Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari ini masih tahun 2025. Tapi kamu masih ingat, kan, lima belas tahun lalu?
Hari itu kaosmu penuh peluh karena sudah berkeliling pabrik mencari Manajer Produksi yang emang suka random keberadaannya di siang hari. Setelah kamu dapatkan tanda tangan itu, kamu pergi ke gudang untuk mengambil satu pak cassete drive. Sambil membeli beberapa camilan yang diam-diam dijual sama orang gudang.
Setelahnya kamu kembali ke ruangan ber-AC di lantai dua itu. Hawa dingin langsung menembakmu ketika pintu besi besar itu terbuka. Kamu membiarkan pintu itu ditarik oleh pegas yang dipasang di atasnya begitu saja sampai kembali tertutup.
Meja kerjamu masih berantakan. Seseorang telah meninggalkan map bertumpuk di meja. Kamu tahu apa artinya itu. Meski enggan, kamu tetap membuka salah satu buku besar di meja dan mencatat satu per satu identitas map itu. Tenggorokanmu haus jadi kamu minum seteguk dan kembali keluar ruangan besar itu.
Di luar, elevator barang sedang jalan. Seseorang tengah naik dengan selusin gulungan besi tipis yang berukir motif yang disusun berdiri. Kamu berteriak dan menumpang naik dengan elevator itu. “Capek nanjak,” katamu pada orang di elevator tanpa dinding pembatas itu.
Sesampainya di lantai tiga, kamu turun dan bergegas lari memutar menuju sebuah ruangan berpendingin udara di pojok kiri. Di sana hanya ada beberapa mesin engraving yang tengah bekerja pelan, mengukir motif per warna pada screen tabung berdiameter 20,4 cm dengan tinggi 150 cm. Kemudian ada seorang operator yang tidak asing lagi tengah melihat monitor layar cembung.
Kamu tersenyum sedetik, kemudian kamu letakkan map-map itu di samping operator. Setelah sedikit berbasa-basi, kamu pun pergi. Kali ini kamu menuruni anak tangga sebab elevator itu masih bergeming menunggu gulungan besi tipis yang disebut screen itu diangkut.
Layar monitor yang buram di meja menantimu. Juga cd-cd itu. Kamu meneguk air lagi dan mulai membuka program Nero 7. Satu-satunya program untuk menyimpan data dari penyimpanan komputer ke cd yang kamu tahu. Kamu mengambil satu cd dari tempatnya lalu memencet tombol kecil di CPU yang masih pentium 4. Cd itu kamu biarkan tertelan dalam satu pencetan berikutnya.
Kemudian tanganmu sibuk memencet dan menggerakkan tetikus. Satu-satunya device ter-update yang ada di mejamu. Matamu sibuk mencari-cari file mana yang akan dimasukkan ke dalam cd. Setelah semua siap, kamu memencet tombol burn.
Layar komputer akan menampilkan animasi kertas yang bergerak dari kiri ke kanan menuju gambar cd. Proses itu setidaknya berjalan 15 menit dan tidak boleh ada yang mengganggu komputermu atau prosesnya akan gagal.
Sementara itu, kamu biasa menulis laporan harian para designer yang menjemukan. Menjepret kopian desain mereka ke form perusahaan, mengisinya dengan tanggal, jenis motif, siapa desainernya serta output dan input yang biasanya hanya berisi satu kalimat monoton “Oke. Sesuai input.” Tidak lupa kamu memberi masing-masing desain itu sebuah identitas. Nomor seri dari perusahaan. Setelah itu, kamu bagikan semua itu pada para designer untuk ditandatangani.
Tapi ketika kamu kembali ke mejamu, Nero 7 itu mengatakan kalau proses burning gagal. Kamu memaki pelan dan sedikit frustrasi. File-file dengan total kurang lebih 100 GB itu harus didokumentasikan ke dalam cd keping demi keping. Sementara satu keping cd itu hanya mampu menyimpan file 700 MB. Itu pun tidak bisa penuh 700 karena akan eror. Harus ada ruang sekitar 50 MB jika kamu ingin berhasil tanpa kendala.
100 GB itu adalah hasil kerja para designer dan tracer yang tertunda hampir 3 tahun lamanya untuk di back up. Padahal kamu baru kerja enam bulan. Tentu saja kamu agak sebel sama warisan satu itu. Apalagi kalau kepala bagian mulai nanya, “Back up sudah sampai mana?”
Seiring dengan berjalannya waktu, kamu harus kejar-kejaran dengan produksi desain baru yang terus bermunculan. File-file itu bukannya berkurang malah semakin bertambah besar. Membuatmu tak tenang dan segera ingin menyelesaikannya. Tapi apa daya, kadang kendala teknis dan kesibukan lain membuatmu harus memprioritaskan proses pemindahan data itu di paling akhir to do list.
Akhirnya dengan jengkel kamu buang cd yang gagal itu ke tong sampah. Kamu berniat untuk mengulangi langkah tadi tetapi sialnya komputer pentium 4 itu nge-hang. Kamu geser-geser tetikusnya sampai bayangan pointer berbentuk panah klasik ala Windows XP itu memenuhi layar. Habis sudah. Tidak ada cara lain yang dapat kamu lakukan selain diam-diam memencet tombol restart di CPU.
Namun, komputer itu enggan mati. Gambar panah bertumpuk di layar bergeming. Bola matamu berputar. Kamu pergi mengambil kopi saset dan cangkir kemudian mengabaikan komputer mogok itu ke depan untuk menyeduh kopi.
Ketika kamu kembali, keadaan monitor gak berubah. Teman di sampingmu mulai cengar-cengir mengerti. Membuatmu senyum kecut. Kamu menghirup aroma kopi instan yang kaya akan gula. Merasakan betapa terlalu manis minuman itu.
Kemudian monitor mati. Kawanmu sudah berdiri di samping kirimu, memencet tombol power CPU. Sepertinya dia tidak tahan dengan kelemotan komputer itu. Tapi kamu yang sudah biasa cuma tertawa pahit.
Cangkirmu sudah kosong. Kamu masih memandangi wallpaper monitor yang sudah kamu hidupkan lagi. Di sana ada lima orang bertato dengan wajah ganteng. Berjejer sedemikian rupa hingga tercetus kata keren dari otakmu dan juga orang-orang.
Suara ketukan terdengar. Kamu berbalik dan mendapati seorang wanita muda yang mengetuk kaca nako. Kamu mendekat, melangkah menuju sambungan antar kaca yang perekatnya telah dilubangi sehingga kertas-kertas bisa disusupkan tanpa harus keluar ruangan dan mengelilingi setengah lebar pabrik untuk bisa memberikannya secara langsung.
Wanita itu menyusupkan beberapa lembar kertas yang langsung kamu tarik begitu ujungnya telah berada di ruangan ini. Kemudian wanita itu menunjuk layar komputermu. “Pacar gue itu, Mba,” ucapnya sambil menempelkan wajah ke kaca.
Kamu tertawa kecil. Pacar M. Shadow jelas bernama Valerie dan seluruh dunia tahu itu. Tapi kamu tahu benar kalau itu cuma candaan. Dan kamu masih sebal dengan komputermu itu, juga dengan monitornya yang sangat gelap sampai warna biru tua terlihat menjadi hitam, juga dengan software bajakannya, juga dengan prosesor jadulnya, juga dengan tugasnya yang harus mem-back-up data.
Akhirnya kamu cuma berkeliling mengobrol dengan beberapa orang satu ruangan yang isinya kaum adam semua itu. Ketika kamu kembali duduk, lima belas menit lagi jam kerja berakhir. Kamu membuka beberapa dokumen hingga layar penuh. Kemudian kamu buka gim minesweeper yang kamu selipkan di pojok bawah dan mulai main dengan mode hard. Setiap ranjau yang terbuka seolah perasaan tidak senangmu yang terlepas. Kamu pakai earphone-mu agar ranjau itu meledak sempurna memenuhi telinga.
Ketika jarum pendek jam dinding menunjuk tepat angka lima, kamu menutup semua jendela di layar dan beranjak pergi meninggalkan semua beban kerja di meja kayu beralaskan kaca tebal itu. Kamu mematikan AC, kemudian berlari keluar segera dari pabrik yang pengap itu.
Hari ini masih 2025 tapi kamu masih mengingat peristiwa itu dengan jelas. Kamu tidak berharap kembali ke sana. Tetapi kamu bersyukur pernah ada di sana. Kamu benci hari-hari itu tapi kamu tahu benar tanpa hari itu kamu tidak akan pernah jadi kamu yang sekarang.