Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Meja sudut kiri kafe Kata dan Rasa selalu saja kosong setiap jam tujuh pagi. Bukan karena tak ada yang mau duduk di sana, tapi seolah meja itu tahu siapa yang akan datang dan lebih memilih menunggu mereka. Kafe itu buka sejak pukul enam, namun meja itu tak pernah disentuh oleh pelanggan lain sebelum dua orang datang: seorang pria berjaket abu-abu dengan laptop hitam, dan seorang perempuan dengan syal rajut cokelat yang selalu membawa buku catatan.
Tama adalah nama pria itu. Ia bukan tipe yang menyukai pagi, tapi kebiasaan menulis skrip film membawanya ke tempat itu. Kafe Kata dan Rasa punya segalanya: ketenangan, kopi pahit tanpa basa-basi, dan—tanpa ia sangka—seorang perempuan yang duduk diam di seberangnya setiap pagi sejak tiga minggu lalu.
Mereka tidak pernah saling menyapa. Hanya sesekali bertukar pandang, anggukan kecil, atau senyum tipis saat salah satu lebih dulu pulang. Tama tidak tahu siapa nama perempuan itu. Ia menyebutnya “Syal Cokelat” dalam pikirannya. Ia sering bertanya-tanya, kenapa perempuan itu tidak pernah membawa ponsel. Selalu hanya buku catatan dan pulpen.
Di sisi lain, Aurel—perempuan yang duduk di seberangnya—memperhatikan Tama dengan rasa penasaran yang sama. Pria itu selalu datang dengan headphone, mengetik dengan ritme cepat seolah mengejar waktu. Tapi tiap sepuluh menit sekali, ia akan berhenti, mengangkat kepalanya, dan menatap jendela selama sepuluh detik. Tepat sepuluh detik. Aurel tahu karena ia menghitung.
Baginya, Tama adalah tanda tanya yang menyenangkan. Seperti buku puisi tanpa pengarang. Diam, tapi mengundang.
---
Pagi itu, hujan turun ringan di luar jendela. Suara tetesannya bergabung dengan denting sendok dan bunyi pintu yang terbuka. Tama datang seperti biasa, lima menit lebih awal dari pukul tujuh. Ia mengangguk pada Aurel yang sudah duduk duluan, dan duduk di tempatnya tanpa berkata sepatah kata pun.
Pelayan datang dan menaruh kopi hitam di hadapan Tama, serta teh manis hangat untuk Aurel. Keduanya tak perlu memesan lagi. Meja itu sudah hafal pesanan mereka.
Tama membuka laptop, mengetik cepat, lalu berhenti setelah sepuluh menit. Menatap jendela. Aurel memperhatikan lagi. Sama seperti biasanya. Tapi pagi itu ada yang berbeda.
Tama terlihat gelisah. Tangannya mengetuk-ngetuk meja. Matanya tidak fokus. Lalu, dengan cepat ia menulis sesuatu di kertas kecil, melipatnya rapi, dan menyelipkannya di bawah cangkir tehnya—tepat di depan Aurel—saat ia pamit lebih awal. Tanpa kata. Hanya senyum singkat.
Aurel terkejut. Ia menatap lipatan kertas itu selama beberapa detik, lalu perlahan menariknya dan membuka.
“Pernahkah kamu merasa mengenal seseorang hanya dari keheningan?”
– T.
Aurel tak bisa menahan senyum. Ini pertama kalinya mereka “berbicara”. Dengan kata-kata di atas kertas, tanpa suara.
---
Hari-hari berikutnya, meja sudut kiri jadi ruang komunikasi diam mereka. Tama akan meninggalkan satu catatan setiap ia pergi. Aurel akan membalas keesokan harinya. Kadang berisi pertanyaan. Kadang hanya puisi pendek. Kadang hanya gambar wajah dengan tanda tanya besar.
Di catatan keempat belas, Aurel menulis:
“Kalau saja dunia ini setenang meja ini, mungkin orang-orang tidak akan takut jatuh cinta dalam diam.”
Dan Tama membalas:
“Tapi kadang cinta justru lahir dari diam yang panjang, bukan?”
Keduanya tahu mereka sedang bermain-main dengan perasaan. Tapi tak ada yang berani lebih dulu melangkah. Mungkin karena rasa nyaman yang tumbuh perlahan terlalu indah untuk diusik dengan kata-kata lantang.
---
Suatu pagi, Aurel datang lebih awal. Lima menit berlalu. Lima belas menit. Setengah jam. Tama tidak datang.
Hari itu meja sudut kiri tetap kosong. Teh manis tetap disajikan. Tapi tidak ada catatan. Tidak ada senyum singkat. Tidak ada “T”.
Aurel pulang dengan jantung yang terasa hampa.
Esok harinya, Tama tetap tak datang. Di bawah cangkir kopi hitamnya yang dingin, pelayan meletakkan satu kertas kecil.
Aurel membuka dengan jari gemetar.
“Maaf. Aku harus pergi sebentar. Tapi jika kamu ingin tahu, datanglah ke tempat di mana senyap paling nyaring. Aku tunggu di sana. – T.”
Apa maksudnya?
Dan kenapa kalimat itu seperti pertanyaan terakhir sebelum sebuah kisah berakhir?
Aurel menatap kertas itu sepanjang perjalanan pulang, berulang kali membaca ulang kalimat yang ditulis oleh Tama. “Datanglah ke tempat di mana senyap paling nyaring.” Kata-kata itu terasa seperti teka-teki, dan jantungnya berdegup tidak tenang setiap kali mengulangnya dalam kepala.
Apa maksud Tama? Apa “senyap paling nyaring” itu kiasan, atau tempat yang benar-benar bisa ia datangi?
Aurel bukan tipe petualang. Ia lebih senang hal-hal pasti. Tapi untuk alasan yang bahkan dirinya tak mampu jelaskan, ia mendapati dirinya berdiri di depan kafe itu malam harinya, hanya untuk mencari satu petunjuk—satu celah ke arah jawaban. Tapi semuanya tetap sama. Senyap.
Kecuali…
Ada sesuatu di balik salah satu kursi di dekat dinding kaca. Sebuah amplop putih. Ia masuk pelan, bertanya pada pelayan, tapi mereka hanya mengangkat bahu. Amplop itu tidak berisi surat panjang. Hanya selembar peta kecil—sederhana, hitam-putih—dengan tanda lingkaran merah di sebuah titik bernama Perpustakaan Kota Lama.
“Tempat paling sunyi,” gumam Aurel pelan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
---
Perpustakaan Kota Lama adalah bangunan berusia hampir seabad, dikelilingi pohon-pohon besar dan bangku-bangku kayu tua. Di sinilah Aurel berdiri esok harinya, tepat pukul tujuh pagi.
Langkahnya menyusuri lorong-lorong kayu yang berdebu, dan tiba di bagian paling belakang. Di sana, ada sebuah ruangan kecil yang biasanya digunakan untuk membaca privat. Ia menyalakan lampu ruangan itu dan menemukan… satu meja, dua kursi.
Dan di atas meja, satu buku catatan cokelat tua. Milik Tama.
Aurel membuka halaman pertama.
“Kalau kamu membaca ini, berarti kamu memilih untuk tidak hanya duduk dan diam.”
“Namaku Tama Alvaro. Aku penulis skrip film dan ini mungkin cerita yang tak pernah sempat kutuliskan sebelumnya. Cerita tentang seseorang yang duduk diam di depanku setiap pagi, yang membuat kata-kata tumbuh hanya dengan senyumnya.”
“Aku tak tahu siapa kamu. Tapi setiap pagi bersamamu—meski tanpa suara—adalah paragraf terbaik yang pernah aku alami.”
Aurel duduk. Tangannya gemetar. Ia menutup matanya sejenak.
“Aku pergi bukan karena ingin menjauh. Tapi karena aku takut akan terlalu dekat. Terlalu berharap. Terlalu yakin, padahal kita belum benar-benar mengenal.”
“Tapi, kalau kamu membaca ini sampai selesai dan tetap memilih untuk mengenalku, aku akan kembali. Ke meja sudut kiri. Satu minggu dari sekarang.”
Aurel menutup buku itu dengan senyum samar dan satu tetes air mata yang jatuh diam-diam.
Ia tidak tahu sejak kapan hatinya mulai menunggu seseorang yang bahkan belum pernah ia ajak bicara.
---
Hari-hari berikutnya, Aurel kembali ke kafe itu. Duduk di meja sudut kiri setiap pukul tujuh. Teh manis selalu disajikan seperti biasa. Tapi kali ini tak ada catatan balasan. Hanya diam. Hanya dirinya dan segelas teh yang makin lama makin dingin.
Sampai hari ketujuh.
Pagi itu langit sedikit cerah, dan Aurel datang lebih awal dari biasanya. Ia duduk sambil menulis puisi pendek di buku catatannya. Tangan kirinya gemetar ringan, dan ia menyesap teh terlalu cepat, hampir tersedak.
Lalu pintu berbunyi.
Tama masuk. Tanpa headphone, tanpa laptop. Hanya dirinya sendiri, dengan setangkai bunga mawar kecil di tangan.
Aurel berdiri refleks. Mereka saling menatap. Ini pertama kalinya mereka benar-benar saling menatap sebagai dua orang yang sama-sama tahu: mereka sedang jatuh. Dalam. Tapi belum terlambat untuk menyelami bersama.
Tama tersenyum.
“Selamat pagi.”
Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut mereka sejak tiga minggu lebih duduk bersama dalam diam.
Aurel membalas dengan kata yang sama, tapi matanya bicara lebih banyak dari lidahnya.
“Boleh duduk?” tanya Tama.
Aurel mengangguk. “Tentu. Meja ini… selalu milik kita.”
---
Percakapan pertama mereka berlangsung canggung. Tapi perlahan, kata-kata mengalir seperti air yang menunggu jeda untuk melompat dari bendungan. Mereka berbicara tentang film favorit, tentang teh yang terlalu manis, tentang hujan yang selalu datang tiap hari Rabu. Hal-hal remeh, tapi terasa sangat penting di pagi itu.
“Aku takut, kalau kita mulai bicara, semua keajaiban akan hilang,” kata Tama pelan.
Aurel menatapnya lama. “Aku justru berpikir, keajaiban baru saja dimulai.”
Tama tertawa kecil. Suaranya seperti cuaca cerah setelah hujan panjang.
Dan pagi itu, meja sudut kiri tak lagi hanya milik keheningan.
Ia milik dua orang yang memutuskan bahwa diam tak akan cukup untuk cerita mereka yang baru dimulai.
Minggu-minggu setelah pertemuan itu terasa seperti adegan dari film indie yang lambat tapi penuh makna. Tama dan Aurel mulai bertemu setiap pagi, di meja yang sama, dengan teh manis dan kopi hitam sebagai saksi bisu.
Mereka mulai saling mengenal. Tama yang ternyata suka lagu-lagu lama Indonesia, dan Aurel yang diam-diam mengoleksi kotak musik antik. Tama punya trauma pada petir, Aurel justru mencintai badai karena menurutnya "badai mengajarkan kita bertahan."
Namun, seiring bertambahnya obrolan, Aurel mulai menyadari sesuatu.
Tama masih menyimpan jarak.
Bukan dari tubuh, tapi dari hati.
---
Suatu pagi, Aurel datang lebih dulu dari biasanya. Ia membawa buku catatan kecil dan berniat menulis surat yang tak akan ia kirim—kebiasaannya sejak remaja.
“Tama, kadang aku takut. Bukan karena kamu pernah pergi, tapi karena kamu mungkin akan pergi lagi.”
“Aku tahu kamu menyimpan sesuatu. Seperti lembar cerita yang belum selesai ditulis, tapi kamu simpan dalam laci.”
“Kalau kamu tidak bisa membukanya, setidaknya izinkan aku duduk di sebelah laci itu.”
Ia menutup buku itu tepat saat Tama datang. Hari itu wajah Tama lebih murung. Ia duduk tanpa berkata sepatah kata pun, hanya tersenyum kecil dan menatap ke luar jendela.
Aurel menunggu. Tapi Tama tetap diam.
“Ada yang ingin kamu ceritakan?” Aurel akhirnya bertanya.
Tama mengangguk pelan, tapi tak langsung menjawab. Ia hanya mengeluarkan sebuah amplop cokelat kecil dari tasnya dan meletakkannya di meja.
“Aku sudah menyiapkan ini sebelum kita bicara pertama kali,” kata Tama pelan. “Aku rencanakan untuk memberikannya padamu setelah seminggu... tapi aku jadi pengecut.”
Aurel membuka amplop itu. Di dalamnya ada dua hal.
Satu: foto lama Tama berdiri di depan rumah sakit, mengenakan jaket lusuh, bersama seorang pria tua yang memegang tongkat.
Dua: hasil pemeriksaan medis. Nama Tama tertulis jelas, lengkap dengan diagnosa: Gagal ginjal kronis, tahap akhir.
Aurel membeku.
Tama menatapnya, matanya tenang, tapi penuh luka. “Aku mungkin terlihat seperti orang yang kuat, tapi aku hidup dengan waktu pinjaman.”
---
Hari-hari berikutnya menjadi senyap kembali. Tapi senyap yang berbeda. Bukan karena mereka diam, tapi karena tak ada kata yang cukup mampu menjembatani rasa takut yang mulai tumbuh di antara mereka.
Tama mulai lebih sering datang terlambat. Kadang tidak datang sama sekali. Aurel menunggu, tetap menulis surat-surat kecil yang tak ia kirim. Tapi kini surat-surat itu penuh pertanyaan.
“Kenapa kamu takut aku tahu, padahal kamu tahu aku tetap akan duduk di sini?”
“Apa cinta hanya boleh datang pada yang sehat dan utuh?”
“Kalau waktumu tinggal sedikit, bukankah seharusnya kamu berbagi, bukan sembunyi?”
---
Suatu malam, Aurel datang ke rumah Tama tanpa memberi tahu.
Ia mengetuk pelan. Lama.
Akhirnya pintu dibuka. Wajah Tama pucat, tubuhnya kurus, tapi matanya masih sama—tenang dan hangat.
“Kamu datang,” bisiknya.
“Kalau kamu tak bisa datang ke meja itu, maka aku yang akan datang ke hidupmu,” jawab Aurel pelan.
Mereka tidak banyak bicara malam itu. Hanya duduk berdampingan di sofa kecil. Aurel menyandarkan kepala di bahu Tama, dan Tama memejamkan mata sejenak. Hening yang nyaman, seperti awal mula kisah mereka.
Sebelum pulang, Aurel menoleh dan berkata, “Kita tak bisa memilih berapa lama, Tam. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita mengisinya.”
Tama tidak menjawab. Tapi di matanya, ada harapan yang perlahan mulai tumbuh kembali.
---
Seminggu kemudian, Tama kembali duduk di meja kafe, lebih awal dari biasanya. Aurel datang dengan dua cangkir—teh dan kopi seperti biasa.
Mereka tidak banyak bicara. Tidak perlu. Karena di antara mereka, sudah tak ada lagi kata yang tertunda.
Yang tersisa hanya satu cerita yang siap mereka isi bersama, seberapa singkat pun waktunya.
Matahari hampir tenggelam ketika Aurel menatap Tama dari seberang meja.
Sudah hampir dua bulan sejak hari ketika Tama menyerahkan amplop berisi kenyataan pahit itu. Dua bulan yang penuh pertanyaan, kepasrahan, tawa kecil, dan waktu-waktu berharga yang tak ingin mereka sia-siakan.
Tama kini terlihat lebih tenang. Tidak lagi menutupi kelelahan yang datang tiba-tiba. Tidak lagi pura-pura kuat setiap kali tubuhnya gemetar. Ia membiarkan Aurel masuk ke dalam ruang hidupnya—ruang yang dulu ia kunci rapat-rapat.
Hari itu, mereka berbagi cerita tentang mimpi yang tak sempat dikejar.
“Kalau hidupku normal, aku pasti sudah buka toko buku kecil,” kata Tama sambil menyeruput kopinya.
“Dan aku mungkin jadi penyiar radio malam. Membacakan puisi sendu dan menjawab curhatan orang patah hati,” jawab Aurel, tertawa pelan.
“Kita pasti saling dengar tapi gak saling tahu,” kata Tama. “Lalu mungkin bertemu di toko kopi ini, sebagai orang asing yang merasa akrab entah kenapa.”
Aurel diam sebentar. “Tapi aku lebih suka skenario ini. Yang meski menyakitkan, tapi nyata.”
---
Beberapa hari kemudian, Tama dirawat di rumah sakit karena kondisinya menurun drastis. Aurel tetap di sisinya. Ia bahkan membawa buku-buku kecil mereka—isi surat-surat yang tak pernah dikirim, catatan puisi dari pembicaraan mereka, dan lembar kosong untuk hari-hari yang tersisa.
Mereka mengisinya bersama.
“Kalau aku pergi duluan, jangan sedih,” kata Tama pada suatu malam.
“Boleh gak aku sedih... tapi sambil tetap melanjutkan hidup?” Aurel bertanya, mencoba tersenyum.
Tama mengangguk. “Selama kamu tetap menulis, dan tetap datang ke meja itu. Aku akan selalu ada di sana.”
---
Pagi itu, hujan turun deras di luar jendela rumah sakit. Tama tertidur sejak malam. Aurel duduk di kursi yang sama, menggenggam tangan Tama, dan membacakan puisi pelan-pelan.
Saat hujan mereda, napas Tama perlahan menjadi tenang. Senyum tipis menghiasi wajahnya—seakan ia sedang memimpikan meja itu, kopi itu, dan dia.
Dan ketika Aurel memanggil namanya dengan suara paling lembut yang ia punya, Tama tak menjawab.
---
Tujuh hari setelah kepergian Tama, Aurel kembali ke kafe.
Meja itu masih kosong. Ia duduk di sana dengan dua cangkir di atas meja—teh manis dan kopi hitam, seperti biasa.
Ia membuka buku catatan mereka, menulis satu baris.
“Hari ini kamu pergi. Tapi aku tahu, di setiap pagi, di setiap cangkir kopi ini, kamu tetap di sini.”
Aurel tersenyum. Bukan karena ia tidak sedih. Tapi karena cinta yang sebenarnya tidak pergi.
Karena meja itu, aroma kopi itu, dan pagi itu… tetap menyimpan jejak dua rasa yang pernah ada—dan akan selalu hidup dalam kenangan.