"Terima kasih, Taesan. Apa aku boleh meminjam pakaian hangatmu nanti?"

Taesan mengangguk, jelas dengan senang hati ia akan meminjaminya atau bahkan memeluk Kaeri dengan erat lagi sepanjang malam ini.

Taesan mempersilakan Kaeri duduk, menyempatkan menuangi kekasihnya air putih terlebih dahulu sebelum dirinya ikut bergabung di meja makan. "Kenapa kau jadi manis sekali sih? aku kan tidak kuat!" keluh Kaeri memerah.

Taesan hanya bisa terkekeh melihat Kaeri yang sedang sibuk menyembunyikan wajahnya di sana. Lantas berusaha menggapai lengan Kaeri yang berada di seberangnya, lengan dingin itu ia raih dan ia pindahkan ke atas meja.

"Ingat kataku, kan? Aku akan melakukan lebih baik lagi. Belut panggang ini sangat lezat, percaya padaku! Kau akan jatuh cinta kembali denganku malam ini!" Sombongnya Taesan berkata seperti itu membuat Kaeri tak tahan menyemburkan tawanya. Kebahagiaan begitu menguar mengantar suasana manis yang terproses di otaknya. Merekam jelas momen mereka kini, momen yang dengan mudahnya ia remehkan dulu.

Han Taesan mengakui ia merasakan kerinduan yang memupuk hingga berakar di dirinya, hal yang selalu ia lupakan kala itu. Tuhan selalu memberikan kesempatan untuknya maka dengan baik kini ia gunakan untuk memperbaiki semuanya. Tidak ada lagi defensif dirinya atas segala kesibukan yang dulu berakhir mengabaikan segala eksistensi Kaeri yang bahkan mengais meraihnya. Rasanya, citra produser andalan tidak lagi lebih baik dibandingkan menjadi pasangan seutuhnya bagi Kaeri.

Konfrontasi antara diri dan hatinya telah menemukan titik tengah. Logisnya terkalahkan dengan kenyataan bahwa dirinya masih membutuhkan segala kehadiran Kaeri di hidupnya.

—o0o—

Hari Ketiga

Weekend selalu menjadi pilihan hari terbaik bagi setiap orang yang merencanakan liburan singkat setelah dibenturkan padatnya jadwal pekerjaan selama lima hari penuh. Sekedar melepas penat dan riuhnya gemaan perintah dari sang atasan meski tidak meluruhkan semua beban profesionalitas. Namun, tidak ada salahnya mengukung diri dalam ruang zonasi aman dan nyaman sejenak membangun dinding kedap suara antara diri dengan segala tugas fungsional. 

Monitor Digital Audio Workstation, sepiker, mikrofon, headphone, dan tetek bengek lainnya yang menjadi sahabat akrab tak terlepaskan, Taesan ikhlaskan untuk terikat dan disingkirkan jauh-jauh—setidaknya untuk dua hari ke depan—dari jangkauan pindaian matanya. Taesan mengajak Kaeri untuk menghabiskan waktu libur dengan menonton film, kegiatan rutin mereka yang seharusnya terus berlanjut guna menghangatkan hubungan jika dirinya tidak lupa daratan di beberapa bulan kemarin. Berondong jagung, keripik kentang, serta dilengkapi dengan dua botol soda menemani pasangan yang sudah menjalani hubungan tiga tahun itu serius menatap layar televisi. Seakan terbawa, ikut andil dalam kisah yang terangkat.

Film kali ini memang Taesan serahkan kepada Kaeri untuk memilihnya. Sudah bisa menebak alur selanjutnya ... ya, tepat, berakhir mereka menonton sebuah kisah romansa. Tidak apa, sepertinya selain menyukai genre tersebut, Kaeri mungkin juga ingin menyindirnya secara langsung mengingat dirinya pernah menjadi layaknya orang asing yang diurus oleh Kaeri. Namun, naasnya sepanjang film itu mengisah, matanya menangkap masa pemain utama laki-laki itu menjemput ajal dengan mengalami kecelakaan tragis. 

Aneh, mengapa juga Kaeri memilih film berplot seperti itu? 

Taesan berhasil dibuatnya membeku, menghentikan kunyahan serta suapan berondong jagungnya. Kini tangannya tanpa sadar meremat bungkus makanan ringan berperisa orisinal tersebut, legam arangnya bergetar menahan napasnya lama. Atmosfir di sekitarnya semakin menipis, tak menyisakan ruang udara untuknya menghirup sekadar menjernihkan isi kepala yang kembali membisingkan diri.

Grep!

Kaeri yang tiba-tiba menyentuh bahunya lembut—sangat penuh kehati-hatian—membuat Taesan berjengit terkesiap. "Kau baik-baik saja? Apa kau mulai menggunakan hatimu saat menonton film semacam romansa ini?" ledek Kaeri selanjutnya, tidak kuat melihat ekspresi Taesan yang signifikan pias.

Kaeri jelas-jelas meledeknya, tetapi tidak membuat Taesan tersinggung ataupun terganggu sedikit pun lantaran fokusnya yang sudah terlanjur berantakan, terpecah belah menjadi puing-puing negatif yang siap melukainya kapan pun. Taesan beralih menatap Kaeri lamat yang sudah berlanjut menatap film di depannya—syukurnya sudah berganti scene—sampai dirinya menghela napas berat. Melempar kepala ke belakang menyentuh sandaran sofa, berusaha merilekskan tubuhnya.

"Kalau kau terus mengesampingkan kesehatanmu maka kau mungkin saja akan berakhir seperti itu."

"Hah?" heran Taesan menyahut, membuka mata sedikit mengangkat kepala. Tidak sama sekali mengerti melihat Kaeri yang malah menggidikkan bahunya. "Kauz kan, selalu mengantuk dan kelelahan saat menyetir! Memangnya aku tidak tahu," telunjuknya menyorot dirinya, "kalau tidak dengan kecelakaan seperti tadi, bisa jadi aku yang akan membunuhmu setibanya kau di apartemen. Dasar laki-laki cuek tidak sadar diri!" Kaeri menyembur dengan segala jatuhan spekulasi yang diarahkan padanya.

"Hah? Kau serius mengatakan ini? Kau ingin aku mati?" Jelas Taesan tidak mau mengalah, ia harus mengerti apa maksud dari perkataan Kaeri tersebut.

"Tch, mati tidak matinya kau kan sama saja!"

"Tidak tuh kau akan merindukanku sepanjang hari dan menangisiku sepanjang malam. Memintaku untuk kembali."

Remangnya pencahayaan di sana, mengandalkan sinar layar televisi memberikan sinyal pada retinanya kalau gelengan Kaeri menjadi gerakan terakhir yang ia tangkap dari kekasihnya sebelum suasana kembali hening, larut terhikmat dalam kegiatan menontonnya.

"Coba saja."

—o0o—

Hari Keempat

Aroma khas panggangan menguar memenuhi indera penciuman, mengisi ruang tengah apartemen yang kebetulan tidak memeliki sekat antaranya dengan area dapur. Tepung, telur, mentega, dan bahan lainnya teronggok bebas di atas meja dapur. Sisa-sisa bauran tepung beserta cangkang telur menandakan selesainya Kaeri dari proses mengadon dan mencetak sebuah kukis. Tinggal menunggu dentingan oven, pengingat diri bahwa kukis sudah siap diangkat.

Ting!

Dengan berbalut sarung tangan berwarna abu-abu Kaeri berhati-hati mengeluarkan satu loyang berukuran cukup besar dari dalam oven. Asapnya masih mengepul, mungkin sembari menunggu kukisnya dingin dirinya bisa mulai mencairkan cokelat yang nantinya digunakan untuk menghias kukis tersebut. Dari bentuknya secara orisinal sudah bisa terlihat bahwa kukis buatannya memiliki dua telinga yang lancip dengan wajah yang cenderung oval: kucing. Kaeri membuat satu loyang kukis berbentuk kucing dengan berbagai ekspresi khusus untuk Taesan. Sengaja dibuat sebagai cemilan kekasihnya, menemaninya bekerja di ruang studio musiknya malam ini.

Satu kantung cokelat diwadahkan plastik segitiga telah digenggamnya, perlahan mengeluarkan cairan cokelatnya membentuk garis-garis di atas kukisnya. Menggambarkan serupa mungkin berbagai ekspresi wajah: senang, bahagia, sedih, marah, dan sebagainya. Mirip sekali dengan Han Taesan itu.

Menyiapkan satu buah toples kaca bening yang telah tersimpan cukup lama di kabinet atas dapur untuk memasukkan semua kukis kucing buatannya itu. Menata rapih di dalamnya hingga berbagai ekspresi pada kukis itu nantinya dapat Taesan lihat dengan jelas. Sengaja, agar kekasihnya itu bisa lebih banyak berekpresi ke depannya, siapa tahu, kan?

Beberapa jarak meter di depannya, terlihat Taesan tengah menutup pintu apartemen tanpa Kaeri sadari. Menjumpai kekasihnya yang sedang sibuk berkutat di atas meja. Taesan tersenyum simpul, berjalan mendekat menyelidik apa yang Kaeri sibukan di sana.

"Kau membuat kukis?" Kaeri tersenyum mendengar pertanyaannya lalu menatap Taesan. "Khusus untukmu," tambah Kaeri memperlihatkan salah satu kukis dengan ekspresi bahagia yang tercetak di sana. Ekspresi kucing di sana tersenyum lebar hingga matanya berbentuk bulan sabit.

"Cocok untukmu kan?" Kaeri mulai menyodori kukis itu di hadapan bibir Taesan lantas kekasihnya itu perlahan menggigit sedikit bagian kukis tepat di telinganya. Merasakan kelezatan kukis tersebut di tiap kunyahannya mendatangkan wajah penuh kemenangan dari Kaeri.

"Aku selalu membuat kukis enak untukmu tahu! Karena aku sudah membuatnya lagi sekarang maka makanlah! Bawa bersamamu saat bekerja di studio, ya!" pesan Kaeri meminta. Taesan diam menatap Kaeri sejenak dan mengangguk.

"Aku akan menghabiskannya, aku tidak akan meninggalkannya lagi."

Kaeri mengerti akan perkataan Taesan dengan membalas anggukan juga. "Bagus, kalau tidak aku akan memukulmu!"

"Kucing garong," cicit Taesan sangat pelan menyadari sikap Kaeri akhir-akhir ini menjadi galak seperti sekarang.

"Apa?!"

"Aku kucing garong," jelas Taesan buru-buru menyanggah pikiran negatif Kaeri yang memaknai dirinya mengatai kekasihnya itu dengan sebutan kucing garong. Terbalas sorot menyipit penuh curiga oleh Kaeri.

Padahal memang iya.

Kini, Kaeri beralih fokus mengusap pelipis Taesan dengan lembut dan berganti mencium bibir kekasihnya itu.

"Aku mencintaimu." Kaeri berdiri di hadapan Taesan. Ikraran pernyataan cinta, Kaeri keluarkan tulus kepada Taesan. Wajah lelah kekasihnya itu berhasil ia tangkap tepat saat Taesan pulang dari kantor kerjanya tadi. Berharap besar sekadar usapan lembut dan ciuman hangat sambutan pulang dapat melupakan segala rasa penat yang mendera pada tubuh kekasihnya. Ya, meski Kaeri tahu Taesan mungkin tidak akan pernah muak dengan pekerjaannya sebagai produser sekaligus komposer lagu bagi idol-idol tersohor di dunia entertainment sana.

Taesan menerima kecupan hangat itu dengan perasaan yang tenang bahkan ia malah menarik kembali wajah kekasihnya itu, semakin menekan tengkuk Kaeri pada tiap lumatannya. Dibuatnya semakin dalam mengantarkan mereka berdua pada malam yang memanjang penuh cinta.

Krak!

Kukis yang tidak sengaja Kaeri jatuhkan tadi—kala menerima sanderaan Taesan di bibirnya—terinjak oleh langkah mereka yang terburu masuk menuju kamar tidur dengan perasaan yang menggebu dan membakar di antara keduanya.

—o0o—

Hari Kelima

Kaeri mengeluarkan satu per satu paket bahan makanan yang baru saja tiba. Dua paket kardus terbagi-bagi, mulai dari sayuran, makanan instan, beberapa makanan laut, buah-buahan, dan bahan penyedap atau bumbu. Kaeri juga sudah sigap menyiapkan beberapa wadah untuk menyimpan semua bahan makanan tersebut untuk dimasukkan ke lemari pendingin.

Biasanya Kaeri akan membeli bahan makanan jika stok makanan di apartemen mereka sudah mulai menipis. Seperti saat ini, faktor Taesan yang selalu pulang dan menghabiskan waktu libur bersamanya di apartemen membuat mereka berdua selalu makan dan memasak bersama di sini. Ya, ada sesekali waktu mereka berganti peran: Taesan memasak sekaligus merapihkan apartemen dengan Kaeri yang sibuk tertidur di kamar.

Di sela-selanya menata bahan belanjaan, melalui ekor mata ia bisa melihat Taesan yang tengah melepas mantelnya, terlihat lumayan basah di bagian bahu. Tunggu, hujan, kan?

"Kau tidak membawa payung?" Spontan bertanya, Kaeri menggelengkan kepalanya tak habis pikir sembari kembali bekerja membuka bungkus stroberi.

Hari ini Taesan tidak membawa mobil—entah apa alasannya di balik itu— sehingga sangat berisiko terkena air lebih banyak jika benar-benar turun hujan. Namun, melihat Taesan dengan mantel yang sudah lumayan basah membuat praduga dirinya tadi pagi benar: hujan akan turun hari ini maka Taesan akan basah jika tidak memakai payung.

Laki-laki yang dikhawatirkan itu malah menggasak rambutnya kasar, melemparkan air hujan yang hinggap di kepalanya ke kanan dan kiri. Berjalan lugu mendekati Kaeri yang sibuk memisahkan stoberi dari daunnya.

"Aku meninggalkannya di kantor." Jawaban singkat dari Taesan membuat Kaeri menghela napas pelan, sedikit merasa gemas. Taesan ini susah sekali dibilangi padahal dirinya sudah menyiapkan payung di tiap tas milik kekasihnya itu.

Diperhatikan kok malah tidak peduli.

"Maaf, tetapi aku hanya kehujanan di persimpangan jalan depan kok tidak dari awal aku keluar kantor," defensifnya berbicara.

Kaeri hanya berdeham membuat Taesan menggaruk tengkuknya tak gatal. Bingung karena Kaeri sepertinya kesal dan mungkin sedikit marah dengannya. Terlihat karena Kaeri yang langsung hening begitu dirinya menjelaskan situasi mengapa bisa ia basah terkena air hujan padahal sudah disiapkan sebuah payung di tasnya. Bingung untuk bagaimana ia bersikap dan memberi penjelasan lainnya kepada Kaeri. Taesan sesekali melirik takut-takut Kaeri yang sudah mulai berpindah ke wastafel, mencuci stoberi-stroberi itu, alih-alih lanjut menjelaskan alasannya.

Habis kau Han Taesan.

"Makan ini." Kaeri menyuapi Taesan satu stroberi yang berada di genggamannya, buah tersebut langsung diterima oleh mulut Taesan, tetapi beberapa detik kemudian wajah kekasihnya itu mulai berekspresi aneh dengan mata yang berkedip-kedip.

Stroberinya yang ternyata asam itu membuat Taesan langsung memprotes Kaeri. "Asam sekali," lontar Taesan menunjuk stoberi di genggaman Kaeri dengan lucu, mulutnya masih mencecap sensasi asamnya, sedangkan Kaeri hanya melirik stroberinya dengan tak acuh lalu ikut menggigitnya. Setelah itu, Taesan hanya melihat Kaeri yang mengangguk sebagai bentuk reaksi setelah berhasil mengunyah dan menelan buah asam itu.

Gila, apa dia tidak merasakan kecut? Taesan membatin heran.

"Tumben sekali dirimu mendapatkan buah yang asam," celetuknya memusingkan perihal stoberi yang asam karena baru terjadi lagi selama dirinya menjalin hubungan tiga tahun bersama Kaeri kekasihnya itu membeli buah yang asam. Sebelumnya jarang sekali kejadian seperti ini atau Kaeri sedang kecolongan sekarang?

Celetukannya hanya Kaeri balas dengan lirikan sekilas lalu lanjut berjalan menuju lemari pendingin. "Oh, rupanya kau masih mengingatnya." Ada sedikit rasa senang di hati Kaeri. Taesan yang cuek itu ternyata masih mengingat hal sepele seperti ini: hal yang bahkan baru Kaeri sadari sekarang kalau dirinya ternyata ahli dalam memilih buah yang manis dan lezat.

"Apa kau tidak menelitinya dengan baik?"

Kegiatan Kaeri berhenti sepersekian detik, tangannya mengambang di udara dengan memegang wadah berisikan tomat. Taesan menatapnya dengan satu alis yang menukik, bingung dan penasaran. Namun, Kaeri dengan cepat memutuskan pandangan itu dan segera memasukkan tomat ke lemari pendingin.

"Aku tidak memilihnya langsung."

"Kenapa?" Taesan langsung menyembur Kaeri dengan segala pertanyaannya, wujud nyata dari rasa penasarannya tentang mengapa bisa?.

"Aku tidak pergi ke sana."

Taesan mencoba menghampiri Kaeri yang mematung di depan lemari pendingin yang terbuka. "Hm?" Dehaman Taesan meminta jawaban lebih dari Kaeri.

Kaeri menghindari tatapan legam arang milik kekasihnya, ke mana pun ia melihat asalkan tidak pada mata sang kekasih. "Aku takut. Aku masih takut."

Taesan menghentikan langkahnya, dua langkah berjarak lantaran ikut mematung bersama Kaeri. Jantungnya berdetak kencang. Kaeri lagi-lagi kembali meliriknya, kali ini dengan kedua tangannya yang saling bertaut kencang. Respons tubuhnya akan rasa takut. "Aku tidak tahu apakah orang-orang itu masih ada atau tidak jika aku keluar."

Tolong, jangan katakan perihal hal itu lagi.

Penglihatan Taesan menanar menyadari kebodohannya memancing Kaeri kembali merasa takut dan tidak aman semenjak kejadian hari itu: terdapat tiga orang asing yang melecehkan dan hampir menculik Kaeri jika saja sahabatnya tidak sengaja melihat dan langsung menyelamatkan Kaeri yang baru saja usai berbelanja kebutuhan makanan mereka berdua. Kesalahan dirinya yang selalu sibuk dan tidak memedulikan kekasihnya bahkan setelah Kaeri meminta tolong dengan lembut untuk ditemani belanja kebutuhan makanan.

Semua yang terjadi pada Kaeri, Taesan akan menjadi yang paling pertama untuk menyalahkan dirinya. Semakin memperlebar kubangan dosanya.

"Maaf, Taesan ... aku masih—"

Taesan mencium bibir itu, menolak mendengar kejadian yang nyatanya ikut membuatnya trauma dan jatuh ke dalam lubang tak berdasar atas rasa bersalahnya hingga saat ini yang pasti tidak akan berujung sampai kapan. Melumat sebentar sebelum dirinya berusaha membingkai wajah Kaeri, menghiraukan getar gerak tubuhnya.

"Aku akan selalu ada untukmu, tidak ada lagi ketakutanmu akan hal itu. Aku akan menemanimu di setiap langkahmu. Kau punya aku, Kaeri. Maaf atas ketidakpedulianku saat itu, maaf."

—o0o—

Hari Keenam

Menatap lurus, menyorot pada langit yang berteman dengan matahari sore ini. Teriknya sinar di atas sana bertembus kaca menghangatkan segala jenis bunga yang mampu terjangkau olehnya. Taesan tersenyum dalam, melangkah pelan untuk berbalik menghampiri bibi pemilik toko bunga yang sudah menjadi langganannya di beberapa minggu belakangan ini.

Taesan mengeluarkan beberapa lembar uang, membayar atas satu bucket bunga matahari yang ia beli lagi untuk kesekian kalinya. Tidak aneh bila bibi pemilik toko sampai hafal pukul ke berapa dirinya akan mampir ke toko bunganya untuk membeli bunga matahari.

"Kekasihmu pasti sangat senang memiliki lelaki tampan seromantis dirimu." Taesan menggurat senyuman tipis mendengar itu, sedangkan bibi pemilik toko sudah menggelengkan kepala.

"Anak muda seperti kalian memang sedang masanya termabuk asmara. Semoga hubungan kalian bahagia selamanya."

Taesan mengangguk berterima kasih. "Terima kasih atas doanya, Bibi."

***

Taesan diam-diam melangkah, lebih mirip mengendap-endap guna menahan suara kaki yang mungkin saja mengeluarkan suara akibat gesekan antara kaus kakinya dengan lantai apartemen yang dingin agar Kaeri tidak menyadari keberadaan dirinya. Kaeri terlihat membelakanginya, sepertinya tengah mengganti air dari bunga matahari pemberiannya kemarin dan di tangannya kini sudah ada bunga matahari yang baru lagi.

Tepat di belakang Kaeri, Taesan berdiri lurus dengan punggung cantik itu. Perlahan mengangkat bucket bunga tadi, mengondisikan lebih tinggi dari posisi Kepala Kaeri lalu menjatuhkannya perlahan tepat di depan wajah kekasihnya.

"Taesan."

Kaeri memanggil namanya pelan, sudah menebak siapa yang berada di belakangnya kini. Sepersekian detik lansung berbalik ke arahnya setelah beberapa menit sebelumnya membelakangi dirinya tadi. Taesan sontak tersenyum ramah dan mencium lamat dahi Kaeri. Hangat.

"Bunga untukmu." Kedua bahu Kaeri terjatuh begitu melihat kembali bunga matahari baru di hadapannya yang bahkan sudah terhitung banyak sekali bunga matahari pemberian Taesan di minggu belakangan ini di apartemen mereka.

"Sudah banyak sekali bunga matahari yang kau beri, kau ingin aku membuka perkebunan bunga di sini?" sarkasnya, kini apartemennya memang sudah bagaikan perkebunan bunga matahari dengan dirinya sebagai petani kebun.

"Kau suka, kan?"

"Tetapi tidak setiap hari juga, Han Taesan. Kau tidak perlu repot—"

"Sebagai pengganti hari-harimu yang selalu menunggu bunga pemberianku. Maaf, Kaeri ..., jika akhir-akhir ini aku baru membelikanmu bunga. Aku baru menyadari kala itu bahwa bunga matahari sama indahnya denganmu, sama-sama membuatku merasa hidup."

"Jadi, jangan bosan-bosan dengan bunga pemberianku, ya."

—o0o—

Hari Ketujuh

Han Taesan pulang, membuka apartemennya dengan sedikit lunglai, tetapi lebih banyak rasa ketidaksabarannya sih untuk mendengar suara Kaeri yang biasa menyambutnya dari area dapur.

"Aku pulang, Kaeri." Melepas kedua sepatunya dengan segera, bersiap melangkah ke ruang tengah apartemennya. Namun, terkejutnya Taesan begitu menemukan Ibunya yang sudah berdiri iba melihatnya.

"Apa Kaeri sudah tidur, Bu? Maaf sudah merepotkanmu, memintamu untuk menjaga Kaeri karena dia masih takut akan kejadian dirinya yang hampir diculik dan diperkosa." Kepalanya sempat celingukan menatap kanan kiri sisi apartemen berharap menemukan tubuh mungil kekasihnya itu, tetapi sayangnya tetap tidak bisa ia temukan.

"Taesan ...." Ibunya memanggil dengan nada yang bergetar, tak lupa air mata yang sudah berderai, menghujani pipinya yang tak lagi kencang mengundang tatapan keheranan dari sang anak.

"Kaeri tidak akan tenang jika dirimu masih merangkapnya di sini."

Taesan sempat mengerut dahi sebentar sebelum melayangkan tawanya, tanggapan setelah mendengar perkataan sang ibu barusan. Tidak mengerti akan hal yang dikatakan ibunya, apapun makna yang berada di balik perkataan sang ibu tadi, ia tidak mengerti sama sekali. Dirinya mendadak menjadi orang terbodoh setelah berhasil menciptakan ratusan lagu yang sukses menaiki chart tertinggi di negaranya yang menggelar citra baiknya dalam dunia musik. Sebutan produser jenius pun mendadak menghilang kala dirinya tidak mampu menafsir makna dari perkataan ibunya, atau lebih tepatnya sedang menolak keras.

"Apa yang kau bicarakan, Bu? Jangan mengatakan omong kosong." Taesan ingin mengabaikan segala presensi ibunya. Namun, bukannya permintaan maaf yang didapatinya malah cengkraman kuat pada sisi lengannya yang masih terbalut jaket hangat. "Hidupmu harus berlanjut, Han Taesan! Hargai perjuangannya yang selalu memastikan dirimu bahagia!"

Taesan terbungkam melihat Ibunya yang bahkan sudah membentak dirinya dengan segala keputusasaan di setiap kata yang terlontar. Sang ibu memohon padanya, memeluk dirinya dengan lemah. Lelah menyadarkan dirinya yang enggan menyadari bahwa Kaeri ... memang sudah pergi dari hidupnya.

Oh, iya.

"Kaeri yang selalu memastikan kau sehat dan nyaman, apakah kau tidak pernah memikirkan itu semua? Hidupmu yang seperti ini hanya akan membuatmu semakin sakit dan kau akan semakin sulit untuk keluar dari lubang penyesalanmu. Taesan, biarkan Kaeri tenang."

Legam arangnya melebar, mengguncang pertahanan dirinya kala perlahan sorot matanya menyelinap ke belakang tubuh sang ibu. Kaeri yang tersenyum cantik dalam figura itu menghantam dirinya kuat-kuat. Tubuhnya berjengit dan napasnya kian menyesak menyadari senyuman itu sudah terpajang dalam figura berwarna hitam.

Tubuhnya secara spontan bergerak mendekat ke arah figura, berjalan ragu. Melepaskan pelukan sang ibu secara tak sadar meninggalkannya yang menangis tak bersuara di belakangnya. Molekul air itu mulai berdesakkan keluar tak sabaran, tak bisa menahan saat dirinya mendapati banyaknya bunga matahari di sekitar figura itu. Bunga kesukaan kekasihnya, Kaeri. Bunga yang selalu ia beli di minggu-minggu belakangan ini.

Jadi, ...?

"Taesan, kau tahu tidak jika bunga matahari akan selalu mengikuti arah sinar matahari?"

"Kau ingin makan apa hari ini? Aku akan memasak makanan kesukaanmu lagi, aku janji kali ini makanannya adalah makanan yang paling kau sukai. Jadi, kau bisa memakannya dan tidak membiarkannya dingin lagi. Maaf, jika kemarin tidak menggugah seleramu, ya."

"Selamat ulang tahun, Han Taesan. Aku membuatkan kue khusus untukmu hari ini, aku berniat meniup lilin bersama-sama, tetapi sayang ternyata kau tidak pulang, ya, malam ini? Yasudah, kuenya aku taruh di lemari pendingin, ya! Jika besok pagi kau jumpai kue itu sudah mengeras, kau boleh membuangnya."

"Aku sangat menyukai bunga matahari, lain kali ayo kita pergi bersama ke perkebunan bunga matahari!"

"Taesan, sepertinya kebutuhan makanan kita sudah tidak cukup. Apa kau luang siang ini? Mau menemaniku berbelanja? Ayo, kita stok cemilan kesukaanmu!"

"Aku mendapatkan dua tiket untuk film perdana yang akan tayang minggu depan, kau jangan lupa kosongkan jadwalmu, ya! Aku sudah terlanjur memesannya nih!"

"Korban diduga tidak menyadari lampu merah pada tanda berjalan karena dirinya yang terlihat terburu-buru siang itu. Akibatnya korban tertabrak dan terpental hingga mengalami cidera berat di kepalanya. Korban mati di tempat, banyak darah yang keluar dari kepala dan wajahnya."

Kakinya tak lagi kuat menahan bobot tubuhnya. Bumi memenggalnya dengan memutar memori kelam pemicu kegilaannya, bagaimana bisa ia dibuat berdiri tegap menyorot pada figura Kaeri, sedangkan kepalanya mengulas balik seluruh momen yang sudah ia tinggalkan dengan sengaja. Waktu kini hanya berputar di sekitarnya, memundur jauh ke bulan-bulan belakang seakan ingin semakin menariknya jatuh ke palung konsekuensi perilakunya, vonis mati atas cintanya.

Menjatuhkan diri tanpa peduli lirihan sang ibu yang sudah memeluknya kembali dari belakang. Membawa tubuhnya untuk bersandar penuh pada tubuh sang ibu. Senyuman cantik itu, Taesan membencinya, sangat membencinya!

"Meski aku tak bisa meraihmu secara langsung, setidaknya aku harus memastikan dirimu selalu sehat dan nyaman. Aku mencintaimu, mari berjanji untuk selalu mencintai satu sama lain."

Taesan berteriak. Bisikan Kaeri malam itu akan menjadi suara yang ia dengar untuk terakhir kalinya, rentetan kalimat itu mengulitinya kuat-kuat. Tidak pernah terbayangkan sekali pun akan mengalami kehilangan. Menangisi seluruh kebodohannya, merasa sakit di atas rasa sesalnya.

Raungannya menggema. Pemeran utama laki-laki kemarin bukanlah dirinya, melainkan peringat Tuhan yang selalu ia tolak keras-keras. Akal sehatnya tidak lagi terpakai, manusia paling logis tidak lagi cocok untuknya. Segala aktivitas yang ia lakukan dengan Kaeri seminggu ini hanyalah bentuk kamuflase harapan teringinnya semenjak kejadian kematian Kaeri siang itu.

Apakah Kaeri menginginkannya juga selama seminggu ini? Karena seminggu kemarin itulah yang menjadi momentum penting yang telah Kaeri siapkan sendiri semasa napasnya masih terembus meski dengan memburu menahan tangis, merelakan segala usahanya berakhir sia-sia lantaran Taesan yang selalu bekerja meninggalkannya sendiri di apartemen mereka.

Ternyata kalimat yang selalu ia ikrarkan kepada Kaeri, menjanjikan dirinya untuk melakukan lebih baik lagi hanya usaha pembelaan dirinya atas hukuman Tuhan yang diberikan untuknya.

Tolong kembali, Kim Kaeri.

***

Kabar Taesan yang pingsan tak sadarkan diri membuatnya segera mengais langkah ke luar apartemen menuju kantor kekasihnya. Tempat Taesan menciptakan ratusan lagu terbaik bersama ribuan lirik yang terus memicu motivasinya. Pun tempat yang menjadikan Taesan lupa bahwa dirinya juga makhluk hidup yang butuh istirahat dan makanan yang layak.

"Kaeri, maaf menghubungimu di waktu ini, tetapi Taesan sudah terbujur pingsan tak sadarkan diri. Tubuhnya banyak mengeluarkan keringat dingin. Kami sudah mengajaknya ke rumah sakit tadi, tetapi dia terus menolaknya."

Tergesanya ia sampai tidak memedulikan hiruk-pikuk kota dengan masyarakatnya. Begitu padat, menabrak-nabrak orang di sana berusaha membelah kerumunan jalan sampai terdengar umpatan tidak lagi ia hiraukan, yang dipentingkan hanya harus sesegara mungkin menjumpai kekasihnya yang memang sudah terlihat pucat sehari yang lalu.

Segala perkataannya yang menasihati dengan lembut tidak ada yang didengarkan, minuman dan makanan pehangat tubuh hanya menjadi onggokan sampah lantaran tidak sama sekali tersentuh dengan dirinya yang selalu menunggu di meja makan berpikir kapan Taesan akan memakan makanan buatannya? Di samping kenyataan bahwa lelaki itu sudah kembali menyibukkan diri di ruang studio. Namun, naas. Memang sebuah kepanikan akan berakibat fatal—tidak ada rongga untuk berpikir jernih. Kim Kaeri tertabrak mobil yang tengah melaju kencang hingga terpental jauh beberapa kilometer dari kejadian. Darah yang mulai merembas keluar dari kepala dan wajahnya mengundang keibaan orang-orang di sana. Kesalahan dirinya yang tidak melihat ke arah kanan dan kiri sebelum menyebrang ditambah menidakacuhkan lampu merah pada tanda berjalan itu membuatnya harus tergolek mengenaskan, tidak hanya pada kondisi fisiknya, tetapi juga dengan hati dan pikirannya yang masih bertaut pada Han Taesan, kekasihnya yang telah menjadi orang asing pada enam bulan belakangan ini.

Layaknya orang asing yang kebetulan tinggal bersamanya dalam satu atap.

"Bilang aku salah. Namun, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kekasihmu ... sedang berada di apartemen kan Han Taesan ... benar kan? Bukan dengan wanita yang habis tertabrak di depanku ini."

Tit!

—o0o—

Tepat Satu Minggu.

Langkahnya melunglai lemah seiring tangannya memegang kenop pintu, membuka ruang apartemennya pelan. Pakaiannya yang hitam berbaur lebur dalam kegelapan malam saat itu. Tiada satu pun pencahayaan yang menarik mata legam arangnya.

Han Taesan kembali pulang, menemukan apartemennya sunyi senyap dengan tatapan kosongnya. Tidak peduli dingin malam itu memenjarakan dirinya memilih untuk menunduk termangu. Beberapa saat, hanya sebentar, setelahnya jemari pucat itu berusaha meraba gulita, menyalakan saklar lampu dengan perlahan, hanya untuk ruang tengah, mengabsolut benda pemajang foto seseorang yang paling ingin ia peluk hari ini.

"Aku kembali, Kaeri."

Taesan meraih dasar kaca figura itu, mengusapnya lembut dan membawanya perlahan menuju dadanya membiarkan orang dibaliknya mendengar dentuman hidupnya yang seperti tak lagi bersarang dalam raganya. Rasanya sudah jauh terpisah, hanya menjalani hidup sebagai sisa usianya. Taesan mengecup lamat figura tersebut. Seseorang di dalamnya sangat ia rindukan di lubuk hati terdalamnya. Rasa sesal yang tak akan pernah berujung. Memupuk tinggi gunung dosanya yang siap meledak mematikannya.

Taesan menatapnya dengan sejuta rindu, menahan segala perkataannya di balik lelehan air matanya. Kapabilitasnya selalu menumpul jika sudah dihadapkan kenyataan satu ini. Taesan mengunci pandangannya pada senyum milik kekasihnya. Setelah harus melanjutkan hidup di atas rasa sakitnya, Taesan masih gagal menemukan binarnya kembali—tidak ingin mencari lebih tepatnya, entahlah. Sialnya, Kaeri tersenyum manis di balik kaca figura itu seakan tidak ada lagi amarah baginya kini.

Apakah dirinya sudah benar-benar dimaafkan oleh kekasihnya?

Mungkinkah dirinya akan tetap mempunyai tempat untuknya kembali pulang?

"Tolong, buat aku mampu untuk mengatakan sampai jumpa kepadamu."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Satu Minggu
justyooursj
Novel
I Found You
Agnesya Febriana
Komik
Princess Syndrome
Jang Shan
Novel
Konsonan Cinta yang Kehilangan Vokalnya
Muhammad Arief Rahman
Skrip Film
LORD OSIS
Noejan
Cerpen
Youth Stride
Kosong/Satu
Novel
War of Love
Dian hastarina
Novel
My Devil's Husband, Rainer
irma erviana
Skrip Film
Dua Seniman di Sekolah Part 1
Samuel Tegar Mardhika Ariadi
Novel
Narakha
Ajensha
Novel
Kau Membuatku Rasa
Hani Abla
Skrip Film
KOFFEIN, less or more you still needed
Evy Andriani
Flash
Jika Rasa Gak Pernah Bohong...
Shabrina Farha Nisa
Novel
Bronze
PACAR VIRTUAL
Cia
Novel
Panduan Mendekati Gebetan
diffean k.a
Rekomendasi
Cerpen
Satu Minggu
justyooursj
Novel
Swastamita
justyooursj