Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
SATU HATI DUA CINTA
3
Suka
5,393
Dibaca

Namaku Lira. Nama kakak kembarku, Lara. Dua nama yang sangat mirip, dipisahkan hanya oleh satu getaran di pangkal lidah.

Sejak di dalam rahim, dunia kami berupa ruang tunggal yang kami bagi tanpa sekat. Ketika lahir, dokter mengatakan kami berbagi plasenta yang sama, bahkan takdir pun enggan memisahkan kami terlalu jauh.

Orang tua kami, dengan niat baiknya yang kikuk, mencoba memberi kami identitas terpisah. Pita rambutku merah, milik Lara biru. Bajuku bergambar kelinci, bajunya bergambar bulan.

Tapi usaha mereka tetap saja sia-sia. Di penghujung hari, pita itu akan tertukar, dan kami akan tidur dengan mengenakan piyama yang sama, bertukar mimpi dalam gelap. Kami tidak pernah sengaja melakukannya. Benda-benda itu seolah kehilangan makna kepemilikan saat berada di dekat kami.

“Tubuh Lara yang mana?” tanya Ayah suatu sore, sambil tersenyum dari ambang pintu kamar.

Aku dan Lara, yang sedang duduk berdampingan di lantai, membaca buku yang sama, hanya saling pandang lalu mengangkat bahu serempak. Bagi kami, pertanyaan itu sama absurdnya dengan menanyakan sisi kiri dan sisi kanan sekeping koin. Keduanya ada, keduanya bagian dari satu benda yang sama. Tanpa yang satu, yang lain tidak ada artinya.

Kami punya satu kucing. Namanya Kuro. Kucing hitam legam dengan mata hijau menyerupai dua keping batu giok basah. Kuro tidak pernah memilih salah satu dari kami. Jika ia tidur di pangkuanku, ekornya pasti menyentuh kaki Lara. Jika ia mengeong meminta makan pada Lara, matanya akan melirik ke arahku, dirinya seolah meminta persetujuan. Kuro mengerti itu. Ia juga mengerti bahwa kami satu kesatuan dalam dua wadah.

“Semalam aku bermimpi,” bisik Lara suatu pagi, napasnya hangat di pipiku saat kami masih berbaring di ranjang yang sama. “Kita berada di sebuah ruangan kosong. Hanya ada dua kursi kayu dan satu pintu. Tapi anehnya, tidak ada jendela.”

Aku mengangguk pelan. “Aku juga di sana. Aku mencoba membuka pintu itu, tapi gagangnya terasa dingin seperti es.”

“Lalu kau berbalik dan duduk di salah satu kursi,” lanjutnya.

“Dan kau duduk di kursi yang lain, menatapku,” sambungku. “Kita tidak bicara. Hanya duduk di sana, mendengarkan suara detak jantung kita sendiri, yang berirama sama.”

Itulah dunia kami. Ruangan tertutup, simetris, dan aman. Kami dua tubuh, tapi sebenarnya satu dunia kecil.

Dua not yang dimainkan bersamaan untuk menciptakan satu harmoni yang utuh. Keutuhan itu agama kami, dan simetri menjadi ritualnya. Jika aku minum teh, Lara akan menuang teh untuk dirinya juga.

Jika Lara memotong rambutnya satu senti, aku akan pergi ke salon keesokan harinya dan melakukan hal yang sama. Aku melakukannya bukanlah karena paksaan, lebih karena dorongan dari dalam yang tak bisa dijelaskan. Ketidakseimbangan terasa seperti penyakit, seperti ada bagian dari diriku yang hilang.

Sampai Andra datang. Dan membawa serta hujan bersamanya.

Andra menjadi anomali. Seorang pria yang menemukan ketenangan dalam hal-hal yang tidak simetris. Ia menyukai puisi-puisi yang baitnya tak beraturan, mendengarkan musik yang improvisasinya liar, dan meminum kopi hitamnya tanpa gula, membiarkan pahitnya menjadi kejutan di setiap sesapan.

Aku bertemu dengannya di perpustakaan kota, di antara rak-rak buku filsafat yang berdebu. Ia tidak menatapku seolah aku serupa dengan teka-teki. Ia menatapku menyangka diriku adalah Lira. Hanya Lira. Sesuatu dalam tatapannya yang fokus dan tidak terbagi itu terasa baru dan sedikit berbahaya.

Kami mulai sering bertemu. Di kedai kopi kecil yang memutar lagu-lagu The xx, atau berjalan-jalan di taman saat senja, ketika bayangan kami memanjang dan menyatu dengan bayangan pepohonan. Selama itu, Lara selalu ada. Kehadirannya tidaklah selalu dalam bentuk fisik, tapi dalam setiap ceritaku.

“Lara juga suka The xx,” kataku pada Andra. “Tapi ia lebih suka saat bagian liriknya terdengar paling sunyi.”

“Lara pasti tidak akan suka kopi ini,” kataku di lain waktu. “Terlalu pahit untuknya.”

Andra hanya mengangguk, matanya yang tenang seperti danau di pagi hari tidak pernah menghakimi. Ia menerima keberadaan Lara sebagai bagian tak terpisahkan dari diriku, seperti ia menerima ampas yang mengendap di dasar cangkir kopinya.

Hingga suatu sore yang mendung, saat rintik hujan mulai mengetuk jendela kafe, Andra meletakkan cangkirnya. Keheningan di antara kami terasa berbeda. Lebih padat, lebih berisi.

“Lira,” katanya, suaranya pelan karena sebagian terserap oleh lagu Heart Skipped A Beat dari pengeras suara. “Aku tidak tahu cara yang puitis untuk mengatakan ini. Aku hanya tahu bahwa saat bersamamu, duniaku terasa lebih hidup.” Ia berhenti sejenak, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya. “Maukah kau menikah denganku?”

Dunia hening seketika. Suara gitar, ketukan hujan, dengung mesin pendingin—semuanya lenyap. Yang tersisa hanya aku dan pertanyaan yang terasa seperti batu yang dilempar ke permukaan danau yang tenang. Untuk sesaat, aku merasakan getaran kebahagiaan yang murni. Kebahagiaan yang terasa egois yang hanya milikku.

Tapi kemudian, aku melihat bayanganku di jendela kafe yang basah. Di sana, di samping pantulan wajahku, aku seolah bisa melihat wajah Lara. Wajahnya pucat, matanya kosong. Getaran itu berubah menjadi rasa sakit yang tajam, seolah seseorang baru saja mencoba merobekku menjadi dua.

Aku tersenyum pada Andra dan mengangguk. “Ya,” bisikku.

Malam itu, Lara ikut tersenyum saat aku menunjukkan cincin di jariku. Senyumnya persis seperti senyumku, namun matanya tidak. Matanya nampak bagai danau beku yang mulai retak. Ia memelukku erat, lebih erat dari biasanya, seolah takut aku akan menguap menjadi udara.

“Aku bahagia untukmu,” bisiknya di telingaku. “Aku bahagia untuk kita.”

Tapi kata ‘kita’ itu terdengar ganjil. Kosong. Malamnya, saat lampu kamar sudah padam dan kami berbaring saling memunggungi untuk pertama kalinya, aku mendengar suara isakan yang ditahan. Bukanlah isakan yang keras, hanya getaran samar dari bahunya, ritme patah hati yang sunyi.

Aku tidak berbalik. Aku hanya berbaring di sana, menatap kegelapan, merasakan setiap getaran itu seolah terjadi di dalam tulang rusukku sendiri. Pertanyaan dingin kemudian merayap di benakku, mengusir semua kehangatan dari lamaran Andra.

Kalau aku pergi, siapa yang akan memeluk dia saat tidur? Siapa yang akan tahu bahwa getaran di bahunya menjadi pertanda tangisan yang tak bersuara?

Pernikahan bukan lagi tentang penyatuan. Malam itu, pernikahan terasa seperti amputasi.

Seminggu berlalu dalam keheningan yang aneh. Aku dan Lara bergerak di dalam rumah seperti dua hantu yang menghuni ruang yang sama tapi di dimensi yang berbeda. Simetri kami rusak. Jika aku membuat kopi, Lara akan membiarkan cangkirnya kosong di meja. Jika aku menyalakan musik, ia akan memakai headphone. Kami tidak bertengkar. Kami hanya… tidak sinkron. Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada pertengkaran dalam perkara apa pun.

Pada hari ketujuh, aku tidak tahan lagi. Malam itu hujan turun dengan deras, seolah langit ikut merasakan keretakan di dalam rumah kami. Andra datang berkunjung. Kami bertiga duduk di ruang tamu. Aku, Andra, dan Lara. 

Lara sedang membaca buku, tapi aku tahu ia tidak membalik halamannya selama sepuluh menit terakhir. Andra menyesap tehnya, matanya bergerak gelisah di antara aku dan Lara. Keheningan itu begitu pekat, kau bisa menyendoknya dengan sendok teh.

Aku memandang Andra, lalu memandang Lara. Wajah mereka berdua diterpa cahaya lampu meja yang hangat, namun tampak jauh dan dingin.

“Andra,” kataku, memecah keheningan. Suaraku terdengar asing di telingaku sendiri. “Ada yang ingin kubicarakan.”

Andra meletakkan cangkirnya. Lara menutup bukunya, tapi tidak menatapku. Ia menatap tetesan hujan yang berlomba di kaca jendela.

“Pernikahan ini… Aku menginginkannya,” aku memulai, memilih kata-kataku dengan sangat hati-hati. “Tapi ada satu syarat. Satu-satunya cara agar ini berhasil.”

Andra menunggu. Matanya yang tenang kini menunjukkan secercah kebingungan.

Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak bisa meninggalkan Lara.” Kalimat itu menggantung di udara. “Dan Lara tidak bisa kehilanganku. Kami… kami tidak berfungsi seperti itu.”

Aku menoleh pada kakakku. “Dunia kami satu. Jika kau masuk, hasilnya tidak bisa menjadi satu koma lima, atau dua dunia yang saling bersinggungan. Harus menjadi satu kesatuan yang baru.”

Andra mengerutkan kening. “Aku tidak mengerti, Lira. Lara akan selalu menjadi bagian dari hidupmu. Tentu saja ia bisa tinggal bersama kita jika ia mau.”

Di sinilah batas antara logika dan kegilaan menjadi kabur. Aku menatap lurus ke mata Andra, merasakan jantungku berdebar kencang.

“Bukan itu,” kataku pelan. “Bukan hanya tinggal bersama. Aku ingin kau menikah dengan kami.”

Hening.

Bahkan suara hujan di luar seolah berhenti sejenak. Andra menatapku, lalu menatap Lara, lalu kembali padaku. Senyum tipis yang skeptis mulai terbentuk di bibirnya. “Lira, ini bukan lelucon yang lucu.”

“Aku tidak sedang melucu,” kataku. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Lara menoleh. Matanya bertemu dengan mataku. Di sana, di kedalaman matanya yang identik dengan mataku, aku tidak melihat keterkejutan. Aku melihat secercah harapan yang putus asa. Ekspresinya sama seriusnya denganku.

Andra melihatnya. Senyumnya memudar. Ia melihat dua perempuan di hadapannya, dua cerminan dari satu sama lain, dengan ekspresi yang sama-sama khusyuk dan putus asa. Ia melihat sebuah logika menyimpang yang, entah bagaimana, terasa utuh di dalam dunianya sendiri.

“Bagaimana… bagaimana mungkin?” bisik Andra, lebih pada dirinya sendiri daripada pada kami.

“Kita akan menyusun aturan,” kata Lara tiba-tiba, suaranya serak karena lama tidak digunakan. “Aturan pertama: tidak ada yang menghitung. Tidak ada yang menimbang. Perasaan tidak bisa dibagi rata seperti kue. Kita hanya akan… ada. Bersama.”

“Aturan kedua,” sambungku, “tidak ada rahasia. Apa yang dirasakan satu orang, harus diketahui oleh yang lain. Kita adalah tiga sudut dari segitiga yang sama. Jika satu sudut goyah, seluruh bangunan akan runtuh.”

Andra terdiam lama sekali. Ia memandang kami bergantian, dirinya mencoba menemukan celah dalam argumen kami, celah di mana kewarasan bisa masuk. Tapi yang ia temukan hanyalah kesungguhan yang tak terbantahkan. Mungkin ia bingung. Mungkin ia merasa tertantang. Atau mungkin, dalam jiwanya yang menyukai hal-hal absurd, ia melihat ini sebagai puisi paling aneh yang pernah ia temui.

“Aku…” ia memulai, lalu berhenti. Ia bangkit, berjalan ke arah jendela, dan menempelkan telapak tangannya di kaca yang dingin. “Aku tidak tahu apakah ini cinta, atau bentuk kegilaan yang paling rumit.”

Ia berbalik menghadap kami. “Tapi aku juga tidak mau kehilanganmu, Lira. Dan aku melihat bagaimana kau tanpanya.” Ia melirik Lara. “Baiklah,” katanya pelan, seolah mengucapkan kata sandi ke dunia yang lain. “Kita coba.”

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam seminggu, aku dan Lara tidur saling berhadapan. Di antara kami, ada ruang kosong yang cukup untuk satu orang lagi. Ruang yang kami ciptakan untuk Andra. Ruang yang terasa seperti solusi, sekaligus awal dari kehancuran yang tak terhindarkan.

Kami menikah dalam upacara kecil yang senyap di catatan sipil. Hanya ada kami bertiga dan dua orang saksi yang kami bayar. Petugas itu menatap kami dengan aneh saat hanya namaku dan Andra yang tertulis di atas kertas, sementara Lara berdiri di sampingku, mengenakan gaun dengan warna yang sama persis. Secara hukum, Lara adalah iparku. Secara realita, ia adalah separuh dari pengantin perempuan.

Rumah yang kami tinggali cukup besar, peninggalan nenek kami. Sebuah rumah dengan banyak jendela dan koridor yang sepi. Awalnya, semuanya terasa seperti mimpi yang aneh namun indah. Kami menemukan ritme baru. Pagi hari, Andra akan membuat kopi untuk kami bertiga, tanpa bertanya siapa yang mau lebih dulu. Ia hanya akan meletakkan tiga cangkir di meja. Aku akan memasak sarapan, dan Lara akan menata meja. Kami bergerak dalam koreografi yang hening dan efisien.

Malam hari, kami akan duduk di ruang tamu, membaca buku atau mendengarkan piringan hitam milik Andra. Kadang, Andra akan membacakan puisi. Suaranya yang dalam mengisi ruangan, dan kata-kata itu bukan ditujukan untukku atau untuk Lara, tapi untuk ruang di antara kami. Untuk entitas yang tak berwujud yang bernama ‘kita bertiga’.

Tapi keretakan mulai muncul, tipis seperti rambut. Dimulai dari hal-hal kecil.

Suatu malam, Andra pulang membawa tiga tangkai bunga lili putih. Ia memberikan satu padaku, satu pada Lara. Tapi saat memberikan bunga itu pada Lara, tangannya menyentuh jemari Lara sepersekian detik lebih lama. Atau mungkin tidak. Mungkin itu hanya imajinasiku. Tapi aku melihatnya. Dan aku mulai menghitung.

Satu detik.

Aturan pertama sudah kulanggar.

Aku mulai mengamati. Cara Andra menatap Lara saat Lara sedang melamun menatap hujan. Ada kelembutan di sana, jenis kelembutan yang berbeda dari caranya menatapku. Caranya menatapku penuh dengan kekaguman yang aktif. Caranya menatap Lara penuh dengan kontemplasi yang senyap. Apakah itu sama? Apakah itu seimbang?

“Kau melamun,” suara Andra membuyarkanku suatu sore. Kami sedang di dapur. Lara sedang di taman belakang, menyirami pot-pot bunga mint peninggalan Nenek.

Aku tersenyum tipis. “Hanya berpikir.”

“Tentang apa?” tanyanya, sambil menyandarkan pinggulnya di meja, secangkir kopi di tangan.

“Tentang simetri,” jawabku jujur. “Apakah mungkin tiga garis memiliki panjang yang sama dan membentuk sebuah bentuk yang stabil?”

Andra menatapku lama. “Mungkin masalahnya bukan pada garisnya, Lira. Mungkin masalahnya adalah kita terus-menerus membawa penggaris.”

Dialog-dialog kami menjadi seperti itu. Penuh metafora dan pertanyaan yang tidak pernah benar-benar terjawab. Kami berbicara tentang segala hal kecuali tentang apa yang sebenarnya terjadi: kecemburuan mulai meracuni udara yang kami hirup.

Lara juga berubah. Ia mulai sering berjalan-jalan sendirian di pagi buta, sebelum aku dan Andra bangun. Ia kembali dengan aroma embun dan tanah basah di pakaiannya, dan sebuah ketenangan di wajahnya yang terasa seperti tembok. Ia menciptakan dunianya sendiri yang kecil, sudut yang tidak bisa kami masuki. Aturan kedua mulai goyah.

Suatu hari aku menemukannya sedang menulis di buku catatan kecil. Saat aku mendekat, ia menutupnya dengan cepat.

“Apa yang kau tulis?” tanyaku, mencoba terdengar santai.

“Hanya pikiran-pikiran acak,” jawabnya, menghindari mataku.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku menunggu sampai napas Andra dan Lara menjadi teratur dan dalam. Aku berjingkat keluar dari kamar tidur kami yang besar—yang memiliki satu ranjang super besar tempat kami tidur dalam formasi yang ganjil—dan pergi ke kamar Lara yang lama, yang kini menjadi ruang kerjanya. Aku menemukan buku catatan itu di laci meja. Tanganku gemetar saat membukanya.

Isinya bukan diary. Isinya deskripsi. Deskripsi tentang hal-hal kecil.

“Hari ini, rambutnya jatuh menutupi matanya saat ia membaca. Aku ingin menyingkirkannya, tapi tanganku terasa berat.”

“Ia membuatkan teh jahe untukku karena tahu aku masuk angin. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya meletakkannya di sampingku.”

“Tawanya saat mendengar lelucon Lira. Tawa itu berbeda. Lebih ringan. Apakah aku sumber beban baginya?”

Tidak ada nama ‘Andra’ di sana. Hanya ‘ia’. Tapi aku tahu siapa yang dirinya maksud. Dan hatiku terasa seperti diremas. Lara tidak sedang membangun tembok. Ia sedang mencatat setiap retakan pada bangunan kami. Ia sedang merasakan semuanya, dalam diam.

Konflik puncaknya terjadi di ranjang. Ruang intim kami yang seharusnya menjadi benteng pertahanan. Semula, sentuhan Andra terasa adil. Sebuah ciuman untukku, sebuah elusan untuk Lara. Tapi tubuh memiliki bahasanya sendiri, bahasa yang lebih jujur daripada kata-kata. Aku mulai merasakan keraguan dalam sentuhannya padaku, dan sebuah keingintahuan yang lebih dalam saat tangannya beralih pada Lara.

Aku menjadi posesif. Aku akan memeluk Andra lebih erat, mencoba mengklaim apa yang secara hukum menjadi milikku. Lara, sebaliknya, menjadi semakin pasif, tubuhnya seringkali terasa dingin dan jauh, seolah jiwanya sudah pergi meninggalkan ruangan.

Andra terjebak di tengah. Aku bisa merasakannya. Kebingungannya, rasa bersalahnya, dan hasratnya yang terbelah. Ia mencintai sebuah ide, sebuah konsep. Tapi kini ia dipaksa untuk berhadapan dengan dua manusia yang nyata, dengan dua jiwa yang berbeda, yang sama-sama terluka.

Suatu malam, setelah percintaan kami yang canggung dan menyedihkan, Andra bangkit dan pergi ke kamar mandi. Aku berbaring dalam gelap, memunggungi Lara.

“Lira,” bisik Lara.

“Ya?”

“Apakah kau bahagia?”

Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa seperti pisau. Aku tidak bisa menjawabnya. Karena jika aku menjawab ‘tidak’, itu artinya semua ini hanyalah menjadi kegagalan. Dan jika aku menjawab ‘ya’, itu akan menjadi kebohongan terbesar dalam hidupku.

Aku hanya diam. Dan dalam keheningan itu, aku mendengar Lara menangis lagi. Kali ini, getarannya bukan hanya di bahunya. Getaran itu terasa di seluruh ranjang, di seluruh ruangan, di seluruh fondasi rumah kami yang rapuh.

Kabar itu datang tanpa melalui kata-kata, tapi melalui tubuh. Tubuh Lara.

Pagi itu ia muntah di wastafel kamar mandi. Suaranya yang terbatuk-batuk membangunkan aku dan Andra. Aku langsung tahu. Ada semacam firasat di antara kami, koneksi fisik yang melampaui logika. Saat aku melihat wajahnya yang pucat di cermin kamar mandi, aku tidak perlu bertanya.

Simetri telah pecah secara definitif. Sesuatu sedang tumbuh di dalam dirinya. Sesuatu yang hanya miliknya seorang.

Andra membeli alat tes kehamilan. Kami bertiga menunggu hasilnya di ruang tamu yang senyap. Tiga menit terasa seperti tiga tahun. Saat dua garis merah muda itu muncul, tidak ada yang bersuara. Dua garis. Berupa penegasan dualitas di tengah konsep kesatuan kami yang gagal.

Andra menunduk, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Aku menatap Lara. Di matanya, aku tidak melihat kebahagiaan. Aku melihat ketakutan dan semacam kebebasan yang mengerikan.

Malam itu, ia yang memulai percakapan.

“Aku akan pergi,” katanya, suaranya datar. Kami duduk di meja makan. Makan malam kami belum tersentuh.

Jantungku berhenti berdetak. “Pergi? Pergi ke mana? Ini rumahmu.”

“Ini bukan rumah lagi, Lira. Ini hanya panggung pertunjukan yang aneh,” jawabnya, menatap lurus ke arahku. “Dan aku lelah bermain peran. Lihatlah kita. Kau menghitung setiap tatapannya. Andra merasa bersalah setiap kali bernapas. Dan aku… aku merasa seperti hantu.”

Ia meletakkan tangannya di atas perutnya yang masih rata. “Ini tidak simetris lagi. Ada kehidupan di dalam sini. Ini milikku. Hanya milikku. Dan aku tidak bisa membaginya.”

“Tidak!” aku memohon, suaraku pecah. Aku meraih tangannya di seberang meja. “Ini anak kita. Kita menginginkan ini. Kita menginginkan kesatuan. Anak inilah buktinya!”

“Bukan, Lira,” sahutnya, menarik tangannya perlahan. “Anak ini bukti bahwa kita tidak akan pernah bisa menjadi satu. Ia tetaplah menjadi individu. Sama sepertiku. Sama sepertimu. Sesuatu yang kau lupakan.”

Air mataku mulai mengalir. Aku menoleh pada Andra, mencari pertolongan, pembelaan. “Andra, katakan sesuatu. Katakan padanya untuk tetap tinggal.”

Andra mengangkat kepalanya. Wajahnya tampak lebih tua sepuluh tahun. Ia menatapku, lalu menatap Lara. Di matanya ada penderitaan yang begitu dalam. Ia membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu yang bisa memperbaiki segalanya.

Tapi yang keluar hanyalah bisikan yang kalah. “Aku… aku tidak tahu.”

Aku tidak tahu.

Dua kata itu menghancurkan segalanya. Ketidaktahuannya menjadi pilihan. Ia tidak bisa memilih di antara kami. Kegagalannya untuk memilih menjadi pengkhianatan terbesar bagi kami berdua. Ia mencintai sebuah cermin, dan kini cermin itu retak, ia tidak tahu harus menyimpan pecahannya yang mana.

Lara bangkit dari kursinya. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia berjalan ke kamarnya dan menutup pintu. Suara klik dari kenop pintu itu terdengar seperti tulang yang patah.

Lara tidak jadi pergi. Bukan karena permohonanku atau kebisuan Andra. Ia tinggal karena kehamilan membuatnya terlalu lelah untuk lari. Tapi jiwanya telah lama meninggalkan rumah ini.

Kami terus hidup bersama. Tiga orang asing yang berbagi alamat dan masa lalu. Kami bukti reruntuhan dari sebuah ide yang indah dan mustahil.

Satu tahun kemudian, seorang bayi perempuan lahir. Ia memiliki mata Andra yang tenang dan rambut hitam legam sepertiku dan Lara. Kami tidak pernah membicarakan siapa ibunya. Di akta kelahiran, tertulis nama Lara. Tapi saat bayi itu menangis di malam hari, kadang aku yang bangun. Kadang Andra. Kadang kami bertiga berdiri di samping boks bayinya, tiga bayangan dalam temaram lampu tidur, menatap makhluk kecil yang menjadi simbol dari cinta kami yang rumit sekaligus rusak.

Pagi ini, kami duduk di meja makan. Ada empat kursi sekarang. Satu untukku, satu untuk Andra, satu untuk Lara, dan satu kursi bayi yang tinggi. Tapi rasanya tetap ada satu kursi yang kosong. Celah kekosongan yang ditinggalkan oleh simetri kami yang telah hilang.

Di dinding ruang tamu, tergantung cermin besar berbingkai kayu. Beberapa bulan lalu, saat Andra mencoba memindahkannya, cermin itu terlepas dari tangannya dan jatuh. Tidak pecah berkeping-keping, tapi retakannya panjang dan bergerigi membelahnya persis di tengah. Andra ingin membuangnya, tapi aku melarang.

“Biarkan saja,” kataku waktu itu. “Ini lebih jujur.”

Sekarang, setiap kali aku melewatinya, aku melihat pantulan diriku. Wajahku terbelah menjadi dua. Separuhnya Lira. Separuhnya lagi bayangan Lara, atau mungkin hanya ingatanku tentangnya. Aku tidak yakin lagi di mana diriku berakhir dan di mana ia dimulai.

Bayi itu mulai merengek di kursinya. Lara, yang sedang menatap kosong ke luar jendela, tidak bergerak. Andra, yang sedang mengaduk kopinya tanpa henti, tampak tidak mendengar.

Aku bangkit dan mengangkat bayi itu. Ia menatapku dengan matanya yang jernih dan polos. Di matanya, aku tidak melihat jawaban. Hanya pertanyaan tak terucap yang mungkin akan menghantuinya seumur hidup.

Aku memeluknya erat, mencium puncak kepalanya yang beraroma susu. Rumah ini sunyi. Bukan sunyi yang menenangkan seperti dulu. Melainkan sunyi yang berat, yang makin menekan. Sunyi yang terbuat dari semua kata yang tidak terucap, dari semua perasaan yang tidak tertimbang, dari semua cinta yang tidak pernah bisa dibagi utuh. Kami bertiga, dan sekarang berempat, tinggal di sini. Pura-pura tidak terjadi apa-apa.

Tapi aku tahu. Kami semua tahu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
SATU HATI DUA CINTA
IGN Indra
Novel
Gold
KKPK Tomboy Girl
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Segenggam Beras Terakhir
Kim Sabu
Novel
coz i want to be...
Andini Septiani
Novel
The Chain Of Youth
Haidee
Flash
Sekejap Saja
Najwa Aaliyah T.
Cerpen
Bronze
Di Depan Mata Sobatku Pergi
Maldalias
Novel
LAUT DAN UDARA
ajitio puspo utomo
Novel
Mochi Messages
Fairamadhana
Novel
Tangan Malaikat
Zenna ZA
Cerpen
Bronze
Hal yang Selalu Dipikirkan Siswa adalah Pulang
Ron Nee Soo
Novel
Under Sky
Skystar1120
Novel
Hasrat Abu
Tiara Khapsari Puspa Negara
Novel
Egois & Cinta
langit_senja
Flash
NINI!
Vica Lietha
Rekomendasi
Cerpen
SATU HATI DUA CINTA
IGN Indra
Flash
HUJAN DI BALKON SEBELAH
IGN Indra
Flash
MANGKAT
IGN Indra
Novel
LANGIT KEDUA
IGN Indra
Cerpen
WARISAN KETIGA
IGN Indra
Flash
PURA PURA WARAS
IGN Indra
Flash
REBUSAN KOSONG
IGN Indra
Cerpen
CINTA TAK PERNAH SAMPAI
IGN Indra
Cerpen
LEIL FATTAYA
IGN Indra
Flash
PAJANGAN LEMARI KACA
IGN Indra
Cerpen
SEPERTI SALJU BULAN APRIL
IGN Indra
Flash
Cinta Pergilah, Hari Sudah Malam
IGN Indra
Cerpen
MALAM ALUNA
IGN Indra
Flash
KURSI ROTAN & SEPOTONG INGATAN
IGN Indra
Cerpen
KAMAR 303
IGN Indra