Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tahun 2020
Perkenalkan namanya Sarma. Orang paling disiplin di fakultasnya. Dia anak yang pintar, rajin, dan tekun. Para dosen yang masuk ke kelasnya pasti mengenalnya
Sejak kelas sepuluh SMA dia sudah menjadi ketua kelas, sampai lulus kuliah pun dia tetap memegang jabatan sebagai ketua kelas.
Sarma memiliki julukan yang dia dapat dari anak-anak di fakultasnya. Si obsesi jenius adalah julukannya. Sarma sendiri tidak tahu mengapa dia mendapat julukan tersebut. Julukan itu semakin sering digunakan setelah teman-temannya tahu bahwa dia cumlaude.
"Kenapa, sih? Kayaknya pengen banget cepet lulus. Santai saja. Jalanin aja sambil sesekali beristirahat." Alisyha sampai pusing sendiri melihat meja teman se-kost nya itu penuh dengan buku-buku perpustakaan.
"Aku nggak bisa santai. Aku harus udah wisuda tahun ini." Sarma menatap wajah Alisyha sebentar, lalu berbalik menatap buku-buku tebalnya.
Alisyha menghela napas panjang. Dia duduk diatas ranjang sambil menatap punggung tegap milik Sarma. Terkadang dia ingin menjadi seperti Sarma, tetapi terkadang tidak. Sarma itu kalau sudah memiliki keinginan, pasti akan dikejar. Sampai mati akan dia dapatkan.
"Emang kenapa nggak bisa santai, sih?" Alisyha bertanya dengan alis yang mengerut.
"Abangku di kampung banting tulang untuk ngirim biaya bulanan kepadaku. Aku tahu, dia pasti pontang-panting kerja. Dari subuh sampai malam. Walaupun katanya dia baik-baik aja, dia nggak baik-baik aja." Sarma menjelaskan alasannya tanpa menatap lawan bicaranya. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Dia selalu saja menangis jika menyangkut soal abangnya—Ardi.
"Sebenarnya, untuk mencicipi bangku kuliah ini, aku sudah sangat berterima kasih. Setiap hari aku selalu kepikiran kondisi abang dan adikku. Apakah mereka makan teratur atau tidak. Aku merasa bersalah karena harus membuat abang dan adikku mengirit biaya makan mereka hanya demi mengirimiku uang."
Alisyha terdiam. Suasana dalam kamar kost itu langsung hening dan canggung.
"HAH!" Alisyha berteriak untuk mencairkan suasana.
"Agar kau semangat ngerjain semua tetek bengek skripsi, aku beli makanan dulu untukmu." Alisyha pamit lalu berjalan keluar.
Beberapa bulan kemudian, Sarma akhirnya wisuda. Dia cumlaude. Tidak banyak orang yang dia kenal menghadiri acara bersejarah ini.
Hanya ada Alisyha yang datang. Itu pun karena Sarma sudah meminta dengan sangat. Sarma sudah mengundang abangnya, tetapi abangnya tidak bisa hadir karena abangnya sedang bekerja. Katanya hari ini adalah hari terakhir pekerjaan tersebut. Ardi pun sedang tidak ada di kampung. Dia di luar kota ikut jadi kuli yang mengambil suatu proyek.
Lalu Lina? Adik bungsunya itu bersama paman di kampung. Setiap akhir pekan, Ardi pasti akan pulang untuk melihat keadaan adik bungsunya itu.
Acara wisuda berlangsung dengan lancar. Sarma bahkan sampai menangis karena dibelakang namanya sudah bertambah satu gelar.
"Bang, aku sarjana sekarang!" Sorak Sarma dalam hatinya.
Sampai kegembiraan itu semua lenyap ketika pamannya menelpon dirinya yang baru sampai di kamar kost bersama Alisyha.
"Abangmu kecelakaan saat bekerja. Dia tertimpa tembok. Katanya dia ada di ruang ICU. Sekarang paman mau menjenguknya bersama Lina. Kau pulanglah segera."
Kabar itu sontak membuat jantung Sarma mencelos. Lututnya sampai lemas dan tak kuat menopang badannya. Dia jatuh bersimpuh di kamar kostnya.
"Eh? Kenapa?" Alisyha berteriak heboh.
"Abangku koma, Syha!" Pandangan Sarma langsung kosong. Dugaan-dugaan buruk mengenai abangnya langsung muncul di kepalanya.
"Aku harus balik ke kampung sekarang." Sarma kebingungan setengah mampus. Dia ingin balik ke kampung tetapi uang pun tidak punya untuk membayar ongkos pesawat.
"Sekarang?" Alisyha tampak terkejut. Ini sudah tengah malam. Sarma mengangguk yakin.
Sarma mengangguk.
"Aku boleh pinjam uang, mu?" Kebetulan, teman se-kost Sarma ini berasal dari latar belakang keluarga yang cukup terpandang.
"Aku ada sih sekarang. Boleh kamu pinjam kok." Alisyha mengangguk sambil tersenyum. Dia tidak khawatir soal uangnya kembali atau tidak. Selama dia tinggal dengan Sarma, Sarma yang dia kenal adalah orang yang bertanggung jawab
"Masalahnya memangnya ada jadwal penerbangan sekarang?" Alisyha mencoba menjernihkan pikiran Sarma.
"Abangku, Syha. Aku takut dia kenapa-napa." Sarma menatap wajah Alisyha. Dia tidak menjawab pertanyaan Alisyha karena bingung juga.
Alisyha sampai bingung harus berbuat apa. Selama satu tahun mereka tinggal sekamar, baru kali ini Alisyha melihat raut wajah Sarma yang seperti ini.
"Dengar, kita berdoa saja sekarang. Kita lihat jadwal penerbangan yang ada. Kalau memang ada, kau berangkat sekarang." Alisyha mengelus punggung Sarma.
Pada akhirnya, Sarma terlambat datang untuk menjenguk abangnya. Dia bahkan belum mendapat ucapan selamat dari abangnya. Abangnya mungkin sudah lelah berjuang selama ini, jadilah dia pergi duluan tanpa pamit kepada adik-adik perempuannya.
"BANG!"
"SARMA BARU LULUS KULIAH, BANG! KOK ABANG UDAH PERGI AJA!" Sarma menangis dengan keras sambil sujud di depan jenazah abangnya. Dia tidak bisa menahan tangisannya.
"Bang! Sarma belum balas budi kepada abang. Kenapa udah pergi aja?" Sarma menangis tersedu-sedu.
Sarma adalah anak yatim-piatu. Ayah dan ibunya meninggal karena sakit. Mereka terlalu miskin untuk membeli obat.
Ardi adalah sosok kakak laki-laki yang menggantikan peran ayah dan ibunya. Dia merelakan semua mimpinya, termasuk berkuliah untuk membesarkan kedua adik perempuannya.
"Sudah, Sarma. Kasihan abangmu kalau ditangisi seperti itu." Tetangga Sarma menenangkan dirinya.
Sarma akhirnya berusaha menutup mulutnya. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Dia bahkan sudah tidak bisa melihat jenazah abangnya karena sudah hancur tertimpa reruntuhan.
"Makasih, bang."
"Makasih sudah berkorban."
"Yang tenang di sana, bang. Soal Lina, biar aku yang mengurusnya. Maaf kalau aku membuatmu merelakan mimpimu, bang." Sarma sujud menangis.
"Selamat jalan, bang. Tinggalkan semua urusan duniawimu. Aku akan terus berdoa agar surga menerimamu, bang. Kau terlalu berharga untuk dimiliki bumi yang penuh kekejaman ini." Sarma kembali menangis. Dipeluknya adik perempuannya yang berusia 9 tahun.
Kasihan sekali abangnya harus meninggal dengan cara seperti itu, padahal sudah berkorban banyak. Kasihan sekali dirinya karena tidak bisa berbuat apa-apa. Kasihan sekali Lina yang tidak tahu bahwa ayah, ibu, dan abangnya sudah tiada. Kasihan sekali mereka harus menerima takdir yang sudah digariskan oleh yang maha kuasa.
●●●●
Tahun 2017
Kicauan burung terdengar bersahutan. Seolah alarm pagi yang membangunkan orang yang terlelap dalam tidur. Hari mulai terang, penerangan berbasis listrik dipadamkan. Para ibu rumah tangga mulai menyalakan kompor mereka. Para bapak-bapak berkumpul sambil menyeruput segelas kopi panas dengan balutan selimut yang menghangatkan tubuh mereka. Tidak ketinggalan, para anak sekolahan mulai berkeluaran dari rumah dibekali doa dan harapan dari orangtua mereka. Mereka berjalan dengan beramai-ramai menuju sekolah negri yang hanya ada tiga di kecamatan kecil tersebut—SDN, SMPN, dan SMAN.
"Sarma! Kita nggak ada tugas kan?" Ani berlari menuju Sarma yang berjalan paling depan diantara rombongan.
"Nggak, nanti juga kemungkinan tidak belajar karena Pak Tono masih sakit." Sahut Sarma yang merupakan ketua kelasnya.
Ani hanya mengangguk paham. Tidak ada percakapan lanjutan sampai mereka tiba di sekolah. Ani menatap wajah Sarma yang kelihatan tegas. Matanya menatap tajam ke depan seolah akan melahap tantangan apapun yang akan menghalanginya.
Sarma adalah orang terdisiplin di kecamatan mereka. Tidak akan dibiarkannya satu detik dalam waktunya terbuang secara percuma. Dia anak yang rajin, tekun, dan agak kaku. Banyak orang yang mengatakan Sarma sombong ketika pertama kali bertemu karena Sarma tidak mau berbicara.
Sarma seorang yatim. Ibunya sakit-sakitan. Dia memiliki seorang kakak laki-laki namanya Ardi. Umur mereka terpaut 3 tahun. Ardi baru saja lulus SMA dan tidak melanjut kuliah karena tidak memiliki uang. Jadilah dia bekerja serabutan. Sarma juga memiliki seorang adik perempuan yang umurnya baru 6 tahun.
Sarma memiliki cita-cita untuk menjadi orang kaya. Tidak peduli pekerjaan apa yang dia lakukan. Selagi terhormat dan tidak melanggar norma, Sarma terima-terima saja. Yang penting menghasilkan banyak uang. Sarma sangat dendam dengan yang namanya kemiskinan. Setiap malam dia merenungi nasibnya hidup sebagai orang miskin.
Ayahnya meninggal karena tidak bisa operasi, alasan tidak bisa operasi adalah karena tidak punya uang. Ibunya tidak bisa berobat karena tidak punya uang. Abangnya tidak bisa lanjut berkuliah karena tidak punya uang. Dia tidak bisa mengikuti berbagai lomba karena tidak punya uang. Adiknya tidak masuk TK karena tidak punya uang. Semua karena tidak punya uang.
"Sarma!" Panggilan dari Ani menginterupsi dirinya.
"Apa?" Sarma menyahut
"Dipanggil guru piket." sahut Ani.
Sarma mengangguk paham mendengar perkataan Ani. Dia segera keluar dari kelas menuju piket. Palingan panggilan biasa untuk memberi mereka tugas berhubung Pak Tono sakit. Itu pikir Sarma pada awalnya.
Sesampainya di piket, pikiran Sarma berubah ketika melihat kakak laki-lakinya duduk bersama guru yang sedang piket. Keningnya lantas mengerut. Dalam rangka apa kakak laki-lakinya datang?
"Bang Ardi? Ngapain?" Kerutan pada kening Sarma belum hilang. Sarma menjaga ekspresi kebingungannya.
"Pulang, yuk?" Bang Ardi tersenyum dengan mata sembabnya.
Tingkah Bang Ardi semakin menambah kebingungan Sarma. Dia lantas melihat ke arah guru piket. Guru tersebut pun tersenyum.
"Ngapain?" Sarma bertanya.
"Udah, jangan banyak tanya. Ambil tasmu, kita pulang sekarang. Ayo. Lina sendirian di rumah sekarang." Mata bang Ardi berkaca-kaca.
Tidak ingin memperlama keheranan ini, Sarma lantas berlari ke kelas. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Raut wajah Bang Ardi membuat Sarma tidak bisa berkata apa-apa. Sarma juga cemas. Mengapa bang Ardi yang selalu menampilkan aura positif, mendadak suram begitu?
Setelah membereskan buku-bukunya, dia pamit kepada teman sekelasnya lalu kembali berlari menjumpai Bang Ardi.
"Emang mama ke mana, bang? Kok Lina sendirian?" Tanya Sarma ketika sudah duduk diboncengan sepeda ontel tua.
Bang Ardi tidak menjawab pertanyaan Sarma. Ia hanya mengayuh sepeda ontel itu. Lelaki itu kemudian menyapa guru piket lalu memacu sepeda mereka dengan cepat.
"Bang?" Sarma masih bertanya.
"Di rumah kok, dek." Suara bang Ardi bergetar mengatakan hal tersebut. Dia tak kuasa menahan air matanya. Tanpa sepengetahuan adik perempuannya, air matanya mengalir turun.
Sarma akhirnya memilih diam saja. Sejak di sekolah, pertanyaannya selalu mendapatkan jawaban yang aneh. Biarlah sampai di rumah dulu sekarang.
Sekitar 10 menit lamanya mengayuh sepeda, akhirnya mereka sampai di halaman rumah. Tampak para tetangga mereka berkumpul di rumah kecil mereka.
"Bang? Ngapain rame-rame?" Suara Sarma mulai bergetar. Perkataan Bang Ardi di sekolah dan di perjalanan tadi seolah berputar di kepalanya.
"Dek, jangan nangis. Nanti Lina nangis." Bang Ardi memeluk adik perempuannya sadar bahwa ibu mereka sudah tiada.
"Bang!" Sarma menangis dipelukan abangnya di depan para tetangganya. Dia meronta-ronta dari pelukan abangnya. Dia ingin melihat sang ibu.
"Minggir dulu bang, aku mau lihat mama." Sarma menangis dipelukan abangnya.
"Janji dulu sama abang, jangan menangis." Kaos lusuh Bang Ardi tampak mengetat karena Sarma meremas kaosnya dengan sekuat tenaga untuk meredam suara tangisannya.
"I-iya, bang." Sarma menarik napasnya dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan.
Ardi melepaskan pelukannya secara perlahan. Sarma langsung berlari menuju rumah. Telihat oleh matanya, sang ibu sudah berbaring kaku di atas lantai beralaskan karpet dan ditutupi oleh kain gendongan motif batik berwarna coklat.
"Mama!" Sarma berteriak histeris. Janji yang dia buat barusan bersama kakak laki-lakinya langsung dia langgar. Sarma tak kuasa menahan air matanya. Dia duduk bersimpuh disamping ibunya.
"Mama! Mama bilang mama akan bertahan sampe Sarma sarjana! Belum tamat SMA aja mama udah pergi. Kami gimana, ma? Bapak udah pergi. Yang rindunya mama sama bapak itu?" Sarma menangis tersedu-sedu.
Mendengar perkataan dan tangis pilu Sarma, para tetangganya menangis. Para bapak-bapak berjalan keluar karena tidak sanggup mendengar perkataan Sarma.
"Udah dek, udah." Ardi mengelus pundak adiknya.
"Bang!"
"Kok gini kali nasib kita, bang. Yang sayang sekalinya mama sama bapak?" Sarma menangis sambil menjatuhkan kepalanya di atas paha abangnya yang duduk bersimpuh.
Ardi hanya bisa meneteskan air matanya sambil mengelus kepala sang adik. Tas sekolah Sarma bahkan belum dilepaskannya.
Pagi hari tadi, saat Sarma sudah pergi sekolah tadi, Ardi hendak membangukan ibunya untuk menjaga Lina agar dia bisa pergi ke sawah. Tetapi saat dibangun-bangunkan, sang ibu tidak kunjung bangun. Dia berlari keluar rumah memanggil tetangga dan bidan desa. Sang ibu akhirnya dinyatakan meninggal oleh bidan tersebut.
"Kita harus gimana, bang?" Sarma mengeluh kepada abangnya.
Ardi memaksakan senyumnya. Kedua tangannya bergerak menghapus air mata Sarma. "Jangan khawatir, dek. Abang pasti akan kuliahkan kau sampai kau sarjana. Sampai kau menggapai cita-citamu. Itu janji abang," kata Ardi.
Mendengar kata-kata abangnya, tangisan Sarma semakin kencang. Kasihan sekali abangnya. Harus merelakan mimpinya, harus merelakan cita-citanya demi dirinya.
"Terus abang gimana? Bukannya mau nyoba kuliah tahun ini?" Sarma tak bisa menahan air matanya. Rasanya sesak melihat abangnya harus merelakan semua mimpinya demi keberlangsungan hidupnya.
"Nggak apa-apa, dek. Yang penting kau kuliah." Ardi lagi-lagi hanya bisa tersenyum.
Senyuman abangnya lah yang membuatnya menangis. Bisa-bisanya abangnya tersenyum padahal barusan dia sudah menyatakan akan merelakan semua mimpinya.
"Sarma akan balas semua perbuatan abang. Sarma janji." Sarma menangis lagi.
Ardi terkekeh. Dia mengangguk setuju.
"Iya, dek."
Lalu dia menatap sang ibu. Hatinya berdenyut nyeri. Detik itu juga, Ardi harus merelakan mimpinya berkuliah. Tujuan hidupnya harus berubah. Dia harus menyekolahkan adik-adiknya.
●●●●
Tahun 2020
Pada akhirnya, Sarma tidak bisa berbuat apa-apa. Janji yang dibuat bersama ayah, ibu, dan abangnya tidak ada yang terpenuhi. Janji bahwa dia akan balas budi, tidak kesampaian karena mereka terlalu disayang oleh Yang Maha Kuasa.
Sarma termenung di teras rumah setelah selesai acara pemakaman abangnya. Dia duduk di kursi plastik ditemani oleh air mata langit yang perlahan menetes.
Saat ibunya pergi, ada abangnya yang memimpin keluarga mereka. Saat abangnya pergi, bisakah dia memimpin dirinya dan adik perempuannya? Entahlah, Sarma sedang bersedih ditemani oleh tetesan air mata langit.
••••
Spin off
Tragedi kematian Ardi.
Dua hari lagi adalah hari wisuda adiknya. Betapa senang dan bangganya dirinya bisa membuat sang adik sarjana.
Lelaki itu memasukkan ponselnya ke dalam sakunya. Dia hendak menuju ruangan mandor. Dia ingin meminta izin pulang lebih awal untuk pergi melihat acara wisuda sang adik, bersama adik bungsunya tentunya.
"Mau kemana, Di?" Salah satu temannya menegur dirinya.
"Mau jumpai, pak mandor." Jawab Ardi dengan ramah.
Sifat Ardi dan Sarma itu bertolak belakang. Sarma orangnya kaku, sedangkan Ardi sangat ramah kepada orang di sekitarnya. Jika Sarma orangnya ambisius, Ardi tidak. Ardi memiliki pemikiran yang dewasa. Dia mau mengalah kepada adiknya. Buktinya dia rela tidak kuliah agar Sarma bisa kuliah. Dia juga sadar, otaknya tidak sepintar Sarma. Itu juga salah satu alasan Ardi mengalah kepada Sarma.
"Mau izin?" Temannya itu bertanya.
"Iya." Ardi menjawab sambil mengangguk.
"Udah, nggak perlu ke sana. Nggak bakal dibolehi."
Kening Ardi lantas mengerut mendengar perkataan temannya itu. Ada apa ini? Mengapa tiba-tiba mengatakan tidak akan diberi izin?
"Pak mandor ternyata korupsi. Jumlah pekerja yang seharusnya dipekerjakannya kurang. Sekarang dia lagi marah-marah di ruangannya karena yang ngasih proyek ini mau datang seminggu lagi untuk mengecek. Dia panik." Temannya itu langsung menjelaskan alasannya ketika dia melihat kening Ardi mengerut.
Ardi menghela napasnya. Dia kembali memaksakan senyumnya.
"Ok. Makasih info nya."
"Sama-sama. Duluan, ya!"
"Iya."
Walau tahu tidak akan diberi izin, Ardi tetap ingin mendapatkan izin juga. Peristiwa bersejarah adiknya, tidak mungkin tidak diikutinya. Jadilah dia berada di ruang mandor sekarang.
"APA LAGI! MAU MINTA IZIN! SEKALIAN SAJA KALIAN PERGI SEMUA! KALIAN MAU BUAT SAYA MATI KARENA STRESS, HAH!"
Ardi langsung mendapat semprotan ketika dia mengatakan ingin izin.
"Tapi adik saya mau wisuda, pak. Ibu dan ayah kami sudah tiada. Tidak ada nanti yang menghadiri acaranya." Ardi masih tetap ingin mendapatkan izin.
"SI RAHUL AJA ISTRINYA MAU MELAHIRKAN BESOK, TIDAK SAYA KASIH IZIN. INI HANYA KARENA WISUDA. KAMU PIKIR WISUDA ADIKMU LEBIH BERARTI DARIPADA SELESAINYA PROYEK INI?!"
"Iya, pak." Sahut Ardi dalam hati. Bisa mampus dia jika dia mengatakannya langsung di depan pria buncit yang sedang naik darah itu.
"Pak? Saya mohon, pak." Ardi memasang wajah memelasnya.
"Tidak, saya bilang TIDAK. Kalau mau pergi, pergi saja. Jangan balik lagi kau!"
"SANA! KELUAR DARI SINI!"
Ardi menundukkan kepalanya. Dia berjalan mundur perlahan lalu keluar dari ruangan tersebut. Dia menghela napasnya. Dia takut sekali membuat adiknya sedih karena tidak bisa hadir di acara wisudanya.
Ardi berjalan menjauhi ruangan terkutuk itu. Dia berjalan sambil mengambil ponselnya dari sakunya. Mencari nomor telpon Sarma, lalu memencet panggilan.
Tak sampai 10 detik, panggilannya dijawab.
"Halo, bang?"
Ardi tersenyum sebentar mendengar suara adiknya.
"Halo, dek?"
"Iya? Ada apa, bang?"
Hening sesaat. Ardi tidak tahu harus mengatakan apa.
"Bang?" Suara Sarma menginterupsi Ardi.
"Abang tidak bisa hadir di acara wisudamu, dek."
Hening lagi. Kini giliran Sarma yang tidak tahu harus mengatakan apa.
"Dek?"
"Abang minta maaf."
"Kerjaan abang belum selesai. Tanggung juga kalau ditinggalin."
"Emang betul nggak bisa, bang?"
"Tidak bisa, dek. Maafin abang, ya?
"Iya, bang. Nggak apa-apa. Nggak perlu dipaksa juga."
Mendengar perkataan adiknya, hati Ardi langsung terasa nyeri. Dia sedih mendengar ketidakberdayaan adiknya.
"Sekali lagi, maafin abang, ya dek?"
"Iya, bang. Nggak apa-apa."
Setelah menyelesaikan panggilan dari adiknya, Ardi menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam sakunya. Dia berlari menuju teman-temannya yang sedang bekerja menyelesaikan proyek.
Semua berjalan lancar hingga dua hari kemudian, tepat saat hari adiknya wisuda, Ardi harus banting tulang mengaduk semen. Mereka semua kompak bekerja keras agar bisa segera pulang untuk melihat keluarga masing-masing.
Awalnya semua berjalan lancar sampai pada sore hari, saat semua orang hendak menyelesaikan pekerjaannya.
Ponsel Ardi tiba-tiba bergetar tanda notifikasi muncul. Dia segera membukanya dan melihat siapa yang mengirimi pesan kepada dirinya.
Ternyata dari sang adik yang mengirimkan foto-foto dirinya yang mengenakan toga. Lelaki itu kembali tersenyum. Lelahnya hari ini terbayar puas dengan melihat senyuman adiknya menggunakan toga.
"ARDI, AWAS!" Tersengar suara teriakan dari teman kerjanya. Ardi lalu menatap ke sekitar dan melihat teman-temannya melotot sambil melihat ke arah atas.
Matanya membulat ketika melihat reruntuhan tembok yang mulai berjatuhan.
Segera dia mengambil ancang-ancang untuk berlari. Tetapi sayang, semuanya terlambat. Dia sudah tertimpa reruntuhan tembok. Semua teman-temannya panik lalu berlari membantunya. Sebagian memanggil warga, sebagian memanggil mandor.
Ardi dilarikan ke rumah sakit dengan kondisi mengenaskan.
"Apa? Mau bilang apa?" Salah satu temannya mendekatkan telinganya ke mulut Ardi. Dia tidak ragu mendekatkannya walaupun kondisi tubuh Ardi sudah sangat mengerikan.
"A-adikku."
"Iya, tenang saja. Adikmu baik-baik saja." Temannya menyahut.
Lalu secara perlahan kesadaran Ardi lenyap. Dia langsung dilarikan ke rumah sakit, lalu menjalani operasi besar, sampai akhirnya dinyatakan tewas.
Belakangan ini diketahui bahwa penyebab dari runtuhnya tembok tersebut adalah karena penggunaan bahan baku yang tidak sesuai dengan standar. Semuanya dilakukan agar mengirit biaya.
Hal mengenaskannya adalah semua pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian Ardi tidak mendapatkan hukuman apapun, walau semua para pekerja sudah melakukan demo menuntut kebenaran.
Begitulah akhir dari cerita ini. Akhir yang begitu tragis. Semuanya berujung dengan orang miskin akan selalu terbawah. Tidak perlu munafik untuk menggembar-gemborkan keadilan, selama masih terlihat jelas garis perbedaan sikaya dan simiskin.
Sikaya pasti akan di atas. Simiskin pasti akan di bawah. Di negri ini pun begitu. Tidak perlu jauh-jauh ke ranah hukum. Baik di puskesmas sekalipun, orang kaya akan tetap didahulukan meski sudah melihat simiskin yang sudah sekarat. Tidak semua memang begitu, tetapi yang begitu sangat banyak.
Kisah di atas adalah hal yang membuat Sarma sangat benci sekali dengan yang namanya kemiskinan. Ayah, ibu, dan adiknya meninggal karena mereka miskin. Andai dulu mereka punya uang. Ayahnya pasti bisa dioperasi. Ibunya masih bisa berboat, dan terlebih adalah abangnya pasti sudah sarjana.
Dan kisah tentang orang miskin yang berusahan menaikkan status sosialnya bukan hanya Sarma. Kisah tentang orang-orang miskin yang ingin sarjana bukan hanya Sarma. Kisah pilu tentang kehidupan orang miskin bukan hanya Sarma. Kisah tentang abang yang memperjuangkan adiknya bukan hanya Ardi. Masih banyak jutaan orang miskin di dunia ini yang mempunyai kisah mirip seperti Sarma dan Ardi.