Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Jika bagian terindah dari tidur adalah mimpi maka bagian terindah dari hidup adalah mati.”
Layaknya matahari yang tak pernah lelah menyinari bumi, semula Parmin begitu meyakini quote yang pernah dirangkainya sendiri itu. Tak bisa dipungkiri, meski bukan berasal dari ajaran bijak sebuah kitab suci, tapi Parmin mendapatkan rangkaian kata-kata sarat makna itu dari serangkaian perjalanan panjangnya selama di muka bumi. Sosok Parmin tak ubahnya sebutir debu. Rela diterbangkan embusan angin ke mana saja tanpa pernah mengeluh kepada Sang Pencipta.
Parmin bukanlah sosok manusia yang taat beragama. Baginya nama Tuhan hanya pantas disebut ketika ia dirundung duka nestapa. Ia beranggapan bahwa agama hanyalah sekadar rem untuk membatasi ruang gerak manusia. Nabi dan kitab suci hanyalah hasil pemikiran manusia yang menginginkan hadirnya sosok panutan yang disegani. Sedang Parmin ingin menjadi pribadi yang bebas. Lepas tanpa penghambat.
Pagi ini, sebelum embun minggat lantaran terusir matahari yang gemar menjilat, Parmin terpaksa harus mengakui bahwa rangkaian quote yang pernah ia ciptakan itu sedikit pun tak menjamah nilai kebenaran. Ia lupa kalau realita hidup tak selalu sesuai dengan keinginan. Tuhan tak memberikan apa yang ia inginkan meski sebenarnya Tuhan memberikan apa yang ia butuhkan. Hanya saja otak bebal Parmin yang dangkal seperti dasar sungai-sungai di ibukota yang kian tertimbun sampah akibat jumlah penghuninya yang terus meledak, tak mampu menterjemahkan kode kasih sayang dari Pencipta Alam.
Betapa tidak!
Saat Parmin berdiri tepekur di samping sesosok jasad kaku yang menggeletak di atas meja di balik selembar kain jarit usang yang menutupinya dari ujung rambut hingga ujung kaki, barulah ia merasa bahwa hidupnya sudah tak berarti lagi. Tiada seorang pun yang menganggap kehadirannya di tempat itu. Bahkan anggota keluarganya yang sedang menyanyikan lagu duka tentang kehilangan yang maha berat, tak seorang pun yang menggubrisnya. Begitu pula para tetangga yang datang melayat, semua tak ada yang menegur sapanya. Bahkan sebagian orang sempat pula menabraknya. Namun, semua tetap bungkam seakan ia bukanlah apa-apa. Ia dianggap ruang hampa yang telah hadir pada waktu dan tempat yang tak seharusnya.
Oh! Parmin tercekat. Malang benar nasib mayat yang terbaring di hadapannya ini. Barangkali semasa hidup, orang ini terlalu banyak bergumul dengan salah dan dosa, sehingga tak ada saudara, kerabat, atau tetangga yang sudi menjamah jasadnya. Jika lazimnya jenasah itu dimandikan, dikafani, dan disholatkan, tapi mayat yang satu ini sedari tadi tetap dibiarkan di atas meja. Hanya sebatang lilin yang nyalanya bergoyang-goyang akibat ditiup angin, yang setia menemani mayat di sisi bagian kepalanya yang ada di utara.
Dada Parmi bergemuruh hebat. Melihat mayat yang tersia-sia itu, serasa harkat kemanusiaannya dilempar ke dalam jurang terdalam yang berisi air comberan.
“Hai Bapak, Mbok, Adik, di mana kalian buang rasa kemanusiaanmu hingga kalian tega perlakukan orang mati seperti sampah di pinggir kali!” teriak Parmin geram.
Tapi … oh, tidak! Mereka yang ia teriaki itu tak ada yang memedulikannya. Jangankan menyahut, menoleh pada Parmin saja, enggak. Begitupun para pelayat yang sedang duduk bersila dengan jarak 3 meter dari jenazah. Semua bungkam. Diam seribu bahasa. Seolah mereka menjadi tuli mendadak dan tak mendengar Parmin berteriak.
Parmin tercekat. Ia jadi membayangkan betapa menyedihkan andai dirinya yang mati dan mendapatkan perlakuan yang tak manusiawi begini. Tantu kematian bukan lagi menjadi hal terindah dari hidup. Namun, sebaliknya jadi jalan paling gelap. Padahal di akhir hidupnya kelak Parmin ingin mendapatkan kematian yang paling bermartabat. Disesali oleh banyak orang dan ditangisi oleh kedua orang tua serta saudaranya. Sebaik-baik martabat kematian adalah orang mati yang mendapatkan penghormatan terakhir sesuai adat kebiasaan yang bersemayam dalam masyarakat.
Akan tetapi siapa orang yang mau memperlakukan kematiannya secara bermartabat? Mengingat masa lalunya yang kelam, ia ragukan sendiri pengharapan yang diingini. Selama ini, khalayak hanya mengenalnya sebagai pemuda luntang-lantung yang berteman akrab dengan kemaksiatan. Menenggak minuman keras dan main perempuan adalah menu tetapnya saban hari. Belum lagi kebiasaannya nyolong ayam tetangga ketika ia tak punya lagi duit untuk membeli miras atau membayar pelacur kelas teri yang menjajakan tubuh di lorong-lorong stasiun yang sepi.
Bedebah! Parmin jadi benci dengan orang-orang di sekitarnya. Ia merasa diacuhkan. Tak dihargai. Nilai kemanusiaannya telah tercerabut dan tercampakkan. Menerima kenyataan getir ini, ia jadi semakin tak mempercayai kalau dzat yang disebut banyak orang sebagai Tuhan adalah Maha Pengampun. Ia memang pernah mendengar kisah tentang seekor anjing yang pada akhirnya bisa masuk surga. Semula, tepatnya sebelum hari ini, ia sempat meyakini adanya sedikit kebenaran dari kisah ini. Tapi tidak untuk sekarang. Sikap orang-orang yang tak menggubris keberadaannya di hari kematian seonggok mayat bernasib nelangsa ini, tamatlah sudah secuil keyakinan yang pernah coba ia percayai.
Meski dadanya terasa sesak, Parmin memaksakan diri turut melangkah di tengah pengantar jenazah menuju makam, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
****
“Kasihan Kang Bejo ya, punya anak laki-laki satu aja, mbelingnya gak ketulungan. Pantaslah kalau matinya dalam kondisi mengenaskan,” ujar seorng pelayat yang berdiri tepat di samping Parmin.
Mendengar nama bapaknya disebut, serta merta Parmin menoleh seraya melotot tajam pada dua orang yang telah menggunjing di tengah makam itu.
“Hai, mata kalian sudah buta, ya! Akulah anak lelaki satu-satunya dari Pak Bejo. Dan aku masih hidup, tahu?!” hardik Parmin tak dapat lagi menahan emosi.
Namun, lagi-lagi Parmin harus menelan pil pahit. Seakan tak sudi mendengar hardikan Parmin, kedua orang itu tetap saja menggunjing kehidupan Parmin yang miring.
"Yah ... begitulah anak kalau salah pergaulan. Hidup bukannya untuk berbuat hal-hal baik tapi malah selalu bikin keresahan. Mabok saban hari kalau kehabisan nyuri. Sungguh keterlaluan!" sumpah serapah seorang tetangga sambil memandang jijik pada si jenazah.
"Pasti bakal jadi kerak neraka dia!" Tetangga lain memberikan penekanan.
Parmin mengelus dada. Orang mati bukannya didoakan yang baik-baik, tapi malah disumpah serapah. Martabat kematian yang pernah diimpikannya, sirnalah sudah. Ia tak mau lagi berharap. Sambil menyimpan dongkol yang teramat sangat, ia kembali memusatkan pandangan ke arah mayat yang kini mulai dimasukkan ke liang lahat. Tak seperti biasanya, petugas pemakaman yang seharusnya mengenakan pakian keseharian, kali ini tampak berpenampilan aneh. Enam orang yang bertugas memasukkan jasad ke makam, masing-masing memakai pakaian berbahan plastik serta mengenakan masker lengkap dengan penutup kepala yang berwarna bening di bagian mata saja. Mereka juga bersepatu booth ala pegawai proyek dan bersarung tangan.
Perlahan Parmin menghampiri bapaknya yang berdiri paling depan.
“Pak, kenapa orang-orang sekarang berpakian aneh seperti itu? Apa sekarang mereka merasa sedang berada di bulan begitu?” lirih Parmin bertanya seraya mendekatkan bibir ke telinga kiri bapaknya.
Si bapak tak bereaksi. Tetap memandang lurus ke depan. Prosesi penimbunan jenasah lebih menarik perhatian lelaki 55 tahun itu.
Jelas saja Parmin kecewa. Lagi-lagi ia merasa diacuhkan. Atau lebih tepatnya telah dibuang dari kehidupan semua orang.
Sepanjang proses pemakaman itu Parmin agak menjauh dari orang-orang. Hatinya mashgul. Ia dongkol karena merasa sudah tidak dimanusiakan lagi. Nilai kemanusiaannya telah tercerabut gara-gara mayat yang dimakamkan itu.
Kini ia hanya bisa menatap sedih pada keluarganya yang berdiri di depan dengan wajah penuh duka. Mata mereka sembab. Terutama ibunya. Wanita tangguh yang biasanya selalu tegar menghadapi segala bentuk kesulitan hidup itu, sekarang seakan kehilangan daya.
Huh! Kali ini Parmin merasa tak peduli. Ia marah pada semua orang yang telah menganggapnya tidak ada. Semua kata-katanya tidak ada yang menanggapi. Seolah semua sengaja bersikap tuli. Bahkan semua orang yang berpapasan atau berdekatan dengannya tidak ada satu pun yang sudi melihat keberadaannya. Ia telah dianggap ruang kosong tanpa wujud nyata.
Parmin merasa diperlakukan tidak adil. Ia sadar, selama ini ia memang hanya dianggap sebagai sampah masyarakat. Tapi tidak seharusnya hukuman sosial seperti ini ia terima. Dengan menahan gemuruh kedongkolan yang memenuhi rongga dada, berulang kali Parmin menghentak-hentakkan kaki ke tanah walau kenyataannya tanah tak terpijak olehnya.
****
Area pemakaman telah sepi. Semua orang sudah melangkah pergi setelah mencuci tangan dan kaki di pancuran air yang tersedia di pintu masuk pekuburan. Parmin yang penasaran lantaran tadi sempat menyaksikan kedua orang tua dan adiknya sempat memanjatkan doa dengan menyebut namanya sebelum pulang, perlahan melangkah mendekati gundukan tanah yang masih memerah itu. Matanya segera saja terpusat pada batu nisan yang bertuliskan satu nama. Parmin bin Bejo. Wafat, 23 Maret 2021.
Astaga! Parmin terlonjak. Ini benar namanya. Di kampung Kletek ini lelaki bernama Parmin anak Pak Bejo hanyalah dirinya. Tapi benarkah kini ia telah mati? Tak percaya, Parmin merabai dirinya. Bahkan ia sampai nekat ingin mencabut batu nisan itu guna melemparnya jauh-jauh.
Namun, jangankan mencabut, untuk sekadar menyentuh batu nisan itu saja ia sudah tak mampu. Ia seperti meraih ruang hampa. Sepertinya ia masih belum percaya jika dirinya telah pergi meninggalkan dunia. Ia lupa pada sangkan paraning dumadi bahwa tanah merupakan terminal terakhir bagi setiap orang setelah menempuh perjalanan di dunia fana.
Kenikmatan dunia membuat Parmin terlalu asyik menikmati mada mudanya berteman botol-botol minuman keras. Ia lebih sering akrap dengan setan daripada sesama manusia. Hanya lonte-lonte langganannya saja yang kerap ia ajak bercanda dan tertawa.
Akh! Parmin melangkah beringas mengitari area pemakaman. Dengan amarah kakinya menendang-nendang setiap nisan yang ia lewati. Tapi tidak ada satu pun nisan yang terkena tendangannya. Ia hanya menandang angin. Kemarahan yang membludak membuatnya kehabisan tenaga.
Parmin terkulai lemah. Duduk di atas nisan sambil mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas dirinya belakangan ini.
****
Empat belas hari sebelumnya. Di saat semua warga pada berdiam diri di rumah dalam rangka melaksanakan anjuran pemerintah PPKM, Parmin yang malam itu mabok berat, melangkah gontai menuju sebuah tempat lokalisasi murahan. Tanpa mengabaikan ramainya berita perihal mewabahnya penyakit Corona akibat serangan virus Covid 19 yang mencuat dari wilayah Wuhan-Cina, Parmin menuntaskan hasrat birahinya hingga beberapa episode dalam semalam.
Semula sang Lonte sempat menolak karena merasa kurang enak badan. Beberapa hari ini perempuan lacur itu tubuhnya deman, batuk-batuk, dan sedikit sesak napas.
"Kau harus melayani hasratku malam ini. Nafsuku sudah naik sampai ke ubun-ubun," kata Parmin langsung mendekap Perempuan Malam yang sudah menjadi langganannya itu.
"Tapi Mas ... aku lagi gak enak badan." Wanita lacur itu menatap Parmin dengan pandangan menghiba.
"Jangan sok jual mahal!"
"Aku enggak sok jual mahal, Mas. Apalagi kepada seorang pelanggan sepertimu. Sekarang aku benar-benar sedang nggak enak bada. Jadi aku mohon Mas mau mengerti."
"Tapi butrunku enggak mau mengerti." Parmin menyeringai. Gelombang nafsu semakin bergelora di otaknya yang mesum.
"Mas kan bisa memakai wanita yang lain. Di tempat ini banyak pilihan, kan?"
"Tapi aku maunya hanya dengan kamu."
"Tapi tidak untuk malam ini, Mas."
"Apa penolakanmu ini karena aku kurang banyak membayarmu selama ini? Enggak kan? Aku selalu membayarmu sesuai dengan tarifmu. Bahkan selalu aku lebihkan sebagai tip."
Perempuan lacur itu mengangguk kelu.
"Lalu kenapa kau menolakku sekarang, heh? Apa kau kira malam ini aku enggak punya uang, begitu?"
Kali ini wanita lacur itu menggeleng.
"Nah, kalau begitu ayo cepat layani aku!" Parmin menatap beringas sembari mengelus kepala wanita berambut sebahu itu. Sementara ada kepala lain dalam tubuhnya yang sudah tegak berdiri dan mengharap elusan mesra.
"Tapi Kang, aku benar-benar lagi sa ...."
Belum sempat wanita lacur itu meneruskan kalimatnya, Parmin yang sudah tak mampu lagi menahan syahwar langsung memotong ucapan wanita yang didekapnya itu.
"Sudahlah untuk malam ini aku akan membayarmu lima kali lipat."
Parmin yang tak sudi mendapat penolakan di saat konak sudah mencapai ubun-ubun, langsung menawarkan imbalan lima kali lipat dari biasanya. Persetan itu uang hasil jualan seekor kambing yang ia curi dari kampung sebelah.
Sesaat wanita lacur itu mendongak. Ia seperti tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dibayar lima kali lipat tentu sebuah rejeki nomplok yang tidak mungkin terjadi dua kali sepanjang hidupnya. Apakah Tuhan sedang berbaik hati padanya? Akh, tidak! Tuhan tidak akan pernah menengok pada perempuan berlumur dosa seperti dirinya. Nama Tuhan sudah lama hilang dari hatinya. Setiap kali ia pasrahkan tubuh untuk dinikmati para tamu yang datang, bukan nama Tuhan yang ia ingat. Tapi semakin menunpuknya kebutuhan untuk kedua orang tuanya di kampung lain. Pada mereka ia titipkan anak tanpa hak ayah yang ia dapatkan dari lelaki yang mengaku dirinya kekasih, namun pergi setelah menanamkan benih.
"Benar, kau akan membayarku lima kali lipat, Mas?"
Parmin mengangguk sambil tersenyum.
"Kau mau, enggak?"
Perempuan lacur itu mengangguk.
"Baiklah kalau begitu," jawabnya dengan senyum.
"Nah, gitu kek dari tadi." Parmin mulai melucuti pakaian yang dikenakan perempuan lacur itu. Sang perempuan pun melakukan hal yang sama terhadap diri Parmin yang dengus napasnya semakin menderu.
"Silakan nikmati kehangatan tubuhku sepuasmu, Mas ...," desah perempuan lacur itu saat tubuh Parmin mulai menindihnya.
Setan memang tak pernah pensiun menggoda manusia. Uang menjadi alat ampuh untuk membutakan siapa saja. Parmin mencecap kehangatan tubuh lonte itu dengan penuh nafsu. Tanpa merasa lelah ia terus mengayuh bahtera syahwat menuju puncak yang bersebelahan dengan neraka. Lenguhan manja dan gigitan nakal sang perempuan binal membuat Parmin semakin liar mereguk surga berbayar.
Hanya sesekali mereka berhenti mendaki birahi untuk sekadar mengelap keringat atau meneguk air mineral guna membasahi kerongkongan. Selaku nahkoda, Parmin tak ingin perahu yang didayungnya berlayar di tepian samudra. Ia suka tantangan. Mengarungi ombak dan gelombang baginya akan terasa lebih menyenangkan. Setiap ceceran peluh yang mengalir selama bersetubuh, adalah pemicu semangat bagi Parmin agar ia makin cepat memompa cinta untuk meluberkan lava yang menggelegak di pangkal kemaluannya.
Parmin tak membutuhkan arah dalam mengarungi samudra gairah. Lewat sedikit desah yang keluar dari bibir nan merah, sudah cukup bagi Parmin untuk terus menjelajah tiap daerah yang ingin ia jamah.
Saat gema adzan Subuh berkumandang, barulah Parmin melangkah pulang. Tapi tentu saja bukan pulang ke rumah. Melainkan mangkal di pos ronda yang sudah tak digunakan warga, bersama teman-teman sesama dewa mabok.
"Teman-teman hari ini kalian minum sepuasnya, aku yang akan membayar semuanya," ujar Parmin dengan gerak sempoyongan.
"Asyik ..., ini baru namanya Kang Parmin," sahut seorang temannya yang disambut tawa riang oleh teman-teman lainnya.
"Harus itu, kan kata para kata orang tua, urip iku sadermo mampir ngombe. Jadi ayo kita mabok sepuasnya. Ha ha ha ...!"
Yang lain hanya menanggapinya dengan tawa. Tawa riang dari orang-orang yang lupa pada sangkan paraning dumadi. Bahwa manusia tercipta dari tanah. Hidup dari memakan hasil olah sari pati tanah. Kelak jika mati juga akan kembali ke tanah. Berkat pengaruh minuman beralkohol, mereka seolah hidup di alam mimpi. Tak ingat hari nanti. Lupa bahwa kepastian hidup hanyalah kematian.
"Asal kalian semua tahu, ya. Gini-gini kelak jika aku mati, aku ingin kematian yang bermartabat. Mendapat perawatan terbaik serta penghormatan terakhir yang juga baik. Jangan sampai di kuburanku kalian beri batu nisan berupa botol minuman. Ha ha ha ha ...!"
"Halah, Kang Parmin ini, bisa-bisanya ngebanyol," sergah seorang temannya sambil mencekik leher botol yang isinya tinggal setengah.
"Ini bukan lelucon! Aku serius ...."
"Memang ada orang mabok serius. He he he he ...!"
"Dasar payah kalian semua!" gerutu Parmin.
Dalam kondisi teler berat, Parmin kerap ndleming bahwa kelak jika ia mati, ia ingin mendapatkan kematian yang bermartabat. Sayang, sebelum martabat yang ia harapkan itu datang mendekat, tujuh hari kemudian virus corona yang ditularkan oleh perempuan lacur yang pernah disetubuhinya semalam suntuk itu terlebih dulu membelai nyawanya.
Parmin ditemukan warga tewas di selokan depan pos ronda dengan status positif terjangkit Corona. Martabat kematian yang pernah diinginkannya sia-sia. Jenazahnya terpaksa dimakamkan tanpa penghormatan yang layak.
Jika gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, Parmin justru mati meninggalkan cerita kelam. Rambut gondrong dan tubuh kerempengnya yang penuh tatto tak cukup sakti untuk membentengi diri dari cakaran Covid 19. Martabat kematiannya lenyap tanpa bekas akibat tak mengindahkan anjuran pemerintah untuk tinggal di rumah.
Ternyata bagian terindah dari hidup bukanlah kematian.
***
Akh! Arwah Parmin mendesah resah. Terlambat ia menyadari kalau sejatinya hidup merupakan ladang tempat untuk menyemai amal kebaikan sebelum mati. Dalam hidup berlaku aturan bahwa siapa yang menabur benih, ia akan menunai. Siapa yang menabur angin maka akan menuai badai. Sedang dirinya. selama hidup tak pernah menaburkan apa-apa. Lakon hidupnya yang kelam telah menjerumuskan langkahnya ke dunia kemaksiatan.
Pengetahuan tentang sangkan paraning dumadi yang pernah diajarkan gurunya saat ia bersekolah sedikit pun tidak pernah ada yang singgah di hatinya. Seolah hati Parmin sudah menjelma menjadi batu. Tidak ada satu nasihat yang mampu melunakkan kekerasan sifatnya. Minuman beralkohol yang tidak pernah absen dari kesehariannya membuat otak Parmin menjadi dangkal dan bebal.
Bisa jadi Tuhan menciptakannya dari tanah sengketa sehingga hidupnya selalu bermasalah. Bahkan hingga saat kematian tetap saja menimbulkan masalah. Gara-gara kematiannya yang terjangkit Covid, keluarganya jadi dikucilkan oleh warga sekitar.
Dan yang paling menyedihkan saat tiba selamatan tujuh hari setelah kematiannya, tetangga kiri-kanan tidak ada yang mau datang untuk kenduri dan mendoakannya. Padahal mereka semua sudah diundang. Bahkan bapaknya bela-belain hutang uang pada seorang saudara agar dapat selamatan pitung dinoan itu.
"Bedebah! Tetangga macam apa mereka semua. Yang mati kena virus kan aku, kenapa keluarga yang mereka kucilkan! Sungguh terlalu! Mereka harus diberi pelajaran, biar kapok!" gerutu Parmin dari ambang pintu. Matanya menatap lekat pada kedua orang tua yang menangis sedih di sudut rumah.
Satu perangkat ambeng beserta lauk pauk terhampar di gelaran tikar. Menu yang seharusnya bisa untuk tiga puluh orang itu, kini hanya dihadapi oleh lima orang saja. Dua dari perangkat RT dan yang tiga orang adalah kerabatnya sendiri.
Huh! Parmin menghentakkan kaki. Air mata yang mengalir di pipi kedua orang tuanya membuat ia merasa sangat nelangsa. Jauh lebih nelangsa dari kemiskinan yang selalu mengakrapi keluarganya. Nasipnya benar-benar nelangsa. Martabat kematian tak didapat, kehormatan keluarga juga turut minggat.
Kesal, Parmin berlari ke pos ronda tempat ia biasa mangkal bersama teman-teman pemabok semasa hidupnya. Ia yakin sebagai teman yang sudah akrap layaknya sahabat karib, setidaknya mereka pasti punya rasa kehilangan atas kepergian dirinya. Ia ingin mendapatkan secuil martabat kematian dari mereka. Mereka yang hampir setiap hari duduk bersama mencumbui bibir-bibir beragam botol dengan aroma menyengat khas.
Tapi lagi-lagi Parmin harus kecewa. Kenyataan yang terlihat tak sesuai harapan. Teman-teman dewa maboknya satu pun tidak ada yang menunjukkan rona berduka. Jangankan merasa kehilangan, mengingat namanya saja sudah enggan. Padahal sesama hidup Parmin yang paling sering berjuang untuk mendapatkan uang ketika mereka tidak ada yang bisa membeli minuman. Parmin sampai bela-belain mencuri binatang piaraan para tetangga agar bisa minum bersama-sama.
Sekarang saat ia mati dan diperlakukan semena-mena oleh semua orang, tidak satu pun yang peduli. Mereka tetap menenggak minuman keras seraya tertawa-tawa lepas.
"Tarjo, aku dengar-dengar kau juga sering ngeloni perempuan lacur yang jadi langganan Parmin itu, ya?" Pemabok berambut gondrong bersuara.
"Iya." Lelaki kerempeng di sudut pos ronda mengangguk mantap.
"Tapi kau kok enggak ikutan mati juga kayak Parmin?"
"Enak saja! Aku ngeloninya waktu belum ada Covid tahu?"
Hah! Parmin tercengang. Ia tidak menyangka kalau Tarjo ternyata juga pernah mencecap tubuh perempuan lacur langganannya. Huh! Ia terlambat menyadari kalau wanita yang mengaku hanya setia melayaninya itu bukan miliknya sendiri. Siapa pun yang mau membayar tentu akan diservis secara liar.
Parmin terhenyak. Dengan mata melotot lebar ia dekati si Tarjo. Tangannya yang menjulur ke depan mengarah tepat ke leher Tarjo. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mencekik Tarjo, tapi sia-sia belaka. Padahal ia sangat ingin Tarjo mati agar ia dapat mendamprat lelaki yang tidak setia kawan itu.
Namun, upayanya sia-sia belaka. Ia baru menghentikan tindakan konyolnya itu ketika dari jauh terlihat sesosok perempuan yang cukup dikenalnya sedang melambai kepadanya. Parmin bergegas menghampiri wanita itu.
"Ikuti aku, Mas."
Tanpa menyahut, Parmin mengikuti langkah perempuan itu. Ternyata perempuan membawa Parmin ke sebuah pemakaman. Makam di mana jasadnya sudah dikuburkan. Lantas perempuan itu membawa Parmin menghampiri sebuah makam yang hanya berjarak empat makam dari kuburannya.
Hah! Parmin terbelalak membaca hari dan tanggal kematian yang tertulis pada batu nisan. Mereka meninggal pada hari yang sama. Kedua manusia yang sama-sama alpa pada kodrat dan sangkan paraning dumadi kini kembali bertemu untuk bersama-sama meniti ke jalan neraka yang paling indah.
Parmin dan perenpuan lacurnya terbenam ke lembah dosa.